Bip! Bip!
Daniel menatap layar di ponselnya, sebuah titik merah berkedip dan bergerak menjauh dari Mansion Forrester. Bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. Dia tak menyangka gadis cantik di bar murahan itu akan kabur setelah sadar, bahkan setelah melihat kamar mewah yang ia tempati. Biasanya gadis-gadis menunggu kehadirannya, bernegosiasi tentang cinta atau uang, tapi Ivy berbeda. Seperti kelinci yang ketakutan, gadis itu memilih kabur. Seorang yang berjiwa pemburu seperti Daniel lebih tertarik pada mangsa yang memberontak daripada yang pasrah. Ia menjilat bibirnya sambil tersenyum penuh minat. "Ivy, kau tak akan bisa lari dariku." Bip! Pelacak tersebut berdenyut, menuju apartemen di pusat kota. Ivy membuka pancuran, meringkuk gemetar di bawah curahan air hangat. Ia menggosok tubuhnya berulang kali sampai memerah. Plak! Sang gadis menampar pipinya sendiri. "Bodoh! Dasar bodoh!" Kenapa dia harus mabuk? Kenapa dia tak bisa melawan? Ivy mengencam ketidakberdayaannya. Bam! Bam! Gedoran di pintu membuat sang gadis melonjak terkejut. Ia bergegas mematikan pancuran, meraih handuk, lalu memakai piama. "Si-siapa?" Ketukan semakin keras. Bam! Bam! Ivy mulai mundur selangkah, tak berani membuka pintu. "Si-siapa?" tanyanya lagi. "Buka!" Suara seorang wanita membuat Ivy langsung mengembuskan napas lega. Gadis itu bergegas membuka pintu. Seorang wanita paruh baya bertubuh tambun berkecak pinggang di depan pintu flatnya. Matanya mendelik tak senang. "Mana bayaran?" "Bukannya sudah dibayar, Bu?" "Mana ada, kalau sudah bayar ga mungkin saya tagih. Kamu sudah dua bulan nunggak loh!" "Apa?! Ta-tapi ...." Ivy sudah menyerahkan sewa apartemennya ke tangan Kevin setiap bulan, pria itu yang mengatakan akan mengurus semua pengeluarannya, sisanya akan menjadi tabungan bersama untuk menikah nanti. "Jadi gimana?! Bayar engga hari ini?" "Tapi Bu." "Ga ada tapi-tapian, kalau nanti malam belum ada uangnya, kamu keluar dari flat ini!" Pemilik apartemen mendengkus dan berlalu. Ivy merosot jatuh, ia mengusap wajahnya, memukul dada yang berdenyut nyeri. "Kevin, kau ...." Rahangnya berdenyut menyakitkan menahan air mata. *** Hotel Delta. Ivy berlari terburu-buru ke kamar Suite . "Kenapa baru datang? Rapikan tempat tidurnya!" Seorang wanita paruh baya memarahi Ivy. "Maaf, maaf." Ivy mengikat rambutnya ekor kuda sambil tersenyum canggung. Ia segera bekerja merapikan seluruh bagian kamar yang akan dipakai sore ini. "Sisa kamar mandi saja, kamu yang bereskan ya!" Wanita itu meninggalkan Ivy sendirian. Ivy segera beranjak ke kamar mandi, ia menghela napas berat, karena kejadian semalam, dia sampai terlambat bekerja. "Mungkin aku bisa meminjam dari Pak Richard," gumamnya penuh harap. Sang gadis terus bekerja keras. Tanpa dia sadari, di balik kalung yang dia pakai, sebuah alat pelacak kecil tertanam di sana. Daniel melangkah menuju suite yang sudah dia pesan bersama sekretaris dan dua orang bodyguard. "Kamar terbaik di sini setara bintang 3, Bos. Kita bisa memesan hotel lain." Christian merasa aneh, kenapa Daniel memilih hotel murahan ini. Daniel tak menjawab, dia malah menjentikkan jari sewaktu mereka sampai di depan kamarnya. "Apa jadwal hari ini?" "Pertemuan nanti malam di jam 9. Mereka sudah punya uangnya." "Ok. Kalian pergilah beristirahat, jam 8 jemput aku." "Baik, Bos!" Daniel membuka pintu kamar, menatap ke layar ponsel dan berjalan menuju kamar mandi dengan senyum terkembang lebar. Brak! Ivy melonjak terkejut, sikat jatuh dari tangannya. Dia berbalik cepat, melihat ke arah sumber suara. Ivy belum pernah melihat rupa setampan itu sebelumnya. Hidung yang mancung, rahang kokoh, juga mata tajam yang sewarna zamrud. "Ivy?!" Daniel mengikis jarak di antara mereka, membuat Ivy mundur hingga memepet dinding kamar mandi. "Siapa?!" Ivy berdeham bingung. Daniel menggeleng tak percaya, bukan hanya meninggalkannya, gadis ini juga melupakan wajah tampannya. Pria bertubuh tinggi itu mendekatkan wajahnya, membuat Ivy menahan napas seketika. Hidung mereka hampir bersentuhan. "Kau melupakanku? Secepat itu?" "T-Tuan! Anda pasti salah orang, aku—" Belum selesai kalimat Ivy, Daniel sudah menanamkan ciuman pada bilah bibirnya yang terbuka, membuat gadis itu terdiam. Memori kejadian semalam menghantamnya telak, mengingatkannya kembali dengan pertukaran saliva bersama pria tampan bernama Daniel. "Sekarang kau ingat siapa aku?" Daniel memisahkan bibirnya untuk meraup napas. "Da-Daniel?!" Ivy terkesiap tak percaya. "Ya, kau membuatku sedih dengan meninggalkanku pagi ini. Jadi ...." Daniel mendesah di dekat telingannya, membuat jantung Ivy sudah berdetak tak karuan. "Kita lanjutkan apa yang tak sempat kita lakukan?" "A-apa?!" Ivy menggeleng frustrasi, mendorong tubuh Daniel menjauh. "Tidak! Jangan mendekat!" "Apa?!" Daniel mengira dia salah dengar. "Tidak! Ini masih jam kerjaku, a-aku harus pergi!" Ivy bergegas keluar dari kamar mandi diikuti oleh langkah Daniel di belakangnya. Kaki Ivy terasa bagai jeli, kenapa dia bisa bertemu pria ini lagi secepat itu. "Tunggu dulu! Kau tak bisa pergi begitu saja." Daniel menarik lengan Ivy hingga gadis itu berhenti berjalan. "Maaf, Tuan! Aku tak bisa. Tidak! Aku tak mau!" Ivy menggigit bibirnya yang merah menggoda, membuat darah Daniel semakin berdesir. "Aku bisa memberikan apa pun padamu, mintalah. Jadilah gadisku." Mata hijaunya yang indah mengedip lamat-lamat, begitu menggoda. "Tuan! Semalam adalah kesalahan. A-aku tak mau melakukannya, aku bukan hostess." "Trus ...." "A-aku tak meminta apa pun. Anggap saja aku sial, ini juga salahku karena mabuk." Dia hanya ingin pergi, menjauh. Ke mana saja, tak ingin bertemu pria yang sudah merengut harga dirinya sebagai wanita. "Lupakan semua, anggap kita tak pernah bertemu." Ekspresi Daniel berubah muram. Dia kira setelah Ivy dalam kondisi sadar dan melihat rupa tampannya, gadis itu akan bertekuk lutut di bawah kakinya. Nyatanya tidak! Si gadis malah menyuruhnya melupakan malam panas mereka. "Kau tak ingin aku bertanggung jawab? Meminta ganti rugi?" Ivy menggeleng, tak berani menatap mata indah Daniel. "A-aku harus pergi!" Ivy mengempaskan tangan Daniel sekuat tenaga. Daniel tak pernah ditolak seperti ini sebelumnya. Ia langsung menarik tangan Ivy, mengempaskan tubuh sang gadis ke tempat tidur. Kedua tangan Ivy langsung ditekan di atas kepala oleh pria tampan perlente itu menggunakan sebelah tangannya yang besar. Bibir seksi Daniel tak memberinya jeda, memaksa lidahnya bermain di rongga mulut sang gadis. Saking syoknya, Ivy sampai tak sempat memberikan perlawanan. Ketika tangan pria itu merambah ke area sensitif Ivy, barulah sang gadis terkesiap dan memberontak. "Jangan, please." Setetes air mata membasahi pipinya. Daniel berhenti. Menatap tak percaya pada gadis manis di hadapannya. Bukan satu kali, tapi tiga kali Ivy sudah menolaknya. Pria tampan itu terhenyak tak percaya, apa pesonanya benar-benar tak berefek pada gadis ini? "Kau menangis?" tanyanya heran. Ivy buru-buru mengusap matanya sewaktu Daniel melepaskan kungkungan tangannya. Ia merapikan pakaian tergesa-gesa dan berlari ke arah pintu, hampir terjerembap sebelum akhirnya berhasil memegang handle untuk menyeimbangkan diri. Dalam sekejap saja, gadis pengacau itu sudah menghilang dari pandangan Daniel. "Fuck!" Daniel memaki, merasa kecewa. Hasratnya sudah di ujung tanduk, si gadis malah kabur lagi. Ia membaringkan diri di tempat tidur, melepaskan ikat pinggang dan menarik ritsletingnya turun. "Ehm." Daniel meraih bagian pribadi tubuhnya sendiri, mulai bergerak konstan. Sialan! Bau tubuh gadis itu masih menempel di seprai, membuat Daniel semakin terangsang. "Ivy ...," lirihnya parau. Rasa bibir manis gadis itu tertinggal di bibirnya, ia ingin mengecup, tidak! Ia ingin melumat habis bilah merah menggoda itu. "Ivy." Tangan Daniel bergerak semakin cepat seirama dengan deru napasnya. "Ah." Entakan pinggulnya menjadi penanda pria tampan itu telah mencapai klimaks. Daniel mengembuskan napas panjang. Sialan! Dia tak akan melepaskan gadis itu. Tidak akan!Satu meja langsung heboh mendengarnya. Mr. Jacob tertawa paling keras. Daniel dan Ivy juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagia mereka.Setelah makan malam menyenangkan itu berakhir, hari-hari berjalan dengan damai. Daniel mulai menjalani terapi untuk masokisnya, kondisi Ivy juga semakin membaik. Keduanya menjalani konseling untuk masalah berbeda.Dean tumbuh menjadi balita yang sehat. Mr. Jacob dan Nicolas selalu mengunjungi Mansion Forrester secara rutin untuk melihat Dean. Apalagi hubungan mereka semakin erat setelah Nicolas dan Priskila resmi berpacaran. Ivy merasa hidupnya sekarang jauh lebih baik, ternyata badai tak selamanya mengobrak-abrik perahu kehidupannya. Pelangi akhirnya bersinar indah.Daniel berubah drastis, selalu menjadi suami terbaik bagi Ivy. Jika dia menyerah dulu, atau tak pernah membuka hatinya, mungkin ... dia tak akan sampai di titik ini. Di mana cinta mereka akhirnya menciptakan harmonisasi rumah tangga yang baik."I love, Iv." Setiap pagi Ivy selalu diberka
Langkah kaki terdengar dari arah lorong. Pintu dapur terbuka pelan, dan Priskila masuk begitu saja tanpa memberi aba-aba. Semua kepala menoleh. Nicolas yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk terdiam, Ivy menurunkan sendoknya perlahan, dan Mr. Jacob berhenti tertawa.Daniel berdiri dari kursinya. Wajahnya langsung berubah. Ia berjalan cepat ke arah Priskila dan memeluk adik perempuannya erat. Senyum lebar terpancar di wajahnya.“Ini adikku, Priskila,” ujar Daniel sambil menoleh ke arah Nicolas.Nicolas mengangguk dan mengulurkan tangan, masih tampak sedikit kaget. Priskila menyambutnya dengan tenang, mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Senyum Priskila ramah, tubuhnya tegap, dan caranya berdiri memberi kesan percaya diri.Hari itu, Priskila mengenakan kemeja putih, dipadukan dengan rok hitam panjang. Rambutnya tergerai rapi, kulitnya terlihat bersih dan cerah. Ia tampak sangat berbeda dari terakhir kali Ivy melihatnya. Priskila sangat anggun.Meski kehadiran wanita itu tib
Ivy menjentik kepala Daniel main-main. "Nanti, kalau kau benar-benar bisa sembuh, kita bisa memikirkan anak kedua."Daniel tersenyum lebar. "Apa pun untuk Tuan Putriku, tapi ...." Daniel menangkap jari Ivy."Apa?!" "Kita tetap melakukannya selama sesi terapi. Kau tau aku tak bisa jika tak—" Bibir Daniel langsung dibungkam Ivy.Kedua pipi Ivy bersemu merah. "Tergantung ....""Tergantung apa?" Daniel menjulurkan lidah, menjilat telapak tangan Ivy, membuat wanita itu buru-buru menarik jemarinya."Kau patuh atau tidak." Daniel tertawa kecil, renyah, jantung Ivy berdebar mendengarnya. Ia ingin menggoda Daniel, tapi kenyataannya, lagi-lagi Ivy malah terbawa suasana. Wajah tampan Daniel begitu memesona, mata hijaunya yang mengerut kecil sewaktu ia tertawa, hidung mancung yang menggelitik telapak tangan Ivy, juga ... bibir merahnya, yang membuat Ivy ingin menanamkan kecupan mesra."Jangan tertawa.""Kenapa? Kau ingin mendengarku mengerang saja?" tanya Daniel jail. "Kau bisa mencobanya, di
Dalam masa pemulihan Ivy, Nicolas datang bersama ayahnya. Keduanya meminta waktu pada Daniel sejenak. Kali ini Daniel melunak, tak membantah sama sekali dan memilih meninggalkan ruangan Ivy. Ia memilih berjalan di koridor, membeli kopi instan dan duduk di ruang tunggu. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, matanya menutup sejenak. Dan setelah sekian hari terjaga demi mengurus Ivy, Daniel tertidur dengan lelap. Kaleng kopinya jatuh berguling ke lantai, membuat jejak basah, tapi pria itu sudah tak sadar lagi.Mr. Jacob memegang tangan Ivy, duduk di samping kiri brankar sementara Daniel di sisi kanan. Keduanya menatap Ivy dengan tatapan sendu."Iv, ayah minta maaf atas semua yang terjadi. Bisakah kau memaafkan ayah dan Nic?" Suara tuanya bergetar pelan.Ivy mengulas senyum tulus, membuat Nicolas menarik napas dalam. "Tidak," jawabnya pelan."Apa?" Nicolas terkejut."Tidak sampai kalian akur dengan Daniel, jangan lagi ada pertikaian atau perebutan apa pun di antara kalian. Aku manusia A
Ivy berdiri di tempat yang gelap. Tidak ada dinding, tidak ada langit, hanya permukaan basah dan dingin di bawah kakinya. Udara di sekelilingnya begitu sunyi, tapi terasa berat. Di kejauhan, dia melihat sosok Daniel. Punggung pria itu menjauh perlahan, langkahnya tertatih.Pakaian Daniel berlumur darah. Bahunya terguncang setiap kali ia melangkah, tubuhnya miring seperti menahan rasa sakit yang besar. Ivy mencoba memanggilnya, tapi suaranya tak keluar. Ia mengangkat tangan, berusaha berlari, tapi kakinya terasa berat seperti ditanam di tanah. Setiap langkahnya lambat, seperti mendorong tubuh melawan air.Daniel terus menjauh. Ivy menggapai udara kosong, matanya basah. Tangisnya pecah dalam diam. Ia tak bisa mendekat. Tak bisa menyentuh. Tak bisa menahannya pergi.Saat jarak antara mereka semakin jauh, Daniel menoleh sebentar. Wajahnya pucat, tatapannya kosong, lalu ia membalikkan tubuh lagi dan terus berjalan. Ivy merasakan dadanya sesak. Ia berteriak dalam hati, lalu tubuhnya tersent
Dor! Satu tembakan mengenai lengan atas Daniel. Pria itu terjerembap jatuh bersama teriakan memilukan Ivy."Daniel!" Ivy melindungi tubuh suaminya dengan badannya sendiri."Iv, pergilah." Daniel berusaha mendorong Ivy menjauh, dia harus membereskan Nicolas di sini. Hidup atau mati."Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu, tidak lagi." Ivy berbalik menghadap Nicolas, berdiri dengan kedua tangannya direntangkan."Ivy! Ini masalah antar lelaki! Menjauhlah!" Nicolas berjalan semakin dekat. Ivy merasa putus asa tak bisa melakukan apa pun. Tidak! Dia tak ingin menjadi wanita lemah lagi, tidak lagi!Wanita itu merangsek maju tiba-tiba, memeluk tubuh Nicolas dan berusaha merebut pistolnya. Daniel yang melihat hal tersebut segera mendekat untuk membantu.Sayangnya sebelum dia bisa terlibat suara tembakan terdengar keras."Ivy ... kenapa? Kau ...." Mata Nicolas membelalak tak percaya. "Tidak ada lagi ... yang harus diperebutkan. Aku ... tak mau melihat ada yang mati lagi." Ivy berdenguk, darah m