Alex memasuki kantor dengan aura yang tampak lebih tenang dari biasanya. Ketegangan di rahangnya sedikit berkurang.
Pukul 09.00, Alex memanggil Nara ke ruangannya.
"Nara, aku harus melakukan perjalanan bisnis mendadak. Ada masalah besar dengan investasi kita di luar negeri, di Milan," kata Alex, menunjuk ke peta kecil Italia yang tergantung di dindingnya.
Nara segera membuka tablet-nya. "Baik, Pak. Kapan keberangkatan?"
"Nanti malam. Pukul 22.00 dari Changi. Pesawat pribadi. Dan kamu ikut."
Nara mendongak, terkejut. "Saya? Bukankah seharusnya Tuan Bima dari tim keuangan yang ikut?"
"Tidak," jawab Alex tegas, tatapannya mengunci Nara. "Masalah ini melibatkan negosiasi kontrak rumit dan aku butuh seseorang yang benar-benar bisa kupercayai untuk mengurus semua detailnya. Dan itu kamu."
Nara merasakan lonjakan adrenalin. Perjalanan bisnis internasional adalah level risiko tertinggi. Berhari-hari sendirian dengan Alex di negara asing. Kontrak rahasia mereka akan diuji hingga batas maksimal.
"Baik, Pak. Saya akan menyiapkan visa dan mengatur akomodasi," kata Nara, menjaga suaranya tetap profesional.
"Akomodasi," sela Alex, dengan senyum tipis yang hanya ia tunjukkan saat mereka berdua. "Sudah kuatur. Kita akan menginap di Presidential Suite di Hotel Excelsior. Ruangan terpisah, tentu saja. Tapi... satu lantai."
Nara mengangguk, menyadari bahwa setiap detail kecil yang diucapkan Alex adalah kode. Satu lantai. Dekat. Risiko tinggi.
"Saya akan segera memesan penerbangan dan menyiapkan berkas presentasi, Pak," kata Nara.
"Bagus," Alex bersandar di kursinya. "Dan satu hal lagi, Nara. Kita akan kembali hari Kamis malam. Aku sudah mengatur jadwal untuk memastikan kita bisa mencuri waktu selama di sana."
"Mencuri waktu untuk pekerjaan, Pak?" tanya Nara, ia tidak bisa menahan nada provokatifnya.
Alex tertawa kecil, suara tawa yang jarang dan rendah, yang membuat Nara merasakan sentakan aneh. "Tentu saja, Nara. Pekerjaan. Aku punya banyak berkas yang butuh penyesuaian intensif darimu di luar jam kantor. Italia adalah tempat yang sempurna untuk menghilangkan gangguan."
Nara berbalik, tangannya mencengkeram tabletnya erat-erat. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah permainan yang berbahaya, dan Alex baru saja menaikkan taruhannya ke level internasional.
Sepanjang hari itu, persiapan untuk Milan dipenuhi dengan sinyal rahasia yang tersembunyi dalam email resmi.
Alex: "Pastikan kamu membawa pakaian yang sesuai untuk pertemuan malam hari, Nara. Kita harus tampil meyakinkan di mata investor Italia." (Kode: Bawa sesuatu yang lebih dari sekadar gaun kantor).
Nara: "Saya akan pastikan semua detail sudah diatur, Pak. Dan saya akan membawa dokumen pendukung yang tebal jika terjadi masalah yang tak terduga." (Kode: Saya siap menghadapi godaan).
Pukul 21.00, Alex dan Nara berada di lounge pribadi di bandara. Mereka duduk terpisah, menjaga jarak di depan pilot dan pengawal Alex. Namun, di bawah meja, kaki Alex bergerak dan menyentuh pergelangan kaki Nara. Sentuhan itu singkat, profesional, tetapi mengirimkan pesan yang jelas: Kita bersama dalam hal ini.
Saat naik ke pesawat pribadi yang mewah, Nara tahu, tiga hari ke depan, mereka tidak akan hanya menegosiasikan kontrak investasi, tetapi mereka akan menegosiasikan kembali batas-batas dari obsesi terlarang mereka.
Nara duduk di kursi kulitnya yang empuk. Ia mengenakan blazer longgar dan celana yang nyaman, tetapi ia merasa tidak tenang. Alex duduk tepat di seberangnya, di balik meja kecil yang berfungsi sebagai ruang kerja mini. Setelah instruksi singkat kepada pilot, Alex segera fokus pada laptopnya, memasang headset peredam bising.
Meskipun secara fisik mereka terpisah oleh meja, kehadiran Alex terasa sangat mencekik. Ia tidak mengenakan dasi, kemejanya sudah dilipat hingga siku, memperlihatkan lengannya yang tegap dan berotot. Jendela kabin memantulkan cahaya redup dari layar laptopnya, menyorot garis rahangnya yang tajam. Ia tampak berbahaya dan rentan di saat yang bersamaan.
Dua jam pertama berlalu dalam keheningan yang tegang, hanya diisi oleh suara halus mesin pesawat. Nara mencoba membaca dokumen-dokumen Eterna, tetapi setiap beberapa menit, matanya akan terangkat, menangkap Alex.
Sekitar tengah malam, Nara meletakkan dokumennya. Ia merasa dehidrasi. Ia bangkit dan berjalan ke area mini-bar di belakang kabin. Ketika ia menuangkan air ke gelasnya, Alex melepas headset-nya.
"Kenapa tidak minta pada pramugari?" tanya Alex, suaranya pelan dan menguasai ruang sunyi itu.
"Saya tidak ingin mengganggu," jawab Nara, mencoba mempertahankan formalitas.
Alex berdiri, berjalan ke Nara. Jarak mereka kini hanya beberapa inci, terperangkap di sudut kabin yang kecil. Bau cologne maskulin yang hangat itu campuran leather dan cedarwood langsung memenuhi indra Nara.
"Mengganggu?" ulang Alex. Ia mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menjadi bisikan yang panas di telinga Nara. "Aku adalah satu-satunya gangguanmu di sini, Nara. Dan kamu tahu itu."
Tanpa peringatan, Alex meraih pinggang Nara, menariknya maju hingga tubuh mereka bersentuhan. Gerakan itu cepat dan kejam, menghilangkan semua jarak yang mereka jaga. Nara terkesiap, tangannya menumpu di dada Alex untuk menyeimbangkan diri.
"Kita di pesawat, Alex," bisik Nara, ia menyebut nama depan Alex, sebuah pelanggaran yang otomatis.
"Aku tahu. Dan di sini, tidak ada tembok kaca buram, tidak ada Vira, tidak ada dewan direksi," balas Alex, suaranya serak. Ia tidak mencium Nara, ia hanya menekan dirinya ke tubuh Nara, membiarkan keintiman dari kedekatan yang tak terhindarkan itu menjadi penyiksaan yang manis.
Tangan Alex bergerak ke atas dan ke bawah pinggul Nara, menariknya semakin rapat. Nara merasakan panas yang menjalar dari perutnya. Kelelahan dari hari yang panjang, ditambah dengan adrenalin bahaya, membuat ia tak berdaya.
"Pramugari bisa"
"Mereka tidur," potong Alex, dengan nada mendominasi yang membuat Nara tidak ingin membantah. "Ini adalah waktu curian kita, Nara. Tiga hari. Jauh dari semua yang mengikat kita."
Alex akhirnya memiringkan kepalanya, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang memuaskan dan lama tertahan. Ciuman itu dalam dan penuh hasrat, sebuah pernyataan tanpa kata tentang obsesi yang tidak bisa dihentikan. Tangan Alex bergerak dari pinggul, merambat ke atas punggung Nara, menekan punggungnya dengan kuat.
Nara membalas ciuman itu, tangannya merangkul bahu Alex. Untuk sesaat, ia melupakan Milan, Eterna, dan semua risiko. Hanya ada keintiman mendalam di dalam tabung logam yang terbang tinggi di atas Samudra Hindia.
Ketika mereka terpisah untuk mengambil napas, Alex tidak melepaskan. Ia menyandarkan dahinya di dahi Nara, pandangan matanya mencari izin.
"Kamu milikku di sini," bisik Alex.
Nara duduk di ruang kerja Leo, Chief Technology Officer NovaTech. Pengakuan Leo bahwa Alex Kael secara pribadi memasang protokol pengawasan yang rumit pada setiap perangkat Nara terasa seperti cengkeraman tak terlihat di lehernya. Perpisahan mereka adalah kebohongan kontrol Alex tidak pernah berakhir, hanya berganti medium."Saya harus jujur, Nona Nara," lanjut Leo, tersenyum kecil. Ia memiliki rambut gelap dan mata tajam yang mengingatkan Nara pada kecerdasan Alex. "Protokol kustom ini tidak pernah saya lihat sebelumnya. Ada semacam backdoor tersembunyi yang memastikan Tuan Kael akan mendapat notifikasi jika ada upaya hacking terhadap perangkat Anda. Ini bukan hanya perlindungan, ini adalah kepemilikan digital."Nara mempertahankan ekspresi profesionalnya. "Saya mengerti. Tuan Alex selalu obsesif terhadap keamanan data. Saya rasa itu wajar, mengingat sensitivitas file yang saya tangani di sana.""Obsesif, ya," ulang Leo, tatapannya kini berubah menjadi ingin tahu. "Tetapi ini mela
Nara memulai hari pertamanya sebagai Kepala Strategi Operasional di NovaTech. Kantor itu terasa lebih cerah, lebih muda, dan lebih santai dibandingkan Aldebaran Corp yang dingin dan kaku. Ia duduk di mejanya yang luas, di sebuah cubicle modern dengan pemandangan kota yang berbeda. Ia harusnya merasa bersemangat dan lega, tetapi yang ia rasakan hanyalah kehampaan yang familiar.Pekerjaan barunya menantang, menuntutnya untuk segera terjun ke analisis data dan strategi ekspansi global. Nara melemparkan dirinya ke dalam pekerjaan itu, menggunakan ambisi sebagai perisai terhadap rasa sakit. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan Alex, Ayah Alex, atau Eliza.Nyonya Renata, Kepala HRD yang ramah, menghampirinya. "Nara, selamat datang. Kami sangat senang memilikimu. Ada beberapa hal yang harus kamu ketahui.""Terima kasih, Bu Renata," jawab Nara, dengan senyum profesional."Kantor ini sangat berbeda dari Aldebaran. Kami tidak seformal itu. Dan ada beberapa kebijakan istimewa yang disetujui
Di atas sofa yang sama, di mana kebenaran terlarang mereka terukir menjadi rahasia, Alex menanggapi air mata Nara dengan gairah yang menghancurkan. Ia memperdalam ciuman itu, menyalurkan semua rasa sakit, penyesalan, dan cinta yang tak mungkin ia miliki. Sentuhan tangannya di dada Nara, meskipun terhalang kain, adalah pengakuan kepemilikan yang paling jujur dan egois.Nara membiarkan sentuhan itu. Ia tahu, setiap kehangatan ini adalah harga kebebasannya, atau mungkin, harga kehancurannya. Ia membalas ciuman Alex dengan keputusasaan yang sama, mencoba menyerap setiap detik dari keintiman yang terlarang ini. Ini adalah yang terakhir sebuah bab yang harus ditutup, meskipun paru-parunya menolak untuk menarik napas setelah ini.Alex menarik diri. Wajahnya dekat dengan wajah Nara, matanya basah oleh emosi yang tertahan dan memilukan. Ia mencium setiap sudut mata Nara, mencoba menghapus jejak air mata yang ia sebabkan."Aku mencintaimu," bisik Alex, suaranya parau, penuh penyesalan.Nara men
Setelah panggilan telepon yang menghancurkan itu, Nara mematikan ponselnya. Ia tahu, Alex tidak akan menelepon lagi dalam waktu dekat. Alex telah mendapatkan validasinya, dan ia kini harus kembali mengenakan topeng CEO-nya untuk menghadapi tekanan Ayahnya. Sementara itu, Nara harus memulai babak baru mencari jarak yang aman dari bayangan Alex Kael.Pagi itu, Nara bangun dan memaksakan dirinya menyusun resume. Ia harus mengganti obsesi lama dengan ambisi baru yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan Alex.Ia mulai mengajukan lamaran ke beberapa perusahaan multinasional di sektor yang berbeda dari Aldebaran. Proses itu berjalan sangat cepat, berkat surat rekomendasi sempurna dari Alex. Hanya dalam seminggu, Nara mendapatkan panggilan untuk wawancara di sebuah perusahaan teknologi yang ambisius, NovaTech, untuk posisi Kepala Strategi Operasional. Posisi itu menantang, menuntut fokus penuh, dan yang terpenting, jauh dari jaringan bisnis Alex.Di ruang wawancara NovaTech, Nara tampi
Nara tiba kembali di Jakarta dengan perasaan hampa yang mendalam. Apartemennya terasa dingin dan sunyi, bukan lagi tempat pelarian yang nyaman, melainkan sarang dari semua kenangan terlarangnya. Ia memiliki pesangon yang besar, surat rekomendasi yang sempurna dari Alex, dan kebebasan finansial, tetapi ia tidak memiliki kekacauan yang ia butuhkan untuk merasa hidup.Ponselnya terasa berat. Saluran komunikasi pribadi mereka sunyi sejak Nara meninggalkan Singapura. Nara tahu ia tidak boleh menghubungi Alex. Aku akan menghubungimu. Jika aku butuh. Itu adalah kata-kata terakhir Alex, dan Nara harus menghormati perintah terakhir dari kontrak yang sudah berakhir itu.Namun, godaan itu begitu besar. Nara seringkali mengambil ponselnya, mengetik pesan, lalu menghapusnya lagi. Ia merindukan ketegangan di kantor, ia merindukan sentuhan lutut Alex di bawah meja, ia merindukan ciuman yang sangat bergairah yang mereka bagi di ruang direksi yang gelap. Kehampaan ini adalah harga dari keselamatannya.
Keputusan Alex untuk memecat Nara menghantamnya lebih keras daripada ancaman Ayah Alex. Itu adalah pengkhianatan terbesar bukan karena Alex memilih sandiwara, tetapi karena ia memutuskan untuk mengakhiri kebenaran terlarang mereka demi menyelamatkan Nara.Nara menatap Alex, matanya berkaca-kaca. "Anda tidak bisa melakukan ini. Anda tidak bisa memecat saya hanya karena Anda takut kehilangan kendali atas Ayah Anda!""Ini bukan karena Ayahku, Nara!" geram Alex, suaranya rendah dan penuh kesakitan. Ia meraih bahu Nara, cengkeramannya kuat. "Ini karena aku tidak bisa melindungimu lagi! Jika Ayahku mencium sedikit pun kebenaran, dia akan menghancurkanmu. Dia akan memastikan kamu tidak akan pernah bekerja di industri ini lagi. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.""Dan Anda pikir saya akan baik-baik saja tanpa Anda?" balas Nara, suaranya bergetar. "Anda pikir keterikatan sensual yang kita bagi di ruang gelap itu bisa hilang hanya dengan pesangon? Saya lebih memilih d