Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya.
"Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang selama bertahun-tahun melekat di hati. “Panggil Ibu, Farhan! Aku istri ayahmu!" tegur Bu Vanya tak nyaman dengan panggilan Farhan. Farhan mengepalkan kedua tangan. Hatinya seperti tertusuk ribuan jarum, perih! Kenyataan jika wanita yang ia cinta adalah Ibu tirinya kembali menyayat hatinya. Luka yang memang belum pernah sembuh kembali basah. Rasanya ia ingin berteriak pada Tuhan, kenapa memberi rasa yang begitu menyakitikan. Selama ini hidupnya tak mudah. Melihat wanita yang ia cinta bersama dengan orang yang paling dekat dengannya. Orang yang mempunyai hubungan darah dengannya seperti mengiris hatinya setiap detik. Setiap hari ia menahan luka dan mencoba untuk bersikap biasa saja. Bertahun-tahun mencoba melupakan, tapi hatinya tak bisa. Kebiasaannya muncul saat dirinya tak sengaja melihat sang Ayah bermesraan dengan Bu Vanya. Kala itu, hatinya hancur. Rasanya ingin menghancurkan apa saja yang ada di sekitar. Bahkan ingin menghabisi sang Ayah. Ingin membawa Bu Vanya pergi sejauh mungkin dan hanya ada dia dan wanita itu. Namun, kenyataan kembali menyadarkannya. Akal sehat kembali meredam amarahnya. Farhan hanya bisa melampiaskan obsesinya dengan cara tak wajar seperti yang ia lakukan selama ini. "Aku sudah mencoba. Tapi kenyataannya terlalu sulit melupakanmu," ungkap Farhan menatap sendu wanita di depannya. Bu Vanya menghela napas panjang. Bingung harus bersikap seperti apa. Dia memilih pergi meninggalkan Farhan sendiri di ruang kerja. Farhan menatap pintu yang kembali tertutup dengan wajah sendu. Mungkin setelah malam ini, Bu Vanya akan sangat membencinya. Dan mungkin jijik padanya. “Aaagggrrhhh...!!!" Dia menjambak rambutnya sendiri. Merasa frustasi. Lelaki itu memutuskan untuk kembali ke kamar. Dia menatap punggung Anjani yang tertutup selimut. Perlahan, Farhan naik ke atas tempat tidur. Dia memeluk Anjani dari belakang. Malam ini hatinya butuh pelampiasan. "An, sudah selesai?“ bisiknya pelan. Tidak ada jawaban dari istrinya membuat Farhan melepas pelukan dan kembali tidur telentang. Helaan napas kasar terdengar dari bibirnya. Mata berusaha terpejam, tapi hati yang begitu gelisah sulit untuk tertidur. Farhan menyibak selimut lalu turun dari atas tempat tidur, berjalan menuju balkon. Ia ambil satu batang ro kok kemudian menyalakannya. Setiap hembusan asap yang ke luar dari mulut sedikit menenangkan hati yang gundah. Berharap esok, Bu Vanya masih mau menemuinya. Setidaknya tidak menghindar saat bertemu dengannya. Anjani yang belum tidur menatap punggung tegap suaminya dari ranjang. Ia menghembuskan napas pelan. Meskipun sudah selesai datang bulan pun, dia tak ingin melayani Farhan. Rasanya sangat menjijikan ketika ingat apa yang dilakukan suaminya itu. "Tiga hari lagi aku akan mengajukan cerai, Mas." *,*.. Tiga hari berlalu begitu cepat, Farhan bersyukur Bu Vanya masih bersikap biasa seperti biasanya . Seolah kejadian tiga hari lalu tidak pernah terjadi. Wanita itu masih perhatian padanya, membuatkan cemilan dan kopi saat dia berada di ruang kerja. Setelah mengantar cemilan dan kopi, Bu Vanya kembali ke dapur. Di sana sudah ada Anjani yang sedang mencuci piring bekas makan malam. “An, kamu cinta sama Farhan?“ tanya wanita itu tiba-tiba. Anjani menghentikan tangan yang mengosok piring. Hatinya sedikit berdenyut saat ditanya tentang perasaannya terhadap Farhan. Jika menjawab cintanya sudah pergi dengan luka, Bu Vanya akan curiga tentang hubungan rumah tangga mereka. Tapi, bukankah esok dia akan ke pengadilan agama? Anjani tersenyum tipis lalu menjawab, "Dulu memang aku sangat mencintai Mas Farhan Bu.“ Wajah Bu Vanya terlihat bingung. "Kok dulu? Emang sekarang gak cinta? Kalian kan pasangan suami istri. Harus saling cinta,“ ucap Bu Vanya menasehati. "Ibu lihat hubungan kalian sangat dingin. Gak seperti pasangan suami istri pada umumnya. Ibu hanya khawatir.“ Bibir itu kembali tersenyum tipis. Meskipun merasa aneh dengan pernyataan Bu Vanya, tapi Anjani tetap menjawab. "Mas Farhan cinta sama wanita lain, Bu. Dia nikah sama aku cuma pelarian saja.“ Wajah Bu Vanya terlihat syok, dia memegang lengan Anjani. "Kamu bilang Farhan cinta sama perempuan lain? Apa kamu tahu siapa perempuan itu, An?“ Anjani menggeleng, ia memilih untuk tidak jujur tentang siapa wanita yang dicinta suaminya. Biarkan saja rahasia ini hanya dia dan Farhan yang tahu. Anjani tidak ingin membuat hubungan keluarga itu hancur. "Aku gak tau Bu. Mas Farhan cuma bilang kalau cinta sama wanita lain." Bu Vanya menatap sendu, dia membelai rambut Anjani sayang. "Jangan bilang, kamu belum hamil karena Farhan gak pernah sentuh kamu.“ Anjani menatap piring di tangan dengan mata berkaca. Tebakan Bu Vanya sangat tepat. Farhan tidak pernah menyentuhnya karena mencintai wanita lain. Dan wanita itu sekarang ada di sampingnya. Rasanya sungguh menyakitkan. Kedua tangannya meremas piring dengan hati seperti tercambuk. Tanpa dirasa cairan bening itu lolos dari peluk mata. "An, jadi benar? Kalian belum melakukan? Astagaa!! Farhan sangat keterlaluan!“ Dengan cepat Anjani mengusap air matanya dengan punggung tangan. Berusaha menampilkan senyuman saat menoleh pada Bu Vanya. "Aku akan bercerai dengan Mas Farhan, Bu.“ Mata Bu Vanya mendelik. "Apa?! Bercerai...?!“ Dia sangat terkejut. "Kalian tidak boleh bercerai!!" Suara bariton dari Ayah Panji membuat dua wanita itu menoleh cepat dan terlihat gugup. Terutama Anjani. Dia seperti maling yang tertangkap basah. "Mas...." "Ayah...." Dua wanita itu tak menyangka Ayah Panji mendengar obrolan mereka. Bu Vanya langsung berjalan cepat menghampiri sang suami. "Mas, kamu jangan marah dulu." Wajah Ayah Panji terlihat merah padam. Dia menatap Anjani dingin. "Kalian tidak akan bercerai! Ayah tidak merestui kalian bercerai!“ ucapnya tegas. Anjani menunduk, kedua tangannya saling meremas. Takut, gugup, menjadi satu membuat lidahnya begitu kelu. "Panggil Farhan! Temui Ayah di ruang keluarga!“ Setelah memberi perintah, Ayah Panji berbalik dan pergi. Raut kecewa tergambar jelas di wajah tua lelaki itu. Tubuh Anjani langsung lemas. Dia sangat takut membuat Ayah Panji kecewa. Tapi bukankah cepat atau lambat semua orang akan tahu perceraiannya? "Mungkin ini yang terbaik," gumam Anjani lalu meninggalkan dapur. Tujuannya ruang kerja Farhan. *,*..Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang
Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan. Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah
Anjani meremas selimut dengan kuat. Sentuhan Farhan semakin menuntut. Jika dulu pastilah bahagia yang dirasa, tapi sekarang hanya jijik yang ada. Netranya masih setia terpejam, berharap Farhan menghentikan aksinya. Namun, sepertinya suaminya itu telah diliputi nafsu. "An, bukankah ini yang selama ini kamu inginkan?“ Suara Farhan terdengar semakin berat, deru napasnya semakin memburu. "Apa kamu mau menolak suamimu, hem?“ Tangannya membelai wajah Anjani dari mata sampai bibir tipis wanita itu. “Bukankah wanita muslimah sepertimu tahu hukum menolak suami?” Air mata Anjani tumpah, hatinya seperti ditikam sembilu. Ia buka netra yang berkaca, menatap Farhan dengan penuh luka. "Kenapa baru sekarang, Mas?“ Farhan kembali membelai wajah cantik Anjani. Ia akui istrinya ini sangatlah cantik. Tak heran hampir semua pria di perusahaan tergila-gila pada istrinya ini. Hanya saja hatinya terlanjur jatuh terlalu dalam untuk Bu Vanya. Sejak pertama kali melihat wanita yang sekarang m
Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya. "Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kemb
Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang. “Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjan
"Anjani! Apa kamu tidak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?!” Farhan membentak dengan tatapan tajam. Ia segera mengambil bingkai foto yang terjatuh dan langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja. Anjani berjalan mendekati suaminya dengan wajah datar. Tatapannya lurus pada Farhan. “Siapa wanita dalam foto itu, Mas?!“ Kini Anjani berdiri di depan Farhan dengan meja sebagai penghalang mereka. Farhan terlihat gugup, tapi secepatnya mengubah ekspresi gugup menjadi datar. "Kamu gak perlu tau siapa dia!“ Anjani tersenyum kecut. Tatapannya tak pernah berpindah dari kedua mata suaminya. “Bu Vanya?” Mata Farhan membeliak, terkejut sampai hatinya berdenyut ngilu. Secepat mungkin mengubah ekspresi wajah menjadi datar. "Jangan ngaco kamu! Mana mungkin foto itu Ibu!” sentak Farhan mencoba untuk tidak gugup. "Dia Bu Vanya, kan? Ibu tiri kamu?” Meskipun suaranya terdengar tenang, tapi hatinya bergemuruh. Kaki dan seluruh tubuhnya gemetar karena marah. "Kamu jangan bicara sembara