Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan.
Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah datar. Dalam hatinya menggerutu melihat tatapan Farhan pada Bu Vanya. Anjani tahu Farhan sengaja ke dapur untuk melihat Bu Vanya. Siapa yang tidak tergoda dengan penampilan seksi wanita 39 tahun itu? Setiap pagi Bu Vanya hanya memakai baju tidur tipis di atas lutut. Meskipun tidak terlalu tipis, tapi tetap saja mencetak lekuk tubuh wanita itu. Anjani semakin muak melihat ekspresi Farhan yang seperti ingin menerkam Bu Vanya. "Ini kopinya Mas. Biasanya juga aku bawa ke atas,“ kata Anjani mengalihkan tatapan Farhan. "Aku mau ke ruang kerja, jadi sekalian ambil kopi," sambung lelaki itu. Anjani mendengkus pelan. 'Alasan!' batinnya kesal. Setelah menerima kopi, Farhan pamit pada kedua wanita itu. Jantungnya tak mau diam melihat penampilan menggoda Bu Vanya. Pikirannya semakin menggila. 'Andai saja dia juga memiliki perasaan yang sama.' Farhan menggeleng cepat. "Apa yang kamu pikirkan?! Dia istri ayahmu, sialan!" makinya pada diri sendiri. Dia semakin kesal saat hasratnya kembali membuncah. “Sialan!!" "Mas, sarapan sudah siap." Suara Anjani di depan pintu membuyarkan lamunan. Farhan mengembalikan foto Bu Vanya ke dalam laci dan beranjak dari duduknya. Dia berjalan menuju pintu lalu membuka pintu itu. Melihat wajah dingin istrinya Farhan bertanya, "Kamu masih marah?“ “Menurutmu?!" Kata-kata ketus Anjani membuat Farhan sadar jika istrinya benar-benar marah. Dulu Anjani tak pernah berkata ketus. Selalu bertutur kata lembut. “Bukankah aku sudah berjanji akan mencoba melupakannya? Kenapa kamu masih marah?“ Anjani menghela napas. "Sudahlah. Aku gak mau membahas itu! Kita sudah ditunggu untuk sarapan!“ Dia berbalik dan berjalan meninggalkan Farhan. Farhan berdecak pelan lalu mengikuti langkah Anjani dari belakang. *,*.. Anjani memastikan sekali lagi alamat restoran yang diberikan Vana. "Benar ini restorannya." Dia pun masuk ke dalam. Pandangannya meneliti setiap pengunjung yang datang, lalu bibirnya tersenyum saat melihat orang yang ingin ia temui. Langkahnya menuju orang yang duduk dekat jendela. "Assalamualaikum, selamat siang. Dengan Bapak Geo?“ Pria itu menoleh dan terdiam sebentar menatap wanita di depannya. Kemudian tersenyum ramah. “Walaikum salam. Ibu Anjani?“ Anjani tersenyum tak kalah ramah lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Iya, saya Anjani. Maaf, menunggu lama.“ Geo melakukan hal yang sama kemudian mempersilahkan Anjani duduk. “Senang bertemu dengan Ibu Anjani. Saya sudah mendengar permasalahan Ibu dari Adik saya. Tapi alangkah baiknya jika Ibu menceritakannya kembali.“ Anjani mengangguk kemudian menceritakan permasalahannya pada pengacara muda tersebut. Geo mendengarkan secara seksama. Diam-diam hatinya mengagumi wanita cantik di depannya. Suaranya yang lembut saat bertutur kata membuat hatinya berdenyut. 'Ah, apa yang aku pikirkan? Dia masih berstatus istri orang,' ucapnya dalam hati. "Jadi begitu Pak Geo. Saya ingin bercerai dengan suami saya." Anjani mengakhiri ceritanya. Kening Anjani mengkerut saat melihat pengacara itu malah diam. "Pak Geo..., anda mendengar saya?“ Dia melambaikan tangan di depan wajah si pengacara. "Oh, tentu, tentu. Saya mendengarkan." Geo merutuk dalam hati karena kedapatan terpesona oleh wanita di depannya. "Jadi, keputusan anda sudah bulat untuk bercerai?“ tanya Geo sekali lagi. “Iya, Pak Geo. Keputusan saya sudah bulat untuk bercerai. Hubungan ini sudah tidak sehat. Mungkin bercerai adalah jalan terbaik baik untuk saya dan suami.“ Geo tersenyum, entah mengapa hatinya kembali berdenyut. Rasa aneh menyelinap dalam hati. Namun, dia segera menepis rasa tak pantas itu. Kembali menatap kliennya dan berkata, “Baiklah. Saya akan mendampingi Bu Anjani sampai sidang perceraian anda dan suami selesai.“ Anjani tersenyum tipis. “Terimakasih, Pak Geo." Lalu pamit untuk meninggalkan restoran. Dia harus kembali ke kantor. Geo menatap kepergian Anjani dengan memegang dadanya. "Apa cinta pada pandangan pertama itu nyata?" gumamnya. **,** Bu Vanya berjalan menuju ruang kerja Farhan dengan membawa nampan berisi kopi serta cemilan yang ia buat tadi sore. Tanpa mengetuk pintu, ia masuk. “Farhan...? Apa yang kamu lakukan...?!" Matanya mendelik melihat kegiatan Farhan di depan sana. Farhan sangat terkejut sampai menjatuhkan bingkai foto yang ia pegang. Matanya mendelik dengan wajah pucat pasi. Gugup, malu bercampur jadi satu. “B...buu....“ Dia panik. Sangat panik sampai kakinya gemetar. Salah tingkah sampai lupa menutup resleting celana. Bu Vanya berjalan cepat menghampiri Farhan. Dia meletakkan nampannya di atas meja. "Farhan, apa yang sedang kamu lakukan?! Kamu selingkuh di belakang Anjani?!“ Wajahnya terlihat marah. "B...buu.., dengarkan aku dulu. Ini gak seperti yang Ibu lihat. Aku bersumpah gak pernah selingkuh dari Anjani." Farhan menyanggah tuduhan Ibu tirinya. "Kalau gak selingkuh lalu apa yang kamu lakukan tadi, Farhan?! Foto siapa itu? Kenapa kamu melakukan hal itu?“ cecar Bu Vanya kecewa. Farhan berdiri dari duduknya tanpa sempat membenarkan celana. Bu Vanya yang melihat langsung menegur. "Benarkan dulu celana kamu, Farhan!“ Wajah lelaki itu memerah karena malu. Lalu dengan cepat membenarkan celananya. Dia berjalan mendekati Bu Vanya. "Bu, dengarkan aku dulu-“ "Dengarkan apa lagi?“ Bu Vanya mendorong Farhan ke samping dan berjalan menuju kursi kerja Farhan. Ia mengambil bingkai foto yang jatuh di lantai. Mata Farhan mendelik tajam. Jantungnya seperti akan lepas dari tempatnya melihat Bu Vanya mengambil bingkai foto yang jatuh. "Bu. Berikan bingkai itu.“ Dia berjalan cepat ingin merebut bingkai foto di tangan Bu Vanya, tapi terlambat. Wanita itu membaliknya dan terdiam di tempatnya berdiri. Mata Bu Vanya mendelik tajam, wajahnya menggambarkan keterkejutan luar biasa. Tangannya sampai gemetar memegang bingkai foto tersebut. Matanya menatap Farhan dengan ekspresi sulit digambarkan. "Farhan...? A-apa ini...?“ Dia menunjukkan foto dirinya pada Farhan. Farhan terlihat salah tingkah, wajahnya pias. Seluruh tubuh gemetar tak karuan. Perasaan takut menghantam hati. Takut Bu Vanya membencinya. Takut Bu Vanya jijik padanya. Takut Bu Vanya tak mau lagi bertemu dengannya. Dan masih banyak ketakutan lain dalam hati. "Bu..., maaf....“ *,*...Bu Vanya menepis tangan Farhan saat lelaki itu akan memegang tangannya. Menatap Farhan dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan Farhan? Sejak kapan kamu begini?“ Dia menatap Farhan seraya menunjukkan fotonya. Rasanya tak percaya Farhan akan seperti ini. Farhan menunduk merasa bersalah. Sesal dalam hati membuatnya malu luar biasa. Namun, inilah konsekuensi akibat perbuatannya yang menyimpang. “Sejak pertama kali melihatmu. Sebelum kamu menikah dengan Ayah," ungkapnya. Cinta itu tumbuh jauh sebelum Bu Vanya menjadi istri sang ayah. Bu Vanya menatap lekat wajah Farhan. Rasanya tak percaya, anak tirinya akan jatuh cinta padanya. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. Rasa kecewa itu ada, tapi dia mencoba untuk memaafkan dan melupakan. “Ibu tidak akan memberitahu ayahmu. Tapi, lupakan perasaanmu. Jalani rumah tanggamu dengan Anjani dengan baik. Ibu gak mau jadi perusak rumah tangga kalian.“ "Kamu gak pernah merusak rumah tangga siapapun!" Farhan menatap lekat wajah wanita yang
Pagi tiba seperti biasa. Anjani menjalani aktivitasnya, menyiapkan air hangat dan baju ganti untuk Farhan. Selesai dengan tugasnya di lantai atas, kini Anjani turun ke lantai bawah, langkahnya menuju dapur. Di sana sudah ada Bu Vanya. Wanita itu sedang membuat kopi untuk ayah mertua. “Pagi, Bu," sapa Anjani sopan. Bu Vanya tersenyum. "Pagi juga, An. Ibu sudah masak untuk sarapan,“ kata Bu Vanya. “Iya, Bu. Tapi lain kali biar Anjani yang masak. Ibu gak usah repot-repot.“ Anjani tersenyum tipis. Teringat saat Farhan memarahinya karena membiarkan Bu Vanya masak sendiri. "Ibu gak repot. Masak untuk anak mantu masak dibilang repot sih.“ Anjani kembali tersenyum tipis. Dia mengambil kopi dan menyeduhnya. Meskipun hati tak lagi sama, tetapi dia masih berstatus istri Farhan. Keperluan lelaki itu masih ia siapkan. “An, mana kopiku?“ Dua wanita itu menoleh saat mendengar suara Farhan. Mereka menatap dengan ekspresi masing-masing. Bu Vanya dengan senyuman, Anjani dengan wajah
Anjani meremas selimut dengan kuat. Sentuhan Farhan semakin menuntut. Jika dulu pastilah bahagia yang dirasa, tapi sekarang hanya jijik yang ada. Netranya masih setia terpejam, berharap Farhan menghentikan aksinya. Namun, sepertinya suaminya itu telah diliputi nafsu. "An, bukankah ini yang selama ini kamu inginkan?“ Suara Farhan terdengar semakin berat, deru napasnya semakin memburu. "Apa kamu mau menolak suamimu, hem?“ Tangannya membelai wajah Anjani dari mata sampai bibir tipis wanita itu. “Bukankah wanita muslimah sepertimu tahu hukum menolak suami?” Air mata Anjani tumpah, hatinya seperti ditikam sembilu. Ia buka netra yang berkaca, menatap Farhan dengan penuh luka. "Kenapa baru sekarang, Mas?“ Farhan kembali membelai wajah cantik Anjani. Ia akui istrinya ini sangatlah cantik. Tak heran hampir semua pria di perusahaan tergila-gila pada istrinya ini. Hanya saja hatinya terlanjur jatuh terlalu dalam untuk Bu Vanya. Sejak pertama kali melihat wanita yang sekarang m
Anjani menampik tangan Farhan, rasa perih di rahang tak sebanding rasa perih di hatinya. "Ke luar Mas!“ Farhan menatap Anjani nanar, tangannya terulur ingin menyentuh pipi Anjani yang memar akibat ulahnya. Namun, tangannya langsung ditampik Anjani kasar. “Aku ingin sendiri.“ Ada rasa bersalah dalam hatinya melihat luka di pipi Anjani. Meskipun demikian lidahnya terasa kelu untuk mengucap kata maaf. Farhan akhirnya bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Anjani sendiri di dalam kamar. Anjani menatap pintu kamar dengan tatapan pilu. Bahkan Farhan tidak meminta maaf karena sudah menyakitinya. "Aku memang gak sepenting itu.” Air mata Anjani kembali menetes, tapi dengan cepat ia menghapusnya. "Sudah Anjani, jangan keluarkan air matamu lagi untuk pria brengsek seperti Farhan!" Kali ini Anjani bertekad untuk tidak menangis lagi. Sudah cukup air mata selama satu tahun ini. Sekarang dia ingin bangkit, ingin mengejar bahagianya sendiri. Lelah fisik serta mental, Anjani kemb
Saat akan membalas pelukan Farhan, tangan Anjani tertahan. Ia kembali menurunkan tangannya saat rasa sakit kembali datang. “Tapi aku lelah, Mas. Aku lelah menunggu cintamu. Aku lelah cinta sendirian.” Air matanya kembali jatuh. Astaghfirullah... Kenapa selalu cengeng begini? Kenapa dia tidak bisa menahan sakitnya sebentar saja. Farhan melerai pelukan, ia menatap wajah Anjani kemudian menghapus air mata itu. “Bertahanlah sebentar lagi, An. Aku janji gak akan lama.” Dalam tangis, Anjani tersenyum pahit. Sebentar? Kata sebentar bukan penyejuk bagi Anjani, akan tetapi seperti bola api yang membakar hati. "Kenapa kamu gak ngomong kalau saat ini, detik ini kamu ingin melupakannya. Kenapa kamu malah bilang sebentar?“ "An....” Farhan hampir kehilangan kesabaran. Namun, ia coba untuk tenang. Farhan memejamkan mata sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia kembali menatap Anjani yang berdiri di depannya. Saat akan kembali memeluk, Anjani menghindar. “Tetap di sana Mas.” Anjan
"Anjani! Apa kamu tidak bisa ketuk pintu dulu sebelum masuk?!” Farhan membentak dengan tatapan tajam. Ia segera mengambil bingkai foto yang terjatuh dan langsung memasukkannya kembali ke dalam laci meja. Anjani berjalan mendekati suaminya dengan wajah datar. Tatapannya lurus pada Farhan. “Siapa wanita dalam foto itu, Mas?!“ Kini Anjani berdiri di depan Farhan dengan meja sebagai penghalang mereka. Farhan terlihat gugup, tapi secepatnya mengubah ekspresi gugup menjadi datar. "Kamu gak perlu tau siapa dia!“ Anjani tersenyum kecut. Tatapannya tak pernah berpindah dari kedua mata suaminya. “Bu Vanya?” Mata Farhan membeliak, terkejut sampai hatinya berdenyut ngilu. Secepat mungkin mengubah ekspresi wajah menjadi datar. "Jangan ngaco kamu! Mana mungkin foto itu Ibu!” sentak Farhan mencoba untuk tidak gugup. "Dia Bu Vanya, kan? Ibu tiri kamu?” Meskipun suaranya terdengar tenang, tapi hatinya bergemuruh. Kaki dan seluruh tubuhnya gemetar karena marah. "Kamu jangan bicara sembara