LOGINTiga tahun telah berlalu.
Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya. Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan. Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu. “Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum. Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar dari rumah dengan kaki mungilnya yang lincah. Wajahnya begitu mirip dengan seseorang yang pernah sangat Flora cintai—Nathan. Namun kini nama itu hanya disimpan rapat-rapat di dalam hatinya, menjadi rahasia yang ia bawa bersama waktu. Flora tidak pernah mengabari Nathan tentang kehamilannya. Saat ia diusir dan dihina tanpa diberi kesempatan bicara, ia merasa semua pintu sudah tertutup. Ia memilih pergi, menyimpan segalanya sendiri, dan membesarkan Nayla dengan tangan serta hatinya yang penuh luka. Namun dalam kesederhanaan dan luka yang perlahan ia sembuhkan, Flora menemukan kekuatan. Setiap tawa Nayla menjadi pengobat segala sakit. Setiap pagi yang ia lalui dengan mencangkul, menanam, dan memanen, menjadi doa-doa dalam diam yang terus ia panjatkan untuk masa depan anaknya. Hari-hari Flora memang sederhana, namun penuh cinta. Ia tidak lagi memikirkan balas dendam, tidak lagi berharap Nathan akan datang mencarinya. Dunia mereka kini telah berbeda. Ia hanya berharap satu hal—semoga suatu saat nanti, Nayla tahu bahwa ia lahir dari cinta, meski kisah itu berakhir penuh luka. Saat matahari mulai meninggi, Flora menggendong keranjang berisi sayur dan membawa Nayla menuju pasar desa. Langkah mereka pelan, melewati jalan tanah yang basah karena hujan semalam. Orang-orang di desa menyapa dengan ramah, memberi senyum yang menghangatkan hati. Di desa kecil itu, Flora mungkin bukan siapa-siapa. Tapi ia adalah segalanya bagi Nayla. Langit mendung menaungi lahan yang sebentar lagi akan menjadi pusat industri besar milik Marshall Group. Truk-truk proyek berlalu lalang, pekerja berhelm kuning sibuk dengan alat berat, dan di tengah semua itu—berdiri sosok pria tinggi dengan jas abu gelap yang membalut tubuh proporsionalnya. Nathan Marshall menatap sekeliling dengan tajam. Wajahnya serius, penuh perhitungan. Ia turun langsung untuk meninjau proyek perluasan pabrik cabang di daerah ini—desa kecil yang sebelumnya tak pernah terpikir olehnya. Namun, di sinilah takdir bermain dengan caranya sendiri. Langkah Nathan terhenti ketika matanya menangkap sosok perempuan yang baru saja keluar dari warung kecil di pinggir jalan. Deg. Dunia seakan berhenti berputar. Wajah itu gerakan itu terlalu familiar. “Flora?” gumamnya nyaris tak terdengar. Dan di samping wanita itu ada seorang gadis kecil berambut ikal dan bermata bulat persis sama dengan miliknya berlari-lari riang sambil memanggil, “Bunda! Tunggu Nayla!” Napas Nathan tercekat. Ya, tuhan? Wajah anak itu? Tak mungkin! Jantung Nathan berdetak tak beraturan. Ia berdiri terpaku, hanya bisa menatap punggung kecil gadis itu dan senyum lelah perempuan yang pernah menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Mereka menghilang di antara kerumunan tetapi bayangan mereka tertanam jelas dalam pikirannya. Dengan rahang mengeras, Nathan menoleh ke arah asistennya. “Cari tahu semuanya. Nama wanita itu Flora Andini. Temukan siapa anak itu.” “Baik, Pak,” jawab sang asisten, dia melihat sebuah kebingungan dengan kegentingan yang terpancar dari ekspresi Nathan. *** Beberapa hari kemudian. Nathan duduk di ruang kerjanya di hotel dengan wajah kusut. Tangan kanannya menggenggam erat selembar berkas, hasil tes DNA. Ia menggunakan uang dan kekuasaan demi mendapatkan hasil dari tes DNA tersebut. Nama: Nathan Marshall & Nayla Tiara Maharani Kecocokan DNA: 97.38999% Tubuhnya gemetar. Napasnya memburu. Dunia yang ia bangun dengan prinsip dan kontrol ketat tiba-tiba runtuh dalam diam. Anak itu adalah anaknya. “Kenapa, kau tidak pernah bilang, Flora?” desisnya pelan, suara seraknya dipenuhi luka dan kemarahan yang ia sendiri tak pahami. Tanpa pikir panjang Nathan mengambil kunci mobil. Ia tidak bisa menunggu. Tidak bisa menahan gelombang perasaan yang telah menyesaknya sejak pertemuan itu. *** Rumah kayu sederhana di ujung kebun itu terlihat tenang. Flora baru saja selesai menjemur cucian ketika suara langkah tergesa menghampiri dari arah pagar. Begitu menoleh, tubuh Flora membeku. “Nathan?” bisiknya nyaris seperti mimpi buruk yang datang terlalu cepat. Nathan berdiri di sana dengan wajahnya tegang dan matanya menatap Flora tanpa berkedip. “Jadi ini alasanmu pergi tanpa jejak?” suaranya tajam, menusuk seperti pedang. “Kau, sembunyikan anakku selama tiga tahun?” Flora memucat. Bibirnya bergetar. “Apa maksudmu?” “Tiga tahun, Flora! Kau biarkan aku percaya bahwa kau hanya wanita penggila harta! Kau biarkan aku mengusirmu dan kau... kau bawa anakku pergi?” Nathan berjalan mendekat, wajahnya penuh amarah dan luka yang menganga. Air mata mengalir di pipi Flora. “Apa? Anakmu? Kau sudah menghinaku, kau buang aku seperti sampah dan sekarang kau mengatakan dia anakmu?” “Dan kau membalasnya dengan mencuri anakku?” bentaknya. Flora menjerit pelan, menahan air matanya. “Dia anakku bukan anakmu!” Nathan terdiam. Nathan menunduk, tubuhnya bergetar. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang tak mampu ia lawan. Nathan menatap Flora lama, sebelum akhirnya menoleh ketika terdengar suara kecil dari dalam rumah. “Bunda siapa itu?” Nayla keluar, berdiri di samping ibunya, menatap Nathan dengan rasa penasaran. Dan saat mata Nathan bertemu mata gadis kecil itu, dadanya kembali bergetar hebat. Seolah melihat cermin masa kecilnya sendiri. “Nayla.” Nathan menyebut nama itu dengan suara tercekat. Flora segera menunduk, menahan isak. Nathan hanya diam menatap anaknya dengan sorot mata yang belum pernah muncul sebelumnya—penyesalan, cinta, dan luka yang terlambat. Takdir memang mempertemukan mereka kembali. Tapi luka masa lalu masih berdarah. Dan jawaban atas semua rasa bersalah itu, baru saja dimulai. Flora segera memeluk Nayla erat, seolah melindunginya dari bayangan masa lalu yang kini berdiri di hadapannya. “Dia bukan anakmu, Nathan,” ucap Flora tegas meski suaranya bergetar. Nathan terdiam, tercengang. “Apa maksudmu? Flora, aku tahu—aku punya hasil tes DNA-nya!” Flora menggigit bibirnya, menahan tangis dan kemarahan. “Aku tidak peduli tes apapun itu. Nayla bukan anakmu. Aku tidak akan membiarkanmu—atau keluargamu—mendekatinya. Tidak setelah semua luka yang kalian beri.” “Flora beri aku satu kesempatan—” “Tidak!” Flora memotong tajam. Nathan menghela napas berat, matanya mulai berkaca-kaca. Namun Flora tak goyah. “Tolong pergi, Nathan. Jangan rusak kedamaian yang selama ini kuperjuangkan.” Nayla menggenggam jemari ibunya, menatap Nathan tanpa tahu apa-apa. Dan untuk pertama kalinya, Nathan merasa kalah oleh kesunyian seorang perempuan yang dulu ia abaikan.Sudah hampir dua bulan sejak malam kelam di gudang tua itu berlalu. Luka di tubuh Nathan telah mengering, dan luka di bahu Flora pun perlahan sembuh. Namun, luka yang tertinggal di hati mereka tidak sesederhana itu.Rumah Nathan kini jauh lebih tenang. Tak ada lagi penjaga berseragam hitam di setiap sudut, tak ada ketegangan bisnis yang membuat udara rumah terasa sesak. Hanya suara Nayla yang sesekali memecah keheningan dengan tawa kecilnya.Namun, di balik kedamaian itu, ada jarak yang belum sepenuhnya hilang.***Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kaca ruang makan, menciptakan kilau keemasan di atas meja. Nathan sedang menuangkan kopi ketika Flora masuk dengan langkah pelan, rambutnya masih sedikit berantakan. Ia mengenakan gaun rumah berwarna lembut, tampak sederhana namun menenangkan.“Pagi,” sapa Nathan dengan senyum hangat, tapi senyum itu sedikit kaku.“Pagi,” balas Flora pelan, duduk di kursi berhadapan dengannya.Keheningan menggantung beberapa detik sebelum Nathan ak
Sirene polisi meraung semakin keras, menggema di antara dinding gudang tua itu. Lampu merah biru menari liar di antara debu dan asap senjata. Di tengah kekacauan itu, Nathan menunduk, tubuhnya gemetar, memeluk Flora yang bersimbah darah di pelukannya.“Flora… bertahanlah, dengar aku…” suaranya parau, nyaris pecah. “Aku di sini, sayang. Aku tidak akan pergi lagi.”Flora berusaha tersenyum, bibirnya bergetar. “Kau… seharusnya… masih di rumah sakit…”Nathan memejamkan mata, air mata menetes di pipinya. “Aku dengar kau hilang. Aku cabut infus, paksa diri keluar. Aku tak bisa biarkan kau sendirian.”Sebelum Flora sempat menjawab, suara langkah berat dan bentakan polisi menggema dari luar.“Letakkan senjatamu, Reno! Kau dikepung!”Reno yang masih berdiri beberapa meter dari mereka menoleh cepat. Wajahnya pucat, keringat menetes di pelipisnya. Senjatanya terangkat, matanya liar.“Jangan mendekat!” teriaknya. “Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan! Aku punya bukti—semuanya ada di sini! Me
Flora menelan ludahnya. Kalimat pria itu menampar kesadarannya, menimbulkan rasa takut sekaligus penasaran yang saling bertabrakan di dalam dadanya.“Aku tidak mengerti,” ucap Flora lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh deru mesin. “Kalau kau tidak ingin dia mati, kenapa kau membuatku datang sendirian malam-malam begini?”Pria itu menyeringai samar, menghembuskan asap rokok ke arah jendela. “Karena hanya kau yang bisa menyelamatkannya, Flora Andini.”Jantung Flora serasa berhenti berdetak. Ia menatap pria itu penuh tanda tanya. “Menyelamatkannya? Bagaimana maksudmu?”Tatapan mata pria itu berkilat dingin. “Ada sesuatu yang ditanamkan di perusahaan milik Nathan—dokumen yang bisa menghancurkan reputasi seluruh keluarga Marshall. Kalau aku memberikannya ke tangan yang salah, Nathan tidak akan pernah keluar hidup-hidup dari meja operasi itu.”Flora tercekat, pandangannya bergetar. “Jadi ini... ancaman?”“Bukan ancaman,” pria itu mengoreksi, “kesempatan. Aku bisa memastikan tim medis beker
Malam itu, pilihan Flora hanya dua, menyerahkan dirinya ke dalam jebakan yang ia tak tahu pasti atau membiarkan Nathan berjuang sendirian di ruang operasi yang penuh risiko. *** Flora menggenggam ponselnya erat-erat, layar yang sudah gelap terasa seperti bara di telapak tangannya. Suara asing itu masih bergema di telinga, menancap tajam di pikirannya. “Kalau mau Nathan keluar hidup-hidup, temui aku malam ini. Sendirian.” Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke arah Veronica, Melisa dan Tuan Marshall yang sibuk membicarakan tindakan medis berikutnya dengan dokter. Tidak ada seorang pun yang memperhatikan Flora. “Siapa yang meneleponmu?” suara kecil Nayla membuat Flora tersentak. Putrinya menatap dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa ingin tahu sekaligus ketakutan. “Bukan siapa-siapa, sayang,” jawab Flora cepat sambil menyembunyikan ponsel ke dalam tasnya. Ia memeluk Nayla lebih erat, seolah dengan itu ia bisa menyembunyikan kegelisahan yang semakin menyesa
Flora tiba di rumah sakit dengan langkah tergesa, wajahnya pucat, napasnya memburu. Ia baru saja mendapat telepon dari salah satu perawat yang mengenalnya, mengabarkan bahwa Nathan dibawa ke Unit Gawat Darurat. Di pelukannya, Nayla terlelap, masih menyisakan bekas air mata di pipinya.Begitu sampai di lorong rumah sakit, pandangannya langsung tertuju pada Veronica, Melisa, dan Tuan Marshall. Ketiganya berdiri bersama, seolah menghadang jalan menuju ruang tindakan. Flora menatap mereka satu per satu, matanya tajam, tapi suaranya bergetar.“Di mana Nathan?” tanyanya.Veronica menoleh, wajahnya tegang. “Dia di dalam. Kondisinya kini kritis.” Nada bicaranya berbeda tidak lagi penuh kebencian, tapi ada nada gentar yang jarang Flora dengar.Flora melangkah maju. Namun Melisa berdiri di depannya, menahan dengan sengaja. “Kau tidak perlu di sini. Kau hanya membuatnya semakin tertekan.”Flora menatapnya dingin. “Aku adalah orang yang seharusnya berada di sisinya. Kalian yang membuatnya seperti
Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D







