Mobil La Rose Noire Droptail berwarna merah itu berhenti di depan Ivy. Pintunya terbuka dan menampilkan sepatu kulit mahal dari sang pemilik.
Daniel Forrester berdiri di hadapan Ivy dengan tangan terulur padanya. "Aku datang menjemput pengantinku." Ia menunggu sampai Ivy menerima uluran tangannya. Dalam sekali sentakan, pria itu menarik Ivy ke dalam pelukan hangat. "Daniel ...." Ivy terkesiap. "Kau bisa menangis di dadaku." Dengan perlahan, pria tampan itu menepuk punggung Ivy. Rahang Ivy berkedut, menahan gejolak emosi. Air matanya tak bisa dibendung, dia kembali menangis pedih, memeluk tubuh Daniel seperti memeluk sekoci di lautan lepas. Pria ini, adalah tempat dia menggantungkan hidup, mulai dari sekarang. "Ayo!" Daniel mengurai pelukan mereka, membukakan pintu bagi Ivy. Sang gadis begitu terpukau dengan interior mewah yang berwarna senada dengan cat mobil. Indah. Elegan. Mahal. Dia jadi takut mengotori jok, mengingat tadi sempat duduk di pinggir jalan. "Kenapa? Kau tak suka dengan mobil ini?" Daniel menyadari ekspresi Ivy setelah masuk ke dalam mobil. "Bu-bukan begitu." Ivy bergerak canggung. "Nanti kita pilih mobil yang kamu suka." "Hah?! Apa?!" Daniel tersenyum memesona. "Mulai sekarang, kamu ga usah khawatir apa pun. What's mine is yours." Ivy mengedipkan matanya lamat-lamat, merasa canggung. Bolehkah dia mengecap kebahagiaan ini? Hidup mandiri selama lebih dari 20 tahun membuat Ivy merasa tak nyaman menerima pemberian orang. "Kita ke mana sekarang?" "Home," jawab Daniel. "Rumahmu?" "Rumah kita." "But Daniel ...." Jantung Ivy berdetak tak karuan. "Hm?!" "Bisakah kita tak melakukan hubungan sampai resmi menikah?" "Why? Jangan kuatir, aku pasti menikahimu." "Please, sebenarnya aku ingin menyerahkan tubuhku pada suamiku kelak, tapi karena kejadian itu ...." "Ah ...." Daniel mengangguk mengerti. Wanita memang makhluk penuh perasaan. "Okay." Ivy langsung menarik napas lega mendengar persetujuan pria tampan itu. Mereka sampai di mansion mewah berlantai 5, Ivy dibawa ke sebuah kamar indah di lantai 3. Sang gadis memilih membersihkan diri karena Daniel bilang akan makan malam dengannya satu jam lagi. Tok! Tok! Ivy terkesiap terkejut, baru saja selesai memakai gaun tidur. Kepalanya berdenyut-denyut sekarang, mungkin karena dia terlambat makan dan kelelahan. Ivy merasa pusing. "Ya!" "Nona, Tuan Daniel mengundang Anda makan malam sekarang." "Baik!" Ivy bergegas membuka pintu. "Mari ikuti saya Nona Ivy." Pelayan paruh itu menunjukkan jalan. Ivy dibawa masuk ke dalam lift. Tiba-tiba alat komunikasi serupa walki talkie yang dipegangnya berbunyi statis. "Kami butuh bantuan di lantai 2." Pelayan itu segera menekan tombol ke lantai 2, dia kembali menekan tombol di device-nya. "Tolong tunggu Nona Ivy di lift lantai satu." Lift berhenti di lantai 2. Sang pelayan membungkuk hormat. " Maaf, Nona Ivy. Silakan turun ke lantai 1, nanti pelayan lain yang akan membawa Nona ke ruang makan." "Ah, ya. Tak masalah." Ivy mengangguk mengerti. Ia berniat menekan tombol lantai satu, tapi tubuhnya limbung dan tanpa sengaja tangannya malah menekan tombol ke basement. Pintu lift menutup. Ivy yang masih tak sadar memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri. Ting! Pintu lift berdenting terbuka, mata Ivy membelalak tak percaya dengan pemandangan di hadapannya. Ia melangkah keluar kebingungan. Di dalam ruang bawah tanah yang luas, barisan mobil mewah terparkir dengan rapi, masing-masing menampilkan kilauan yang memantul dari lampu penerangan overhead yang terang. Setiap mobil, dari merek ternama seperti Ferrari hingga Lamborghini, berdiri dengan bodi yang mengilap, dicat dengan warna-warna mencolok seperti merah ruby dan hitam pekat. Jendela-jendela mobil tampak seperti cermin, begitu bersih dan jernih sehingga membiaskan cahaya yang menerpa. Ban-ban mobil tampak belum terjamah, dengan garis-garis tapak yang masih sempurna. Ivy berjalan mengagumi mobil-mobil tersebut. Tak ada pelayan di sini, ke mana mereka? Apa dia salah lantai? Di ujung ruangan Ivy melihat sebuah pintu besar. Ia melangkah gugup ke sana. "Hallo!" panggilnya, perlahan membuka pintu kayu tersebut. Ruangan itu gelap gulita, jantung Ivy mulai berdetak takut. Dia menoleh ke arah pintu lift di kejauhan yang sudah menutup. Apa sebaiknya dia kembali ke sana dan naik ke lantai atas? Namun penasaran menghantuinya, tangannya menyentuh dinding di samping pintu, sebuah saklar teraba. Tak! Lampu segera menerangi ruangan, Ivy terpana melihat sebuah tempat tidur besar, tidak! Sangat besar, sekitar dua kali king size mendominasi isi kamar. Rantai-rantai borgol bergantung canggung di dinding, begitu juga dengan tali-tali yang digulung rapi di samping rantai. "Tempat apa ini?" Ivy menatap tak percaya pada kaca raksasa yang memenuhi dinding, tepat di hadapan tempat tidur besar tersebut, membuat siapa pun yang tidur di sana bisa melihat dirinya dengan jelas. Tidak! Kaca tak hanya berada di dinding, tapi juga di atas langit-langit. Ivy berputar, menatap sekeliling dengan takjub. Di meja panjang di sudut, puluhan botol-botol baby oil terpajang rapi, juga puluhan kotak-kotak tisu dan tube-tube aneh tanpa keterangan apa pun. Ivy berjalan menghampiri meja tersebut, ia penasaran dengan begitu banyak laci di bawah meja. Tangannya bergerak membuka salah satu laci di baris pertama. "Nona Ivy!" Seruan itu membuat Ivy terkejut, dia menoleh ke pintu. Seorang pelayan dengan napas ngos-ngosan berlari menghampirinya. "Nona, bukan di sini tempatnya. Mari saya antar!" Dia menggandeng lengan Ivy cepat, hampir menyeret gadis itu keluar dari kamar aneh ini. "Tempat apa itu?" tanya Ivy saat mereka sampai di lift. Si pelayan mengusap keningnya yang penuh peluh, dia berdeham canggung, berusaha tersenyum ramah, tapi malah kelihatan seperti menyeringai. "Itu kamar untuk syuting. Tim iklan sering ke sana untuk syuting mobil-mobil mewah." "Oh, begitu." Ivy merasa jawaban pelayan masuk akal, tapi dia masih merasa aneh dengan baby oil, tisu, dan juga rantai borgol di dinding. Untuk apa semua benda tersebut yang sama sekali tak berhubungan dengan kendaraan. Pelayan membawanya ke ruang makan. Di sana Daniel dengan busana kasual terlihat memesona. "Sebelum kita makan, ada sesuatu yang ingin kubicarakan." Daniel menuntun Ivy duduk. Ia meletakkan sebuah dokumen di hadapan gadis itu. "Ini adalah dokumen pelunasan semua utang-utangmu." Dengan gugup Ivy meraih dokumen dan membacanya dalam hati. Kata Lunas membuat Ivy mengembuskan napas lega. "Dan ini ... adalah surat perjanjian kita." Daniel meletakkan sebuah surat perjanjian. Ivy meneguk saliva. "Tanda tangan di sini." "Untuk apa?!" "Ivy Sayang." Daniel menunduk hingga dagunya hampir menyentuh bahu Ivy. "Aku seorang pengusaha, kau tentu tahu, kami tak melakukan transaksi tanpa kepastian. Dengan surat ini, kau tak bisa ingkar janji setelah aku melunasi semua utang-utangmu." Daniel meraih tangan Ivy, menyelipkan pena ke sana. Jantung Ivy berdentum kalut, instingnya menderingkan peringatan. Jika dia tanda tangan sekarang, dia tak akan bisa melarikan diri dari Daniel. Pikirannya kembali memutar visual kamar aneh tersebut. "Kenapa? Kau ragu sekarang?" Daniel mengecup pipinya. Napas panasnya menerpa telinga Ivy. "A-aku ...." "Jangan ragu, aku janji ... akan memperlakukanmu dengan baik, membuatmu jatuh cinta padaku." Tangan Daniel menggenggam tangan Ivy, mengarahkan gadis itu untuk tanda tangan.Satu meja langsung heboh mendengarnya. Mr. Jacob tertawa paling keras. Daniel dan Ivy juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagia mereka.Setelah makan malam menyenangkan itu berakhir, hari-hari berjalan dengan damai. Daniel mulai menjalani terapi untuk masokisnya, kondisi Ivy juga semakin membaik. Keduanya menjalani konseling untuk masalah berbeda.Dean tumbuh menjadi balita yang sehat. Mr. Jacob dan Nicolas selalu mengunjungi Mansion Forrester secara rutin untuk melihat Dean. Apalagi hubungan mereka semakin erat setelah Nicolas dan Priskila resmi berpacaran. Ivy merasa hidupnya sekarang jauh lebih baik, ternyata badai tak selamanya mengobrak-abrik perahu kehidupannya. Pelangi akhirnya bersinar indah.Daniel berubah drastis, selalu menjadi suami terbaik bagi Ivy. Jika dia menyerah dulu, atau tak pernah membuka hatinya, mungkin ... dia tak akan sampai di titik ini. Di mana cinta mereka akhirnya menciptakan harmonisasi rumah tangga yang baik."I love, Iv." Setiap pagi Ivy selalu diberka
Langkah kaki terdengar dari arah lorong. Pintu dapur terbuka pelan, dan Priskila masuk begitu saja tanpa memberi aba-aba. Semua kepala menoleh. Nicolas yang sedang menyendokkan sup ke mangkuk terdiam, Ivy menurunkan sendoknya perlahan, dan Mr. Jacob berhenti tertawa.Daniel berdiri dari kursinya. Wajahnya langsung berubah. Ia berjalan cepat ke arah Priskila dan memeluk adik perempuannya erat. Senyum lebar terpancar di wajahnya.“Ini adikku, Priskila,” ujar Daniel sambil menoleh ke arah Nicolas.Nicolas mengangguk dan mengulurkan tangan, masih tampak sedikit kaget. Priskila menyambutnya dengan tenang, mata mereka saling bertemu untuk beberapa detik. Senyum Priskila ramah, tubuhnya tegap, dan caranya berdiri memberi kesan percaya diri.Hari itu, Priskila mengenakan kemeja putih, dipadukan dengan rok hitam panjang. Rambutnya tergerai rapi, kulitnya terlihat bersih dan cerah. Ia tampak sangat berbeda dari terakhir kali Ivy melihatnya. Priskila sangat anggun.Meski kehadiran wanita itu tib
Ivy menjentik kepala Daniel main-main. "Nanti, kalau kau benar-benar bisa sembuh, kita bisa memikirkan anak kedua."Daniel tersenyum lebar. "Apa pun untuk Tuan Putriku, tapi ...." Daniel menangkap jari Ivy."Apa?!" "Kita tetap melakukannya selama sesi terapi. Kau tau aku tak bisa jika tak—" Bibir Daniel langsung dibungkam Ivy.Kedua pipi Ivy bersemu merah. "Tergantung ....""Tergantung apa?" Daniel menjulurkan lidah, menjilat telapak tangan Ivy, membuat wanita itu buru-buru menarik jemarinya."Kau patuh atau tidak." Daniel tertawa kecil, renyah, jantung Ivy berdebar mendengarnya. Ia ingin menggoda Daniel, tapi kenyataannya, lagi-lagi Ivy malah terbawa suasana. Wajah tampan Daniel begitu memesona, mata hijaunya yang mengerut kecil sewaktu ia tertawa, hidung mancung yang menggelitik telapak tangan Ivy, juga ... bibir merahnya, yang membuat Ivy ingin menanamkan kecupan mesra."Jangan tertawa.""Kenapa? Kau ingin mendengarku mengerang saja?" tanya Daniel jail. "Kau bisa mencobanya, di
Dalam masa pemulihan Ivy, Nicolas datang bersama ayahnya. Keduanya meminta waktu pada Daniel sejenak. Kali ini Daniel melunak, tak membantah sama sekali dan memilih meninggalkan ruangan Ivy. Ia memilih berjalan di koridor, membeli kopi instan dan duduk di ruang tunggu. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, matanya menutup sejenak. Dan setelah sekian hari terjaga demi mengurus Ivy, Daniel tertidur dengan lelap. Kaleng kopinya jatuh berguling ke lantai, membuat jejak basah, tapi pria itu sudah tak sadar lagi.Mr. Jacob memegang tangan Ivy, duduk di samping kiri brankar sementara Daniel di sisi kanan. Keduanya menatap Ivy dengan tatapan sendu."Iv, ayah minta maaf atas semua yang terjadi. Bisakah kau memaafkan ayah dan Nic?" Suara tuanya bergetar pelan.Ivy mengulas senyum tulus, membuat Nicolas menarik napas dalam. "Tidak," jawabnya pelan."Apa?" Nicolas terkejut."Tidak sampai kalian akur dengan Daniel, jangan lagi ada pertikaian atau perebutan apa pun di antara kalian. Aku manusia A
Ivy berdiri di tempat yang gelap. Tidak ada dinding, tidak ada langit, hanya permukaan basah dan dingin di bawah kakinya. Udara di sekelilingnya begitu sunyi, tapi terasa berat. Di kejauhan, dia melihat sosok Daniel. Punggung pria itu menjauh perlahan, langkahnya tertatih.Pakaian Daniel berlumur darah. Bahunya terguncang setiap kali ia melangkah, tubuhnya miring seperti menahan rasa sakit yang besar. Ivy mencoba memanggilnya, tapi suaranya tak keluar. Ia mengangkat tangan, berusaha berlari, tapi kakinya terasa berat seperti ditanam di tanah. Setiap langkahnya lambat, seperti mendorong tubuh melawan air.Daniel terus menjauh. Ivy menggapai udara kosong, matanya basah. Tangisnya pecah dalam diam. Ia tak bisa mendekat. Tak bisa menyentuh. Tak bisa menahannya pergi.Saat jarak antara mereka semakin jauh, Daniel menoleh sebentar. Wajahnya pucat, tatapannya kosong, lalu ia membalikkan tubuh lagi dan terus berjalan. Ivy merasakan dadanya sesak. Ia berteriak dalam hati, lalu tubuhnya tersent
Dor! Satu tembakan mengenai lengan atas Daniel. Pria itu terjerembap jatuh bersama teriakan memilukan Ivy."Daniel!" Ivy melindungi tubuh suaminya dengan badannya sendiri."Iv, pergilah." Daniel berusaha mendorong Ivy menjauh, dia harus membereskan Nicolas di sini. Hidup atau mati."Tidak! Aku tak akan meninggalkanmu, tidak lagi." Ivy berbalik menghadap Nicolas, berdiri dengan kedua tangannya direntangkan."Ivy! Ini masalah antar lelaki! Menjauhlah!" Nicolas berjalan semakin dekat. Ivy merasa putus asa tak bisa melakukan apa pun. Tidak! Dia tak ingin menjadi wanita lemah lagi, tidak lagi!Wanita itu merangsek maju tiba-tiba, memeluk tubuh Nicolas dan berusaha merebut pistolnya. Daniel yang melihat hal tersebut segera mendekat untuk membantu.Sayangnya sebelum dia bisa terlibat suara tembakan terdengar keras."Ivy ... kenapa? Kau ...." Mata Nicolas membelalak tak percaya. "Tidak ada lagi ... yang harus diperebutkan. Aku ... tak mau melihat ada yang mati lagi." Ivy berdenguk, darah m