Share

3. MINO

Penulis: Vaya Diminim
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-22 21:27:23

Mino Albert. Anak laki-laki yang biasa dipanggil Mino itu mengambil sebuah kacamata dari kotak koleksinya yang berjejer di dalam sebuah etalase, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kini ia berjalan ke dapur. Mengeluarkan nasi instan yang telah dipanaskan dari microwave.

Mino merupakan putra bungsu dari seorang pengusaha real estate terkenal di kotaku. Namun ia sangat jarang berjumpa dengan keluarganya karena orang tuanya sibuk melakukan perjalanan bisnis. Saat ini Mino tinggal mandiri di sebuah apartemen yang diberikan oleh ayahnya.

Meskipun ayahnya seorang businessman yang sukses, bukan berarti hidupnya aman dan damai. Ayahnya termasuk orang paling berpengaruh di kotaku dan musuh ayahnya berada dimana-mana. Secara diam-diam, ayahnya membuka sebuah akademi tersembunyi yang hanya melatih pemuda-pemuda ahli bela diri yang akan dijadikan pengawal pribadi. Hal ini tentu juga berlaku pada Mino. Ia selalu diikuti oleh sepuluh pengawal yang dikirim ayahnya. Aku juga pernah memergoki Mino yang diantar oleh pengawalnya ke sekolah beberapa hari lalu. Pemandangan yang sangat tidak bersahabat bagi siapapun yang melihatnya.

Mino sangat bersyukur karena mempunyai ayah yang sangat mengkhawatirkan putra tampannya. Tapi hal itu selalu menjadi topik pembicaraan bagi orang-orang sekitar. Selama masa sekolah menengah pertama, beredar rumor kalau ia adalah putra dari seorang mafia yang terkenal kejam dan sadis. Adapula yang mengatakan kalau ia anak preman modern yang berdasi.

Mino memiliki aura gelap di mata teman-temannya. Selama masa sekolah menengah pertama, Mino tidak mempunyai teman. Bukannya tidak pandai bergaul, tapi tidak ada yang mau mendekati dan berurusan dengannya. Jika saja terjadi sesuatu yang salah dengannya, pengawalnya yang berjaga di depan sekolah akan langsung menerobos dan menghukum anak-anak yang mengganggu Mino. Tapi kini berbeda. Pengawalnya sudah tidak menunggunya seharian di sekolah. Pengawalnya akan segera pergi setelah memberikan salam dengan serentak dan menggelegar. Sekali lagi. Pemandangan yang mengundang perhatian orang yang berlalu-lalang.

Mino berdiri di depan cermin besar. Merapikan jas sekolah yang sangat pas di badannya. Badannya mungkin tidak atletis, tapi proporsi badan yang pas dengan kaki jenjangnya cukup untuk membuatnya tampan dan cocok mengenakan pakaian apapun. Tak hayal dia selalu tampak berjalan di runaway pada setiap jalan yang dilewatinya.

Salah seorang pengawal yang biasa dipanggil Pandi memasuki ruang ganti.

“Tuan muda, ada telfon dari ketua,” Pandi menyodorkan ponsel ke arah Mino.

Mino segera menerima ponsel dan sedikit tersenyum ke Pandi, pengawal yang paling dipercayai oleh ayah Mino. Usianya mungkin baru dua puluh empat tahun, tapi pengalaman dan kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Pandi satu-satunya pengawal yang diperbolehkan Mino untuk mengikutinya kemanapun ia pergi.

“Ayah tidak usah datang hari ini,” ucapnya sambil menekan pilihan tombol merah yang tertera di layar, menyudahi panggilan pagi itu.

Mino kembali menyerahkan ponsel pada Pandi. Ia mengangguk. Memberi isyarat untuk segera berangkat.

Hari itu adalah hari pertama, semester baru di sekolah baru. Visile International School. Ya. Sekolah yang didirikan oleh Mister Han, ayahku. Sekolah paling bergengsi di kotaku dan terkenal akan kualitasnya yang sangat bagus. Ibarat mencari jarum dalam jerami, seperti itulah susahnya perjuangan seorang siswa agar diterima di sekolah itu.

Hal pertama yang paling mengejutkan ketika berada di kelas pertama adalah sebuah surat perjanjian yang berisikan kalau setiap siswa mempunyai kewajiban untuk tidak menyebarluaskan peraturan terkait kasta yang berada di sekolah. Konsekuensi jika menolak perjanjian adalah blacklist dan tidak akan bisa bersekolah dimanapun. Tentu ini tidak berlaku padaku. Selain aku yang baru masuk setelah sekolah berjalan selama empat bulan, jalur khusus yang kumiliki tidak mewajibkanku untuk menandatangani surat perjanjian gila itu.

Dan pada akhirnya, Mino ditempatkan di kasta tiga. Jika saja ia bisa memutar waktu, menaiki mesin waktu kembali ke masa lalu, ia tidak akan masuk ke sekolah ini.

            Mino selalu datang lewat jalan rahasia di belakang sekolah. Pagi itu dia tidak sengaja melihat sekelompok gadis di belakang sekolah yang mengenakan seragam yang sama dengannya tengah memegang sebungkus rokok ditangannya.

Ia tidak langsung turun dari mobil. Ia malah mengangkat ponsel dan mengarahkannya pada gadis-gadis itu.

“Kau meninggalkan sesuatu?” tanya Pandi menoleh ke belakang. Mino masih duduk di mobil.

Pandi mengikuti arah pandang Mino. Kini ia dapat melihat sekelompok gadis yang sedang asyik merokok.

“Tidak, aku malah dapat mainan baru,” balasnya dengan nada yang terdengar picik.

*****

Mino berjalan santai menuju kelas dengan kedua tangan berada di saku. Ia masih bisa mendengar beberapa anak membicarakanku. Meskipun berita itu telah menjadi topik hangat selama tiga hari, tapi aku masih menjadi pusat perhatian di sekolah.

Mino berhenti di pintu. Itulah pertama kalinya ia melihatku secara langsung. Meskipun sebelumnya ia mungkin sudah mendengar namaku melalui ruang obrolah sekolah tiga hari lalu, dan juga fotoku.

Mino hampir gagal mengenaliku karena kini rambutku tidak lagi panjang sepinggang. Berbeda dari foto yang sudah disebarluaskan. Aku memotong pendek rambutku sebahu dan sedikit poni yang menutupi dahi. Aku akui penampilanku kini sedikit berbeda dari sebelumnya. Aku bahkan memotong pendek sedikit lebih tinggi rok yang kukenakan. Membuka kancing baju dan mengenakan baju kaos putih di dalamnya. Tapi ini bukanlah penampilan aneh bagi anak-anak di kasta tiga. Sangat jarang dari mereka yang mengenakan seragam dengan benar dan rapi. Lihatlah Mino, gaya berpakaiannya tidak jauh berbeda dari cara berpakaianku. Hanya saja ia menggunakan kacamata berwarna terang. Aku tidak yakin, apakah kacamata itu hanya aksesoris atau kacamata asli. Jikalau kau berada diposisiku, kau akan tertawa melihat penampilannya karena sama sakali tidak cocok. Tapi hal itu menjadikannya tampak menarik dan punya pesona sendiri.

Pertemuan pertama kami tidaklah indah seperti drama-drama korea. Tapi itu cukup mengundang tanda tanya bagiku dan juga bagi Mino.

“Hei, ini kursiku, pindah ke sana!” perintah Mino.

Entahlah apa yang dipikirkan Mino melihat reaksiku yang sangat berbeda dari kejadian tiga hari lalu. Tapi aku sekilas melihat ia menaikkan sebelah alisnya. Pertanda kalau ia sama sekali tak menduga reaksiku.

Aku bahkan tidak tahu kalau ia sudah memperhatikanku sedari awal.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Our Fight   EPILOG

    Aku berjongkok mengikat tali sepatu dengan kuat. Matahari belum sepenuhnya mencuat. Hari masih menunjukkan pukul enam pagi. Namun aku sudah mengenakan pakaian olahraga lengkap. Baiklah. Aku memutuskan untuk berlari ke sekolah. “Wah, kau bersemangat sekali pagi ini. Tumben sekali.” Mino menyusul dari belakang. “Hei! Tunggu aku. Tega sekali kalian duluan.” Arin berseru dari belakang yang membuat kami menoleh dan tertawa pelan. “Percepat larimu!” balasku berseru padanya. Aku dan Mino melambat. Menunggu hingga Arin sudah dekat dengan kami. Seperti biasa. Kami menyamakan langkah kaki. “Bagaimana perasaanmu?” Mino bertanya. “Tentu saja senang. Aku merasa lega.” “Sudah kuduga. Ini pertama kalinya kulihat senyummu secerah ini semenjak kau kembali.” Aku tersenyum mendengar ungkapan Mino. Begitu pula dengan Arin yang ikut tersenyum. Suasana hatiku secerah matahari yang mulai naik. Kami berlari berirama menyongsong matahari pagi. Menyusuri t

  • Our Fight   103. FINAL CHAPTER

    Krack! Mister Han baru saja melemparkan pot bunga ke lantai dengan kasar dan gusar. Sementara Sekretaris Lin hanya bisa berdiri tertunduk di depan meja. “Kenapa kau masih tak becus bekerja? Apa saja yang kau lakukan belakangan ini sampai kecolongan seperti ini, huh? Kau tak tau dampak dari petisi ini jika sampai ke gedung putih?” Wajah Mister Han merah padam. Amarahnya naik sampai ke ubun-ubun. Ponselku berdering. Nama Mino muncul di layar. Aku membalikkan badan, berbaring menghadap langit-langit. “Kau sudah lihat beritanya?” tanya Mino dari seberang sana. “Berita apa?” “Petisi kita tembus sampai dua ribu tanda tangan.” Aku terlonjak kaget. Sontak aku langsung bangun dan berjalan mendekati meja belajar. Bergegas menyalakan komputer dan membuka laman ruang obrolan sekolah. Benar saja. Petisi kami sudah di tandatangin oleh dua ribu petisi. Artinya banyak yang tidak suka dengan sistem di sekol

  • Our Fight   102. PETISI

    Kami kembali masuk sekolah setelah libur dua hari. Dan ini menjadi laporan pertama yang dilaporkan Sekretaris Lin pada Mister Han pagi itu. “Hm. Mereka masuk hari ini?” Mister Han bertanya dari balik meja kerja. Dia lebih dulu bertanya seolah bisa menerawang isi pikiran sekretarisnya saat Sekretaris Lin menapakkan kaki di ruangan. “Ya Mister, hari ini mereka masuk kelas seperti biasa.” “Sudah berapa lama mereka libur?” “Dua hari Mister.” “Dua hari tidak ada pergerakan. Kau yakin?” Sekretaris Lin terdiam. Dia tampak ragu. “Y-ya Mister.” “Aku tidak ingin mendengar kabar buruk hari ini.” Mister Han melipat koran lantas meletakkannya di atas meja. “Kau boleh pergi.” Sekretaris Lin keluar ruangan dengan tergesa-gesa. Tampaknya dia ingin memastikan apakah kami memang hanya diam saja dua hari belakangan ini. Tapi kalian juga tahu bukan? Bahwa kami tidak pernah diam.**** “Sudah kau si

  • Our Fight   101. DEMO

    “Kalian bisa nyantai kemarin?” Mino datang dengan tiga buah botol minuman kaleng di tangannya. Rasa jeruk untukku, strawberi untuk Arin, dan dia suka rasa leci. Kami sepakat bertemu di café orange perempatan jalan. Aku menggeleng pelan. “Ayahku datang ke rumah kemarin,” kataku pelan sambil menopang kepala dengan kedua tangan di atas meja. “Kenapa dia datang? Tumben sekali. Dia bilang sesuatu?” Mino balik bertanya. Menurutnya juga aneh saat Mister Han tiba-tiba datang ke rumah. Walaupun dia ayahku. Sepertinya hubungan ayah dan anak antar kami sudah tidak bisa diperbaiki lagi. “Ya begitu,” lanjutku menghela nafas.“Ah, dia bilang sesuatu rupanya.”Kini aku menegakkan kepala. “Kau masih ingat ucapan ayahku waktu itu?” Kening Mino terlipat. Mencoba mengingat ucapan yang mana? Saking terlalu banyaknya ucapan Mister Han pada mereka setahun belakang. Mulai dari perhatian hingga ancaman. “Saat dia bilang kalau aku bisa sa

  • Our Fight   100. BENDERA PUTIH

    “Duduk!” perintah Mister Han saat melihat kedatanganku yang semakin dekat dengannya. Aku menurut tak banyak membantah. Jujur aku juga baru pertama kali melihat Mister Han semarah itu. Bahkan dulu saat aku membuat kegaduhan, ayah masih bisa memasang wajah datar nan tenangnya. Namun tidak kali ini. Yang tersisa hanyalah raut muka merah padam. Aku menarik kursi pelan lantas duduk di atasnya. Entah mengapa aku tak bisa menatap wajahnya. Aku merasa seperti menjadi anak paling durhaka sedunia. “Kau yang melakukannya bukan?” Mister Han menyesap kopi yang sudah lebih dulu disajikan bi Ruri sebelum aku keluar kamar tadi. Kepalaku terangkat. Kenapa ayah bertanya? Bukankah sudah jelas kalau pelakunya memanglah aku. Dia juga tahu akan hal itu. Memang ada yang lain yang berani melawan Mister Han di sekolah? Kecuali Mino dan Arin. “Bukankah ayah juga sudah tahu?” “Tidak,” lanjut Mister Han. Dia kembali meletakkan cangkir kopi d

  • Our Fight   99. VERONIKA

    Berita tentang kasta di sekolah kami menyebar kemana-mana dan menjadi topik hangat dalam semalam. “Kalian bilang sekolah mana tadi?” Wanita paruh baya itu kembali bertanya untuk kedua kalinya. “Ya?” Aku pura-pura tidak mengerti. “Oh? Maaf aku bertanya tiba-tiba.” Wanita itu memperbaiki posisi berdiri dan merubah raut wajahnya menjadi lebih bersahabat dengan senyum yang mengambang. “Boleh saya duduk di sini?” lanjutnya lagi sembari melirik kursi kosong di sebelah Arin. “Ya, silakan!” “Ya, silakan!” Kami spontan serentak mempersilahkan. Wanita itu duduk kemudian melipat tangan di di atas paha. Terlihat sopan dan anggun. “Maaf aku mendengar percakapan kalian barusan, tentang kasta sekolah? Maksudnya apa ya?” “Ooo itu..” Aku tergagap sambil melirik Mino dan Arin bergantian. Kami memang menginginkan berita ini terdengar ke meja sebelah. Tapi tak secepat ini pula. Jadinya kami gugup karena tak ta

  • Our Fight   98. MOM CAFE

    “Kau yakin?” Arin tampak ragu saat menatap gedung tinggi dengan kaca-kaca besar yang menampilkan manekin tengah memakai pakaian mode terkini. “Hm,” jawabku mantap. Kakiku melangkah masuk. “Kalian pilih satu, jangan terlalu lama. Ambil sembarang saja,” kataku lagi mengingatkan. “Hei kalian, cepat masuk. Waktu kita tak banyak.” Aku menyoraki Mino dan Arin yang masih mematung di depan pintu. “Kau tau apa yang ada dipikirannya?” Arin berbisik sambil melirikku. “Kau pikir aku tau?” Mino mengangkat bahu acuh tak acuh. Dia juga tak tahu apa yang akan mereka lakukan. Tapi pertanyaannya, kenapa membeli baju baru? Padahal bukan waktunya untuk melakukan semua ini. Aku memilih sebuah hoody warna hitam dan mengambil sembarang celan jins longgar. Tak lupa tanganku juga menyambar sebuah topi warna putih. Dengan cepat aku sudah berganti pakaian. Tak lama setelahnya Mino juga berganti pakaian. Baju yang di pilihnya tak jauh berbeda dariku yan

  • Our Fight   97. KARTU KREDIT

    “Ayahmu bilang apa?” Aku menulis coretan di belakang buku pelajaran. Kelas pagi itu sudah di mulai satu jam yang lalu, tapi pikiranku tak bisa fokus bahkan sampai detik ini. Namun Mino tampaknya berbeda denganku. Lihatlah dia kembali menjadi anak tengil yang kutu buku dan menyimak penjelasan Bu Hani dengan seksama. Aku tau dia dipanggil ayahnya kemarin. Sama denganku yang juga dipanggil oleh Mister Han. Dan Mino tau akan semua itu. Tapi dia belum berbicara sedari tadi padaku. Tak seperti biasanya. Aku sudah menyikut sikunya berkali-kali, sialnya tetap saja diabaikan. Dia tak bergeming. Akhirnya kuputuskan untuk mencoret bagian belakang buku. Aku menyodorkan buku itu ke meja Mino lantas menyikut sikunya untuk yang terakhir kali. Yes!! Akhirnya Mino menoleh. Dia mulai menulis balasan di bawah tulisanku. “Ayo keluar!” Dia melirik pintu sejenak. Memberi aba-aba. Belum sempat aku memberi jawaban, dia sudah lebih dulu menunduk, jal

  • Our Fight   96. ONE BY ONE

    Mino mengikuti Pandi dari belakang. Selepas pulang sekolah tadi, Mino segera menuju kediaman ayahnya. Pandi bilang situasi sekarang berbahaya dan mendapatkan kode warning. Ya. Semacam kode yang langsung membuat Mino mengerti. “Kenapa? Apa ada yang terjadi?” Aku bertanya sesaat setelah Mino menutup panggilan telepon. “Ayahku menyuruh pulang,” balas Mino terdengar santai. Dia mengemas buku buku yang tak pernah di bacanya ke dalam tas. “Kenapa? Jangan bilang ayahmu sudah lihat video itu?” Mino mengangkat bahu santai. “Sepertinya sudah, makanya menyuruhku segera pulang.” Kedua tanganku terangkat menutup mulut yang ternganga panik. “Bagaimana ini? Kau tidak akan dihajar habis habisan oleh ayahmu bukan?” Raut wajahku berubah panik. Mino mendengus. “Hei. Ayahku bukan preman seperti yang kau bayangkan.” “Oh, maaf. Aku hanya khawatir jika memang itu yang akan terjadi. Apa sebaiknya aku ikut saja denganmu? Jadin

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status