"Pagi, Aira?"
Aira spontan menoleh mendengar seseorang yang memanggil namanya. Begitu menoleh, ternyata orang itu ialah Rehan. Cowok yang akhir-akhir ini selalu muncul di depannya. Entah karena apa, Aira sejujurnya cukup risih melihatnya.
"Eh, pagi juga, Re. Udah lama dateng?" jawab Aira dengan senyum sehangat mungkin.
"Baru aja, Ra. Lo berangkat bareng Daffa?" Rehan ikut berjalan di samping Aira, beriringan melewati koridor kelas yang masih tampak sepi.
Aira mengangguk mantap. "Udah jadi rutinitas, Re. Gue nggak bakal mau sekolah kalo Daffa nggak jemput gue."
"Oh, gitu, ya. Em, siang nanti lo ada waktu nggak, Ra?"
"Belum tau, nih, Re. Emang ada apa? Tapi gue nggak jamin kalo bisa, sih," jawab Aira tidak yakin. Dia memang berusaha untuk menolak ajakan cowok itu.
Rehan mengerutkan keningnya. "Kenapa? Karena Daffa ngelarang lo? Dan, lo mau nurutin dia?"
"Bukan, bukan karena itu. Udah lupain aja, lo emang mau ngajak gu
"Muka lo kenapa jelek amat, sih, Ra?" tanya Daffa melihat raut sendu di wajah Aira."Tai, bukannya ngehibur, malah bikin gue tambah kesel aja lo," ketus Aira lalu memalingkan wajahnya melihat pohon besar di depan sana. Enggan menatap Daffa di sampingnya."Ya udah, kenapa tumben muka lo ketekuk gini? Ada masalah apa lagi, hem?" tanya Daffa lembut, setelah menyadari mood Aira tengah buruk, Daffa memilih mengalah.Aira menghela napas sebelum mengembuskannya perlahan. "Kayaknya bentar lagi gue bakal dapet masalah yang lebih berat dari ini, Daf.""Masalah yang ini aja gue nggak tau, Ra. Ada apa, sih, sebenernya?" Kening Daffa mengerut, pertanda jika dia sedang bingung."Setelah kemarin papa, tadi si Rehan sama Serin. Kira-kira gue bakal kuat nggak ya, ke depannya nanti?""Rehan? Ngapain itu bocah? Dan Serin, buat ulah apa lagi sama lo?" tanya Daffa nertubi-tubi, tangannya bahkan menyentuh kedua pundak Aira dan menatapnya khawatir.Aira bal
Setelah lalu lalang beberapa murid berhamburan keluar gerbang, parkiran sekolah yang sudah sepi membuat Daffa dan Aira segera berjalan menuju ke sana. Mereka memang sengaja menunggu sepi karena terlalu malas untuk antri mengambil motor."Daf, beli boba, yo?" ajak Aira sambil mengambil helm yang Daffa berikan."Nggak mau es krim? Padahal gue mau ngajak lo ke taman, lho."Mata Aira seketika berbinar. "Mau semuanya, Daf. Gue mau cari pelampiasan ke makanan.""Astaga, Kebo," decak Daffa setelah selesai memakai helmnya. Namun, belum sempat Aira naik, suara seseorang membuat Daffa menoleh. Dia menemukan Rehan di depan Aira. Sontak saja Daffa segera melepas kembali helmnya."Ra?""Ngapain lo ke sini? Masih berani muncul dia depan gue lo, Re," desis Daffa yang sudah berada di samping Aira.Rehan mendecih melihat Daffa yang sok pahlawan. "Gue nggak ada urusan sama lo.""Urusan Aira, urusan gue juga," balas Daffa dengan
"Aira, kamu jaga rumah sama bibi, kita mau nganterin Serin beli mobil baru, dan papa mau kamu tidak keluyuran malam ini. Paham?"Sang papa menghampiri Aira yang tengah menonton TV. Malam ini, dia mendapat tempat untuk duduk di sana karena biasanya Serin–lah yang sudah terlebih mengambil tempatnya. Sang papa berucap demikian, membuat tanda tanya di kening Aira."Beli mobil harus sama mama, papa? Kenapa nggak beli online aja, sih? Ribet amat," gerutu Aira setelahnya.Andi, sang papa membuang napas berat menanggapinya. "Aira, jangan buat papa marah sama kamu. Lebih baik kamu masuk ke dalam kamar dan belajar. Papa tidak akan segan memberi kamu hukuman kalau sampai ketahuan kamu keluar rumah.""Serin beli mobil baru? Sedangkan Aira kenapa nggak boleh punya mobil sendiri? Pilih kasih banget," gerutu Aira yang kembali mendudukkan diri. Sementara itu netranya menangkap seroang wanita berjalan dan berhenti di samping sang papa."Makanya belajar yang b
"Udah sarapan belum?" tanya Daffa mengambil duduk di depan bangku meja Aira. Sekotak berisi makanan dia sodorkan ke depan, bermaksud memberikannya kepada Aira."Gue nggak laper." Aira malah menggeleng, tidak selera."Beneran? Lo jangan buat gue khawatir kalo tiba-tiba lo nanti siang pingsan, Ra." Daffa kekeuh, dia meraih tangan Aira untuk memegang kotak makan tersebut. Sudah dia buka, dan Aira tinggal memakannya.Namun, sekali lagi Aira mendorongnya kembali kepada Daffa. Bibirnya tersenyum tipis. "Santai, Daf. Gue bukan cewek lemah, lagian ini juga udah jadi kebiasaan gue.""Kebiasaan kok nggak sarapan, kebiasaan itu harusnya lebih baik, bukan malah makin buruk, Ra. Astaga," balas Daffa sembari menghela napas pelan. Aira selalu saja enggan sarapan pagi di rumah."Ya abisnya, gue nggak punya nafsu makan di rumah. Enek mulu bawaannya."Daffa terkekeh kecil. "Liat keluarga lo haha hihi di meja makan? Sedangkan lo menderita nahan lapar di kamar?
"Gimana tadi olahraganya? Gue denger-denger lo yang dapet rekor tertinggi. Bener?"Bel istirahat berbunyi, beberapa menit yang lalu Aira selesai mengikuti mapel olahraga. Tubuhnya terasa penat dan tenggorokannya yang kering membuat Aira langsung meneguk minumannya hingga tandas. Duduk di depan kelas, kemudian membuang napas lega.Aira melihat Daffa mengambil duduk di sampingnya, mendengar pertanyaan itu Aira tertawa. "Lo tau? Astaga.""Wih, keren kalo gitu. Gue jadi bangga sama lo, Ra." Daffa terkekeh bangga, tidak tahan, dia mengacak rambut Aira gemas. Membuat Aira mendengkus geli."Apa, sih? Cuma gitu, doang. Apanya yang perlu dibanggain, Daffa?" tanya Aira heran, dia memang tidak sebangga itu dengan nilainya.Daffa berdecak, lalu menggeleng pelan. "Ini, nih. Lo kurang bersyukur, Ra. Pencapaian-pencapaian kecil yang lo dapetin selama ini harusnya lo syukurin, karena belum tentu semua orang bisa dapetin itu. Patut dibanggain walau cuma sebat
Aria sudah berdiri di depan pintu rumah Daffa, ketika tangan Daffa menarik gagang pintu, Aira melangkah masuk. Diikuti pula dengan Daffa di belakangnya. Begitu masuk, Aira sudah menerima pelukan antusias dari sang mama Daffa."Wah, Aira? Astaga kamu cantik sekali, Nak!" puji Fatma—sang mama Daffa, setelah melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi Aira dengan mata berbinar."Makasih, Tante. Aira juga pangling banget liat wajah Tante yang makin cantik," balas Aira balik memuji, dia juga sedikit pangling dengan wajah seroang wanita di depannya itu.Fatma tertawa kecil, lalu menggiring Aira untuk duduk sebentar. "Bisa aja kamu, oh ya, mau Tante ajarin masak nggak? Katanya kamu suka, ya, sama masakan Tante?""Duh, jadi malu, Tan." Aira merutuki dirinya, dia menebak pasti ini semua ulah Daffa yang memberi tahu mamanya."Anggep aja Tante mama kamu sendiri, nggak perlu sungkan-sungkan. Ayo ke dapur, Tante mumpung semangat hari ini." Fatma mengajak
"Laper nggak, Ra?" tanya Daffa sembari mengenakan jaket hitam miliknya. Kini, mereka sedang berada di luar rumah Daffa.Aira menyengir, sembari menggarukkan kepalanya. "Tau aja lo, Daf.""Makan di tempat biasa aja, gimana? Mau, kan?" tanya Daffa lagi setelah terkekeh kecil. Begitu Aira selesai memakai helm, Daffa merapikan rambut gadis itu yang sedikit berantakan.Aira tidak berontak, kepalanya mengangguk semangat. "Gue oke-oke aja, Daf. Yang penting perut gue nggak koar-koar mulu."Setelah mereka siap, Daffa naik ke atas motornya disusul Aira yang duduk di belakangnya. Hari sudah malam, Daffa tentu tidak tega membiarkan Aira pulang sendirian. Bahkan sang mama sendiri yang menyuruhnya.Setelah melewati jalanan kota malam ini yang cukup ramai, dua remaja itu akhirnya sampai di depan sebuah warung makan. Aira turun, melepas helmnya kemudian merapikan rambutnya yang cukup berantakan lagi.Daffa tiba-tiba bersuara ketika netranya menangkap sosok
"Astaga, Ra. Kenapa setiap pagi gue dateng muka lo ketekuk mulu, sih? Seneng dikit, kek, gue udah sepagi ini rela jemput lo tau."Daffa menggerutu ketika sampai di depan gerbang rumah Leta, gadis itu tidak meyambutnya dengan binar mata bahagia. Yang ada, setiap kali Daffa datang, hanya tekukan raut malas dan tidak semangat yang dia dapat."Bodo amat, Daf."Daffa berdecak. Membukakan pintu mobil untuk gadis itu. "Ck, untung stok sabar gue masih banyak buat lo, Ra.""Terserah," balas Aira yang langsung masuk tanpa berucap terima kasih."Gimana tadi malem? Aman, kan?"Aira membuang napas panjang mendengar pertanyaan itu. "Gue masuk, mereka lagi makan malam.""Terus papa lo? Diem aja?" Daffa masih penasaran, menunggu, sembari menyalakan mesin mobilnya."Aneh, sih. Tapi gue kesel karena nggak ada yang tau gue udah pulang. Padahal jelas-jelas gue naik ke atas tangga lewat depan mereka," jelas Aira disusul dengan decakan sebal.