LOGIN“Aku akan membunuhmu.”
Dominic menarik rambut laki-laki itu keras, hingga jerit kesakitan memenuhi ruangan gelap yang pengap. “Kesempatan untuk membunuhku sudah lewat, Tupak,” bisiknya di depan wajah pria itu. "Sekarang waktunya untuk pembalasan.” Tatapan Tupak menjadi liar, penuh dengan kebencian yang akan membuat siapa pun ketakutan. Tapi Dominic tidak gentar. Sebagai gantinya ia menyeringai. Laki-laki tua bangka itu mungkin mencoba terlihat kuat, tapi ia bisa melihat ketakutan di matanya, tak peduli seberapa keras usaha untuk menyembunyikannya. Dan itu memberinya kepuasan yang dingin. Ketakutan adalah sumber kehancuran dan ia akan pastikan Tupak hancur sampai ke ujung neraka. “Seharusnya kau mati! Kau dan keluargamu seharusnya membusuk di neraka.” Tupak meludah di wajah Dominic, meski yang keluar bukan air liur melainkan darah kental. Dominic menjauh sambil berdecak jengkel. “Paman, apa kau tidak punya standar? Meludahi keponakanmu sendiri?” Tupak yang terikat di kursi dengan wajah penuh luka, menatap Dominic dengan kemarahan membara. Satu alis Dominic melengkung saat melihatnya. “Kau begitu membenciku ya? Pasti menyakitkan selalu menjadi nomor dua. Bahkan ayahku, adikmu sendiri lebih dipercaya menjadi pemimpin daripada pria lemah dan tidak punya otak sepertimu.” “Brengsek! Aku bersumpah…” Dominic mencedak. “Jangan bodoh, Paman. Kau tidak akan pernah keluar hidup-hidup dari tempat ini. Simpan tenagamu. Kau tahu… mungkin kau akan membutuhkannya saat menghadapi kematian.” Tupak mengeram dan berusaha melepaskan diri. “Kau tidak bisa membunuhku, Dom. Aku—“ Kata-kata itu belum lagi selesai saat Dominic mengayunkan pisau, menusuk punggung tangan Tupak yang terikat. Ujungnya yang tajam menembus kayu tempat tangan itu bersemayam. Teriakan kesakitan menggema memenuhi udara. “Jangan menyebut namaku dengan mulut kotormu.” Tupak menggeram, matanya bergerak liar. “Kau bajingan—“ “Kau tahu…” potong Dominic lambat-lambat saat ia mendekat, menarik pisau yang menancap di tangan Tupak seolah itu bukan apa-apa. “Kematianmu tidak akan mudah.” Dominic mengulurkan tangannya yang bebas dan seorang pria mendekat, menyerahkan gunting padanya. Tupak meraung, matanya memancarkan teror saat melihat benda itu. “Jangan takut,” bisik Dominic, suaranya rendah dan mengancam. “Kematian belum datang menjemputmu.” Tanpa aba-aba Dominic memotong jari telunjuknya. Sekali lagi jerit kesakitan memenuhi kesunyian yang membentang. “Sakit?” Tupak mengumpat dan mengeluarkan sumpah serapah, Dominic terkekeh pelan sambil melanjutkan tindakannya. Udara pekat dengan aroma darah dan ketakutan. “Kau—“ Kali ini Dominic menggunakan pisau di tangannya untuk mengoyak lengan Tupak. Pisau itu merobek dagingnya hingga darah memercik liar, mengalir deras membasahi lantai. “Kau pikir darah keluargaku bisa kau hapus begitu saja dengan api?” bisiknya dingin, setiap suku kata seperti pisau yang menggores udara. Dominic berusaha menghalau kenangan saat keluarganya mati dalam kobaran api. Panas menyengat menusuk dadanya. “Aku akan membuatmu mengerti bahwa pengkhianatan punya harga, Paman. Darah keluargaku akan kau bayar dengan setiap tetes darahmu.” Pisau itu kembali bergerak teratur dan metodis. Setiap kali jeritan pecah Dominic merasakan kepuasan yang dingin. Monster dalam dirinya memberontak, ingin menunjukkan kekejamannya. Haus akan pembalasan. Dominic menunduk dan berbisik di telinga Tupak yang sekarat. “Hari kau memutuskan untuk membunuh keluargaku adalah hari di mana nerakamu tercipta. Kau membakar keluargaku hidup-hidup….” Dominic menjaga suaranya tetap ringan tapi bahkan anak buahnya yang berdiri di belakangnya berjengit mendengar kalimat itu. “Sekarang… saatnya membayar.” Dan dengan itu Dominic menarik rambut Tupak keras kemudian menggorok lehernya. “Buang mayat tidak berguna itu dan berikan pada anjing,” tukasnya datar saat melempar gunting di tangannya sebelum membersihkan darah dengan handuk yang diberikan anak buahnya. *** Dua jam kemudian Dominic keluar dari salah satu klubnya bersama Anthony, pria yang sudah bersamanya lebih dari separuh usianya. “Bagaimana perkembangan barang masuk?” tanyanya pada Anthony. “Barangnya akan datang malam ini. Anggota kita sudah menunggu di dermaga.” Dominic mengangguk. “Bawa Victor bersama kalian. Aku tidak ingin transaksi ini berakhir kacau.” Dominic baru saja melangkah ke mobilnya, ketika sebuah sentuhan ringan di lengannya menghentikannya. Insting pertamanya adalah mendorong untuk kemudian mematahkannya—tak ada yang menyentuh Pakhan tanpa izin. Tapi kemudian, suara itu datang, begitu lembut dan penuh harap, membuat Dominic terpaku selama beberapa saat. “Tolong, aku…” gadis itu mencengkeram lengannya. Rambutnya yang gelap dan kusut mencuat dari balik tudung jaketnya, napasnya memburu seperti habis berlari maraton. Kenapa dia mendatanginya? Dominic tidak punya jawaban. “Aku butuh bantuanmu. Di sana…” Tangan gadis itu gemetar saat menunjuk sudut jalan. “Ada seekor kucing tertabrak. Apa kau bisa membawanya ke rumah sakit?” Dominic hampir saja menolak. Ia tidak pernah membantu siapa pun. Tidak pernah. Tapi gadis itu tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun saat menatap wajahnya yang penuh bekas luka. Kebanyakan orang akan berjengit, berbalik, atau bahkan lari ketakutan. Tapi gadis ini… tidak melakukannya. Dan tatapannya… ada sesuatu dalam tatapan itu. Sebuah kepolosan yang menusuk jiwanya yang sudah lama mati rasa. Dominic tidak mengerti mengapa, tapi ia merasa tertarik. Tertarik dan terganggu pada saat yang bersamaan. “’Kumohon. Dia… terluka.” Sekarang gadis itu menatapnya seolah ia malaikat penolong. Yang mustahil karena seringnya ia menghabisi nyawa orang. “Bawa kucingnya ke mari,” tukasnya kasar, benci pada dirinya sendiri karena goyah begitu mudahnya. Apa wanita itu punya darah penyihir? Sial. Mungkin ada yang salah dengan otaknya. “Terima kasih. Aku akan segera kembali.” Gadis itu berlari kencang menuju sudut jalan, sama sekali tidak menyadari bahwa ia baru saja mengguncang jiwa seorang Pakhan. Bos Brathva yang paling ditakuti di jalanan New York. Tidak sampai lima menit, gadis itu kembali membawa seekor kucing yang kakinya menekuk aneh. Sepertinya patah, pikir Dominic. “Masuk.” Gadis itu mengangguk, mengambil tempat duduk di kursi di belakang. Dominic membuka mulut, ingin mengatakan kalau ia bukan supir dan sebaiknya gadis itu duduk di depan, tapi Dominic menelan protesnya. Lebih cepat gadis ini menyingkir lebih cepat ia mendapatkan kembali ketenangannya. Begitu tiba di klinik hewan Dominic menunggunya turun, tapi gadis itu tidak kunjung bergerak. “Sekarang apa?” bentaknya. Gadis itu mengigit bibir bawahnya. “Aku… tidak punya uang.” Dominic berkedip. “Dan apa urusannya itu denganku?” balasnya dingin. Dengan wajah memelas gadis itu menunjukkan kucing yang ada di tangannya, kali ini lebih dekat hingga Dominic bisa melihatnya lebih jelas. “Apa kau tidak kasihan? Lihat, dia begitu lemah. Aku mau saja membantunya, tapi aku tidak punya uang. Kumohon?” Dominic mengumpat tanpa suara. “Kau tahu tidak ada yang gratis di dunia ini kan?” “Apa?” Dominic keluar, membuka pintu untuk pengacau hidupnya. “Suatu hari kau harus membayar ini. Dan aku selalu menagih, malyshka.”Isabella menatap suaminya dengan seulas senyum kecil yang tertahan. Jemarinya yang bebas mengusap perut Dominic yang rata dan keras—merasakan tekstur otot yang kuat di bawah kulitnya. Kehangatan sisa percintaan mereka masih menyelimuti ranjang, namun pikiran Isabella tertambat pada hal lain. “Mau menceritakan apa yang terjadi?” tanya Isabella lembut. Ia memperhatikan rahang Dominic yang mengeras sesaat. Isabella tahu dia sedang menekan tombol berbahaya. Pria ini adalah sebuah branias, luka-lukanya tersembunyi di balik jas mahal dan tato phoenix yang megah. Melihat bekas luka yang merusak kulit punggung Dominic tadi benar-benar membuatnya syok, seolah-olah dunia baru saja ditarik dari bawah kakinya. “Aku tidak ingin memaksamu. Kau tidak harus menjawabnya,” lanjutnya lagi, mencoba memberi ruang bagi Dominic untuk bernapas. Isabella membungkuk, mendaratkan ciuman penuh kasih di dada pria itu. Ia bisa merasakan jantung Dominic berdetak kuat di bawah bibirnya. Saat ia mendongak, ma
Isabella menahan napas, jari-jarinya ragu di udara, hampir menyentuh kelopak mawar yang berduri itu, tapi Isabella menarik diri di saat terakhir. Bibir wanita itu bergetar tapi dia tidak mengatakan apa pun selain membuka kotak P3K dengan tangan yang sama gemetarnya. "Tidak apa-apa, ini hanya luka menyerempet." Isabella tidak mengatakan apa pun, hanya terus merawat luka Dominic. Selama semua itu tidak ada satu pun yang berbicara. Dominic terus menatap istrinya—terkejut saat melihat air mata membasahi wajahnya. "Malyshka...." Dominic berusaha menghapusnya tapi saat tangannya hendak menyentuh wajah cantik istrinya, Isabella menghindar. Dominic menghela napas. “Aku sudah selesai,” katanya pelan, suaranya lembut tapi tidak cukup untuk menyembunyikan ketakutan di dalamnya. Isabella bergerak mundur, berdiri perlahan dari lututnya di lantai, tangannya membersihkan noda darah di jari-jarinya dengan kain. Dominic bangkit juga, nyeri di bahu membuat gerakannya kaku. Dia berbalik
Udara dermaga Staten Island terasa dingin dan asin, namun aroma oli mesin segera tertutup oleh bau mesiu yang menyengat. Dominic bergerak dalam kegelapan seperti predator, menggenggam HK416 dengan posisi siap tembak. "Sekarang," desis Dominic melalui earpiece. Ledakan pertama menghancurkan pintu kontainer utama. Cahaya oranye berkobar, menerangi gudang rahasia Vittorio. Tanpa membuang waktu, anak buah Dominic merangsek masuk, menyiram ruangan dengan peluru 5.56mm. Fokus mereka satu, hancurkan semua stok senjata yang akan dijual Vittorio ke pihak Meksiko. Dominic melangkah masuk ke tengah kekacauan. Seorang pria besar—salah satu algojo kepercayaan Vittorio—muncul dari balik tumpukan peti dan menerjangnya. Dominic dengan sigap mengayunkan laras senapannya, menghantam rahang pria itu hingga terdengar bunyi tulang pecah yang mengerikan. Pria itu terhuyung, tapi belum menyerah. Ia menghunus belati panjang dan menyerang secara membabi buta. Dominic menjatuhkan senapannya, menangkap
"Menurutmu, apakah serangan itu hanya kebetulan belaka, atau..."Dominic hanya menggeleng pelan saat melangkah keluar dari mobil. Di belakangnya, Anthony mengekor dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan, seperti bayangan yang dalam kegelapan."Aku meragukan konsep kebetulan."Dalam kamus hidup Dominic, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Ia yakin Isabella adalah target utamanya. Namun, pertanyaannya tetap sama: siapa? Daftar musuh yang ingin melihatnya hancur terlalu panjang untuk diingat satu per satu.Begitu Dominic mendorong pintu hingga terbuka, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Samuel. Pria itu berdiri di depan pintu, tampak hanyut dalam MacBook-nya. Begitu menyadari kehadiran Dominic, sebuah seringai tipis yang menyebalkan terkembang di wajahnya. Dominic hanya mampu memutar bola mata, jengah."Aku mengharapkan Jax yang datang. Kenapa malah kau?"Samuel menepuk dadanya dengan gestur dramatis, seolah kata-kata Dominic baru saja menghujam jantungnya. "Aku tersingg
Tidak mungkin ada hukuman yang masih menunggunya! Isabella cepat-cepat berpakaian sementara Dominic masih mandi. Ia tidak akan menunggu pria itu selesai. Tidak mungkin hanya ada satu kamar mandi di sini. Kemudian Isabella ingat ada kamar mandi di dalam kamar yang sebelumnya ia tempati, tepat sebelum Dominic membuat pengaturan agar mereka tidur di kamar yang sama. Isabella mengambil pakaiannya dan berlari secepat mungkin. Ia mandi dengan cepat. Ada misi yang harus ia selesaikan dan ia butuh kepala jernih dan tubuh yang bisa diajak kerja sama untuk melakukannya. Isabella baru saja selesai memasang jumpsuit motif macan tutulnya saat pintu di belakangnya dibuka. “Gunakan kamar di sini sekali lagi dan aku akan menyuruh mereka menghancurkan kamar ini.” Isabella bengong. “Kau tahu... mungkin kita perlu ke rumah sakit.” “Rumah sakit?” Isabella mengangguk. “Aku yakin ada yang salah dengan otakmu.” Wajah Dominic tidak berubah, masih serius dan dan sama datarnya seperti biasa, tapi
“Apa kau akan bilang tidak?” ada tantangan dan nada malas dalam suaranya, seolah Dominic tahu dia sudah memenangkan pertarungan. Isabella sungguh ingin membantah dan mengatakan itu tidak mungkin, tapi bahkan ia tidak ingin membohongi dirinya. Ia menginginkan ini sama seperti Dominic dan apakah ini hukuman jika ia menginginkannya?Isabella menelan ludah saat melihat tatapan dalam mata Dominic, ada keinginan di sana hasrat yang menari-nari seperti gelombang yang siap menerjang apa pun yang menghalanginya. Dan Isabella terseret ke dalamnya tanpa tahu bagaimana menyelamatkan diri.“Aku—ouh!” Isabella tidak sadar dirinya mendesah saat tangan Dominic yang ahli menyentuh dadanya yang telanjang. Isabella mengigit bagian dalam mulutnya saat mulut Dominic mulai bekerja hingga ia merasa kehilangan akal sehat.“Domi…” kepala Isabella bergerak ke samping, tidak bisa menahan sensasi yang membakar dan melilit dirinya. Ia merasa akan segera meledak. Erangan lolos dari bibirnya saat lidah Dominic mula