"Bisa bantu saya bawakan ini?"
Aluna mengangguk lalu meraih satu kantong kresek berwarna putih yang berisi banyak snack dan camilan. Aluna tidak ikut Dirga masuk ke minimarket dan lebih memilih untuk menunggu di luar. Sampai saat ini pikirannya masih belum bisa berpikir jernih. Entah obat apa yang pria itu beli. Entah untuk siapa obat itu. Mengingat mungkin saja hari ini mereka berdua akan melakukan aktivitas yang memerlukan sebuah obat."Argh …." Aluna mengusak rambutnya."Kamu kenapa?" tanya Dirga bingung."Nggak.""Kamu nggak lagi sakit, 'kan?" tanya Dirga sekali lagi."Nggak, Om.""Bagus kalau begitu. Ayo, kita pergi."Dirga meraih tangan Aluna lalu mengaitkan pada lengannya. Hal yang membuat Aluna mengernyitkan dahi. Terlebih saat melihat Dirga sedang mengedipkan sebelah mata."Gandeng tangan saya, ya. Sekarang 'kan kamu pacar saya," goda Dirga.Aluna menghela napas, pasrah saat Dirga sudah menggandeng tangannya. Mereka berdua mulai berjalan menuju ruang hotel yang Dirga pesan. Kata Dirga, ruangan yang akan mereka tempati ada di lantai atas.Aluna cukup terkesima dengan hotel pilihan Dirga. Hotel bintang lima yang berada di Jakarta Pusat. Mengusung tema classic british, hotel ini terkesan mewah dan berkelas. Tentu saja, karena yang ada disini adalah orang-orang berduit seperti Dirga."Resepsionisnya ada di lantai 20. Saya belum reservasi," tutur Dirga."Bagaimana, hotelnya bagus, bukan?" cecarnya lagi."Iya, bagus," jawab Aluna."Nanti kita pesan kamar yang Deluxe Cityscape saja, ya. Biar kamu juga nyaman. Kita nginep dua hari.""Dua hari?" Seketika mata Aluna terbelalak."Iya, dua hari. Kamu boleh pergi ke kampus. Tapi kamu harus kembali ke sini lagi." Pintu lift terbuka.Aluna tidak menjawab, pikirannya semakin kacau. Apa yang akan mereka berdua lakukan di hotel selama dua hari? Aluna menoleh ke arah Dirga, memandang pria itu dengan tatapan tidak percaya. Sudah tua, tetapi pikiran pria itu hanya tentang kesenangan dunia. Aluna sampai menggelengkan kepala melihat raut wajah Dirga yang begitu bersemangat. Dasar pria mesum!"Deluxe Cityscape, untuk dua hari." Dirga berbicara dengan resepsionis."Baik. Ada tiga kamar kosong.""Pilih yang paling bagus."Setelah memilih, Dirga kemudian melakukan pembayaran dan sekarang kunci kamar sudah ada di tangan. Aluna semakin gusar, itu artinya sebentar lagi mereka akan sampai di kamar hotel dan melakukan hal gila bersama. Meskipun Dirga pria yang tampan, tetapi Aluna masih belum siap untuk menyerahkan hal yang paling berharga itu pada pria yang tidak ia cintai. Jika bukan karena uang semester dan pria kampung gila itu, mungkin Aluna sudah lari saat ini juga."Ngelamun apa?" tanya Dirga."Si-siapa yang ngelamun?" Aluna mendadak gugup."Kalau begitu, ayo! Saya sudah tidak sabar ingin segera berbaring."Entah kenapa setiap kata yang keluar dari mulut Dirga selalu berhasil membuat Aluna berpikir kotor. Aluna yang kembali menggandeng tangan Dirga terus mengutuk diri dalam hati atas pikiran kotornya. Mereka berdua kembali naik lift. Kamar yang Dirga pesan berjarak dua lantai dari tempat resepsionis tadi."Jangan tegang. Rileks saja." Dirga terkekeh melihat tingkah kaku Aluna."Hmm …." Aluna malas menanggapi.Pintu lift terbuka, kamar dengan nomor 303 menjadi tujuan mereka. Tidak ada percakapan setelah mereka keluar dari lift. Dirga fokus pada langkahnya sedangkan Aluna sedang sibuk menata hati yang sudah gelisah tidak karuan."Eh, berhenti!"Aluna kaget saat tiba-tiba Dirga menariknya dan mengajak Aluna untuk bersembunyi di balik tembok. Aluna menurut meskipun ia masih bingung. Dirga menaruh jari telunjuk di bibir. Aluna paham, pria itu memberi kode pada Aluna agar diam dan tidak keluar dari persembunyian."Sedang apa dia di sini?"Dirga menajamkan pandangan, seseorang berhasil menarik perhatian sang CEO tampan itu. Dirga terus mengintip dan seketika dadanya bergemuruh hebat. Tidak salah lagi, orang yang baru saja dia lihat adalah Mayang sang istri."Kurang ajar!"Tanpa sadar Dirga meninju tembok cukup kencang. Amarah seketika menyelimuti, hatinya sakit melihat sang istri sedang bergandengan tangan dengan pria lain. Mayang dan pria itu terlihat sedang berdiri di depan pintu kamar yang bersebelahan dengan kamar yang dipesan Dirga."Ada apa, Om?"Dirga menoleh ke belakang. Saking marah, Dirga sampai melupakan presensi Aluna yang ada di belakangnya. Dirga menarik napas dalam, mencoba menetralkan pikiran yang berkecamuk hebat. Terlebih saat melihat wajah Aluna yang ketakutan, Dirga berusaha mengulas senyum agar gadis itu tidak khawatir."Sebentar, ya," ucap Dirga.Aluna mengangguk dan kembali diam seperti tadi. Demi apa dia takut setengah mati saat Dirga tiba-tiba meninju tembok. Tatapan nyalang pria itu terlihat sangat menyeramkan. Aluna bahkan refleks meremas ujung jas Dirga saking terkejut.Dirga kembali mengintip, kali ini dia mengeluarkan ponsel dan memotret Mayang bersama selingkuhannya. Setelah selesai, Dirga mengirim foto itu pada seseorang. Belum mendapat balasan, Dirga kembali menaruh ponsel itu ke dalam saku jas."Kita ke bagian resepsionis sebentar.""Ada apa, Om?" tanya Aluna penasaran."Ikut saja!"Suara Dirga mulai meninggi. Dirga segera berjalan ke arah lift tanpa menggandeng tangan Aluna. Pria itu terlihat sangat tergesa-gesa, Aluna bahkan sampai harus mengambil langkah besar untuk menyusul Dirga. CEO tampan itu terlihat sedang marah besar.Tidak ada percakapan selama di lift. Saat pintu lift terbuka, Dirga berjalan cepat menuju meja resepsionis tanpa memperdulikan Aluna yang setengah berlari mengejar Dirga. Entah apa yang Dirga bicarakan, tapi terlihat pria itu sedang menggebrak meja."Cepat beritahu saya. Atau saya bisa buat kekacauan di tempat ini.""Ba-baik. Tunggu sebentar."Aluna yang sudah berada di samping Dirga mencoba mengatur napas karena lelah setelah berjalan cepat tadi. Sang resepsionis terlihat sedang mengetik sesuatu dengan raut wajah yang ketakutan. Sementara Dirga, wajah pria itu terlihat merah padam dengan tangan yang mengepal. Aluna sampai mengernyitkan dahi karena bingung apa yang membuat sang CEO tiba-tiba marah besar."Kamar itu dipesan atas nama Krisna Wiguna. Reservasi dua hari yang lalu dan akan check out besok pagi," papar resepsionis."Kurang ajar! Dia sudah membohongiku!"Dirga segera mengambil ponsel dan menelpon seseorang. Tidak mendapat jawaban, Dirga kembali mencoba menghubungi lagi. Umpatan dan sumpah serapah terus ia lontarkan selama menunggu panggilan telepon diangkat."Kenapa lama sekali, hah?" teriak Dirga saat panggilannya diangkat."Maaf, Bos. Tadi ada klien." Terdengar suara seorang pria dari ponsel."Cari tahu pria yang bernama Krisna Wiguna. Aku sudah kirim fotonya." Nada bicara Dirga penuh penekanan."Baik, Bosku. Kamu bisa ngandelin sahabatmu ini. Percayakan pada Bagas si mata-mata." Terdengar gelak tawa dari seberang sana."Oke. Nanti malam aku tunggu kabar dari kamu."Panggilan telepon ditutup, Dirga kembali menaruh ponselnya dalam saku jas. Dirga mengusap wajah dengan kasar seraya melemparkan kata umpatan. Pria itu frustasi, kabar tentang perselingkuhan sang istri ternyata benar. Dirga sudah melihat dengan mata kepala sendiri."Om kenapa? Om baik-baik saja, 'kan?"Aluna memberanikan diri untuk bertanya pada Dirga. Dirga menoleh lalu menghela napas kasar. Karena tersulut emosi Dirga sampai melupakan keberadaan Aluna yang sejak tadi berdiri di sampingnya."Kamu bisa pulang sendiri, 'kan?"Suasana mendadak berubah tegang. Dirga mengeluarkan dompet lalu menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah pada Aluna. Aluna hanya menatap lembaran uang itu dengan tatapan bingung."Ini, ambilah. Kamu pulang pakai taksi. Makanannya buat kamu saja. Saya mau pulang. Mau istirahat."Dirga segera pergi setelah menyerahkan uang dan makanan yang tadi dia beli pada Aluna. Tanpa permintaan maaf, pria itu sekali lagi meninggalkan Aluna seorang diri setelah memberi Aluna sejumlah rupiah. Aluna menatap nanar lembaran uang itu juga dua kantong kresek berisi makanan. Gadis itu mulai mengasihani diri."Sehina inikah aku?" Seketika air mata luruh dari sudut matanya.Seminggu setelah kejadian itu, Dirga dan Aluna tidak saling menghubungi satu sama lain. Hal yang Aluna syukuri karena sampai saat ini mahkotanya masih terjaga dengan baik. Walau jauh dari dalam lubuk hati, Aluna masih sedih dengan perlakuan Dirga tempo hari. Gadis dengan rambut diikat bun itu kembali mengetik. Mengerjakan tugas kuliah yang sempat terbengkalai. Namun, pikirannya tidak bisa fokus. Entah kenapa, wajah Dirga terus terbesit dalam isi kepala. "Dia mirip serigala," celetuknya. Dirga Aryatama, dua kali bertemu dan pria itu seperti memiliki dualitas yang berbeda di mata Aluna. Sikap ramah yang sempat membuat Aluna nyaman dan tidak takut sekalipun mereka baru saling kenal. Akan tetapi, di sisi lain sifat dingin yang ditunjukkan pria itu mampu membuat Aluna bergidik ngeri. Sorot mata tajam dengan tatapan mengintimidasi, hanya sekali ucap siapapun akan dibuat takut oleh CEO tampan itu. "Kenapa aku peduli? Kamu pasti sudah tidak waras, Aluna." Gadis itu memukul dahi pelan, lal
"Dasar gila!"Dirga tertawa kecil mendengar umpatan dari Bagas. Sejak semalam Bagas tak henti mengoceh karena tindakan Dirga yang menurut Bagas sangat di luar nalar. Kebiasan buruk Dirga, pria itu tak segan menghamburkan uang jika sedang mengalami tekanan atau masalah. Seperti malam tadi, pria berpangkat CEO itu membeli sebuah penthouse mewah di salah satu apartemen terkemuka di kawasan Jakarta Pusat dan membayar cash malam itu juga. Lebih gilanya lagi, Dirga mengatakan pada Bagas jika dia memiliki seorang pacar seorang mahasiswi. Hal yang membuat Bagas tercengang tidak percaya, sejak kapan Dirga menjadi seliar itu? "Udah ngapain aja?" tanya Bagas penasaran. "Apanya?" Dirga masih fokus mengecek berkas laporan keuangan bulanan. "Iya, udah ngapain aja sama pacar kamu itu? Pelukan? Ciuman? Atau …." Bagas semakin tidak sabar. "Belum aku apa-apain. Masih segel," jawab Dirga asal. "Yakin masih segel? Kalau udah bobol?" Pertanyaan Bagas mendapat delikan mata dari Dirga. Takut, Bagas s
Aluna menelan saliva saat pria itu meloloskan kemeja putih dari tubuh atletisnya. Dirga sudah duduk membelakangi Aluna. Menyodorkan punggung putih mulus tersebut untuk mendapatkan terapi dari sang pacar rahasia. "Aku mulai, ya, Om."Aluna membalur minyak angin yang baru dia beli beberapa saat lalu pada punggung Dirga. Secara perlahan ia mengolesi minyak angin agar terbalur dengan rata. Tanpa Aluna sadari sentuhan lembut yang dia lakukan menimbulkan desiran asing pada aliran darah pria itu.. "Kalau sakit bilang, ya."Dirga mengangguk paham dan Aluna mulai mengerok punggung sang CEO dengan koin. Garis merah kini menghiasi punggung Dirga. Pria itu benar-benar sedang sakit. "Istri saya sudah mengakui kalau dia selingkuh. Kami berdua bertengkar."Aluna berhenti sejenak saat Dirga membuka suara. Pria itu tiba-tiba saja menceritakan permasalahannya dengan sang istri. Aluna tidak menanggapi, dia kembali mengerok punggung Dirga. "Sampai saat ini, kami belum dikaruniai seorang anak. Dia men
Sudah cukup lama Dirga berdiri di depan pintu kamar mandi. Menggedor secara berulang sambil memanggil nama Aluna. Hampir satu jam Aluna berada di dalam dan sampai saat ini gadis itu masih enggan keluar. "Teman saya sudah pulang. Apa kamu nggak bosan diam di dalam terus?""Sebentar lagi, Om," teriak Aluna dari dalam. "Kamu lagi ngapain, sih? Udah satu jam kamu di dalam."Dirga mendengus, semua ini gara-gara Bagas. Gadis itu pasti malu setengah mati karena kepergok hendak berbuat mesum. Sekali lagi Dirga mengetuk pintu, membujuk Aluna agar keluar dari sana. "Saya hitung sampai tiga. Kalau tidak keluar, saya dobrak pintunya." Dirga mulai berhitung. "Satu … dua … ti …."Handle pintu bergerak, Aluna perlahan membuka pintu kamar mandi dengan wajah tertunduk. Sumpah demi apa wajahnya kini sudah semerah tomat. Aluna berharap jika saat ini dia menjadi butiran debu saja yang tertiup hembusan angin. Dia tidak punya muka untuk menatap wajah Dirga saat ini. "Jalan-jalan, yuk. Saya bosan."Sat
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa malam sudah tiba. Aluna dan Dirga tengah duduk berhadapan menunggu pesanan mereka datang. Seharian bermain di pantai ternyata menyenangkan dan cukup menguras energi. Mereka tengah makan malam berdua di salah satu restoran yang ada di kawasan pantai Ancol. "Bagaimana laptopnya, sudah kamu coba?" "Sudah. Bagus, Om. Terima kasih. Saya tinggal pindahin semua filenya." Aluna nampak sumringah. "Papi, Papi Dirga. Jangan panggil Om lagi, oke!" Dirga mengingatkan. "Iya, Papi."Dirga tersenyum melihat sikap patuh Aluna. Tidak pernah sekalipun gadis itu menolak apapun yang Dirga minta. Jika diperhatikan lebih teliti lagi, Aluna cukup cantik, tidak kalah cantik dengan Mayang semasa muda dulu. Gadis berpenampilan sederhana itu terlihat menggemaskan dengan kedua lesung pipi. Menambah kesan manis apalagi ketika Aluna sedang tersenyum."Bagaimana kabar pria itu? Pria yang dijodohin sama kamu itu, apa dia datang lagi?" Dirga kembali membuka percakapan."Nggak
Dirga berjalan cepat setelah sampai di rumah sakit yang dituju. Setelah beberapa saat akhirnya Dirga sampai di ruangan tempat Mayang dirawat. Terlihat sang istri tengah terbaring dengan tangan di gips dan perban di kepala. "Mayang, kamu baik-baik saja? Kenapa bisa seperti ini?"Dirga sudah tidak bisa membendung lagi perasaan khawatir. Meraih sebuah kursi yang ada di sana, Dirga segera mengambil tempat di samping ranjang milik Mayang. Pria itu meraih tangan sang istri lalu mengusap punggung tangan mulus itu dengan lembut. "Pak Ilham tadi mengantuk. Jadi, ya gitu, deh. Seperti yang kamu lihat sekarang."Mayang sama sekali tidak berminat melihat kehadiran Dirga. Andai saja sebelah tangannya tidak di gips, mungkin dia akan mengambil posisi memunggungi sang suami. Meski mendapat perlakuan dingin dari sang istri, Dirga tetap berusaha memasang senyum dihadapan wanita terkasihnya. "Kamu udah makan? Mau aku belikan sesuatu?" bujuk Dirga. "Tidak usah. Aku nggak lapar," jawab Mayang seperlun
"Sudah sadar, Bro? Syukurlah."Bagas yang baru saja membuka curtain jendela bernapas lega saat melihat sang sahabat sudah sadarkan diri. Bagas berbalik, terlihat Dirga sedang membenahi posisi bersandar di punggung ranjang seraya mengurut pelipis. Melihat itu Bagas langsung mengambil segelas air kemudian memberikannya kepada Dirga. "Ini, Bro. Diminum dulu. Pak Bos kalau lagi patah hati nyusahin," keluh Bagas. "Terima kasih."Air tersebut habis dalam sekali teguk, pria itu kemudian menaruh gelas kosong tersebut di atas nakas. Dirga kembali bersandar, kepalanya masih terasa pusing. Mungkin ini akibat karena dia mabuk semalam. "Kamu yang antar saya balik ke apartemen, Gas?" tanya Dirga. "Menurutmu, siapa lagi?" cebik Bagas. Pria itu melipat tangan di dada. "Untung aja aku aktifin GPS, kalau nggak kamu bakal habis digerayangi sama cewek-cewek gatel disana." Bagas terlihat kesal. "Kamu kenapa, Bro? Ada masalah?"Dirga terlihat menghela napas, kejadian semalam masih teringat jelas dalam
Aluna dan Rere terlihat tergesa. Bagaimana tidak, hari ini si dosen killer mengajar di jam pertama dan mereka sudah terlambat lima menit. Salahkan Aluna yang bangun kesiangan. Bahkan mereka berdua tidak mandi, hanya gosok gigi setelah itu memakai minyak wangi yang banyak agar bau tubuh mereka tersamarkan. "Loh?"Keduanya melongo, kelas ternyata belum dimulai. Aluna dan Rere lekas duduk di bangku masing-masing. Dengan napas terengah Aluna menyandarkan tubuhnya di punggung kursi, detik selanjutnya dia mulai mengeluarkan buku catatan di atas laptop yang ditaruh di atas meja. "Wow!!"Salah satu mahasiswi berjalan menuju tempat duduk Aluna dengan mulut menganga. Aluna memicingkan mata, terlebih saat mahasiswi itu meraih laptop Aluna. Memutar-mutar benda tersebut, memastikan jika ia tidak salah lihat. "Nggak salah, Lun? Ini punya kamu?" tanya mahasiswi yang bernama Rosi. "Iya, memangnya kenapa?" "Dapat uang darimana kamu? Jual diri, ya? Ini 'kan laptop keluaran terbaru. Aku aja nggak m