“Orang-orang berubah ketika mereka tahu mana yang berharga dan mana yang hanya membuang waktu,” balas Mikhail tanpa ragu dan terdengar begitu acuh tak acuh terhadap kondisi Raisa yang semakin tidak stabil.
Raisa menggigit bibirnya, ia menatap sedih kearah Mikhail dengan mata yang nyaris mengeluarkan tangis, lalu Raisa berbalik menatap Nastenka. “Apa yang kau berikan padanya, hah? Koneksi? Seks?!”
“Astaga,” Nastenka menutup mulutnya seolah terkejut kemudian tertawa geli. “Nona Raisa, aku mohon.. jangan mengumbar frustasi pribadi ke publik seperti ini. Kau terlalu cantik untuk twerlihat menyedihkan.”
Raisa tak bisa lagi menahan diri. Ia melangkah maju untuk menampar Nastenka tapi Mikhail segera mengangkat tangan dan mencengkram tangan Raisa untuk menghentikannya.
Mikhail segera menghempaskan tangan Raisa membuat perempuan itu mundur beberapa langkah. “Satu langkah lagi Raisa, dan aku akan minta keamanan mengeluarkanmu.” Nada suaranya tenang, tapi ada amarah terpendam di dalamnya. Semua orang tahu itu bukan ancaman kosong mengingat reputasi yang dipegang Mikhail selama ini.
Raisa terdiam di tempat, wajahnya memerah menahan malu. Ia menatap Mikhail sekali lagi—harap terakhir yang masih menggantung. Tapi yang ia lihat hanya tatapan dingin dan tangan Mikhail yang melingkari Nastenka seolah menegaskan posisi barunya.
Akhirnya, Raisa melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Ia melangkah keluar dari lingkaran perhatian itu, meninggalkan ruangan tanpa berkata sepatah kata pun lagi.
Begitu punggung Raisa tak lagi terlihat, Mikhail menarik napas panjang dan berkata pelan. “Kau sangat menikmati itu, ya?”
“Tentu saja,” tanpa pikir dua kali Nastenka menjawab dengan santai.
****
Setelah kejadian antara dirinya dan Raisa berakhir, kini Nastenka mendapati dirinya sendirian berdiri di depan sebuah mahakarya lukis berupa pemandangan taman bunga mawar biru. Mawar favoritnya dan ibunya.
Melihat lukisan ini membuat Nastenka teringat sang ibu.
Lukisan itu membuatnya ingat pada hari-hari sederhana bersama sang ibu—saat mereka duduk di taman belakang rumah, di antara semak-semak mawar biru yang ditanam ibunya sendiri. Aroma manis bunga dan suara tawa hangat ibunya seperti menyusup keluar dari kanvas itu.
Dulu, sebelum semuanya hancur.
Sebelum kebencian, pengkhianatan, dan kematian mengubah hidupnya menjadi sandiwara panjang.
Nastenka memejamkan mata sesaat, mencoba menelan kenangan yang tiba-tiba menyerang begitu dalam. Tangannya menyentuh dada, seolah mencoba meredam rasa perih yang datang tanpa peringatan.
“Aku tidak akan pernah menyangka akan ada hari dimana perempuan lain berani mencemooh wanita gila itu.”
Sebuah suara terdengar dari arah samping Nastenka membuatnya membuyarkan lamunan dan segera menoleh untuk melihat siapa pemilik suara ini.
Nastenka mendapati seorang wanita dengan tinggi melebihi dirinya. Wanita ini memakai kemeja putih sederhana yang dipakai tanpa usaha untuk terlihat rapi—tiga kancing atasnya dibiarkan terbuka, menampilkan tulang selangka dan garis leher jenjang yang memesona. Kemeja itu tampak jatuh lembut di tubuhnya, kontras dengan celana high-waist berwarna krem muda yang memeluk pinggang dan memperpanjang siluet kakinya, memberi kesan elegan dan kokoh sekaligus santai.
Kulitnya berwarna sawo matang yang tampak bercahaya di bawah remang lampu galeri. Rambutnya panjang dan bergelombang lembut, berwarna coklat tua dengan kilau kemerahan samar setiap kali terkena cahaya. Rambut itu dibiarkan tergerai begitu saja, menambah kesan alami dan tak dibuat-buat.
Wanita itu berdiri dengan postur yang tak terlalu kaku tapi tetap tegap—caranya menatap lukisan menunjukkan bahwa ia bukan hanya melihat, tapi membaca, memahami, dan mungkin merasakan sesuatu yang tidak banyak orang bisa tangkap.
Lalu, ia menoleh perlahan ke arah Nastenka. Senyuman melengkung di wajahnya membuat manik mata berwarna coklat madu itu terlihat terang dan jernih—berbinar seperti terkena cahaya lilin, Tatapan itu tidak menyelidik tapi hanya ada rasa ingin tahu. Nastenka dapat mengetahui bahwa wanita ini bisa melihat lebih dari yang ditunjukkan di permukaan.
“Apa kau tahu identitas Raisa?”
“Apa aku perlu tahu?”
“Hahaha, aku suka kau.” Wanita ini tertawa, suaranya rendah tapi mengalir seperti musik jazz—lembut, namun mengandung kepercayaan diri yang tak tergoyahkan.
“Langsung menusuk tanpa peduli siapa yang berdiri di depanmu. Apalagi di hadapan wanita segila Raisa… hanya sedikit yang berani melawan dengan elegan seperti tadi.” Ia menyilangkan tangan, bahunya sedikit terangkat santai.
Nastenka mengangkat satu alis. “Kau terdengar seperti penggemar.”
“Aku pengamat,” jawab wanita itu enteng. “Dan kadang, seorang pengamat bisa jauh lebih tahu daripada mereka yang berada di panggung.”
Ia melangkah mendekat, sepatu hitam berhak pendek yang dipakainya nyaris tak bersuara di lantai marmer galeri. Kini, mereka berdiri hanya sejarak satu napas. Nastenka bergeming.
Malam datang perlahan di kediaman Romano, menyelimuti bangunan megah itu dengan bayangan panjang dan cahaya kuning hangat dari lampu-lampu gantung kristal. Aroma daging panggang, anggur merah, dan rempah-rempah Italia menguar samar dari dapur utama, mengalir pelan melewati koridor-koridor yang sunyi.Nastenka berjalan menyusuri lorong menuju ruang makan, mengenakan gaun satin berwarna merah gelap yang membentuk siluet tubuhnya seperti bayangan api. Rambutnya ditata sederhana, tapi justru membuat kecantikannya terasa lebih dingin—tajam dan tak tersentuh. Sepasang anting kecil berkilau di bawah cahaya lampu, memantulkan kilaunya tepat saat ia melewati cermin besar di dinding.Pintu ruang makan sudah terbuka. Di dalamnya, sebuah meja panjang dari kayu gelap telah disiapkan hanya untuk dua orang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan dari perak. Lilin-lilin menyala tenang di atas meja, dan setangkai bunga segar —satu-satunya elemen lembut— berdiri sendiri di vas kristal di tengah
Pintu terbuka memperlihatkan ruangan yang terkesan jauh lebih hangat dibanding kesan luar rumah ini. Langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal bergaya vintage, sementara dindingnya dibalut panel kayu kelabu pucat yang mengesankan kelembutan dan ketenangan. Sebuah tempat tidur ukuran king dengan kanopi tipis berdiri megah di tengah ruangan, seprainya tampak sehalus sutra. Tirai krem mengalir turun di sisi jendela besar yang tertutup sebagian, menyembunyikan pemandangan malam yang mungkin menakjubkan. Di sudut ruangan, ada sofa beludru lembut dengan meja kopi dari kaca bening. Rak buku tinggi berjajar rapi di sisi kanan dan ada aroma samar sandalwood bercampur mawar yang menguar di udara, entah dari mana. Nastenka berdiri di ambang pintu, memandangi ruangan itu tanpa berkata apa-apa untuk sesaat. “Bagaimana, kau suka?” tanya Mikhail, nadanya ringan namun matanya tak berhenti memperhatikan ekspresi di wajah Nastenka. Nastenka mengangkat dagunya sedikit, mencoba terlihat tena
Langit telah berganti warna menjadi abu-abu lembut ketika mobil berhenti perlahan di depan gerbang besi yang menjulang tinggi. Nastenka mengerutkan kening, menoleh ke luar jendela mobil. Gerbang seperti ini jelas bukanlah sebuah tempat hunian biasa. “Aku pikir kita akan ke apartemenmu,” gumamnya sambil menoleh ke Mikhail yang duduk disamping masih mengemudikan setir mobil dengan santai. Yang dimaksud Nastenka adalah apartemen yang pertama kali ia datangi ketika menandatangani kontrak dengan Mikhail.“Ah.. yang itu ya,” jawab Mikhail tenang dengan anggukan kecil nampak mengerti maksud Nastenka. “Ini juga termasuk apartemenku.”“Yang ada gerbang otomatis dan butuh waktu tiga menit berkendara dari gerbang ke pintu depan?” Nada suara Nastenka datar tak habis pikir dengan jawaban Mikhail.“Lokasi strategis, tenang dan aman.” Mikhail meliriknya sambil mengangkat bahunya acuh tak acuh.Mobil melaju menyusuri jalan setapak berlapis batu yang diapit taman bergaya dengan beberapa semak mawar,
“Apa tinggal bersama ada dalam klausa kontrak?” Nastenka benar-benar tidak mengerti jalan pikir pria yang dianugerahi gelar raja tanpa mahkota ini. Pagi-pagi sekali —dua hari setelah pesta pembukaan galeri itu— Mikhail muncul di depan pintu apartemennya tanpa pemberitahuan. Dan tentu saja, Nastenka tidak heran pria ini tahu di mana ia tinggal. Hal yang lebih mengganggunya adalah: kenapa Mikhail merasa punya hak untuk muncul sepagi ini, saat ia bahkan belum sempat mengenakan apapun selain baju tidur yang melilit tubuhnya.Dan parahnya Mikhail bahkan mengatakan untuk tinggal bersama di apartemennya!Mikhail menyandarkan tubuh di ambang pintu, mata menelusuri sosok Nastenka tanpa menyembunyikan niat. “Tidak,” jawabnya sambil mengangkat bahu, santai. “Tapi supaya lebih efisien.”“Efisien?” Nastenka menyipitkan mata, melipat tangan di dada. “Kau terdengar seperti pengusaha logistik.”Mendengar ini membuat Mikhail menyeringai. “Aku memang punya perusahaan yang bergerak di bidang logistik.”
“Kau tidak seperti wanita yang biasanya mengelilingi Mikhail.”Nastenka menaikkan sebelah alis, bukannya membalas ucapan wanita yang tiba-tiba muncul ini, Nastenka memilih untuk melayangkan pertanyaan. “Dan kau termasuk wanita yang mana?” Ia penasaran dengan jawaban yang akan diberikan wanita ini.Wanita ini lagi-lagi tertawa, tidak tersinggung sedikit pun. Tawa yang renyah, tidak dibuat-buat. “Sayangnya aku terlalu sibuk untuk terseret dalam pusaran drama Mikhail Romano.” Ia menyodorkan tangannya. “Sasha Vasiliev. Kita belum pernah bertemu, namun aku berharap setelah ini kita akan sering bertemu.”“Tentu.” Nastenka pun menggapai tangan wanita bernama Sasha Vasiliev ini tanpa ragu. “Natalia Arman.”“Well, Natalia.. seandainya kau bukan milik Mikhail, aku sudah pasti merebutmu ke sisiku.”Mendengar perkataan Sasha membuat Nastenka terkejut. Melihat wajah terkejut Nastenka membuat Sasha semakin melebarkan senyuman membuat kilatan matanya berbinar jenaka. “Jangan terkejut begitu, siapapu
“Orang-orang berubah ketika mereka tahu mana yang berharga dan mana yang hanya membuang waktu,” balas Mikhail tanpa ragu dan terdengar begitu acuh tak acuh terhadap kondisi Raisa yang semakin tidak stabil.Raisa menggigit bibirnya, ia menatap sedih kearah Mikhail dengan mata yang nyaris mengeluarkan tangis, lalu Raisa berbalik menatap Nastenka. “Apa yang kau berikan padanya, hah? Koneksi? Seks?!”“Astaga,” Nastenka menutup mulutnya seolah terkejut kemudian tertawa geli. “Nona Raisa, aku mohon.. jangan mengumbar frustasi pribadi ke publik seperti ini. Kau terlalu cantik untuk twerlihat menyedihkan.”Raisa tak bisa lagi menahan diri. Ia melangkah maju untuk menampar Nastenka tapi Mikhail segera mengangkat tangan dan mencengkram tangan Raisa untuk menghentikannya.Mikhail segera menghempaskan tangan Raisa membuat perempuan itu mundur beberapa langkah. “Satu langkah lagi Raisa, dan aku akan minta keamanan mengeluarkanmu.” Nada suaranya tenang, tapi ada amarah terpendam di dalamnya. Semua o