Raisa pergi meninggalkan hotel dengan menggunakan taksi. Tadi dia dipaksa diantar Rylan, tapi dia menolak dengan tegas. Beruntung Rylan tidak memaksanya lagi. Sekarang tatapannya menatap keluar jendela—memperhatikan pemandangan di luar sana dengan tatapan mata kosongnya.
Air mata yang sejak tadi ditahan itu lolos juga. Raisa sudah tak mampu membendungnya lagi, dia mengusap kedua pipinya dengan kasar. Luka yang masih basah, kini semakin basah dengan hadirnya Rylan—pria yang tidak pernah ingin dia jumpai. Rylan adalah pria yang dirinya anggap sudah mati dan tak layak untuk diingat lagi.
Raisa turun dari taksi usai tiba lobi apartemennya, lalu tiba-tiba raut wajahnya terkejut melihat mantan tunangannya ada di hadapannya.
“Raisa tunggu! Aku bisa jelaskan semuanya padamu!” seru Garry sambil menahan tangan Raisa.
Raisa menepis kasar tangan pria itu. “Dan aku pikir tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!” jawabnya keras.
Garry tampak putus asa melihat kemarahan di wajah Raisa. “Raisa, dengarkan aku dulu. Aku dijebak, aku benar-benar tidak selingkuh. Kau harus percaya padaku. Aku mohon padamu.”
Raisa ingin tertawa mendengar apa yang Garry katakan. “Maksudmu, kau tidak selingkuh, tapi hanya tidur dengan adikku? Iya?!”
“Raisa, listen—”
“Stop, Garry! Aku bukan wanita idiot! Kedua mataku melihat apa yang sudah kau lakukan dengan adikku sendiri! Jangan menjadi pria pecundang!” Nada bicara Raisa bergetar kala mengatakan itu. Hatinya sakit akan pengkhianatan tunangannya dan adik kandungnya sendiri. Jika saja Garry berkhianat dengan wanita lain, maka dia tak akan merasakan sesakit ini.
Garry mengusap wajahnya dengan tangannya kasar. “Raisa, aku minta maaf dan aku berani bersumpah, aku dijebak oleh Jenny. Kau harus percaya padaku, Aku sangat mencintaimu, Raisa!”
“Omong kosong! Lebih baik kau pergi dari sini, hubungan kita sudah berakhir!” Raisa hendak melangkahkan kakinya, tapi Garry terus menahannya, bahkan pria itu berusaha memeluk Raisa.
“Lepaskan aku, Garry. Pergi sekarang, sebelum aku berteriak!” bentak Raisa keras.
“Tidak, Raisa, kau harus percaya padaku. Aku benar-benar dijebak, dan aku tidak mungkin mengkhianatimu, Raisa.” Pria itu masih bersikukuh pada pendiriannya, dia terus berusaha meyakinkan Raisa jika yang dilakukannya memang tidak salah. Semuanya hanya salah paham.
“Pergi!” bentak Raisa lagi, tapi sepertinya Garry tidak peduli dengan ucapan Raisa.
Raisa masih berusaha untuk melarikan diri, tapi Garry terus menarik tubuh wanita itu hingga terjatuh ke dalam dekapannya. Raisa tidak sebodoh itu, dia menginjak kaki Garry hingga pria itu merasa kesakitan.
Garry semakin emosi, dia justru menarik tangan Raisa dengan kasar hingga membuat wanita itu hampir terjatuh. Namun, dengan sigap Garry menahan tubuh Raisa, memeluknya dengan erat.
“Kau sudah gila, lepaskan aku, Garry!” Sekuat tenaga Raisa mencoba melepaskan tangan Garry yang cukup kuat saat memeluknya.
BUGH!
Garry mendapatkan sebuah pukulan tiba-tiba dari seorang pria asing, saat dia berusaha menarik Raisa kembali. Garry terkejut dan tidak terima dengan perlakuan pria yang baru saja datang.
“Apa kau tuli? Kau tidak dengar dia memintamu untuk pergi?” seru Rylan muncul dengan sorot mata yang begitu tajam, aura dingin terlihat begitu jelas di wajah pria tampan itu.
“Siapa kau? Ini tidak ada hubungannya denganmu! Lebih baik kau pergi!” bentak Garry tak terima, lalu pria itu berusaha memukul Rylan.
Rylan menepis pukulan Garry. Tubuh Rylan yang lebih besar dari Garry membuatnya mudah untuk menghadapi pria yang ada di hadapannya itu. Tampak Raisa merasa terkejut saat melihat Rylan ada di sana.
“Pergi dari sini, atau aku akan menghabisimu!” desis Rylan tajam, dengan penuh ancaman yang tak main-main pada Garry.
Garry tidak terima, wajah menantang Rylan masih terlihat jelas. Namun Rylan justru semakin tajam menatap Garry yang keras kepala, sorot mata seperti ingin membunuh. Kedua tangan Rylan terkepal dengan erat, membuat urat-urat di tangan terlihat dengan jelas, menunjukkan siap untuk memukul Garry kapan saja, tidak peduli jika harus terjadi pertumpahan darah di sini.
Anak buah Rylan sudah berada di belakang tuan mereka. Garry jelas melihatnya, dia semakin tak memiliki harapan untuk menahan Raisa. Jelas dia akan kalah jika harus berhadapan dengan orang-orang yang ada di hadapannya itu.
Garry menatap Raisa penuh dengan ketegasan. “Urusan kita belum selesai, Raisa. Aku akan menemuimu lagi,” ucapnya sebelum pria itu benar-benar pergi meninggalkan Raisa.
“Ikut aku.” Rylan langsung menarik tangan Raisa usai melihat Garry sudah benar-benar pergi dari hadapan mereka berdua. Pria itu mengajak Raisa masuk ke dalam gedung apartemen.
Raisa terkejut akan tindakan Rylan yang menarik kasar tangannya. Berkali-kali dia berusaha berontak, tapi tetap tidak menuaikan hasil apa pun. Tenaganya bagaikan kapas jika dibandingkan Rylan.
“Rylan, mau apa kau?! Lepaskan aku!” seru Raisa kesal.
Rylan tak mengindahkan ucapan Raisa, dia masuk ke dalam apartemen Raisa, dan melepaskan cengkeraman tangannya di tangan wanita itu.
“Untuk apa kau ke sini, Rylan?! Pergilah. Aku tidak ingin diganggu!” seru Raisa lagi.
“Aku mendengar percakapanmu dengan pria tadi,” ucap Rylan tak mengindahkan ucapan Raisa. Dia sengaja mengikuti Raisa, tapi siapa sangka, ternyata dirinya mendengar percakapan serius antara Raisa dan mantan wanita itu.
Raisa memejamkan mata singkat. “Kau dan aku tidak memiliki hubungan apa pun. Jangan ikut campur urusanku.”
Rylan tak langsung menjawab ucapan Raisa. Pria itu tahu sekeras apa pun dia berusaha membujuk Raisa, tetap saja wanita itu pasti tidak akan bercerita padanya. Detik selanjutnya, dia memutuskan melangkah menelusuri apartemen Raisa.
Sudah bertahun-tahun lamanya Rylan tak mendatangi apartemen wanita itu. Sorot matanya masih mengamati apa yang ada di depan kedua matanya. Tatapan dalam dan memiliki makna yang luas seluas semudera.
Raisa yang tahu Rylan menatap kondisi apartemennya—wanita itu langsung berdiri di depan Rylan seraya berkacak pinggang. “Lebih baik kau pergi dari sini, Rylan! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!” serunya mengusir Rylan untuk pergi.
Rylan masih terlihat tenang, dia bahkan tidak mengindahkan ucapan Raisa. Dia itu masih memandang lukisan pemberiannya, dan membuat Raisa kini sekarang melihat apa yang sedang dia lihat.
“Kau masih menyimpan lukisan dariku,” ucap Rylan dengan nada tenang.
Raisa kikuk salah tingkah. “Lukisan itu belum sempat aku buang!”
Rylan menoleh menatap Raisa yang tampak jelas menutupi sesuatu darinya. Pria tampan itu mendekat. Refleks, Raisa mundur hingga tubuhnya menempel dinding. Jarak di antara mereka sangat dekat.
“R-Rylan! A-apa yang kau lakukan?” tanya Raisa gugup dan panik.
Rylan mendekatkan bibirnya ke telinga Raisa dan berbisik, “Teruslah berbohong. Aku tahu namaku tidak pernah hilang dari hatimu, Raisa. Bahkan meski kau sudah memiliki kekasih sekalipun, namaku tetap memiliki tempat sendiri di hatimu.”
Raut wajah Raisa berubah mendengar ucapan Rylan. “Gila! Kau sudah gila! Aku bahkan sangat membencimu!” jawabnya menekankan.
Rylan tersenyum miring, menunduk memberikan kecupan singkat di bibir Raisa. “Ya, kau benar. Aku sudah gila. Sudah bertahun-tahun berpisah darimu, aku tetap menginginkanmu,” ucapnya, lalu melangkah pergi.
Raisa bergeming di tempatnya dengan wajah yang sudah memucat panik.
“What? Jadi, Rylan berhasil melumpuhkan dua orang penjahat? Astaga, aku tidak menyangka dia tetap masih hebat dan keren!”Komentar Winona begitu kagum pada sosok Rylan. Dia baru saja diberi tahu oleh Raisa tentang kejadian penyerangan waktu itu. Meski awalnya Winona panik, tetapi Raisa menjelaskan dengan jelas bahwa Rylan mampu melawan bahkan melumpuhkan dua penjahat sekaligus.Ya, pagi itu Raisa sedang menikmati secangkir susu cokelat hangat, dan Winona ternyata datang ke apartemennya. Well, dia masih sama masih menjadi pengangguran. Dia masih tahu apa yang harus dia lakukan. Namun, tetap meski demikian dia mencoba untuk tetap menikmati kehidupan ini.“Jujur, aku ingin sekali tahu siapa penjahat yang ingin mencelakai Rylan,” jawab Raisa dengan embusan napas panjang.Winona menatap Raisa saksama. “Apa kau mencemaskan keadaan Rylan? Maksudku, kau takut Rylan dalam bahaya?” tanyanya meledek.Raisa yang menyadari pertanyaan Winona langsung menggelengkan kepalanya tegas. “Tentu saja aku t
Botol wine telah pecah dan berserakan di lantai. Aroma anggur mahal begitu kental di ruangan itu. Tampak Omari, asisten pribadi Garry nyari menjadi korban kemarahan Garry Lawson. Dia berdiri di dekat botol wine yang telah pecah akibat tuannya melempar botol wine—dan mengenai dinding. Bisa dikatakan nyaris mengenai dirinya.“Kenapa orang bayaran kita idiot sekali!? Bisa-bisanya kalah hanya melawa satu orang saja!” bentak Garry, dengan sorot mata tajam, dan napas memburu menunjukkan kemarahan yang berkobar di dalam diri.Omari menundukkan kepalanya, di kala mendapatkan amarah besar dari tuannya itu. “Tuan, maaf saya tidak tahu kalau ternyata Rylan Blackburn cukup hebat dalam bela diri. Jika saya tahu dari awal, saya pasti akan menyiapkan pembunuh bayaran lebih banyak lagi untuk melumpuhkannya.”“Aku tidak mau mendengar ucapan maafmu! Yang aku mau tahu adalah hasil dari rencana yang tersusun sempurna, Bodoh!” bentak Garry lagi.Omari tetap menundukkan kepala. “Tuan, dua pembunuh bayaran
Aroma anyir darah semerbak tercium. Penjahat yang menyerang Rylan tewas di tempat. Raisa yang melihat penjahat itu tewas di tempat, dia langsung dilingkupi ketakutan. Bahkan kakinya seakan seperti jelly yang tak bisa berdiri tegak. Tepat di kala Raisa nyaris pingsan—Rylan dengan sigap merengkuh bahu wanita itu. “R-Rylan—” Lidah Raisa mendadak kelu. Tenggorokannya tercekat melihat para penjahat yang menyerang Rylan telah merenggang nyawa. Hal yang paling mengejutkan adalah di kala satu orang penjahat tersisa, tapi ada tembakan dari jarak jauh—membuat penjahat yang tersisa itu juga merenggang nyawa.Rylan tak berkata apa pun. Pria tampan itu trus memeluk tubuh Raisa, seraya mengendarkan pandangan ke sekitar. Penembak jarak jauh sudah pergi, dan dia tak bisa mengejar. Alasan kuat dia memilih tak mengejar adalah agar Raisa tidak berada dalam bahaya.Rylan berada di tempat itu, diserang ketika bersama dengan Raisa. Dia ingin bertindak lebih, tetapi fokus utamanya adalah membuat Raisa aman
Raut wajah Raisa berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Rylan. Lidahnya tak tahan untuk menyela, tetapi semua itu seakan tertahan di tengorokannya—tak mampu mengeluarkan kata sedikit pun. Dia memilih untuk membuang muka, dan tak mau lagi menatap Rylan.Rylan tersenyum, melihat Raisa membuang pandangan padanya. Dia selalu gemas akan sifat Raisa. Dia memutuskan untuk tak lagi menggoda wanita itu. Dia menikmati makanan terhidang sembari menatap wanita itu yang tampak memasang wajah ketus.Tak selang lama, tepatnya ketika makanan sudah habis disantap, Rylan membayar bill makanan. Lantas, tanpa permisi, dia menggenggam tangan Raisa, membawa wanita itu masuk ke dalam mobilnya.Raisa memasang wajah dingin, di kala tangan Rylan menggenggam tangannya. Dia bermaksud untuk melepaskan genggaman tangan pria itu, tetapi entah dia tak mengerti kenapa hatinya seakan tak ingin genggaman itu terlepas.Raisa bagaikan hewan yang patuh di kala tangan Rylan terus memberikan genggaman erat. Dia mengumpat
Pagi menyapa, Raisa bersantai di apartemen seraya menonton salah satu film action. Wanita cantik itu sudah bangun sejak awal, akibat pikiran yang sedang kacau. Perkataan Jenny, adiknya yang sialan itu berputar di pikirannya. Sialnya, dia belum mendapatakan petunjuk tentang bukti perselingkuhan Garry dan Jenny.Raisa menyesal saat memergoki Garry dan Jenny berhubungan intim, dia tak mengambil gambar. Ah, betapa bodohnya dia. Pun dia tak pernah tahu adiknya akan balik menyerang dirinya. Dia terlalu bodoh, berpikir adiknya pasti akan merasa tersudut. Ternyata di sini keadaan bisa diputar.Suara bell berbunyi. Raisa berdecak kesal. Wanita itu berharap yang datang bukan adiknya. Oh, God, jika adiknya yang datang, rasanya dia ingin menusuk belati ke jantung adiknya yang sialan itu. Andai saja membunuh tidak dihukum penjara, maka dia pasti akan membunuh adiknya yang berhati iblis.“Semoga bukan kau yang datang, Jalang!” gumam Raisa kesal, sambil berdoa bukan adiknya yang datang. Dia lelah ji
“Apa rencanamu, Raisa?” Winona, sahabat baik Raisa, mendatangi Raisa lagi ke apartemen. Wanita itu dilanda keterkejutan akan fakta di mana Raisa one night stand dengan Rylan Blackburn. Pun dia bermaksud ingin selalu di samping sahabatnya itu dalam kondisi rumit seperti sekarang ini.“Aku ingin sekali meninggalkan kota ini,” jawab Raisa dengan embusan napas panjang, dan memejamkan mata lelah. Dia merasa lelah, dengan segala masalah yang ada dalam dirinya.Kening Winona mengerut dalam. “Kau ingin ke mana? Keluargamu tinggal di sini, Raisa,” ujarnya dengan nada bingung.“Pilihanku jatuh pada New York. Aku ingin segera meninggalkan Chicago, dan menetap tinggal di New York.”“Kau yakin?”“Ya, sangat yakin.”“Oke, katakan padaku, apa yang akan kau lakukan di New York?”“Mungkin aku akan membuka usaha sendiri. Aku masih memiliki tabungan. Aku bisa bertahan hidup dari tabunganku.”Winona berdecak kesal. “Come on, ayahmu bahkan memiliki perusahaan cukup besar. Kenapa kau harus bersusah payah s