Beranda / Romansa / Obsesi Dosen Tampan / 4. Tanda Kepemilikan.

Share

4. Tanda Kepemilikan.

Penulis: Amaleo
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-13 10:40:18

"Kenapa kamu tidak menghubungiku?"

Zelda tergagap. Jantungnya bertalu-talu dengan keras, sehingga ia tak sadar memalingkan wajah. Noah tak memberinya kesempatan. Ia menangkup wajah Zelda, memaksa gadis itu menatapnya. Cengkramannya terasa dominan.

"Jangan buang muka dariku, Zelda. Aku membencinya." Geram pria itu tertahan.

"A-aku ketiduran, Profesor," Zelda berbohong, suaranya gemetar. "Aku pulang … s-sangat larut dari kerja shift malam.."

Noah menyeringai licik. "Lelah?"

Tanpa aba-aba, Noah menarik tubuh Zelda dengan kasar ke dekapannya. Zelda menjerit kecil, tubuhnya terperangkap rapat.

“Profesor —!” Panggil Zelda tercekik.

Noah menundukkan kepalanya. Hidung mancungnya menyusuri setiap kontur wajah Zelda hingga ke leher jenjangnya. Ia mulai memberi kecupan liar yang berakhir pada hisapan keras.

“Ngh ….”

Desahan pelan lolos dari bibirnya, sementara tangannya meronta mendorong bahu Noah.

“Prof —!”

“Shh …,” desis Noah sambil tangan kanannya kembali menutup bibirnya. “Kamu teriak, seseorang akan datang karena suaramu. Jangan berontak dan nikmati saja!”

Gestur tubuh Noah semakin menggoda. Bibirnya dengan lihai masih mengecup dan menjilat setiap lekuk kulit di tempat yang tidak seharusnya.

Mulai dari pipi, bahu, leher jenjangnya dan tulang selangka …

“Ngh —!” Zelda menjerit tertahan, napasnya tersengal di balik genggaman Noah yang menutup mulutnya.

Ditengah cumbuan yang semakin menuntut, tangan besar Noah satunya menelusuri tubuh Zelda dan mencengkram punggungnya posesif, seolah tak ingin gadis itu bergerak sedikit pun.

Tubuh pria itu semakin menahannya agar tetap di tempat, dan semakin terperangkap dalam godaan maut yang diciptakan Noah sendiri.

Disisi lain, Zelda masih berontak. Terus mendorong Noah sekuat tenaga. Namun, perlahan ia hilang kendali karena ia merasa nikmat oleh godaan pria itu. Meski Zelda tahu, bekas merah akan tertinggal di sana.

Tiba-tiba cumbuan itu terhenti.

Zelda membuka matanya dan mengerjap sembari berusaha mengumpulkan kembali dirinya. Bola mata Zelda menyorot Noah yang masih menatap leher jenjang Zelda dengan kepuasan dingin.

"Itu hukuman untukmu karena tidak melakukan apa yang aku minta. Ingat, urusan kita yang sebenarnya belum selesai,” bisiknya.

Beberapa detik kemudian, kedua kaki Zelda sempat lemas. Noah dengan sigap menahannya agar tak jatuh. Zelda menatap tangan besar itu yang masih mencengkeram tubuhnya, lalu mengalihkan pandangannya ke wajah Noah—menemukan ekspresi yang sulit dipahami.

Kini ia yakin, penampilannya pasti tampak berantakan, mungkin juga liar. Zelda menatap Noah tajam, seolah menyalahkan pria itu atas semua yang baru saja terjadi.

Noah tertawa rendah melihat ekspresi Zelda sekarang. Lalu ia melanjutkan. “Waktu itu … kamu sangat tidak sopan karena meninggalkanku pagi buta, sendirian di hotel. Seharusnya kamu meninggalkan pesan singkat di kertas kalau kau pamit pergi."

Tatapan Zelda seketika meredup. Zelda menelan ludah berat, masih merasakan degup jantungnya yang begitu cepat. “A-Aku minta ma … Aah —”

Rasa nyeri itu semakin pekat ketika tangan Noah meraba salah satu payudaranya dan meremasnya cukup kasar. Karena tidak tahan lagi, tangannya menarik baju Zelda yang dimasukkan ke dalam rok, kemudian menerobos kain tipis itu.

“Prof … Akh —!” Desahan Zelda kali ini lebih keras dan tak tertahankan, terlebih ketika Noah berahsil membuka pengait di punggungnya, lalu bermain dengan jari telunjuk.

"Kau tahu, aku tidak bisa melupakan ini," bisik Noah, nafsu yang berbahaya mewarnai suaranya. "Ya Tuhan. Ini ... membuatku candu. Aku menyukainya."

"Profesor, tolong! Mmmph, he-hentikan!" Zelda memohon, dan dengan sekuat tenaga, ia berhasil mendorong Noah sedikit menjauh.

Zelda gemetar ketakutan. "A-Aku minta maaf ... Maafkan aku atas kesalahanku waktu itu. Aku tidak bermaksud—!"

Noah melirik, tampak seperti sedang berdebat dengan dirinya sendiri apakah akan menarik Zelda kembali atau tidak. Melihat tubuh Zelda yang terlalu gemetar, ia akhirnya melepaskan cengkeramannya sambil mundur selangkah.

Di waktu bersamaan, Zelda menghela napas panjang karena sesak yang terasa mencekik dirinya sedari tadi.

"Baiklah. Aku memaklumi, dan menerima permintaan maafmu kali ini,” katanya, nadanya kembali dingin. "Tapi jangan ulangi kesalahan yang sama, Zelda. Tugasmu bukan hanya urusan akademik."

“M-Maksud Anda, Profesor?” tanya Zelda dengan napas terengah.

Noah terkekeh, “Apa kau lupa? Aku memegang ‘rahasiamu’ saat musim panas yang lalu, Nona,” ucapnya dingin.

“Aku bertanya-tanya. Jika aku melaporkan hal itu langsung ke para petinggi Fakultas, apa … kau masih bisa bertahan disini dengan beasiswa mu itu? Atau malah … dikeluarkan dari Kampus?” Ancamnya dingin.

Kedua mata Zelda membulat, tanpa sadar ia menggeleng kepala cepat. “Prof! Aku dari awal tidak bermaksud untuk melakukan itu denganmu. A-Aku sama sekali tak tahu hal seperti ini akan terjadi.” Kedua mata Zelda mulai basah, air mata perlahan jatuh di pipinya.

“T-Tolong … maafkan kesalahanku. Dan … aku mohon, jangan laporkan aku pada dosen lain dan petinggi universitas. Bagaimana kalau ibuku tahu kalau beasiswaku dicabut dan … d-dan —”

Wajah Noah yang semula dipenuhi amarah mendadak berubah. Kedua matanya terpejam rapat, seolah kembali bergulat dengan dirinya sendiri. Namun, reaksi itu lenyap seketika saat ia kembali menatap Zelda—gadis yang kini tampak gemetar, dengan ketakutan yang begitu nyata di matanya.

“Cukup. Kau boleh keluar,” ucapnya datar, sangat tiba-tiba.

Ia menyuruh Zelda keluar lebih dulu. Zelda melihat perubahan raut wajah Noah sebentar sebelum berbalik, membuka pintu darurat, dan berlari terburu-buru menuju toilet.

Di dalam toilet, ia bersandar di tepi wastafel, mencoba menenangkan napasnya yang masih tersengal. Ia melihat bekas hisapan di lehernya di cermin.

Yang paling mengerikan, di tengah ketakutan itu, ia merasakan sensasi sentuhan Noah yang membuatnya merinding, sekaligus membuatnya mendesah, walau sejenak. Namun, dia tahu, ketakutan ini belum berakhir, karena sejak kemarin dan seterusnya nanti, ia harus berhadapan lagi dengan Noah, di dalam kelas.

***

Pukul 19:00. Aroma kopi, susu, dan kayu manis memenuhi The Daily Grind. Zelda berdiri di balik counter, apron tergantung di pinggang, tangannya lincah mengatur mesin espresso—setidaknya mencoba agar pikirannya teralihkan sementara.

Sejak pagi, pikirannya tidak tenang.

Noah bertingkah profesional di kelas, tapi setiap kali ia berbicara, Zelda merasa tanda merah di lehernya seperti terbakar. Tanpa sadar ia menutupi leher itu dengan syal, berharap tak ada yang memperhatikan.

“Sialan! Dia benar-benar ingin membuatku gila,” pikirnya.

Saat menuangkan air, tangannya tak sengaja menyentuh boiler mesin. Panas yang menusuk membuatnya meringis, mundur beberapa langkah.

"Ya Tuhan, Zelda! Hati-hati!" Kevin, rekan kerjanya, langsung mematikan mesin. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.

Zelda mengangguk singkat sambil meringis kecil. “Cuma … agak panas,” katanya, berusaha tersenyum meski wajahnya menegang.

Kevin menarik kursi di pojok staf. “Duduk. Aku ambil salep dulu.”

Tak lama ia kembali dengan kotak P3K dan mengoleskan krim dingin di kulit merah itu.

“Terima kasih, Kevin.”

Kevin menatapnya, nada suaranya lembut tapi tegas. “Kau bukannya ceroboh, aku lihat kau terdistraksi oleh pikiranmu sendiri sejak tadi. Apa ada masalah?”

Zelda terdiam sejenak. “Aku baik-baik sa—”

Lonceng pintu berdenting.

Ia refleks menoleh ke arah suara itu, lalu membeku.

Noah muncul dan berdiri disana—turtleneck hitam, sambil menenteng Long coat di tangannya. Sorot matanya menyapu ruangan dengan dingin sebelum akhirnya menemukan Zelda.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Obsesi Dosen Tampan   S2-120. Coffee Truck ‘The Daily Grind’ dan Ancaman Jarak Jauh.

    Kevin berdiri tegak di atas atap van yang dimodifikasi itu, satu tangan masih terangkat. Senyumnya santai, tapi cukup percaya diri untuk menarik perhatian ratusan pasang mata. Beberapa detik hening berlalu. Lalu, bisik-bisik mulai menjalar seperti riak air. “Eh, itu siapa?” “Kenapa ada coffee truck …?” “The Daily Grind? Bukannya itu kedai terkenal di dekat sini?” “Temannya Zelda, ya?” “Seriusan? Bagi kopi di kampus?” “Ini acara apa, sih?” Zelda sendiri justru paling kebingungan. Ia menatap logo The Daily Grind di sisi van itu lama, alisnya berkerut halus. Jantungnya berdegup tidak sinkron. Sejak kapan …? Kevin punya coffee truck? Selama ia bekerja shift dulu—menutup kedai, menyeduh kopi, dan melayani pelanggan sampai larut malam—Kevin tak pernah sekalipun menyebut soal ini. Tidak ada bocoran, tidak ada rencana, maupun tidak ada isyarat sekalipun. “Apa yang aku lewatkan …?” gumam Zelda berbisik. Sebelum pikirannya semakin liar, suara tepuk tangan tunggal terd

  • Obsesi Dosen Tampan   S2-119. Selamat Datang Kembali, Zelda!

    Mobil berhenti tepat di depan gerbang utama. Zelda menatap keluar jendela, mata membulat perlahan—seolah tak percaya apa yang dilihatnya.Ratusan mahasiswa berdiri berbaris rapi di dua sisi jalan setapak menuju gedung fakultas. Mereka memegang spanduk kecil berwarna putih dengan tulisan tangan ….“WELCOME BACK, ZELDA!”“MAAFKAN KAMI.”“KAU INSPIRASI KAMI.”Dan spanduk besar di tengah bertuliskan ….“SELAMAT DATANG KEMBALI, ZELDA LYNN!”Bunga-bunga segar—mawar putih, lily, dan daisy—digantung di pagar dan dipegang oleh mahasiswa. Udara sore dipenuhi aroma bunga yang manis, bercampur suara tepuk tangan pelan yang mulai bergema saat mobil berhenti.Zelda menutup mulutnya dengan tangan. Air mata langsung menggenang.Noah membuka pintu mobil, lalu mendorong kursi roda Zelda keluar dengan hati-hati. Zara mengikuti di belakang, matanya berkaca-kaca tapi senyumnya lebar.Begitu Zelda muncul, tepuk tangan meledak.“Zelda!!”“Selamat datang!!”“Maafkan kami!!”Suara-suara itu bercampur—ada yang

  • Obsesi Dosen Tampan   S2-118. Penyambutan Zelda di Kampus.

    “Zelda …” suara Michael parau, rendah. “Terima kasih sudah mau datang.”Zelda tidak langsung menjawab. Ia menatap pria itu lama—mencari sesuatu di wajah yang selama ini hanya jadi bayangan buruk di cerita ibunya.Michael menelan ludah. “Aku … tidak tahu harus mulai dari mana.”Zelda mengangguk pelan. “Mulai dari mana saja, Sir.”Michael tersenyum kecil—pahit. “Aku sudah gagal sebagai ayah. Untuk Noah. Untuk Noelle.”Zelda menegang. Zara di sampingnya diam saja, tapi tangannya menggenggam tangan Zelda lebih erat.Michael menghela napas panjang dengan suara rendah yang tercekat. “Sebelas tahun yang lalu ….”Ia mulai melanjutkan. “Selama ini, aku tahu semua yang terjadi di St. Andrews,” lanjut Michael pelan. “Aku tahu Noelle yang sebarkan rumor itu. Aku tahu itu salah. Tapi aku diam—karena takut kehilangan kontrak Vayne.”Suara itu bergetar halus. “Aku pilih uang daripada kebenaran. Daripada martabat seorang wanita yang tidak bersalah.”Ia mengangkat wajahnya, mata berkaca-kaca. “Dan sek

  • Obsesi Dosen Tampan   S2-117. Pertemuan Zelda dan Michael.

    Beberapa hari berlalu sejak pesan ancaman itu masuk. Noah tidak banyak bicara soal itu—hanya bilang “semua sudah ditangani”. Tapi, Zelda tahu pria itu tidak main-main. Saat itu juga Noah merekrut dua bodyguard dari tim Halden yang kini selalu ada di sekitar mereka.Satu mengikuti Zara setiap kali ibunya keluar masuk rumah sakit—membeli makanan, mengambil obat, atau sekadar bernapas di luar. Yang satu lagi berjaga di depan pintu kamar Zelda, bergantian shift tanpa suara.Hingga hari itu telah tiba, Zelda sudah boleh rawat jalan. Tubuhnya masih lemah—setiap langkah terasa berat, perban di dada dan perut masih menempel rapat—tapi dokter mengizinkan pulang dengan syarat istirahat total. Kuliah masih harus ditunda. Aktivitas berat dilarang keras.Sore itu, apartemen terasa lebih tenang dari biasanya. Cahaya senja menyusup lewat jendela besar, membentuk garis kuning lembut di lantai marmer. Zelda duduk di sofa, selimut tipis menutupi kakinya, secangkir teh hangat di tangan. Zara duduk di

  • Obsesi Dosen Tampan   S2-116. Dua Ayah dalam Tragedi.

    Sel penjara itu terasa lebih pengap sore itu. Udara lembab menempel di kulit, bau disinfektan murahan bercampur keringat dan logam karat. Noelle Grimm duduk di ranjang bawah, lutut ditarik ke dada, tangan memeluk kaki sendiri. Matanya kosong menatap lantai—seolah mencari sesuatu yang sudah lama hilang. Rambut hitamnya kusut, wajahnya pucat tanpa riasan, tapi sisa-sisa keanggunan Grimm masih terlihat di garis rahangnya yang tegas. Chloe berbaring di ranjang atas, satu kaki menggantung santai, jari-jarinya memainkan ujung borgol yang sudah dilepas. Senyum tipis masih menggantung di bibirnya—senyum yang membuat Noelle semakin muak setiap kali melihatnya. Di luar sel, dua sipir wanita sedang bergosip pelan sambil minum kopi. Suara mereka terbawa angin koridor, cukup jelas untuk sampai ke telinga tahanan. “Eh, kau sudah dengar? Michael Grimm itu … katanya masih di tahanan, tapi kelihatannya dia beda dengan tahanan biasa,” kata sipir pertama, suara rendah tapi penuh rasa ingin tah

  • Obsesi Dosen Tampan   S2-115. Pesan Ancaman.

    Pagi itu terasa lebih cerah dari biasanya. Cahaya matahari menyusup lewat tirai yang sedikit terbuka.Zelda sudah setengah duduk di ranjang, bantal menyangga punggungnya, secangkir teh hangat di tangan—pemberian Zara yang baru saja keluar sebentar untuk mengambil sarapan.Ia menatap ponsel di pangkuannya, mencoba membaca berita ringan untuk mengalihkan pikiran dari nyeri yang masih tersisa di tubuhnya. Semua terasa lebih tenang hari ini. Noah mengirim pesan pagi tadi—singkat, tapi cukup untuk membuatnya tersenyum ….“Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Aku akan datang sebentar lagi.”Zelda tersenyum kecil mengingat kata-kata itu. Ia baru saja hendak membalas ketika ponselnya bergetar pelan.Drrt. Drrrt ….Satu pesan masuk.Dari nomor tak dikenal.Zelda mengerutkan kening dan membukanya—mungkin dari rumah sakit, atau teman kampus yang baru tahu nomor barunya. Tapi, saat membaca baris pertama, napasnya langsung tertahan ….“Zelda Lynn …. Noah terus mempertahankanmu untuk berada di s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status