MasukDua bulan kemudian
“Siapa pria itu?” Dominic menunjuk ke arah seorang pria tua yang sedang tertawa terbahak-bahak ditengah kerumunan. Suaranya keras, kasar dan mengganggu. Orang-orang disekitarnya hanya menatap dengan pandangan bosan, beberapa bahkan berpaling. “Dia belum pernah ke sini,” ujar Dominic datar. Ia hapal setiap wajah yang datang ke klubnya, dan pria itu bukan salah satunya. “Namanya Richard,” jawab Victor dari belakangnya. “Dan dia punya uang.” Dominic mendengus pendek. “Tapi tidak punya otak.” Ia memperhatikan pakaian pria itu sekilas. Bukan pakaian mewah, tapi dari ekpresinya, laki-laki tua itu terlihat seperti orang yang memiliki segalanya. Dominic sama sekali tidak menyukainya. “Awasi dia. Aku tidak ingin ada kekacauan malam ini.” Victor mengangguk. Dominic hendak melangkah keluar ketika suara keras menggelegar dari balik punggungnya. “Malam ini aku akan mentraktir kalian!” Sorakan dan tawa meledak. Dominic berhenti sejenak, menatap wajahnya lebih lama. Laki-laki tua itu mengangkat gelasnya tinggi-tinggi, wajahnya memerah karena alcohol, membuatnya terlihat lebih bodoh. Dominic menggelengkan kepala, bersiap pergi, saat teriakan memecah keributan. “Ayah! Ayah! Jangan lakukan ini!” Dominic hampir jatuh saat tubuhnya ditabrak. Ia cepat pulih lalu menoleh. Seorang perempuan berlari ke arah lelaki tua itu. “Ayah! Tolong, jangan—“ PLAK Tamparan keras terdengar, menarik perhatian semua orang. “Diam! Kau memalukan!” “Ayah, kumohon, aku tidak mau—“ PLAK Tamparan kedua menyusul. Lebih keras. Membuat wanita itu terhuyung, memegangi pipinya yang memerah. Dominic menatap Victor tajam. “Usir mereka. Sekarang.” Victor segera bergerak. Dominic menekan rahangnya kuat-kuat. Ia benci kekacauan. Ia benci suara tangisan dan lebih dari itu, Dominic sama sekali tidak suka drama. Tepat saat Dominic hendak turun tangan, wanita itu mengangkat wajah—dan waktu mendadak berhenti berputar. Wajah itu. Dominic tidak akan pernah melupakan wajah itu. Setiap hari, wajah itu menyiksa pikirannya, merampas ketenangannya. Ia bertahan dengan meyakinkan diri kalau gadis seperti itu tidak ditakdirkan untuknya. Untuk dirinya yang dikelilingi kegelapan. Tapi sekarang….. Dominic membeku saat lelaki tua itu menyeret putrinya yang menangis dan memohon. Tangannya terkepal erat. Dorongan untuk menghancurkan tengkorak pria itu menguasainya. “Caritahu apa yang dilakukan pria itu dan kenapa wanita itu datang menangis, Victor,” gumamnya dingin begitu menyadari wakilnya berdiri di belakangnya. “Beri aku waktu. Aku akan—” “Satu jam. Aku ingin informasinya dalam satu jam Victor.” Dominic keluar tanpa menunggu jawaban. Satu jam kemudian Dominic duduk di kursinya, membaca berkas dari Victor. Semakin banyak ia membaca semakin besar keinginan untuk melenyapkan lelaki tua itu. “Dia menjual putrinya.” “Sepertinya begitu.” Victor duduk di depan dengan meja memisahkan mereka. “Laki-laki itu terlibat hutang dan seperti yang ditebak tidak mampu membayar. Sebagai gantinya, putri mereka dijual pada rentenir.” “Dan rentenir itu berencana menjualnya pada mucikari.” Dominic memijit pelipisnya saat darahnya mendidih oleh kemarahan yang begitu besar. Brengsek. Sudah lama ia tidak merasakan kemarahan seperti sekarang. Begitu kuat dan berbahaya. “Kau tahu alamatnya?” “Ada di berkas.” Dominic menemukannya saat itu juga. Rahangnya mengeras, mengabaikan wajah keheranan Victor, Dominic meninggalkan ruangannya. Jika ia tidak mendapatkan gadis itu. Milik-nya. Laki-laki tua itu akan membayar sangat mahal untuk kekacauan yang dia timbulkan. Dua jam kemudian Dominic berada di rumah pelacuran paling eksklusif di New York. Ia memindai ruangan, jari-jari mengetuk lengan sofa. Beberapa menatapnya penuh minat, yang lain berusaha menyembunyikan ketakutannya. Dominic menyembunyikan seringainya. “Anda ingin menemuiku?” Dominic mendongak dan melihat wanita tua gemuk dengan wajah yang sudah terlalu sering berurusan dengan operasi bedah menatapnya penuh minat. Matanya berbinar seperti orang yang baru memenangkan lotre. “Aku menginginkan gadis yang baru masuk hari ini. Berapa yang kau inginkan?” tanyanya langsung. Semua keriangannya menguap, sekarang wanita itu tampak waspada, sedikit kesal. “Saya tidak me—“ “Namanya Isabella, usia 21 tahun, rambut cokelat gelap, panjang, tinggi 165 cm, mata amber. Dia masuk ke tempat ini mengenakan gaun polkadot hitam. Kau membelinya dari seorang pria tua sialan. Kau butuh dekskripsi lebih spesifik dari itu?” tanyanya tenang. Sekarang wanita itu terlihat gelagapan. “Ma-maaf, aku ti—“ “Aku tidak butuh maafmu,” balasnya dingin, matanya berkilat penuh ancaman. “Kau akan menjualnya atau aku akan membakar tempat ini kurang dari 1 jam.” Wanita itu pasti menyadari keseriusannya karena dia ketakutan sekarang. Matanya bergerak liar seolah menunggu bantuan untuk menyelamatkannya dari situasi ini. “Jangan bodoh. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu jika aku memutuskan untuk membunuhmu.” Wanita itu menelan ludah. “Dia barang bagus. Aku membelinya—“ Dominic berdiri, menatap jam tangannya. “Waktumu 15 menit, putuskan atau tempat ini hancur.” “Tu-tunggu!” wanita itu buru-buru berdiri, mendekatinya. Dominic mengambil langkah mundur, mengirim peringatan. “Bawa dia ke mobil hitam yang diparkir di depan, maka Victor akan membayarmu dengan harga pantas.” Dominic meninggalkan tempat itu, masuk dengan cepat ke mobilnya. Begitu duduk nyaman dibalik kemudi, Dominic mengeluarkan ponselnya. “Anthony, aku perlu kau melakukan sesuatu untukku,” ucapnya tegas. Tanpa membuang waktu Dominic mengatakan semua perintahnya. “Ya, aku akan mengirimnya sekarang. Sisanya akan kuurus. Apa? Tidak, jangan la—” Aroma bunga menusuk hidungnya, menghentikan semua kalimat yang ingin ia ucapkan saat Isabella masuk dan duduk. Tubuhnya gemetar hebat, isak tangisnya terdengar memilukan, dan entah kenapa itu membuatnya sangat marah. “Jangan menangis.” Wanita itu tidak mendengarkan. Sialan. “Kau lebih suka kembali ke tempat itu?” Ancaman itu menghentikan tangisnya, meski tidak sepenuhnya. Dominic menyalakan mobil, mengemudi dalam diam. Setelah beberapa menit ia berkata tanpa menoleh, “Kita akan menikah.”Isabella mengutuk dalam hati saat ia berbalik dan mendapati Dominic, sepenuhnya bangun dan kini berbaring menyamping. Lengan menopang kepala, sedang menatapnya. “Hai!” ucapnya riang sambil melambaikan tangan. Dominic mendengus. “Tiga kali usaha melarikan diri yang semuanya gagal tidak memberimu pelajaran ternyata. Kau tidak bisa melarikan diri, Isabel.” Semua sikap pura-pura Isabella selama ini menghilang mendengar pernyataan Dominic. “Apa itu tantangan?” “Aku tidak tahu, kau yang tahu jawabannya.” Isabella mendekat dengan wajah menantang. Dengan dagu terangkat ia membalas, “Aku pernah melakukannya dan berhasil. Kenapa yang ini tidak?” Wajah Dominic berubah. “Kau pernah melakukannya? Kenapa?” Karena ini bukan pertama kalinya ia berusaha melarikan diri, tapi Isabella tidak akan mengatakannya. Menjawab pertanyaan itu seperti mengorek luka yang berusaha ia abaikan. Ia tidak akan mengatakan kalau ini bukan pertama kalinya ia akan dijual. “Aku akan melarikan diri,” ulangnya, men
“Kita kehilangan barang itu, Dom. Orang-orang Irlandia mencegat sopir kita dan mengambil alih situasi.” Dominic mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. “Bagaimana mereka tahu kapan dan di mana harus menunggu, Jax?” tanya Dominic, menatap caponya. Alisnya kemudian terangkat saat matanya menggelap. “Ada yang membocorkannya.” Jax mengangguk singkat. Dominic menggerakkan kepalanya ke samping. Bekas luka di dekat matanya membuat tatapannya terlihat mengerikan saat kemarahan berkilau bagai lidah api di matanya. Ada pengkhianat di kelompoknya. Dominic memejamkan mata sejenak. Setelah semua yang terjadi, apa orang-orang bodoh itu tidak belajar sama sekali? “Temukan siapa pelakunya. Jangan membunuh mereka, aku yang akan menangani mereka, Jax.” Kedua bola mata Jax membulat, terkejut mendengar ucapannya. “Apa yang akan kau lakukan jika ternyata ini gerakan yang terorganisir?” Dominic menyeringai “Akan ada pertumpahan darah. Keberanian seperti itu pantas mendapat penghargaan.” Jax mengangg
Rasanya seperti lepas dari mulut buaya dan masuk ke sarang harimau. Isabella berusaha menyembunyikan gemetar yang mengguncang tubuhnya, yang mustahil dilakukan saat berada dalam satu ruangan dengan pria yang kehadirannya begitu mengintimidasi dan menakutkan.Malam ini ia mengalami kejadian paling menghancurkan dalam hidupnya. Ayahnya sendiri menjualnya. Dan kakak laki-lakinya… alih-alih melindunginya justru menghilang meninggalkannya.Seolah ia tidak berarti apa-apa.Panas di belakang matanya terasa menyakitkan, tapi Isabella sudah terlalu lelah hari ini. Tenaganya terkuras habis oleh sentakan emosi dan besarnya tekad yang dibutuhkan untuk berjuang.Meraih kebebasannya.Hanya untuk kembali terpengkap dalam cengkeraman lainnya.Isabella menatap siluet pria yang sudah menyelamatkannya. Atau mungkin memerangkapnya. Ia masih belum tahu tujuan pria itu datang untuknya.Dia ingin menikahimu, kau lupa?Isabella membersihkan tenggorokannya. “Ap-apa aku tidak bisa pergi saja?” tanyanya putus a
Dua bulan kemudian“Siapa pria itu?” Dominic menunjuk ke arah seorang pria tua yang sedang tertawa terbahak-bahak ditengah kerumunan. Suaranya keras, kasar dan mengganggu. Orang-orang disekitarnya hanya menatap dengan pandangan bosan, beberapa bahkan berpaling.“Dia belum pernah ke sini,” ujar Dominic datar. Ia hapal setiap wajah yang datang ke klubnya, dan pria itu bukan salah satunya.“Namanya Richard,” jawab Victor dari belakangnya. “Dan dia punya uang.”Dominic mendengus pendek. “Tapi tidak punya otak.”Ia memperhatikan pakaian pria itu sekilas. Bukan pakaian mewah, tapi dari ekpresinya, laki-laki tua itu terlihat seperti orang yang memiliki segalanya. Dominic sama sekali tidak menyukainya.“Awasi dia. Aku tidak ingin ada kekacauan malam ini.”Victor mengangguk. Dominic hendak melangkah keluar ketika suara keras menggelegar dari balik punggungnya.“Malam ini aku akan mentraktir kalian!”Sorakan dan tawa meledak. Dominic berhenti sejenak, menatap wajahnya lebih lama. Laki-laki tua
Saat ini. “Aku akan membunuhmu.” Dominic menarik rambut laki-laki itu keras, hingga jerit kesakitan memenuhi ruangan gelap yang mengelilingi mereka. “Kesempatan untuk membunuhku sudah lewat, Tupak,” bisiknya di depan wajah pria itu. "Sekarang waktunya untuk pembalasan.” Tatapan Tupak menjadi liar, penuh dengan kebencian yang akan membuat siapa pun ketakutan, tapi Dominic adalah pengecualian untuk segala hal yang bisa membuat Tupak puas. Sebagai gantinya ia menyeringai. Laki-laki tua bangka itu mungkin mencoba terlihat kuat, tapi ia bisa melihat ketakutan di matanya, tak peduli seberapa keras usaha untuk menyembunyikannya. Dan itu memberinya kepuasan liar. Ketakutan adalah sumber kehancuran dan ia akan pastikan Tupak hancur sampai ke ujung neraka. “Seharusnya kau mati! Kau dan keluargamu seharusnya membusuk di neraka.” Tupak meludah di wajah Dominic, meski yang keluar bukan air liur melainkan darah. Dominic menjauh sambil berdecak jengkel. “Paman, apa kau tidak punya standar? Mel
Trigger Warning Harap diperhatikan bahwa cerita ini mengandung konten yang mungkin membuat beberapa pembaca terganggu, seperti, penyebutan tentang kematian keluarga dekat, serta deskripsi yang sangat grafis mengenai kekerasan, penyiksaan dan adegan berdarah. ****Lima belas tahun lalu Langkah Dominic bergema pelan di halaman rumah mereka yang berlapis kerikil. Malam itu sunyi, hanya diselingi suara dedaunan yang berbisik ditiup angin dinihari. Jam tangannya menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Ia pulang larut. Lagi. ia menarik napas dalam, membayangkan wajah ibunya yang akan mengerut sebelum mengomel panjang lebar begitu tahu putra sulungnya pulang di jam segila ini. “Suatu hari, kau akan membuat aku dan ayahmu terkena serangan jantung,” suara ibunya terngiang jelas di telinganya. Tangannya menyentuh gagang pintu, menariknya dengan hati-hati sebelum menutupnya sepelan mungkin. Ia berbalik—berhenti mendadak saat melihat ayahnya, Ivan, duduk di kursi menatapnya tajam. “Kau tahu