Share

Chapter 4

Author: soareii
last update Huling Na-update: 2025-03-12 16:28:38

Mikhail bukan pria bodoh.

Sejak awal, ia tahu bahwa Nastenka—atau "Natalia Arman"—bukan sekadar hadiah biasa dari Sergey Arman. Perempuan itu tidak menunjukkan ketertarikan yang berlebihan padanya, tetapi juga tidak menjaga jarak. Ia bermain di batas tipis antara ketidakpedulian dan godaan halus, seolah menari di atas benang yang hampir tak kasat mata.

Dan itu membuat Mikhail penasaran.

Biasanya, jika seorang wanita dikirim kepadanya, mereka akan berusaha mati-matian menarik perhatiannya—mereka akan mengenakan gaun paling menawan, berbicara dengan suara lembut penuh pujian, atau bahkan berusaha menyentuhnya dengan dalih yang tak perlu.

Tapi "Natalia" berbeda.

Ia tidak tampak tergesa-gesa, tidak terlihat putus asa, dan justru karena itu ia semakin menarik.

Malam itu, Mikhail sengaja menciptakan situasi untuk menguji perempuan itu.

Di ruang makan pribadinya—ruangan dengan pencahayaan redup yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terdekatnya—ia menunggu dengan gelas anggur di tangan. Lampu gantung kristal di atas meja panjang itu memancarkan cahaya lembut, memantulkan bayangan samar ke dinding berwarna gelap.

Ketika pintu terbuka, Mikhail mendongak, matanya menangkap sosok yang melangkah masuk dengan percaya diri.

Nastenka datang dengan gaun hitam sederhana, tidak terlalu terbuka tetapi cukup membentuk siluet tubuhnya dengan sempurna. Rambut hitam legamnya tergerai, memberikan kesan alami dan tidak dibuat-buat. Tidak ada ekspresi terkejut atau ragu di wajahnya, hanya senyum kecil yang hampir misterius.

"Aku merasa kurang sopan jika membiarkan tamuku makan sendirian terus-menerus," kata Mikhail santai, menuangkan anggur merah ke dalam gelasnya. Cairan merah pekat itu berputar perlahan saat ia menggoyangkan gelasnya.

Nastenka melangkah mendekat dan duduk dengan anggun di kursi yang telah disiapkan di hadapannya. Matanya meneliti meja makan dengan sekali pandang—makanan mewah tersaji rapi, tetapi jumlahnya tidak berlebihan. Di antara cahaya lilin yang berkelap-kelip, matanya yang biru tampak sedikit berbinar, menangkap refleksi cahaya keemasan di dalamnya.

"Aku tidak keberatan makan sendiri," katanya dengan nada ringan, mengambil gelas anggur yang disiapkan untuknya. "Tapi tentu saja aku menghargai undanganmu."

Mikhail menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung tipis.

Perempuan ini tidak mudah digoyahkan, dan itu membuatnya semakin menarik.

Ia menyesap anggurnya perlahan sebelum akhirnya berbicara, "Jadi, kau datang ke sini sebagai jaminan utang Sergey." Ia mengamati ekspresi Nastenka dengan seksama. "Tapi aku masih bertanya-tanya… apa kau benar-benar rela menjadi bagian dari kesepakatan ini?"

Nastenka tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, jemarinya bermain di pinggiran gelas anggur, seolah memikirkan sesuatu.

Lalu, dengan suara tenang, ia berkata, "Sejujurnya, aku tidak peduli tentang utang keluarga Arman." Ia mengangkat bahu sedikit, sebelum menatap Mikhail tepat di matanya. "Yang aku pedulikan adalah hidupku sendiri."

Di ruangan yang sepi, kata-kata itu bergema seperti tantangan halus.

Mikhail menaikkan alisnya, tertarik.

"Oh?" Ia meletakkan gelasnya dan menautkan jemarinya di atas meja. "Lalu, bagaimana menurutmu hidup seperti apa yang layak untukmu?"

Nastenka menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan kakinya dengan santai. "Hidup yang tidak membosankan," jawabnya tanpa ragu. "Aku ingin hidup dengan cara yang aku pilih sendiri. Tidak dikendalikan oleh orang lain, tidak terikat pada apa pun… termasuk utang keluarga Arman."

Mikhail menatapnya lama, lalu tertawa kecil.

"Ambisius," katanya akhirnya. "Tapi dunia ini tidak bekerja seperti itu. Semua orang terikat pada sesuatu."

Nastenka tersenyum, tetapi tidak membalas.

Mereka bertukar pandang, seperti dua pemain catur yang sedang menilai gerakan masing-masing.

Nastenka menatapnya balik, bibirnya melengkung dalam senyum menggoda. "Aku hanya tahu satu hal, Mikhail. Kau bisa melakukan apa pun padaku… asalkan kau melunasi utang mereka."

Mikhail mengangkat alis, tertawa pelan. "Berani sekali kau berkata begitu." Mikhail lalu mengangkat gelasnya dan berkata dengan nada acuh tak acuh. "Kau tahu.. kalau kau berkata begitu, tandanya kau siap terikat padaku selamanya."

"Bukan masalah, pada akhirnya.. ini semua pilihanku sendiri tanpa dipaksa oleh siapapun." Nastenka tetap tenang menyesap anggurnya perlahan.

Mikhail menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Wanita ini tidak takut padanya. Tidak seperti orang lain yang akan dengan mudah terintimidasi oleh keberadaannya, Nastenka malah bermain dengan api.

Dan Mikhail selalu tertarik pada mereka yang berani mendekati apinya.

Mikhail mengamati perempuan di hadapannya dengan tatapan penuh ketertarikan yang samar.

Biasanya, ketika seseorang membuat kesepakatan dengannya, mereka akan menunjukkan tanda-tanda ketakutan—bahkan jika mereka mencoba menyembunyikannya. Tapi Nastenka tidak. Ia tidak tampak ragu, tidak ada sedikit pun kegelisahan dalam sorot matanya yang biru jernih.

Seolah-olah ia memang terlahir untuk berada di sini.

Mikhail meletakkan gelasnya dengan lembut di atas meja, jemarinya beradu satu sama lain saat ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Jadi kau ingin hidup dengan caramu sendiri," katanya pelan, suaranya bergetar rendah dalam keheningan ruangan. "Tapi menariknya, kau memilih masuk ke dalam sangkar macan untuk mendapatkannya."

Nastenka tersenyum, tetapi tidak menanggapi dengan segera. Ia memainkan batang gelas anggur di antara jemarinya, membiarkan keheningan menggantung cukup lama sebelum akhirnya berbicara.

"Kau mungkin berpikir aku bodoh," katanya akhirnya, suaranya terdengar tenang. "Tapi aku percaya… tidak ada yang benar-benar bebas di dunia ini. Jika aku harus memilih untuk terikat, setidaknya aku ingin tahu siapa yang mengikatku."

Mikhail menyipitkan matanya. Kata-katanya ambigu, namun penuh makna.

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, meneliti wajah perempuan itu lebih dalam. "Kau tahu siapa aku, Natalia. Dan kau tahu konsekuensi yang datang dengan berada di dekatku," ucapnya, nada suaranya lebih dingin sekarang. "Namun kau masih di sini."

Nastenka tidak bergeming. Ia menyesap anggurnya sekali lagi sebelum meletakkan gelasnya dengan gerakan yang hampir anggun. "Aku di sini karena aku ingin," katanya, matanya tidak berpaling sedikit pun dari milik Mikhail. "Bukan karena aku takut. Bukan karena aku terpaksa."

Keheningan kembali menyelimuti mereka.

Di luar, angin malam bertiup perlahan, menggetarkan tirai tipis yang menutupi jendela besar ruangan itu. Suara detik jam terdengar samar di antara kesunyian mereka, seolah menandakan bahwa percakapan ini lebih dari sekadar obrolan biasa.

Mikhail akhirnya tertawa kecil, suara gelap dan rendah yang hampir seperti bisikan di udara. "Kau tahu, semakin lama aku berbicara denganmu, semakin aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa melangkah."

Nastenka menatapnya dengan senyum yang tidak bisa ditebak. "Maka bersiaplah, Mikhail," bisiknya. "Karena aku bukan seseorang yang mudah dipatahkan."

Mikhail menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu mengangkat gelasnya sekali lagi. "Kalau begitu," katanya, nada suaranya sedikit lebih ringan, "mari kita lihat sejauh mana permainan ini bisa berjalan."

Gelas mereka bertemu dengan bunyi dentingan halus—tanda dari sebuah kesepakatan yang tak terucapkan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Owned by My Enemy   chapter 7

    Mikhail menatap datar ke arah perempuan di hadapannya. Rambutnya yang biru laut karena dicat tergerai sedikit berantakan, matanya menyipit dengan ekspresi kesal. Ekatarina Lev Romano—atau yang sering dipanggil Katya—si bungsu keluarga Romano dan satu-satunya anak perempuan di keluarga itu. Jadi bisa dibayangkan betapa dimanjakannya perempuan ini. “Malam-malam datang ke sini hanya untuk menggerutu soal Ayah?” “Kenapa memangnya? Tidak boleh?” Katya balas dengan nada sebal, matanya berkilat penuh tantangan. Mikhail mendesah pelan, menyandarkan punggung ke kursi dengan ekspresi malas. “Bukan begitu, Katya.” Ia mengamati adiknya yang masih bersungut-sungut. “Hanya saja, kau benar-benar memilih waktu yang buruk.” Katya mendengus, melipat tangan di depan dada. “Kau selalu bilang begitu setiap kali aku datang. Apa aku harus buat janji dulu kalau ingin bertemu kakakku sendiri?” Mikhail menatapnya sekilas sebelum mengangkat gelas whiskey di tangannya, menyesap cairan keemasan itu perlaha

  • Owned by My Enemy   Chapter 6

    Nastenka tidak mundur. Sebaliknya, ia mengangkat kepalanya, membiarkan bibirnya melayang di dekat telinga Mikhail, begitu dekat hingga ia bisa merasakan panas tubuh pria itu. "Kau ingin tahu, Mikhail?" bisiknya, suaranya seperti racun yang merayap pelan ke dalam kesadaran. Ia memiringkan kepalanya sedikit, dan kemudian—sentuhan pertama terjadi. Tidak banyak. Tidak berlebihan. Hanya desiran lembut bibirnya yang hampir tidak menyentuh kulit di rahang Mikhail, sebuah gesekan samar yang lebih terasa seperti ilusi dibandingkan kenyataan. Tetapi cukup untuk menyalakan sesuatu di dalam dirinya. Mikhail mengangkat dagunya sedikit, membiarkan matanya bertemu dengan mata biru cerah itu dalam jarak yang begitu dekat. Matanya tidak menunjukkan reaksi apa pun—tidak ada keterkejutan, tidak ada kepanikan, tidak ada rasa terpojok. Sebaliknya, ada sesuatu yang lebih gelap di sana. Sesuatu yang mendekati rasa penasaran. Ia menarik napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Lihat siapa yang mencoba

  • Owned by My Enemy   chapter 5

    Mikhail tahu ia sedang dimainkan. Tapi yang lebih mengesalkan dari itu—ia membiarkan dirinya terbawa dalam permainan ini. Di depannya, Nastenka duduk dengan santai, memutar-mutar gelas anggurnya seolah tak ada yang lebih menarik daripada cairan merah tua yang berputar di dalamnya. Ia tidak terburu-buru berbicara, tidak mencoba menarik perhatiannya secara terang-terangan. Namun, justru karena itu, Mikhail terus memperhatikannya. Anggur dalam gelasnya hampir habis ketika Nastenka akhirnya bergerak. Bukan untuk menuangkan minuman lagi, tetapi untuk bangkit dari tempat duduknya. Gerakannya pelan—begitu tenang, begitu anggun—hingga seolah ia adalah bagian dari bayangan ruangan yang suram ini. Mikhail tetap bersandar di kursinya, membiarkan matanya mengikuti pergerakan wanita itu. "Natalia," panggilnya, suaranya rendah dan sarat dengan peringatan. Nastenka hanya tersenyum. Tanpa diminta, ia berjalan mengitari meja panjang itu, langkahnya nyaris tanpa suara. Cahaya lilin memantulkan k

  • Owned by My Enemy   Chapter 4

    Mikhail bukan pria bodoh. Sejak awal, ia tahu bahwa Nastenka—atau "Natalia Arman"—bukan sekadar hadiah biasa dari Sergey Arman. Perempuan itu tidak menunjukkan ketertarikan yang berlebihan padanya, tetapi juga tidak menjaga jarak. Ia bermain di batas tipis antara ketidakpedulian dan godaan halus, seolah menari di atas benang yang hampir tak kasat mata. Dan itu membuat Mikhail penasaran. Biasanya, jika seorang wanita dikirim kepadanya, mereka akan berusaha mati-matian menarik perhatiannya—mereka akan mengenakan gaun paling menawan, berbicara dengan suara lembut penuh pujian, atau bahkan berusaha menyentuhnya dengan dalih yang tak perlu. Tapi "Natalia" berbeda. Ia tidak tampak tergesa-gesa, tidak terlihat putus asa, dan justru karena itu ia semakin menarik. Malam itu, Mikhail sengaja menciptakan situasi untuk menguji perempuan itu. Di ruang makan pribadinya—ruangan dengan pencahayaan redup yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang terdekatnya—ia menunggu dengan gelas anggur di ta

  • Owned by My Enemy   chapter 3

    Pesta telah usai, tetapi permainan di antara mereka baru saja dimulai. Nastenka tidak langsung jatuh dalam genggaman Mikhail, dan itulah yang membuat pria itu semakin tertarik. Biasanya, wanita yang berada di dekatnya akan berlomba-lomba menarik perhatiannya—mereka akan tertawa manis di hadapannya, menciptakan sentuhan-sentuhan kecil yang disengaja, atau dengan mudahnya tunduk hanya demi mendapatkan seulas senyuman darinya. Namun, tidak dengan Nastenka. Ia tahu kapan harus mendekat dan kapan harus menjauh. Ia tahu cara menarik perhatian tanpa terlihat putus asa. Ia bermain tarik ulur dengan begitu lihai, membuat Mikhail mulai melihatnya lebih dari sekadar "hadiah" dari keluarga Arman. Malam itu, setelah para tamu pergi dan suasana kembali sunyi, Mikhail duduk di ruang kerjanya, menyesap anggur merah yang tersisa di gelasnya. Api di perapian berpendar redup, sesekali mengeluarkan suara kayu yang retak terbakar. Namun, pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Untuk pertama kalinya

  • Owned by My Enemy   chapter 2

    Mikhail tidak segera menyambut uluran tangannya. Ia hanya menatap Nastenka—atau Natalia—dengan mata tajamnya yang sulit diterjemahkan. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat dalam sekejap. Sergey Arman yang berdiri di samping Nastenka tampak sedikit gelisah, tetapi pria tua itu cukup pintar untuk tidak menyela. Lalu, perlahan, Mikhail mengangkat tangannya dan menyambut uluran Nastenka. Jemarinya kokoh, sedikit dingin, namun genggamannya tidak kasar. Ia tidak mengeceng erat, tetapi cukup kuat untuk menunjukkan dominasinya. “Sebuah kehormatan juga,” jawabnya santai, suaranya dalam dan berwibawa. “Aku tidak ingat Sergey pernah menyebut punya keponakan yang secantik ini.” Nastenka tersenyum, meskipun dalam hatinya ia menyimpan kewaspadaan. Mikhail bukan tipe pria yang mudah menerima informasi begitu saja. “Aku memang bukan seseorang yang sering diperkenalkan,” jawabnya lembut, matanya menatap Mikhail dengan sedikit godaan halus. “Tapi aku senang akhirnya bisa berkenalan deng

  • Owned by My Enemy   chapter 1

    Nastenka menatap pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya yang dulu penuh senyuman dan kebahagiaan itu kini mendingin dan hanya terukir senyum sarkas atau seringaian tanpa arti. Ia saat ini sedang merias dirinya, menggunakan pemerah bibir dan memoles tipis wajahnya. Ia tidak pernah suka memakai make up tebal, jadi selain pemerah bibirnya yang berwarna merah darah, wajahnya tidak diberi warna 'berani' yang macam-macam. Nastenka memakai gaun berwarna merah marun yang mencetak lekuk tubuhnya dengan sangat baik. Gaun ini dulu milik ibunya dan satu-satunya gaun bermerk dengan harga tinggi yang tersisa. Karena hampir seluruh barang berharga yang bisa diungkan sudah dijual oleh ibunya demi kehidupan mereka sehari-hari ketika mereka berdua masih takut diburu oleh orang yang menginginkan kematian mereka. Nastenka tidak suka menggunakan gaun yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Jadi hampir seluruh pakaiannya adalah pakaian longgar yang tidak begitu ketak, ia juga menyukai warna pastel

  • Owned by My Enemy   Prolog

    Dendam adalah racun yang mengalir pelan, membakar setiap nadi dengan keinginan untuk menghancurkan. Nastenka Theodor tidak pernah berpikir akan menempuh jalan ini—menjadi bayangan yang menyusup ke dalam kehidupan pria yang telah merenggut segalanya darinya. Mikhail Dimitri Lev Romano. Nama itu bergaung di benaknya, mengingatkannya pada malam di mana keluarganya musnah dalam kobaran api. Dunia mereka adalah dunia yang sama—penuh kemewahan, pengkhianatan, dan darah yang mengering di ujung peluru. Kini, ia melangkah ke dalamnya bukan sebagai korban, tetapi sebagai pemain. Dengan nama baru, wajah yang tersenyum manis, dan niat yang beracun, Nastenka menawarkan dirinya pada Mikhail. Dia bukan wanita pertama yang ingin berada di sisinya, tapi dia akan menjadi yang terakhir—entah sebagai kekasih, atau algojo yang menusuknya dari belakang. Namun, permainan ini lebih berbahaya dari yang ia kira. Saat rahasia terkuak dan kebenaran mulai bertaut dengan kebohongan, Nastenka dihadapkan pada pil

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status