LOGINSaat Alex kembali mencium bibirnya, tangannya mulai bergerak dari punggung bawah Nara. Gerakannya sengaja melambat, seperti penyiksaan yang manis. Jari-jarinya meluncur di sepanjang tulang rusuk Nara, meraba setiap lekukan yang tersembunyi di balik blus sutra.
Blus Nara terasa terlalu tipis sekarang. Alex memperdalam sentuhannya, jarinya menjalar ke sisi dada Nara, memberi tekanan lembut yang mengirimkan gelombang kejut. Nara terkesiap, ciuman mereka terlepas sesaat.
Sentuhan itu membuat Nara sadar penuh akan pelanggaran yang mereka lakukan. Mereka di ruang direksi, lantai eksekutif. Karyawan lain hanya berjarak satu lift. Setiap sentuhan adalah risiko hancurnya karier.
"Alex, kita..." Suara Nara tercekat, napasnya putus-putus. Ia memanggil Alex dengan nama, bukan gelar sebuah pelanggaran yang lebih besar.
Alex menghentikan sentuhannya di sisi dada Nara, tetapi tidak melepaskan. Tangan besarnya menangkup lembut di sisi rusuk Nara. Ia menatap mata Nara yang kini dipenuhi campuran gairah dan ketakutan.
"Jangan berhenti," bisik Alex, matanya gelap dan memohon. "Jangan tarik saya kembali sekarang."
"Rapat," balas Nara, berusaha memaksakan pikirannya kembali ke kenyataan. "Rapat investor..."
Alex menggeram frustrasi. Ia mencium Nara dengan cepat dan dalam untuk terakhir kalinya, mencuri napas Nara. Kemudian, ia melepaskan, tetapi tangannya masih menahan pinggang Nara selama beberapa detik, seolah tidak rela membiarkan pengendalinya pergi.
Nara terhuyung mundur, punggungnya berbenturan dengan dinding kaca. Ia menarik napas dalam-dalam, menormalkan detak jantungnya.
Alex membalikkan badan, berjalan ke mejanya. Ia berdiri membelakangi Nara, menekan telapak tangan ke permukaan meja dingin, berusaha mengatur napas. Ketegangan fisik di punggungnya jelas terlihat. Ia berusaha menarik kembali lapisan baja CEO-nya.
"Lima belas menit," kata Alex, suaranya kini kembali tajam dan dingin. Adegan sensual barusan terasa seperti ilusi yang mereka ciptakan bersama. "Siapkan dokumennya. Jangan sampai ada yang mencurigai apa pun."
Nara hanya bisa mengangguk, tanpa suara. Ia membetulkan blusnya yang kusut dan merapikan rambutnya. Ia meraih botol air Alex, berusaha menghindari tatapan mata.
Di antara mereka kini ada jarak fisik, tetapi ikatan obsesi yang baru terjalin terasa jauh lebih kuat. Rahasia ini adalah milik mereka, dan itu adalah rahasia yang memabukkan.
Lima belas menit kemudian, Alex Kael tampil sempurna. Kemeja kusutnya dilupakan. Ia mengenakan kembali jasnya, dasi dengan simpul sempurna. Wajahnya kembali menjadi topeng CEO yang dingin, tanpa jejak gairah.
Nara, di sisi lain, masih gemetar internal. Bibirnya terasa bengkak dan sakit, pengingat fisik yang nyata akan pelanggaran itu. Ia tahu, meskipun Alex dapat menarik kendalinya dengan cepat, ia tidak bisa.
Saat rapat investor dimulai, Nara duduk di kursi samping. Posisi yang tadinya menunjukkan kepercayaan, kini terasa seperti medan perang pribadi.
Nara menghindari tatapan Alex. Ia fokus pada setiap kata dan angka, membaca body language investor, berjuang keras untuk terlihat profesional.
Namun, ia merasakan tatapan Alex. Bukan tatapan atasan yang mengevaluasi, melainkan tatapan seorang pemilik yang memandang objek obsesinya. Tatapan itu terasa panas, menjalar, membuat bulu kuduknya meremang.
Nara tahu, jika ia mendongak, mereka akan kontak mata. Dan kontak mata itu akan memicu kilasan ingatan terlarang: dinginnya kaca, aroma keringat, dan rasa bibir Alex yang menuntut.
"Nara," suara Alex memecah konsentrasinya, tajam dan dingin.
Nara terkesiap dan mendongak cepat. "Ya, Pak?"
"Grafik di halaman tujuh belas," perintah Alex. "Tolong jelaskan sekali lagi proyeksi margin keuntungan kuartal mendatang."
Nara segera menguasai diri. Ia menjelaskan angka-angka tersebut dengan lancar. Di akhir penjelasannya, ia melihat anggukan kecil dari Alex.
"Terima kasih, Nara," kata Alex, mengakhiri presentasi Nara. Suara profesional itu terasa seperti cambuk, mengingatkannya pada batasan yang baru dilanggar.
Setelah rapat selesai dan para investor pergi, kantor kembali sunyi. Alex berdiri di ambang pintu ruang kerjanya, menunggu.
Nara membereskan meja rapat. Setiap langkahnya terasa kaku dan canggung.
"Masuk, Nara," perintah Alex pelan.
Nara menutup pintu kaca buram di belakangnya. Di ruangan itu, ia kembali mencium sisa aroma pelanggaran mereka.
Alex menanggalkan dasinya. Ia berjalan ke Nara, tetapi berhenti di jarak aman jarak profesional dua tahun mereka.
"Apa yang terjadi tadi tidak akan pernah terulang," kata Alex. Nadanya tegas, tetapi matanya mengkhianati dirinya. Matanya memohon dan menantang.
"Saya setuju, Pak," balas Nara, suaranya berusaha stabil.
"Jika ada yang tahu, karirmu hancur. Reputasiku hancur. Akuisisi Eterna bisa gagal," Alex melanjutkan, menekankan konsekuensi brutal. "Kita tidak boleh mengambil risiko itu."
"Saya mengerti risikonya," ujar Nara, menatap mata gelap Alex. Ia tidak berbicara tentang karir; ia berbicara tentang risiko emosional yang jauh lebih besar.
Alex maju satu langkah. Jarak mereka kini kurang dari satu meter. "Kita profesional. Kita akan bekerja bersama seperti biasa. Tapi... jika ada rapat malam, jika kita sendirian..." Alex berhenti.
"Maka kita akan bertindak sesuai dengan kontrak rahasia yang baru," lanjut Nara, menyelesaikan kalimat Alex.
Alex tersenyum kecil, senyuman yang jarang dan cepat, senyuman yang berbahaya. Senyuman seorang pria yang tahu bahwa ia baru saja menciptakan aturan baru yang akan ia langgar berulang kali.
"Ya. Kontrak rahasia," Alex mengulangi, langkahnya maju lagi, memaksanya berdiri tepat di depan Nara. "Kamu sudah tahu aturan mainku, Nara. Dan kamu tahu, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan."
Alex tidak menyentuh Nara, tetapi kehadirannya saja sudah cukup mencekik.
"Pulanglah. Dan lupakan ini sampai rapat berikutnya," perintah Alex.
Nara mengangguk, lalu berbalik. Saat ia membuka pintu, ia mendengar suara Alex dari belakang:
"Nara. Pastikan besok kamu menyiapkan kopi Americano-ku. Dingin."
Setelah dua bulan menenggelamkan diri dalam pekerjaan dan membangun perusahaannya, Nara kembali ke Jakarta. Bukan untuk menetap, melainkan untuk memenuhi hukuman terakhir yang ia tetapkan sendiri: menyaksikan Alex Kael terikat selamanya.Pesta pertunangan resmi Alex dan Eliza diadakan di Grand Ballroom yang mewah, menjadi puncak dari sandiwara yang telah mereka rancang. Nara tidak lagi datang sebagai 'tamu bisnis'. Ia datang sebagai pemilik perusahaannya sendiri, membawa aura kesuksesan yang dingin dan tak terbantahkan.Nara mengenakan gaun velvet berwarna hijau zamrud yang elegan dan jauh lebih mewah daripada gaun hitam di acara sebelumnya. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memancarkan kepercayaan diri yang brutal. Di lehernya, ia mengenakan kalung sederhana namun berkelas, tanpa perhiasan mencolok, ia membiarkan kesuksesannya menjadi satu-satunya aksesorisnya.Nara melangkah masuk ke ballroom yang ramai. Seketika, ia merasakan perubahan atmosfer yang familier—perhatian terf
Eliza, yang haus akan pengakuan dan stabilitas, terbius oleh penampilan Alex yang meyakinkan. Ia merasa Alex akhirnya serius. Sandiwara itu kembali berjalan, tetapi bagi Alex, setiap senyuman yang ia berikan pada Eliza adalah pengkhianatan yang ia bayar dengan rasa sakit Nara.Sementara Alex terperangkap dalam kemewahan palsunya, Nara kembali ke apartemen kecilnya di Zürich. Nara melakukan hal yang sama: memulai sandiwara baru untuk dirinya sendiri. Sandiwara kemandirian.Nara tahu, ia tidak bisa mengalahkan pengaruh Aldebaran dengan uang atau kekuasaan. Ia harus mengalahkan mereka dengan kreativitas dan inovasi. Nara mulai menggunakan laptop barunya untuk membangun jaringan profesionalnya di Eropa. Ia tidak melamar pekerjaan; ia mulai merancang proyek konsultasi independen sebuah ide brilian yang ia kembangkan saat bekerja untuk NovaTech.Proyeknya adalah tentang analisis risiko strategis untuk perusahaan-perusahaan start-up teknologi di Eropa, sebuah area yang jauh dari jangkauan Al
Alex berdiri di hadapan Nara, tubuhnya menjadi perpaduan sempurna antara ancaman dan gairah. Nara telah memaksanya meninggalkan sandiwara dan tunangannya di pegunungan, hanya untuk menghadapi kebenaran di kota yang dingin ini."Apa yang kamu inginkan, Nara?" desak Alex lagi, suaranya serak. "Kamu memanggilku ke sini dengan ancaman risiko hukum. Itu adalah kebohongan. Kamu memanggilku karena kamu ingin menghukumku.""Saya memanggil Anda ke sini karena saya butuh penutupan," balas Nara, suaranya mantap. Ia tidak berteriak; ia berbicara dengan ketenangan yang menghancurkan. "Anda menghancurkan karir saya, Alex. Anda membuat saya aset yang tidak dapat dipekerjakan di mana pun di dunia. Saya datang untuk menuntut kompensasi terakhir.""Kompensasi finansial?" tanya Alex, ia mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya. "Ambil. Ambil semua yang kamu mau. Tapi pergi!""Bukan uang," potong Nara, menatap kartu itu dengan jijik. "Uang Anda menjijikkan. Saya menuntut kebenaran. Saya menuntut Anda
Nara tiba di Zürich, Swiss. Ia memilih kota itu karena keterasingannya dari jaringan bisnis Alex dan keterkenalannya akan kerahasiaan tempat yang sempurna untuk menyembunyikan kebenaran yang berat.Udara Zürich terasa dingin dan bersih, sebuah kontras nyata dengan kekacauan yang baru saja ia tinggalkan di Jakarta. Nara menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota, jauh dari kemewahan suite yang Alex hibahkan. Ia ingin menghapus semua jejak kendali Alex dari hidupnya.Minggu pertama Nara dipenuhi dengan kesibukan yang terpaksa. Ia belajar bahasa lokal, mencari informasi tentang pasar kerja internasional, dan yang paling penting, memproses perpisahan yang brutal yang ia alami. Flash drive yang berisi semua bukti pengakuan obsesi Alex setiap kode, setiap chat, dan speech lamaran tersimpan aman di sebuah kotak tersembunyi. Itu adalah senjata pamungkasnya, yang ia harap tidak perlu digunakan.Nara tahu, Alex pasti sudah menyadari kepergiannya dan penolakan untuk dihubungi. Keheningan d
Pagi harinya, suasana di suite pertunangan terasa dingin dan beku. Alex keluar dari ruang kerjanya. Wajahnya pucat, tetapi topeng CEO telah dipasang kembali—lebih keras dan lebih tak bernyawa dari sebelumnya.Eliza sudah menunggunya di ruang tamu. Ia mengenakan gaun tidur sutra, tetapi tatapan matanya tajam dan penuh perhitungan."Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Eliza, nadanya menuntut. "Kau tidak menyentuhku. Kau mengurung diri di ruang kerja. Dan kau menyebut wanita lain saat kau sedang mabuk champagne."Alex berjalan ke minibar dan menuangkan air dingin. "Aku lelah, Eliza. Tekanan dari Ayahku dan Dewan Direksi sangat besar. Wanita yang kau maksud hanyalah asisten yang aku pecat. Aku memikirkannya karena dia adalah aset yang hilang, dan itu merugikan Aldebaran.""Bohong," balas Eliza. "Kau tidak hanya memikirkan aset. Kau marah. Kau terobsesi pada wanita itu. Dan aku melihatnya, Alex. Aku melihat bagaimana kau memegang pinggulnya saat di ballroom itu bukan sentuhan formal. I
Nara pergi, tetapi kehadirannya tertinggal di ballroom itu, menari di antara gemerlap kristal dan senyuman palsu. Alex berdiri membeku di sudut ruangan. Lengan yang baru saja ia gunakan untuk menarik Nara terasa dingin dan hampa.Tuan Kael Senior segera mendekat, matanya menyala marah. "Apa yang baru saja kau lakukan, Alex? Kau membiarkan asistenmu menghinaku dan merusak suasana! Dan kenapa dia begitu berani menolak tawaranku?""Ayah, Nona Nara Anjani adalah aset penting NovaTech," jawab Alex, suaranya tenang, tetapi terasa datar. "Aku tidak bisa memaksa staf perusahaan mitra kita. Ini adalah protokol bisnis yang baru.""Protokol omong kosong!" geram Tuan Kael Senior. "Wanita itu adalah masalah, Alex. Aku tidak percaya kau tidak menyadari betapa berbahayanya dia. Dia memancarkan rasa tidak hormat!""Dia adalah Kepala Strategi Operasional, Ayah. Dia hanya profesional," Alex menimpali, ia memaksakan dirinya untuk mempertahankan sandiwara itu. Ia tahu, setiap kata yang ia ucapkan adalah







