Nastenka tidak mundur.
Sebaliknya, ia mengangkat kepalanya, membiarkan bibirnya melayang di dekat telinga Mikhail, begitu dekat hingga ia bisa merasakan panas tubuh pria itu. "Kau ingin tahu, Mikhail?" bisiknya, suaranya seperti racun yang merayap pelan ke dalam kesadaran. Ia memiringkan kepalanya sedikit, dan kemudian—sentuhan pertama terjadi. Tidak banyak. Tidak berlebihan. Hanya desiran lembut bibirnya yang hampir tidak menyentuh kulit di rahang Mikhail, sebuah gesekan samar yang lebih terasa seperti ilusi dibandingkan kenyataan. Tetapi cukup untuk menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Mikhail mengangkat dagunya sedikit, membiarkan matanya bertemu dengan mata biru cerah itu dalam jarak yang begitu dekat. Matanya tidak menunjukkan reaksi apa pun—tidak ada keterkejutan, tidak ada kepanikan, tidak ada rasa terpojok. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih gelap di sana. Sesuatu yang mendekati rasa penasaran. Ia menarik napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Lihat siapa yang mencoba bermain api," gumamnya. Dan kali ini, ia yang bergerak. Dengan satu tarikan halus, ia menarik pergelangan tangan Nastenka hingga wanita itu nyaris jatuh ke pangkuannya. Namun, sebelum itu terjadi, ia menahan pinggangnya dengan tangan satunya, membuat wanita itu kini benar-benar terkurung di antara kedua lengannya. Tepat di mana ia menginginkannya. "Kau menikmati permainan ini, bukan?" Nastenka menatapnya, tetapi tidak ada tanda-tanda terjebak di wajahnya. Mikhail mengamati setiap inci wajah wanita ini. Ia bisa saja mencium ketakutan sekecil apa pun jika memang ada. Namun, yang ia lihat hanyalah sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Sebuah senyuman. Nastenka mengangkat satu alisnya. "Dan kau juga membiarkanku, bukan?" balasnya, nada suaranya penuh kemenangan halus. Sebuah pengakuan terselubung. Karena memang benar—Mikhail membiarkan dirinya terbawa dalam permainan ini. Dan itu, lebih dari apa pun, yang paling mengesalkan. Mikhail tidak langsung menjauh. Jari-jarinya masih mengunci dagu Nastenka, menahan wajah mungil itu dalam jarak yang begitu dekat hingga ia bisa melihat kilau samar di mata birunya—mata yang menatapnya dengan begitu tenang, seolah tidak terpengaruh sama sekali oleh posisinya saat ini. Padahal, jika ia menginginkannya, ia bisa saja menuntaskan jarak di antara mereka. Namun, suara ketukan pintu itu—dan lebih dari itu, nama yang disebutkan—cukup untuk membuat ketegangan di udara berubah. Mikhail menggerakkan matanya, menatap pintu di seberangnya sejenak, sebelum sudut bibirnya terangkat dalam senyum kecil yang tidak sepenuhnya menyenangkan. Sementara itu, Nastenka tetap diam. Ia bisa merasakan napas pria itu begitu dekat, panas dan tenang, tetapi tidak ada satu pun otot di wajahnya yang bergerak. Jika ia tidak tahu lebih baik, ia mungkin akan mengira Mikhail sengaja memperlama momen ini hanya untuk melihat apakah ia akan bereaksi. Sayangnya untuknya, Nastenka tidak semudah itu goyah. Jadi, ketika Mikhail akhirnya berbicara, suaranya tetap rendah dan dalam—hanya untuknya. "Apa aku harus menjemputnya sendiri, hm?" Nada suaranya lebih menyerupai godaan, tetapi ada sesuatu di dalamnya—sesuatu yang membuat Nastenka menyadari bahwa pria ini bukan hanya sedang menggoda, tetapi juga sedang membaca reaksinya. Jadi, alih-alih menunjukkan gangguan, Nastenka hanya tersenyum. "Sepertinya dia tidak terbiasa menunggu, ya?" gumamnya, suaranya tetap lembut, meski nada di dalamnya cukup untuk menyiratkan sesuatu yang lain. Ia bisa melihat mata Mikhail sedikit menyipit, tetapi sebelum pria itu sempat mengatakan sesuatu, suara dari luar terdengar lagi. "Bos?" Dua detik hening. Lalu, Mikhail tertawa kecil. Bukan tawa lepas, tetapi sesuatu yang lebih berbahaya—sesuatu yang terdengar seperti keinginan untuk menerkam, tetapi memilih untuk menahan diri. Jari-jarinya di dagu Nastenka mengendur sedikit, tetapi ia tidak langsung melepaskannya. Sebaliknya, ia menelusuri garis rahang wanita itu perlahan sebelum akhirnya menarik tangannya sepenuhnya. Kemudian, dalam satu gerakan santai, ia melepaskan tangannya dari pinggangnya, memberinya ruang untuk berdiri. "Tampaknya kita harus menunda permainan ini," katan Mikhail dengan nada suaranya begitu ringan seolah percakapan mereka tadi tidak terjadi. Nastenka tersenyum kecil, sebelum akhirnya melangkah mundur, memberinya jarak. "Sayang sekali," katanya pelan, mengangkat bahunya sedikit. "Aku baru saja mulai menikmati suasananya." Mikhail memandangnya selama beberapa detik sebelum akhirnya berdiri, merapikan jasnya dengan gerakan malas. "Aku akan mengingatnya." Kemudian, dengan langkah yang lebih tenang daripada seharusnya, ia berjalan ke arah pintu. Dan Nastenka hanya berdiri di sana, menatap punggungnya, sebelum akhirnya menyentuh dagunya sendiri—tempat yang tadi disentuh Mikhail. Menarik. Sangat menarik.Mikhail menatap datar ke arah perempuan di hadapannya. Rambutnya yang biru laut karena dicat tergerai sedikit berantakan, matanya menyipit dengan ekspresi kesal. Ekatarina Lev Romano—atau yang sering dipanggil Katya—si bungsu keluarga Romano dan satu-satunya anak perempuan di keluarga itu. Jadi bisa dibayangkan betapa dimanjakannya perempuan ini. “Malam-malam datang ke sini hanya untuk menggerutu soal Ayah?” “Kenapa memangnya? Tidak boleh?” Katya balas dengan nada sebal, matanya berkilat penuh tantangan. Mikhail mendesah pelan, menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi malas. “Bukan begitu, Katya.” Ia mengamati adiknya yang masih bersungut-sungut. “Hanya saja, kau benar-benar memilih waktu yang buruk.” Katya mendengus, melipat tangan di depan dada. “Kau selalu bilang begitu setiap kali aku datang. Apa aku harus buat janji dulu kalau ingin bertemu kakakku sendiri?” Mikhail menatapnya sekilas sebelum mengangkat gelas whiskey di tangannya, menyesap cairan keemasan itu perlaha
Nastenka tidak mundur. Sebaliknya, ia mengangkat kepalanya, membiarkan bibirnya melayang di dekat telinga Mikhail, begitu dekat hingga ia bisa merasakan panas tubuh pria itu. "Kau ingin tahu, Mikhail?" bisiknya, suaranya seperti racun yang merayap pelan ke dalam kesadaran. Ia memiringkan kepalanya sedikit, dan kemudian—sentuhan pertama terjadi. Tidak banyak. Tidak berlebihan. Hanya desiran lembut bibirnya yang hampir tidak menyentuh kulit di rahang Mikhail, sebuah gesekan samar yang lebih terasa seperti ilusi dibandingkan kenyataan. Tetapi cukup untuk menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Mikhail mengangkat dagunya sedikit, membiarkan matanya bertemu dengan mata biru cerah itu dalam jarak yang begitu dekat. Matanya tidak menunjukkan reaksi apa pun—tidak ada keterkejutan, tidak ada kepanikan, tidak ada rasa terpojok. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih gelap di sana. Sesuatu yang mendekati rasa penasaran. Ia menarik napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Lihat siapa yang mencoba
Mikhail tahu ia sedang dimainkan. Tapi yang lebih mengesalkan dari itu—ia membiarkan dirinya terbawa dalam permainan ini. Di depannya, Nastenka duduk dengan santai, memutar-mutar gelas anggurnya seolah tak ada yang lebih menarik daripada cairan merah tua yang berputar di dalamnya. Ia tidak terburu-buru berbicara, tidak mencoba menarik perhatiannya secara terang-terangan. Namun, justru karena itu, Mikhail terus memperhatikannya. Anggur dalam gelasnya hampir habis ketika Nastenka akhirnya bergerak. Bukan untuk menuangkan minuman lagi, tetapi untuk bangkit dari tempat duduknya. Gerakannya pelan—begitu tenang, begitu anggun—hingga seolah ia adalah bagian dari bayangan ruangan yang suram ini. Mikhail tetap bersandar di kursinya, membiarkan matanya mengikuti pergerakan wanita itu. "Natalia," panggilnya, suaranya rendah dan sarat dengan peringatan. Nastenka hanya tersenyum. Tanpa diminta, ia berjalan mengitari meja panjang itu, langkahnya nyaris tanpa suara. Cahaya lilin memantulkan k
Mikhail bukan pria bodoh. Sejak awal, ia tahu bahwa Nastenka—atau "Natalia Arman"—bukan sekadar hadiah biasa dari Sergey Arman. Perempuan itu tidak menunjukkan ketertarikan yang berlebihan padanya, tetapi juga tidak menjaga jarak. Ia bermain di batas tipis antara ketidakpedulian dan godaan halus, seolah menari di atas benang yang hampir tak kasat mata. Dan itu membuat Mikhail penasaran. Biasanya, jika seorang wanita dikirim kepadanya, mereka akan berusaha mati-matian menarik perhatiannya—mereka akan mengenakan gaun paling menawan, berbicara dengan suara lembut penuh pujian, atau bahkan berusaha menyentuhnya dengan dalih yang tak perlu. Tapi "Natalia" berbeda. Ia tidak tampak tergesa-gesa, tidak terlihat putus asa, dan justru karena itu ia semakin menarik. Malam itu, Mikhail sengaja menciptakan situasi untuk menguji perempuan itu. Di ruang makan pribadinya—ruangan dengan pencahayaan redup yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terdekatnya—ia menunggu dengan gelas anggur di ta
Pesta telah usai, tetapi permainan di antara mereka baru saja dimulai. Nastenka tidak langsung jatuh dalam genggaman Mikhail, dan itulah yang membuat pria itu semakin tertarik. Biasanya, wanita yang berada di dekatnya akan berlomba-lomba menarik perhatiannya—mereka akan tertawa manis di hadapannya, menciptakan sentuhan-sentuhan kecil yang disengaja, atau dengan mudahnya tunduk hanya demi mendapatkan seulas senyuman darinya. Namun, tidak dengan Nastenka. Ia tahu kapan harus mendekat dan kapan harus menjauh. Ia tahu cara menarik perhatian tanpa terlihat putus asa. Ia bermain tarik ulur dengan begitu lihai, membuat Mikhail mulai melihatnya lebih dari sekadar "hadiah" dari keluarga Arman. Malam itu, setelah para tamu pergi dan suasana kembali sunyi, Mikhail duduk di ruang kerjanya, menyesap anggur merah yang tersisa di gelasnya. Api di perapian berpendar redup, sesekali mengeluarkan suara kayu yang retak terbakar. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Untuk pertama kalinya
Mikhail tidak segera menyambut uluran tangannya. Ia hanya menatap Nastenka—atau Natalia—dengan mata tajamnya yang sulit diterjemahkan. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat dalam sekejap. Sergey Arman yang berdiri di samping Nastenka tampak sedikit gelisah, tetapi pria tua itu cukup pintar untuk tidak menyela. Lalu, perlahan, Mikhail mengangkat tangannya dan menyambut uluran Nastenka. Jemarinya kokoh, sedikit dingin, namun genggamannya tidak kasar. Ia tidak mengeceng erat, tetapi cukup kuat untuk menunjukkan dominasinya. “Sebuah kehormatan juga,” jawabnya santai, suaranya dalam dan berwibawa. “Aku tidak ingat Sergey pernah menyebut punya keponakan yang secantik ini.” Nastenka tersenyum, meskipun dalam hatinya ia menyimpan kewaspadaan. Mikhail bukan tipe pria yang mudah menerima informasi begitu saja. “Aku memang bukan seseorang yang sering diperkenalkan,” jawabnya lembut, matanya menatap Mikhail dengan sedikit godaan halus. “Tapi aku senang akhirnya bisa berkenalan deng
Nastenka menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya yang dulu penuh senyuman dan kebahagiaan itu kini mendingin dan hanya terukir senyum sarkas atau seringaian tanpa arti. Ia saat ini sedang merias dirinya, menggunakan pemerah bibir dan memoles tipis wajahnya. Ia tidak pernah suka memakai make up tebal, jadi selain pemerah bibirnya yang berwarna merah darah, wajahnya tidak diberi warna 'berani' yang macam-macam. Nastenka memakai gaun berwarna merah marun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sangat baik. Gaun ini dulu milik ibunya dan satu-satunya gaun bermerk dengan harga tinggi yang tersisa. Karena hampir seluruh barang berharga yang bisa diungkan sudah dijual oleh ibunya demi kehidupan mereka sehari-hari ketika mereka berdua masih takut diburu oleh orang yang menginginkan kematian mereka. Nastenka tidak suka menggunakan gaun yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Jadi hampir seluruh pakaiannya adalah pakaian longgar yang tidak begitu ketak, ia juga menyukai warna pastel
Dendam adalah racun yang mengalir pelan, membakar setiap nadi dengan keinginan untuk menghancurkan. Nastenka Theodor tidak pernah berpikir akan menempuh jalan ini—menjadi bayangan yang menyusup ke dalam kehidupan pria yang telah merenggut segalanya darinya. Mikhail Dimitri Lev Romano. Nama itu bergaung di benaknya, mengingatkannya pada malam di mana keluarganya musnah dalam kobaran api. Dunia mereka adalah dunia yang sama—penuh kemewahan, pengkhianatan, dan darah yang mengering di ujung peluru. Kini, ia melangkah ke dalamnya bukan sebagai korban, tetapi sebagai pemain. Dengan nama baru, wajah yang tersenyum manis, dan niat yang beracun, Nastenka menawarkan dirinya pada Mikhail. Dia bukan wanita pertama yang ingin berada di sisinya, tapi dia akan menjadi yang terakhir—entah sebagai kekasih, atau algojo yang menusuknya dari belakang. Namun, permainan ini lebih berbahaya dari yang ia kira. Saat rahasia terkuak dan kebenaran mulai bertaut dengan kebohongan, Nastenka dihadapkan pada pil