Se connecter
Trigger Warning
Harap diperhatikan bahwa cerita ini mengandung konten yang mungkin membuat beberapa pembaca terganggu, seperti penyebutan tentang kematian keluarga dekat, serta deskripsi yang sangat grafis mengenai kekerasan, penyiksaan, dan adegan berdarah. **** Lima belas tahun lalu Langkah Dominic bergema pelan di halaman rumah mereka yang luas, setiap kerikil berderak di bawah sepatu kulitnya. Malam itu sunyi, hanya diselingi suara dedaunan pohon mahoni yang berbisik ditiup angin dinihari. Jam tangannya menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Ia pulang larut. Lagi. Dominic menarik napas dalam, membayangkan wajah ibunya yang akan mengerut sebelum mengomel panjang lebar begitu tahu putra sulungnya pulang di jam segila ini. “Suatu hari, kau akan membuat aku dan ayahmu terkena serangan jantung,” suara ibunya terngiang jelas di telinganya. Tangannya menyentuh gagang pintu kayu jati yang dingin, menariknya dengan hati-hati sebelum menutupnya sepelan mungkin. Ia berbalik—berhenti mendadak saat melihat ayahnya, Ivan, duduk di kursi berlengan di ruang tamu, menatapnya tajam dengan mata setajam elang. “Kau tahu bahaya apa yang bisa terjadi saat kau berkeliaran di luaran tanpa pengawal?” suara ayahnya dingin, menusuk kulit Dominic seperti pisau es. Dominic menghela napas. “Ayah, aku bisa menjaga diri sen—“ “Kau tidak akan berkata seperti itu saat kepalamu sendiri yang dipenggal dan dijadikan pajangan oleh musuh kita.” Dominic ingin menyahut bahwa kalau kepalanya dipenggal, ia bahkan tidak akan bisa mengatakan apa pun, tapi mengingat suasana hati ayahnya yang sedang buruk, Dominic menelan kembali kalimat itu. “Ivan, sudahlah,” tegur ibunya, Maria. Ia berdiri di antara keduanya, mengenakan gaun tidur sutra berwarna lavender, wajahnya memancarkan keletihan dan kasih sayang yang sama besarnya. “Dia sudah pulang dengan selamat. Itu yang penting.” Dominic menatap ibunya kemudian berkedip kecil, berusaha mencairkan suasana tegang. Maria tertawa pelan, senyumnya menghangatkan hati Dominic. “Suatu hari nanti kau akan membuatku dan ayahmu—“ “Serangan jantung,” sambung Dominic otomatis. “Iya, Bu, Domi tahu.” Ivan yang duduk di sofa kulit mahal memutar mata melihat interaksi istrinya dengan putra sulung mereka. “Kalau kau terus membelanya seperti itu, putra kita tidak akan pernah menurut, Zayka.” “Domi!” Ketiganya mendongak ke tangga. Lucia muncul di ujung pegangan, matanya mengantuk, tapi berbinar saat menatap kakaknya. Rambutnya yang panjang dan bergelombang acak-acakan, memeluk erat boneka beruang cokelat yang Dominic hadiahkan di ulang tahunnya yang ke tujuh. Dominic tertawa pelan. “Hallo Little Princess. Kenapa belum tidur?” “Aku menunggu Kakak. Ayah marah lagi ya?” Ivan menggelengkan kepala, suaranya lebih lembut sekarang. “Tidak marah, Little Princess. Hanya bicara dengan kakakmu.” Maria tersenyum, mengulurkan tangan ke arah Lucia. “Ayo, tidur lagi Sayang, nanti Kakakmu akan menyusul.” Tapi, sebelum salah satu dari mereka sempat bergerak lebih jauh, dentuman kecil terdengar dari balik dinding, seperti suara benda jatuh. Kening Dominic berkerut. Instingnya berteriak ada sesuatu yang tidak beres. Sebelum ia sempat bertanya, ledakan keras memekakkan telinga menghantam ruang tamu dari arah dapur. Gelombang panas menyapu ruangan, melemparkan perabotan mahal ke segala arah seperti mainan. Dalam sekejap, kekacauan menghantam dalam gelombang yang membutakan. Dominic terhempas ke belakang, punggungnya menghantam lantai marmer yang dingin dan keras. Asap pekat dan bau hangus memenuhi ruangan, menusuk paru-parunya hingga ia batuk tersengal. Matanya berair, penglihatannya mengabur. Ia bisa mendengar jeritan ibunya yang memilukan, ketakutan bercampur dengan teriakan Ivan yang berusaha melindungi istrinya. “Maria! Lucia!” Dominic merangkak bangun, jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Api sudah menjilat dinding dan mulai menutupi jalan ke tangga, kobarannya merah menyala menghalangi pandangan. Ia melihat siluet ayahnya berusaha meraih Lucia yang masih di atas tangga—ketakutan dan kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Lucia menjerit, saat kobaran api menjalar ke arahnya. “Lu…cia!” Dominic berteriak, suaranya parau karena asap dan ketakutan. Ia mencoba maju, tapi panas menyengat kulitnya, membakar lengan dan wajahnya. Luka bakar mulai terbentuk di pipinya, daging melepuh dan nyeri menusuk hingga ke tulang. Ledakan kedua mengguncang lantai, lebih dahsyat dari yang pertama. Tubuh Ivan terhempas ke dinding dengan bunyi gedebuk yang mengerikan, dan suara ibunya menjerit memanggil namanya sebelum kobaran api memutus semua suara. Ledakan terakhir meledakkan jendela besar di belakangnya. Gelombang tekanan menghantamnya, melempar tubuhnya keluar rumah seperti boneka kain. Ia jatuh di halaman, keras, dengan tubuh penuh luka dan wajah yang terbakar. Napasnya terengah dan putus-putus, setiap tarikan napas terasa seperti pisau yang mengiris paru-parunya. Dominic mencoba bangkit, tapi tubuhnya menolak. Air mata bercampur darah mengalir di pipinya, meninggalkan jejak merah di kulitnya yang hangus. Ia memandang dengan perasaan hancur saat menatap rumah keluarganya runtuh perlahan tanpa sisa, menjadi tumpukan bara dan abu. Menelan segala yang ada di dalamnya. Ia meraung, meski suara yang terdengar tidak lebih dari bisikan yang menyayat jantung. Gelap menelannya tak lama setelah itu, meninggalkan Dominic dalam kesunyian yang lebih mencekam daripada kegelapan, perasaannya hancur bersamaan dengan kebencian dan kemarahan yang mencakar dadanya.Isabella menatap suaminya dengan seulas senyum kecil yang tertahan. Jemarinya yang bebas mengusap perut Dominic yang rata dan keras—merasakan tekstur otot yang kuat di bawah kulitnya. Kehangatan sisa percintaan mereka masih menyelimuti ranjang, namun pikiran Isabella tertambat pada hal lain. “Mau menceritakan apa yang terjadi?” tanya Isabella lembut. Ia memperhatikan rahang Dominic yang mengeras sesaat. Isabella tahu dia sedang menekan tombol berbahaya. Pria ini adalah sebuah branias, luka-lukanya tersembunyi di balik jas mahal dan tato phoenix yang megah. Melihat bekas luka yang merusak kulit punggung Dominic tadi benar-benar membuatnya syok, seolah-olah dunia baru saja ditarik dari bawah kakinya. “Aku tidak ingin memaksamu. Kau tidak harus menjawabnya,” lanjutnya lagi, mencoba memberi ruang bagi Dominic untuk bernapas. Isabella membungkuk, mendaratkan ciuman penuh kasih di dada pria itu. Ia bisa merasakan jantung Dominic berdetak kuat di bawah bibirnya. Saat ia mendongak, ma
Isabella menahan napas, jari-jarinya ragu di udara, hampir menyentuh kelopak mawar yang berduri itu, tapi Isabella menarik diri di saat terakhir. Bibir wanita itu bergetar tapi dia tidak mengatakan apa pun selain membuka kotak P3K dengan tangan yang sama gemetarnya. "Tidak apa-apa, ini hanya luka menyerempet." Isabella tidak mengatakan apa pun, hanya terus merawat luka Dominic. Selama semua itu tidak ada satu pun yang berbicara. Dominic terus menatap istrinya—terkejut saat melihat air mata membasahi wajahnya. "Malyshka...." Dominic berusaha menghapusnya tapi saat tangannya hendak menyentuh wajah cantik istrinya, Isabella menghindar. Dominic menghela napas. “Aku sudah selesai,” katanya pelan, suaranya lembut tapi tidak cukup untuk menyembunyikan ketakutan di dalamnya. Isabella bergerak mundur, berdiri perlahan dari lututnya di lantai, tangannya membersihkan noda darah di jari-jarinya dengan kain. Dominic bangkit juga, nyeri di bahu membuat gerakannya kaku. Dia berbalik
Udara dermaga Staten Island terasa dingin dan asin, namun aroma oli mesin segera tertutup oleh bau mesiu yang menyengat. Dominic bergerak dalam kegelapan seperti predator, menggenggam HK416 dengan posisi siap tembak. "Sekarang," desis Dominic melalui earpiece. Ledakan pertama menghancurkan pintu kontainer utama. Cahaya oranye berkobar, menerangi gudang rahasia Vittorio. Tanpa membuang waktu, anak buah Dominic merangsek masuk, menyiram ruangan dengan peluru 5.56mm. Fokus mereka satu, hancurkan semua stok senjata yang akan dijual Vittorio ke pihak Meksiko. Dominic melangkah masuk ke tengah kekacauan. Seorang pria besar—salah satu algojo kepercayaan Vittorio—muncul dari balik tumpukan peti dan menerjangnya. Dominic dengan sigap mengayunkan laras senapannya, menghantam rahang pria itu hingga terdengar bunyi tulang pecah yang mengerikan. Pria itu terhuyung, tapi belum menyerah. Ia menghunus belati panjang dan menyerang secara membabi buta. Dominic menjatuhkan senapannya, menangkap
"Menurutmu, apakah serangan itu hanya kebetulan belaka, atau..."Dominic hanya menggeleng pelan saat melangkah keluar dari mobil. Di belakangnya, Anthony mengekor dengan kesetiaan yang tak tergoyahkan, seperti bayangan yang dalam kegelapan."Aku meragukan konsep kebetulan."Dalam kamus hidup Dominic, segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan. Ia yakin Isabella adalah target utamanya. Namun, pertanyaannya tetap sama: siapa? Daftar musuh yang ingin melihatnya hancur terlalu panjang untuk diingat satu per satu.Begitu Dominic mendorong pintu hingga terbuka, pemandangan pertama yang menyambutnya adalah Samuel. Pria itu berdiri di depan pintu, tampak hanyut dalam MacBook-nya. Begitu menyadari kehadiran Dominic, sebuah seringai tipis yang menyebalkan terkembang di wajahnya. Dominic hanya mampu memutar bola mata, jengah."Aku mengharapkan Jax yang datang. Kenapa malah kau?"Samuel menepuk dadanya dengan gestur dramatis, seolah kata-kata Dominic baru saja menghujam jantungnya. "Aku tersingg
Tidak mungkin ada hukuman yang masih menunggunya! Isabella cepat-cepat berpakaian sementara Dominic masih mandi. Ia tidak akan menunggu pria itu selesai. Tidak mungkin hanya ada satu kamar mandi di sini. Kemudian Isabella ingat ada kamar mandi di dalam kamar yang sebelumnya ia tempati, tepat sebelum Dominic membuat pengaturan agar mereka tidur di kamar yang sama. Isabella mengambil pakaiannya dan berlari secepat mungkin. Ia mandi dengan cepat. Ada misi yang harus ia selesaikan dan ia butuh kepala jernih dan tubuh yang bisa diajak kerja sama untuk melakukannya. Isabella baru saja selesai memasang jumpsuit motif macan tutulnya saat pintu di belakangnya dibuka. “Gunakan kamar di sini sekali lagi dan aku akan menyuruh mereka menghancurkan kamar ini.” Isabella bengong. “Kau tahu... mungkin kita perlu ke rumah sakit.” “Rumah sakit?” Isabella mengangguk. “Aku yakin ada yang salah dengan otakmu.” Wajah Dominic tidak berubah, masih serius dan dan sama datarnya seperti biasa, tapi
“Apa kau akan bilang tidak?” ada tantangan dan nada malas dalam suaranya, seolah Dominic tahu dia sudah memenangkan pertarungan. Isabella sungguh ingin membantah dan mengatakan itu tidak mungkin, tapi bahkan ia tidak ingin membohongi dirinya. Ia menginginkan ini sama seperti Dominic dan apakah ini hukuman jika ia menginginkannya?Isabella menelan ludah saat melihat tatapan dalam mata Dominic, ada keinginan di sana hasrat yang menari-nari seperti gelombang yang siap menerjang apa pun yang menghalanginya. Dan Isabella terseret ke dalamnya tanpa tahu bagaimana menyelamatkan diri.“Aku—ouh!” Isabella tidak sadar dirinya mendesah saat tangan Dominic yang ahli menyentuh dadanya yang telanjang. Isabella mengigit bagian dalam mulutnya saat mulut Dominic mulai bekerja hingga ia merasa kehilangan akal sehat.“Domi…” kepala Isabella bergerak ke samping, tidak bisa menahan sensasi yang membakar dan melilit dirinya. Ia merasa akan segera meledak. Erangan lolos dari bibirnya saat lidah Dominic mula