LOGIN"Menurutmu, apakah serangan itu hanya kebetulan belaka, atau..."Dominic hanya menggeleng pelan saat melangkah keluar dari mobil. Di belakangnya, Anthony mengekor dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan, seperti bayangan yang dalam kegelapan."Aku meragukan konsep kebetulan."Dalam kamus hidup Dominic, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Ia yakin Isabella adalah target utamanya. Namun, pertanyaannya tetap sama: siapa? Daftar musuh yang ingin melihatnya hancur terlalu panjang untuk diingat satu per satu.Begitu Dominic mendorong pintu hingga terbuka, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Samuel. Pria itu berdiri di depan pintu, tampak hanyut dalam MacBook-nya. Begitu menyadari kehadiran Dominic, sebuah seringai tipis yang menyebalkan terkembang di wajahnya. Dominic hanya mampu memutar bola mata, jengah."Aku mengharapkan Jax yang datang. Kenapa malah kau?"Samuel menepuk dadanya dengan gestur dramatis, seolah kata-kata Dominic baru saja menghujam jantungnya. "Aku tersingg
Tidak mungkin ada hukuman yang masih menunggunya! Isabella cepat-cepat berpakaian sementara Dominic masih mandi. Ia tidak akan menunggu pria itu selesai. Tidak mungkin hanya ada satu kamar mandi di sini. Kemudian Isabella ingat ada kamar mandi di dalam kamar yang sebelumnya ia tempati, tepat sebelum Dominic membuat pengaturan agar mereka tidur di kamar yang sama. Isabella mengambil pakaiannya dan berlari secepat mungkin. Ia mandi dengan cepat. Ada misi yang harus ia selesaikan dan ia butuh kepala jernih dan tubuh yang bisa diajak kerja sama untuk melakukannya. Isabella baru saja selesai memasang jumpsuit motif macan tutulnya saat pintu di belakangnya dibuka. “Gunakan kamar di sini sekali lagi dan aku akan menyuruh mereka menghancurkan kamar ini.” Isabella bengong. “Kau tahu... mungkin kita perlu ke rumah sakit.” “Rumah sakit?” Isabella mengangguk. “Aku yakin ada yang salah dengan otakmu.” Wajah Dominic tidak berubah, masih serius dan dan sama datarnya seperti biasa, tapi
“Apa kau akan bilang tidak?” ada tantangan dan nada malas dalam suaranya, seolah Dominic tahu dia sudah memenangkan pertarungan. Isabella sungguh ingin membantah dan mengatakan itu tidak mungkin, tapi bahkan ia tidak ingin membohongi dirinya. Ia menginginkan ini sama seperti Dominic dan apakah ini hukuman jika ia menginginkannya?Isabella menelan ludah saat melihat tatapan dalam mata Dominic, ada keinginan di sana hasrat yang menari-nari seperti gelombang yang siap menerjang apa pun yang menghalanginya. Dan Isabella terseret ke dalamnya tanpa tahu bagaimana menyelamatkan diri.“Aku—ouh!” Isabella tidak sadar dirinya mendesah saat tangan Dominic yang ahli menyentuh dadanya yang telanjang. Isabella mengigit bagian dalam mulutnya saat mulut Dominic mulai bekerja hingga ia merasa kehilangan akal sehat.“Domi…” kepala Isabella bergerak ke samping, tidak bisa menahan sensasi yang membakar dan melilit dirinya. Ia merasa akan segera meledak. Erangan lolos dari bibirnya saat lidah Dominic mula
Isabella menggigit bibir bawahnya, mencoba menyembunyikan getaran yang merayapi tulang punggungnya. "Apa ini lelucon?" Dominic mengangkat bahu, tatapannya seperti belati yang menguliti tubuh Isabella yang nyaris telanjang. "Tergantung pada definisimu tentang 'lucu'." "Aku tidak akan melakukan apa pun yang kau katakan." "Benarkah?" Dominic melangkah mendekat, gerakan predator yang mengunci mangsanya. Tangannya terulur, menyentuh pipi Isabella dengan lembut, sentuhan yang mengkhianati tatapan sedingin esnya. "Kau yakin?" Isabella berusaha mati-matian untuk tidak terpengaruh oleh sentuhan itu, tetapi kulitnya seolah terbakar di bawah jari-jari Dominic, mengirimkan sengatan listrik yang membuatnya menggigil. "Aku tidak takut padamu." Dominic tertawa rendah, suara yang menggeram di tenggorokannya, membuat bulu kuduk Isabella meremang. "Itu jawaban paling bodoh yang pernah kudengar." Dengan gerakan tiba-tiba, Dominic menarik Isabella mendekat, merengkuh pinggangnya dengan erat hingga
Isabella masih belum pulih dari keterkejutannya saat Dominic masuk dan membanting pintu di belakangnya, cukup untuk membuat siapa pun terkena serangan jantung. Dan sekarang apa? Dominic ingin menghukumnya?“Kau tidak bisa menghukumku, Dominic,” tukasnya, berusaha terdengar berani meski yang ia rasakan jauh dari itu. Ya Tuhan! Ia masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Jane—seseorang yang ia anggap sebagai teman baru saja menjebaknya?Senadainya Chris tidak menemukannya saat itu…Tidak adakah orang yang benar-benar tulus padanya? Sekali saja, Isabella ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki seseorang yang benar-benar peduli padanya. Seseorang yang menatapnya seolah ia cukup berharga.“Kau pikir begitu?” suara Dominic tenang, tapi entah kenapa membuat Iisabella menelan ludah seperti baru menelan duri. Dominic menggulung lengan kemejanya sampai di atas siku, membuat otot-otot lengannya terlihat jelas. Sebuah pertunjukkan yang membuat mulut Isabella mendadak kering.Tanpa memandang
Dominic sedang membahas informasi dari Jax ketika ponselnya bergetar. Melihat nama pengawal istrinya di layar, firasat buruk langsung menghantamnya.Mengabaikan alarm di kepalanya, Dominic menjawab panggilan itu. "Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi."Terjadi sesuatu."Dominic berdiri dengan tiba-tiba. Jax menatapnya dengan bingung, sementara Samuel mengerutkan kening, tetapi Dominic tidak mempedulikan mereka. Fokusnya hanya pada panggilan satu hal."Sesuatu? Di mana Isabella, Chris? Apa dia baik-baik saja?""Ada insiden."Hening sesaat."Apa Isabella baik-baik saja?" bentaknya."Aku baik-baik saja." Suara Isabella terdengar dari seberang.Dominic memejamkan mata. Mendengar suara Isabella, meski hanya itu, mampu meredakan sebagian besar kekhawatirannya. Isabella selamat, tetapi Dominic bisa merasakan ketegangan dalam suaranya. Ada sesuatu yang terjadi. Dominic melirik komputernya. Apa yang terjadi saat istrinya pergi?Dominic berkedip, mencoba menenangkan diri. Dengan satu tangan, ia m







