Aku dan Raya saling berpandangan, ada apa Hana malam - malam begini mencari Raya."Mas." Raya menaikkan dagunya, sebagai isyarat, harus bagaimana. Aku segera turun dari ranjang dan memunguti pakaianku yang tergeletak di lantai kamar."Mbak … Mbak Raya." Kembali suara Hana terdengar. Ketukannya semakin kencang, sekencang debaran dalam dadaku."Pakai baju, aku di kamar mandi," ucapku dengan berbisik.Hana masih saja mengetuk pintu, dan memanggil nama Raya. Membuatku Raya semakin panik. Raya segera turun dari ranjang, aku berlari ke kamar mandi."I … iya sebentar." Terdengar suara Raya berteriak menjawab panggilan Hana. Aku buru - buru mengenakan pakaian. Dadaku sudah berdebar tak karuan. Apa Hana tau aku sedang bersama Raya? Apa dia tadi melihatku masuk kesini? Banyak pertanyaan berjejal dalam benakku."Ada apa?" Terdengar pintu dibuka dan suara Raya."Maaf mengganggu, saya mau minta tolong." Suara Hana terdengar setelahnya. "Boleh masuk?""Apah?" Suara
Kepalaku kembali berdenyut pening. Apa gunanya memiliki dua Istri, yang pada akhirnya justru aku malah pusing seperti ini. Aku sudah puasa beberapa minggu, ditambah lagi sekarang semuanya ngambek, lengkap sudah. Kaki membawa langkahku menuju ke ruang makan, biasanya Hana sudah menyiapkan kopi untukku.Benar saja ada secangkir kopi di meja segera aku buka penutup cangkir. Kopi terasa sudah hangat alias tidak panas lagi. Perlahan kusesap, menikmati dengan membaui aroma nya. Sedikit terapi untuk penatku pagi hari ini."Mas, baju Raya habis kotor semua. Terus gimana?" Raya datang dengan kantong besar di tangannya."Ya sudah cuci sana kan tinggal masukin mesin cuci," ucapku pada Raya."Aku nggak pernah cuci, mana bisa." Raya memanyunkan bibirnya."Tinggal masukin, kasih air, kasih detergen, putar, sudah …." Aku menjelaskan, walau aku tak tau persis caranya. Mana pernah urus masalah cucian, semua hal yang berhubungan dengan rumah Hana semua yang mengerjakan."Ajarin," rengek manja Raya."Iya
"Mas, sedang dalam pengawasan di kantor. Jadi tolonglah, sedikit saja bantu mas. Jangan terlalu boros." Aku meminta pengertian Raya, akan ada audit sebentar lagi. Aku telah menggunakan uang kantor untuk memenuhi keperluan Raya. "Mas, sudah nggak sayang." Raya mulai merajuk. Aku mengusap kasar wajahku, susah sekali diberi pengertian."Iya … iya nanti aku transfer," ucapku kemudian. Senyum lebar langsung terkembang di bibir Raya. Dasar wanita …"Mas mau pesan apa?" tanya Raya."Terserah," jawabku kemudian. Aku menyandarkan tubuh lelahku di punggung sofa. "Mas ke toilet sebentar." Aku berpamitan ke Raya, tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung beranjak. Kepalaku semakin berdenyut, ini uang yang Hana minta. Aku sudah berjanji padanya membelikannya tas yang diincarnya. Aku mengacak rambutku kasar di dalam toilet.Aku mencuci muka di wastafel, hariku penat penat sekali. Kalau aku memberikan ke Raya, bagaimana dengan Hana. Kalau aku berikan ke Hana, Raya pasti marah, dan tak tau dia bis
"Sayang, benar nggak ada apa - apa?" tanyaku lagi."Iyah, nggak ada apa - apa." Hana terlihat memaksakan senyumnya."Sini, peluk mas," pintaku padanya. Hana menghampiriku yang duduk di ranjang. Kurengkuh tubuhnya dalam dekapku, mencium puncak kepala itu lama. Sayang, maafkan mas … mendapatinya seperti ini rasa bersalah dalam diriku semakin besar.Apa sebaiknya aku mengakhiri hubunganku dengan Raya. Hanya saja aku masih bingung harus memulainya dari mana. Dan, aku juga belum bisa menahan godaan dari Raya. Lagian, apa mungkin Raya rela melepasku begitu saja. Dia wanita yang sudah diatur, dia bisa nekat kalau tak sesuai hatinya. Mana mungkin bisa bicara baik - baik padanya."Hana mau temani anak - anak dulu." Hana melepas pelukanku dan kemudian berdiri. Aku mengangguk mengiyakan tanpa berkata apa apa. "Em … ini berkas sekolah anak - anak, Mas tanda tangani. Ada permintaan imunisasi, dana bantuan dan lain - lain." Hana mengambil map plastik berwarna merah dari laci, dan mengeluarkan isin
Cukup … kepura-puraan ini harus segera aku akhiri. Sekuat dan setegar apapun, diriku tetaplah manusia biasa. Dan sekarang aku sedang terluka, aku sudah tak berharap apa - apa lagi dari perkawinan ini. Aku sudah tak berharap apapun dari Mas Andrian. Semua telah hancur berkeping dan tidak akan mungkin bisa tersusun kembali.Jangan ditanya sakitnya seperti apa, hanya beberapa minggu saja hidup dengan kepura - puraan membuat hati ini semakin hancur. Tapi setidaknya, aku sudah membalas kesakitan ini meski belumlah sepadan. Aku menahan diri, menahan emosi untuk dapat terus bersandiwara kalau aku tidak tau apa-apa.Akan tetapi, kembali lagi aku tetaplah manusia biasa dengan banyak keterbatasan. Demikian halnya dengan kesabaran yang aku punya, tidaklah seluas samudra. Juga kekuatanku menanggung kesakitan ini, tak sekuat baja. Rasa sakit yang tercipta oleh luka yang Mas Andrian sayatkan begitu dalam. Aku turunkan koper-koperku dari atas lemari. Sengaja aku lempar agar mereka mendengarnya. Aku
Akan kemana aku pergi membawa kedua anakku malam ini. Sesaat aku memejamkan mata. Aku akan mencari hotel terdekat selepas ini. Baru besok aku akan mencari tempat tinggal untukku. Semua ini diluar rencana, meski tidak sepenuhnya. Hari ini aku dan anak - anak yang pergi. Sebentar lagi mereka yang akan terusir dari rumah itu. Hanya menunggu waktu saja.Ponselku bergetar, aku meraih tanpa melihatnya. Nama Mas Andrian terpampang di layar. Aku mengabaikannya, semua sudah terlambat. Kesempatan yang telah aku berikan sudah berakhir, semua berakhir sia - sia. Terlalu banyak maaf dan kesempatan yang ternyata hanya percuma.Entah berapa kali panggilan dari Mas Andrian masuk. Aku memilih mematikan ponsel, dan memasukkan kembali ke dalam tas. •☆•Sebuah penginapan yang tak jauh dari taman kota, menjadi pilihan untuk menginap malam ini. Wajah bingung tergambar jelas di wajah kedua anakku. Malam ini mungkin masih aman, karena kantuk mendera keduanya. Tapi esok … entah bagaimana aku menjawabnya.Air
Beberapa hari ini aku meliburkan Al dan Luna. Mas Andrian mencari anak - anak di sekolahnya. Yola yang memberitahu semuanya karena Mas Andrian menemuinya. Yola mengatakan tidak tau akan keberadaanku.Sementara aku tinggal di rumah milik saudara Yola yang kosong. Rumah itu memang disewakan. Untuk sementara sebelum ada penyewa, aku dan anak -anak tinggal disana. Surat permohonan cerai juga sudah aku layangkan ke Mas Andrian dengan alamat kantornya. Rumah yang sekarang ditempati juga sudah aku iklankan, aku menjualnya. Semua berkas pengalihan sudah Mas Andrian tanda tangani waktu itu, meski tak sadar.••Hari ini, aku ada janji dengan seseorang yang memberikan penawaran untuk membeli rumah yang aku jual. Luna dan Al sengaja aku titipkan ke Yola, aku tak bisa membawa mereka. Sebuah kafe tak jauh dari rumah menjadi pilihan kami untuk bertemu siang ini. Orang itu terlihat cukup antusias kalau aku melihat dari saling balas pesan semalam.Aku datang lebih dulu, dan langsung masuk. Sebuah mej
Aku bisa membaca keinginan perempuan jalang itu. Selain mendapatkan Mas Andrian seutuhnya, dia juga gila harta ingin menjadui ratu di rumah ini"Mbak itu kenapa mukanya merah - merah seperti itu?" Bu Yanti bertanya sambil memepetku. Seperti berbisik tapi dengan suara lantang."Kudisan mungkin, Bu." Au menjawab asql kemudian. Bu Yanti tertawa kecil me dengarku."Azab pelakor sepertinya, Mbak," ucapnya kemudian. Aku hanya tertawa kecil, menimpalinya. "Tetanggaku juga gitu, kena karma karena gitu juga. Seperti mbak itu juga."Bu …." Terdengar suara Pak Rusdi memanggil istrinya."Iya … iya. Cuma ingin tau saja." Bu Yanti beralasan.Aku memang sudah membulatkan tekad, untuk menjual rumah ini. Segala kenangan akan ku kubur dalam. Aku dan Mas Adrian memulai semua dari 0. Apa yang kami dapatkan adalah hasil dari buah kerja kami. Rumah ini kami dapatkan secara mengangsur, dengan DP patungan. Setelah tiga tahun, rumah ini sudah sah menjadi milik kami. Kami memang membelinya sebelum menikah, dan