Share

Pertemuan Yang Tak Disangka

Penulis: A Dreamer
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 19:15:56

Tiga tahun telah berlalu.

Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.

Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.

Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.

“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.

Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar dari rumah dengan kaki mungilnya yang lincah. Wajahnya begitu mirip dengan seseorang yang pernah sangat Flora cintai—Nathan. Namun kini nama itu hanya disimpan rapat-rapat di dalam hatinya, menjadi rahasia yang ia bawa bersama waktu.

Flora tidak pernah mengabari Nathan tentang kehamilannya. Saat ia diusir dan dihina tanpa diberi kesempatan bicara, ia merasa semua pintu sudah tertutup. Ia memilih pergi, menyimpan segalanya sendiri, dan membesarkan Nayla dengan tangan serta hatinya yang penuh luka.

Namun dalam kesederhanaan dan luka yang perlahan ia sembuhkan, Flora menemukan kekuatan. Setiap tawa Nayla menjadi pengobat segala sakit. Setiap pagi yang ia lalui dengan mencangkul, menanam, dan memanen, menjadi doa-doa dalam diam yang terus ia panjatkan untuk masa depan anaknya.

Hari-hari Flora memang sederhana, namun penuh cinta. Ia tidak lagi memikirkan balas dendam, tidak lagi berharap Nathan akan datang mencarinya. Dunia mereka kini telah berbeda. Ia hanya berharap satu hal—semoga suatu saat nanti, Nayla tahu bahwa ia lahir dari cinta, meski kisah itu berakhir penuh luka.

Saat matahari mulai meninggi, Flora menggendong keranjang berisi sayur dan membawa Nayla menuju pasar desa. Langkah mereka pelan, melewati jalan tanah yang basah karena hujan semalam. Orang-orang di desa menyapa dengan ramah, memberi senyum yang menghangatkan hati.

Di desa kecil itu, Flora mungkin bukan siapa-siapa. Tapi ia adalah segalanya bagi Nayla.

Langit mendung menaungi lahan yang sebentar lagi akan menjadi pusat industri besar milik Marshall Group. Truk-truk proyek berlalu lalang, pekerja berhelm kuning sibuk dengan alat berat, dan di tengah semua itu—berdiri sosok pria tinggi dengan jas abu gelap yang membalut tubuh proporsionalnya.

Nathan Marshall menatap sekeliling dengan tajam. Wajahnya serius, penuh perhitungan. Ia turun langsung untuk meninjau proyek perluasan pabrik cabang di daerah ini—desa kecil yang sebelumnya tak pernah terpikir olehnya. Namun, di sinilah takdir bermain dengan caranya sendiri.

Langkah Nathan terhenti ketika matanya menangkap sosok perempuan yang baru saja keluar dari warung kecil di pinggir jalan.

Deg.

Dunia seakan berhenti berputar. Wajah itu gerakan itu terlalu familiar.

“Flora?” gumamnya nyaris tak terdengar.

Dan di samping wanita itu ada seorang gadis kecil berambut ikal dan bermata bulat persis sama dengan miliknya berlari-lari riang sambil memanggil, “Bunda! Tunggu Nayla!”

Napas Nathan tercekat.

Ya, tuhan? Wajah anak itu?

Tak mungkin!

Jantung Nathan berdetak tak beraturan. Ia berdiri terpaku, hanya bisa menatap punggung kecil gadis itu dan senyum lelah perempuan yang pernah menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Mereka menghilang di antara kerumunan tetapi bayangan mereka tertanam jelas dalam pikirannya.

Dengan rahang mengeras, Nathan menoleh ke arah asistennya. “Cari tahu semuanya. Nama wanita itu Flora Andini. Temukan siapa anak itu.”

“Baik, Pak,” jawab sang asisten, dia melihat sebuah kebingungan dengan kegentingan yang terpancar dari ekspresi Nathan.

***

Beberapa hari kemudian.

Nathan duduk di ruang kerjanya di hotel dengan wajah kusut. Tangan kanannya menggenggam erat selembar berkas, hasil tes DNA. Ia menggunakan uang dan kekuasaan demi mendapatkan hasil dari tes DNA tersebut.

Nama: Nathan Marshall & Nayla Tiara Maharani

Kecocokan DNA: 97.38999%

Tubuhnya gemetar. Napasnya memburu. Dunia yang ia bangun dengan prinsip dan kontrol ketat tiba-tiba runtuh dalam diam.

Anak itu adalah anaknya.

“Kenapa, kau tidak pernah bilang, Flora?” desisnya pelan, suara seraknya dipenuhi luka dan kemarahan yang ia sendiri tak pahami.

Tanpa pikir panjang Nathan mengambil kunci mobil. Ia tidak bisa menunggu. Tidak bisa menahan gelombang perasaan yang telah menyesaknya sejak pertemuan itu.

***

Rumah kayu sederhana di ujung kebun itu terlihat tenang. Flora baru saja selesai menjemur cucian ketika suara langkah tergesa menghampiri dari arah pagar.

Begitu menoleh, tubuh Flora membeku.

“Nathan?” bisiknya nyaris seperti mimpi buruk yang datang terlalu cepat.

Nathan berdiri di sana dengan wajahnya tegang dan matanya menatap Flora tanpa berkedip.

“Jadi ini alasanmu pergi tanpa jejak?” suaranya tajam, menusuk seperti pedang. “Kau, sembunyikan anakku selama tiga tahun?”

Flora memucat. Bibirnya bergetar. “Apa maksudmu?”

“Tiga tahun, Flora! Kau biarkan aku percaya bahwa kau hanya wanita penggila harta! Kau biarkan aku mengusirmu dan kau... kau bawa anakku pergi?” Nathan berjalan mendekat, wajahnya penuh amarah dan luka yang menganga.

Air mata mengalir di pipi Flora. “Apa? Anakmu? Kau sudah menghinaku, kau buang aku seperti sampah dan sekarang kau mengatakan dia anakmu?”

“Dan kau membalasnya dengan mencuri anakku?” bentaknya.

Flora menjerit pelan, menahan air matanya. “Dia anakku bukan anakmu!”

Nathan terdiam.

Nathan menunduk, tubuhnya bergetar. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang tak mampu ia lawan.

Nathan menatap Flora lama, sebelum akhirnya menoleh ketika terdengar suara kecil dari dalam rumah.

“Bunda siapa itu?”

Nayla keluar, berdiri di samping ibunya, menatap Nathan dengan rasa penasaran.

Dan saat mata Nathan bertemu mata gadis kecil itu, dadanya kembali bergetar hebat. Seolah melihat cermin masa kecilnya sendiri.

“Nayla.” Nathan menyebut nama itu dengan suara tercekat.

Flora segera menunduk, menahan isak. Nathan hanya diam menatap anaknya dengan sorot mata yang belum pernah muncul sebelumnya—penyesalan, cinta, dan luka yang terlambat.

Takdir memang mempertemukan mereka kembali. Tapi luka masa lalu masih berdarah. Dan jawaban atas semua rasa bersalah itu, baru saja dimulai.

Flora segera memeluk Nayla erat, seolah melindunginya dari bayangan masa lalu yang kini berdiri di hadapannya.

“Dia bukan anakmu, Nathan,” ucap Flora tegas meski suaranya bergetar.

Nathan terdiam, tercengang. “Apa maksudmu? Flora, aku tahu—aku punya hasil tes DNA-nya!”

Flora menggigit bibirnya, menahan tangis dan kemarahan. “Aku tidak peduli tes apapun itu. Nayla bukan anakmu. Aku tidak akan membiarkanmu—atau keluargamu—mendekatinya. Tidak setelah semua luka yang kalian beri.”

“Flora beri aku satu kesempatan—”

“Tidak!” Flora memotong tajam.

Nathan menghela napas berat, matanya mulai berkaca-kaca.

Namun Flora tak goyah. “Tolong pergi, Nathan. Jangan rusak kedamaian yang selama ini kuperjuangkan.”

Nayla menggenggam jemari ibunya, menatap Nathan tanpa tahu apa-apa.

Dan untuk pertama kalinya, Nathan merasa kalah oleh kesunyian seorang perempuan yang dulu ia abaikan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Badai Itu Kembali Datang

    Malam berganti dengan cepat. Kegelapan yang menyelimuti langit tak ubahnya seperti kabut kelam yang menyelimuti hati Flora. Setelah seharian mencari Nayla tanpa hasil, tubuhnya mulai melemah, namun tidak dengan semangatnya. Ia duduk di beranda rumah, memeluk lutut, menatap jalan setapak yang sepi dengan tatapan kosong. Air matanya telah mengering, menyisakan perih yang mengendap di dada.Nathan mendapatkan informasi dari salah satu bawahannya jika Nayla hendak dibawa keluar pulau dan sedang dalam perjalanan menuju sebuah pelabuhan oleh ibunya, Veronica. Sementara itu, Nathan berada di dalam mobil, masih berusaha menghubungi sang ibu, Veronica Marshall. Berkali-kali ia menekan nomor yang sama, namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Kepalanya berdenyut karena panik dan lelah, tapi naluri sebagai seorang ayah tak membiarkannya berhenti terlebih ketik dia melirik ke arah Flora, hatinya terasa semakin hancur. Saat ponselnya berbunyi, sebuah pesan masuk dari seseorang yang tak dikenal. “D

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Melisa Datang Nayla Hilang

    Suasana rumah sederhana milik Flora sore itu mendadak berubah panas ketika sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan halaman. Flora yang tengah menyiram tanaman di pekarangan, mengerutkan dahi melihat sosok tinggi semampai turun dari kendaraan. Wajahnya cantik sempurna, namun matanya menyala penuh amarah.“Melisa Gunawan,” gumam Flora pelan, tubuhnya kaku.“Jadi ini tempatmu bersembunyi, Flora Andini!” seru Melisa tajam, suaranya menggema menusuk udara sore yang damai. “Hidup seperti wanita desa, namun masih merebut apa yang menjadi milikku!”“Melisa, hentikan omong kosongmu itu!” ucap Flora tenang, meski jantungnya berdegup tak karuan.Melisa berjalan cepat menghampiri, hak sepatunya menghentak tanah dengan kasar. “Kau tahu persis maksudku! Jangan berpura-pura polos! Kau pikir hanya karena Nathan datang beberapa kali ke mari, kau bisa kembali menguasai hatinya?”“Sudah cukup, Melisa. Ada anak kecil di sini,” bisik Flora, menoleh ke arah anak kecil yang berdiri di ambang pintu bersam

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Pertemuan Yang Tak Disangka

    Tiga tahun telah berlalu.Langit pagi di desa kecil tempat Flora menetap kini terlihat lebih jernih dibandingkan langit kota yang dulu penuh kebisingan dan kabut polusi. Kabut tipis menggantung di atas sawah dan ladang, menciptakan pemandangan yang menenangkan bagi siapa pun yang melihatnya.Di sebuah rumah sederhana yang berdiri di pinggir kebun kecil, Flora Andini kini hidup sebagai seorang petani. Ia mengelola sebidang tanah warisan keluarga dengan penuh kesabaran. Hidupnya tak lagi mewah, tak lagi dikelilingi pelayan atau fasilitas kelas atas. Tapi di balik segala kesederhanaan itu, ia menemukan hal yang selama ini tak pernah ia temukan di rumah mewah keluarga Marshall—ketenangan.Di tengah kesibukannya mengangkut hasil panen sayuran ke dalam keranjang rotan, terdengar tawa kecil dari balik pintu rumah kayu itu.“Nayla Tiara Maharani, jangan lari-lari, Nak. Kotor bajumu nanti,” seru Flora lembut sambil tersenyum.Seorang anak perempuan kecil berambut ikal dan bermata bulat keluar

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Sudah Menjadi Asing

    Langkah Flora mulai gontai. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin dari angin sore yang menusuk tulang, tapi karena jiwanya terasa kosong. Pipinya masih perih karena tamparan Veronica dan hatinya remuk karena pengkhianatan cinta yang selama ini ia perjuangkan.Rumah kecil di ujung gang sempit itu akhirnya terlihat. Rumah neneknya—satu-satunya tempat yang dulu selalu membuatnya merasa aman. Namun kini, bahkan untuk berdiri tegak di depan pintu itu saja, lutut Flora nyaris tak mampu lagi menopang tubuhnya.Langkah kakinya menyeret, menimbulkan bunyi gesekan yang lemah di atas ubin teras. Bunyi itu cukup membuat sang nenek, yang kerap di sapa Nyai Marlina, yang tengah duduk membaca doa di ruang tengah, segera berdiri dan membuka pintu.“Siapa di luar sana?” serunya panik.Begitu pintu terbuka, tubuh Flora langsung ambruk di kaki wanita tua itu.“Ya tuhan! Flora!!” jerit neneknya kaget, ia langsung bersimpuh memeluk tubuh cucu satu-satunya yang tergeletak tak sadarkan diri.Nenek M

  • Nyonya, Tuan Presdir Sedang Mencari Putrinya   Diusir Tanpa Kesalahan

    "Mulai hari ini kau keluar dari rumah ini, Flora Andini!"Suara bariton Nathan terdengar mengelegar di seluruh ruangan. Suaranya menyayat udara, membelah suasana pagi yang seharusnya damai menjadi mencekam. Semua mata yang hadir di ruang tamu mewah keluarga Marshall tertuju pada pasangan muda itu."Kau bukan lagi siapa-siapanya dari keluarga Marshall!"Jari telunjuk Nathan pria berusia 28 tahun yang memiliki tubuh tegap dan proporsional itu menunjuk tajam ke arah wajah Flora, membuat gadis itu menunduk dalam, seperti seorang pesakitan. Sorot matanya tak lagi lembut seperti dulu—yang ada hanyalah bara kemarahan yang membakar habis sisa kasih yang pernah tumbuh di antara mereka."Nathan, maafkan aku! Aku mohon dengarkan penjelasan aku terlebih dahulu!"Tubuh mungil Flora bersimpuh dengan lututnya yang menyentuh lantai marmer yang dingin. Suaranya parau, matanya sembab, tetapi masih menyimpan secercah harapan. Namun, tangan yang ia julurkan untuk meraih suaminya justru ditepis kasar. Tub

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status