Masuk
Alina Nigel membuka matanya, ia terkejut saat mendapati dirinya berada di tempat asing.
Kepalanya berdenyut, ia berusaha melihat dengan jelas siapa pria yang sekarang ini menindihnya, mengingat suaminya Nolan Anjasmara tidak pernah menggunakan parfum beraroma kayu yang manis. "Presdir Kai ... " celetuk Alina, setelah dirinya bisa melihat dengan jelas, tampang pria yang menindihnya. "Kenapa? Bukankah semalam kamu memintaku untuk memuaskan mu beberapa kali?" ujar Kai dengan senyuman ambigu. Alina memegang kepalanya, sontak ingatan semalam terus berputar di kepalanya. "Nggak mungkin ... " ujar Alina, tapi suaranya berganti dengan suara desahan, karena Kai dengan semangat menciumi lehernya. "Pak Presdir, tolong berhenti. Tindakan kita berdua itu salah, saya sudah punya suami dan anda sudah punya tunangan," pinta Alina dengan suara polos. Kai tersenyum tipis mendengar ucapan Alina, tak kuasa menahan geli. Dengan lembut, ia mengangkat rambut Alina, ingin memastikan tanda lahir besar di leher wanita itu. Setelah memastikan dengan jelas, Kai mencium dada Alina, lalu perlahan mengalihkan pandangannya ke seluruh tubuhnya. "Apakah selama setahun ini suamimu, Nolan, tidak pernah menyentuhmu lagi?" tanya Kai dengan senyum yang sulit ditebak. Ekspresi Alina berubah seketika. Sudah setahun terakhir, suaminya memang jarang pulang dan tak lagi menyentuhnya. Namun, Alina memilih untuk tidak terlalu berpikir negatif. Ia tahu, dirinya bekerja di perusahaan utama milik Kai, sementara Nolan sebagai asisten pribadi Kai mengemban tugas di perusahaan cabang. Jadwal suaminya di sana pun tak pernah pasti. Setelah puas menciumi seluruh tubuh Alina, Kai kembali menyentuhnya guna menuntaskan hasratnya. Kai nampak bergairah dan bersemangat, Alina sendiri sampai di buat kewalahan. Awalnya Alina berniat untuk menolak, tapi ia tahu Kai tidak akan pernah melepaskannya setelah puas. Mengingat tenaga wanita dan pria jauh berbeda, Alina memilih pasrah membiarkan Kai sendiri lelah dan melepaskan dirinya. ** Keesokan paginya, Alina bangun dengan tubuh yang remuk. Ia masih mengira jika hal yang dilakukan oleh Kai kemarin hanya mimpi, sampai suara bariton pria itu membuat kesadarannya kembali. "Sudah bangun?" tanya Kai. Sontak Alina menoleh menatap pria tinggi, besar nan kekar itu. "Presdir," celetuk Alina. Kai hanya mengangguk, lalu berkata, "Kamu pasti lapar. Aku sudah menyiapkan sarapan untukmu, hari ini dan besok aku akan memberikanmu cuti." Alina menatap Kai dengan tatapan tidak percaya, pria yang biasanya bersikap sangat dingin dan irit bicara itu tiba-tiba berbicara dengan nada lembut dan perhatian padanya. Ia ingin bangkit berdiri, tapi teringat kalau dirinya sekarang ini tanpa sehelai benang. Ingatannya kembali memutarkan adegan beberapa waktu lalu dimana Presdir Gila itu dengan penuh hasrat merobek pakaiannya. Ia memilih duduk, seraya menutup bagian tubuhnya dengan selimut. Kai yang merasa Alina tidak segera bangun dari ranjang, lantas melirik sekilas ke arah wanita itu. Melihat ekspresi Alina yang masih bingung, Kai bisa menebak apa yang di pikirkan Alina sekarang ini. Kai yang sudah berpakaian rapi dengan setelan kerjanya yang mahal tanpa menatap Alina kembali berkata, "Aku sudah membelikan setelan baju untukmu. Kamu bisa mengambilnya, ada disisi ranjang sebelah kiri." Setelah mengatakan hal itu, Kai duduk dengan tenang di kursi makan yang ada di dalam kamar itu. Ia dengan tenang makan disana tanpa memperdulikan Alina yang berguling kesana kemari untuk menuju paperbag yang berada lumayan jauh dari jarak ia duduk. Setelah bisa mengambil paper bag itu tanpa memperlihatkan bagian dalam tubuhnya, Alina ingin bangkit menuju kamar mandi. Tapi sayang, tidak ada handuk atau pun kain yang bisa ia gunakan untuk menutupi tubuhnya. Hanya ada selimut tebal yang membungkus tubuhnya, misalkan dia berjalan menuju kamar mandi dengan membungkus tubuhnya dengan selimut itu. Tentu saja itu bukanlah rencana yang baik, karena selain membuatnya kesulitan berjalan takutnya ia akan terjatuh jika kakinya tak sengaja menginjak ujung selimut itu, bukankah hal itu malah akan membuatnya semakin terlihat konyol? Saat Alina sedang berpikir keras, bagaimana caranya berjalan menuju kamar mandi. Kai berkata dengan tenang, "Aku sudah melihat seluruh bagian tubuhmu. Nggak ada yang perlu kamu tutupi!?" Alina sontak tersenyum canggung seraya menatap Kai. Kai mengabaikannya, tanpa mengucapkan sepatah kata, Alina berlari menuju kamar mandi tanpa sehelai benang. Setelah 15 menit berlalu, Alina menekan rasa malunya dan berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia duduk di kursi didepan Kai, seraya berkata dengan nada yang begitu rendah. "Terimakasih banyak Pak presdir, tanpa bantuan anda kemarin. Mungkin saya bisa mati karena obat perangsang dosis tinggi itu." Kai hanya menjawab dengan deheman, lalu menyerahkan obat kepada Alina. "Makan ini, lalu minum obatnya setelah makan." Alina menerima obat itu, setelah membacanya sekilas. Ia mengembalikan obatnya lagi pada Kai. "Saya tidak butuh ini. Saya yakin saya tidak akan hamil," ujarnya. Lalu ia mulai menyendok dan memasukkan makanan didepannya tanpa rasa canggung. Mata Kai menyipit tajam. "Apakah kamu berniat menceraikan Nolan dan mengandung anakku?" Alina mendongakkan kepala, tersenyum canggung ke arah Kai. "Pak Presdir, sepertinya anda berpikiran terlalu jauh." Setelah itu, wajah Alina nampak menunjukkan ekspresi serius. "Saya memang tidak mungkin hamil, meski belum pernah periksa. Tapi saya tahu suami saya sudah memeriksakan dirinya. Seratus persen dia normal. Setelah tujuh tahun menikah, kami belum dikaruniai anak." "Tapi Nolan tidak masalah dengan kondisiku. Anak bukan prioritas utama. Jadi tenang saja, Pak Presdir! Saya tidak mungkin hamil anakmu." "Anggap saja apa yang terjadi kemarin hanya sebuah kesalahan. Saya harap kamu tidak akan mengungkitnya lagi." Setelah berkata demikian, Alina bangkit dan bergegas pergi. Tapi saat langkahnya sudah sampai di pintu, tiba-tiba tangannya di tarik dan tubuhnya di dorong lembut ke dinding. "Sayangnya aku akan terus mengungkitnya, kamu sudah mengambil keperjakaan ku, dan kamu harus bertanggung jawab," ujar Kai dengan nada serius. Alina menatap bola mata biru Kai, ia ingin melihat sorot bercanda dari sana. Tapi atasannya itu memang serius. Ia berusaha mencairkan suasana dan berbicara dengan nada bercanda, "Pak Presdir, tolong jangan bercanda. Saya sudah menikah, jangan melakukan hal di luar moral." Kai menatap Alina dengan tatapan serius. "Sayangnya aku nggak bercanda." Pupil mata Alina membulat sempurna. Ia sangat terkejut dengan jawaban Kai. "Bukankah Presdir Kai bisa mencari wanita yang cantik dan masih lajang?" Sebuah pertanyaan yang mengganjal dalam benak Alina, tatapanya terus menatap wajah Kai yang tampan, bahkan lebih tampan dari suaminya. Kaiden Yeshua melanjutkan ucapannya, "Kamu memang seharusnya menjadi milikku Alina. Sebenarnya suamimu tidak sebaik yang kamu lihat, diam-diam dia sudah menghamili wanita lain." Ucapan Kai bagaikan petir di siang bolong bagi Alina.Teman Risma, Freya menyahut, "Alina itu mandul. Pantas saja, kak Nolan memilih kak Ghea." Risma berkata dengan nada dingin, "Sebenarnya Alina itu nggak mandul. Kakakku selama ini selalu mencampurkan obat pencegah kehamilan pada minuman Alina setelah keduanya melakukan hubungan suami istri." Alina mengeratkan pegangannya pada tas ditangannya. Rasanya tubuh dan juga hatinya sakit, seperti di jatuhkan dari ketinggian. "Jadi selama ini Nolan sengaja membuatku nggak bisa hamil." Gumamnya, ia teringat beberapa cacian dan hinaan yang di lontarkan oleh keluarga besar suaminya tentang dirinya yang tak kunjung hamil. Hal itu sangat menyakitkannya, tapi beberapa kali Nolan membelanya didepan keluarga besarnya. "Nggak mungkin kalau Nolan selama ini memberikan obat padaku, pasti Risma bohong karena selama ini dia paling membenciku." gumam Alina dalam hatinya. "Risma, aku tahu kamu nggak mungkin bicara omong kosong. Tapi kenapa kakak mu nggak membiarkan Alina hamil anaknya?" tany
Kaiden tidak terkejut, saat melihat respon Alina. Karena tak sabar dengan langkah kaki Alina yang lambat seperti siput, lantas Kaiden pun menggendong Alina horizontal ke kamar yang ada di lantai atas. Setelah sampai kamar, Kaiden melemparkan Alina ke ranjang. Ia yang sudah di kuasai napsu sulit mengendalikan dirinya, ia langsung menindih tubuh Alina. Saat ingin membuka bajunya, Alina berkata dengan nada sedikit berteriak. "Tunggu, aku sedang datang bulan! Jadi aku nggak bisa melayani mu." Kaiden mengangkat satu alisnya, "Apakah kamu berniat membohongi ku?" Alina menggeleng, tapi ia tidak berani menatap Kaiden. "Aku tidak berani membohongi mu." Kaiden bangkit. Sementara Alina menghembuskan napas kasar, ada sedikit rasa lega. Karena hari ini ia tidak akan melayani napsu Kaiden yang gila. Baru saja bernapas lega dan bersiap bangkit, Kaiden malah menarik kedua kakinya, lalu menarik celana dalamnya. Tanpa rasa jijik dan hanya wajah datar sangar yang di tunjukkan,
Alina mendongakkan wajahnya, mata hazelnya beradu dengan bola mata hitam Nolan. Dari pada di tegur suaminya lagi, Alina memilih segera menyendok nasi goreng di depannya. Tangan kirinya tiba-tiba di genggam Nolan dengan lembut, "Kamu kurusan, kamu harus makan yang banyak." Alina mengangguk patuh, dan membiarkan tangannya di genggam suaminya. Walaupun ada rasa tidak nyaman yang menderanya. Suasana pun hening. Sebenarnya Nolan bisa merasakan perubahan kecil dalam diri istrinya, tapi teringat kalau istrinya selama ini sangat sibuk bekerja apalagi menjadi sekretaris Kaiden yang super sibuk. Nolan memilih untuk membuang pikirannya dan menganggap sikap aneh Alina sekarang ini, karena istrinya itu kecapean banyak bekerja. Semalam ia sempat mengira, kalau pelayan yang menjatuhkan minuman itu adalah Alina. Tapi sebelum pulang, ia mematikan dengan mendatangi HRD klub dan meminta identitas pelayan itu. Akhirnya ia bisa bernapas lega, kalau pelayan itu bukan istrinya yang meny
Alis Nolan berkerut, saat melihat tubuh pelayan itu bergetar. Ntah kenapa intuisinya mengatakan jika pelayan itu adalah Alina istrinya. Tiba-tiba suara berat Kai memecah suasana. "Cepat kalian bawa pelayan tidak berguna itu!! Dan suruh petugas kebersihan untuk membereskan kekacauan ini!" Kaiden adalah salah satu pemilik saham terbesar di klub ini, semua orang tahu termasuk para pelayan. Mereka dengan patuh langsung membawa Alina keluar dari ruangan itu. Alina sendiri hanya bisa pasrah, saat tubuhnya di seret keluar oleh beberapa pelayan yang lain. "Kamu mau bersenang-senang tanpa ku dan bayi kita ya ... " Ucapan Ghea masih terus berputar di otaknya. Hati Alina berusaha menyangkal fakta yang terjadi, tapi ingatannya masih memutarkan adegan saat suaminya menatap Ghea penuh cinta. "Nggak mungkin-kan kalau selama ini Nolan mengkhianati ku," gumam Alina yang sekarang ini sudah berada didalam kamar mandi. Hatinya sakit, seperti di tusuk-tusuk oleh pisau. Dia sudah beb
Alina menggelengkan kepalanya, "Nggak mungkin. Anda pasti bohong!" Kai malah mencium bibirnya dan membisikkan sesuatu padanya. "Menurutmu apa untungnya aku membohongimu?" Setelah itu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Alina, keduanya saling bertatapan. Alina menyadari, jika ucapan Kai ada benarnya. Atasannya itu memang tidak akan mendapatkan keuntungan apapun setelah memberitahunya tentang perselingkuhan suaminya. Kai yang melihat Alina sudah mempercayai ucapannya, lantas mengeluarkan senyuman tipis. "Apakah kamu ingin melihatnya sendiri?" Pertanyaan dari Kai barusan hampir saja membuat tubuh Alina jatuh, bagaimana tidak. Tiba-tiba ingatan Alina memutarkan saat suaminya Nolan membantunya memasak dan berkebun di rumah. Bahkan suaminya selalu bertanya padanya, "Alina apakah kamu bahagia?" Setelah mengingat semua momen bahagia itu, Alina yakin kalau Kai membohonginya. "Iya aku ingin tahu, karena aku sama sekali nggak mempercayai ucapanmu!" ujarnya dengan wajah yakin,
Alina Nigel membuka matanya, ia terkejut saat mendapati dirinya berada di tempat asing. Kepalanya berdenyut, ia berusaha melihat dengan jelas siapa pria yang sekarang ini menindihnya, mengingat suaminya Nolan Anjasmara tidak pernah menggunakan parfum beraroma kayu yang manis. "Presdir Kai ... " celetuk Alina, setelah dirinya bisa melihat dengan jelas, tampang pria yang menindihnya. "Kenapa? Bukankah semalam kamu memintaku untuk memuaskan mu beberapa kali?" ujar Kai dengan senyuman ambigu. Alina memegang kepalanya, sontak ingatan semalam terus berputar di kepalanya. "Nggak mungkin ... " ujar Alina, tapi suaranya berganti dengan suara desahan, karena Kai dengan semangat menciumi lehernya. "Pak Presdir, tolong berhenti. Tindakan kita berdua itu salah, saya sudah punya suami dan anda sudah punya tunangan," pinta Alina dengan suara polos. Kai tersenyum tipis mendengar ucapan Alina, tak kuasa menahan geli. Dengan lembut, ia mengangkat rambut Alina, ingin memastikan ta







