LOGIN
Semua hal yang terjadi dalam hidup ini adalah apa yang sudah Tuhan gariskan di atas telapak tangan. Berada dalam sebuah keluarga yang harmonis dan penuh kasih sayang terasa seperti sebuah berkah dan keberuntungan yang tidak cuma-cuma Tuhan berikan. Bagaimana babak kehidupan baru itu dimulai seperti sebuah perubahan besar yang seorang Jonathan Carringtoon Lee rasakan, sebuah proses perkenalan dengan dunia asing yang mengantarkan pertemuan menakjubkan dengan dua orang hebat yang menciptakan sebuah makna penting dalam kehidupannya, ‘Keluarga’.
“Doctor Turner! Observasi pasien dan jangan lupa kabari aku saat pasien siuman, ok?”
“Baik, Dokter Lee.”
Kedua orang yang tadinya berjalan berdampingan setelah berbicara dengan keluarga pasien itu pada akhirnya berpisah, seorang residen bedah yang berbalik arah berlawanan sementara dokter bedah kardiothoraks yang sedikit demi sedikit mulai mempercepat langkah kakinya itu mulai nyaris berlari menuju ujung sebuah lorong sepi. Sepatu rubber dan pakaian berwarna biru tua masih melekat pada tubuh pria gagah berwajah asia yang segera membuka pintu ruang ganti sekaligus ruang transit dokter bedah yang tak berpenghuni.
Bergegas ia membuka pakaian yang kemudian ia lempar ke keranjang pakaian kotor dan menggantinya dengan handuk berwarna putih mengitari pinggangnya. Buru-buru ia memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri karena pikirannya hanya tertuju pada satu hal, tentang sebuah acara penting yang tidak bisa ia lewatkan atau ia tunda. Sangking terburu-burunya ia pun sampai tak menyadari seseorang yang baru saja datang dan berdiri tepat di sebelah loker miliknya sembari mencari perhatian.
Dengan cepat si pria yang sedang diburu waktu itu mengambil dan mengenakan celana bahan berwarna cokelat gelap berserta kemeja berwarna putih yang tergantung di loker, dasi kupu-kupu berwarna cokelat dan jas berwarna senada dengan celananya pun tak lupa ia kenakan dengan cepat.
“Chill, Lee ~ acara tidak akan dimulai tanpa dirimu.”
Sosok sibuk bernama Jonathan Carrington Lee itu memeriksa ponsel yang ia ambil dari loker, sebuah pesan dari adiknya yang memberi kabar bahwa acara telah dimulai, membuatnya berusaha mengenakan sepatu yang entah mengapa tiba-tiba terasa kekecilan.
“Kau salah! Acara baru saja dimulai, Kim!” Sosok bernama Kim itu tersenyum tipis. “Setidaknya aku butuh 30 sampai 40 menit untuk sampai di sana.”
“Cukup jika mereka memberi 40 menit sambutan. Kudengar mereka membuat acara yang terderngar seperti jamuan pemegang saham ketimbang pertunangan. Kau tidak perlu terburu-buru toh masih ada rangkaian acara lain. Kau adalah bintang utamanya, sudah pasti kau muncul di akhir.”
Kedap, kedua telinga Nathan seperti tidak mendengar apapun yang diucapkan sahabat baiknya, Adam. Nathan beranjak meninggalkan teman baiknya yang tampak lelah itu di ruang ganti tanpa berpamitan dan Adam memaklumi. Baru saja ia berlari suara teriakan Adam yang menggema di lorong membuat sosok Natan menoleh.
“HEY LEE!”
Adam melempar sebuah kotak cincin berwarna bronze ke arah Nathan yang menangkapnya dengan sempurna.
"Nice catch! Kau melupakan itu!” Nathan tersenyum. “Acaramu tidak akan berjalan tanpa itu!”
“Thank You, Kim!”
Nathan menggenggam erat kotak berwarna bronze di tangannya dan kembali berlari melewati pintu kaca yang terbuka. Samar ia mendengar teriakan sahabat baiknya itu dari kejauhan.
"Jangan lupa titip salam untuk Kiara!"
Nathan hanya tersenyum saat mendengar pesan terakhir sahabat baiknya yang tidak pernah lupa menyebut nama Kiara. Tentu ia sudah terbiasa dengan nama Kiara yang selalu melekat bersamanya dan ia pun memaklumi bahwa tidak hanya ia, kedua orang tua dan adik bungsunya juga sangat menyayangi Kiara. Semua itu karena adiknya, Kiarathalea Carrington Lee yang dengan mudahnya membius banyak mata dan hati para pria. Bohong jika ia tak kagum, namun ia memilih kata bangga saat menatap sang adik muncul di layar kaca, di outlet-outlet fashion high end sampai mengisi deretan papan iklan di Time Square.
Mesin mobil yang menyala dan lantai basement yang berdecit menandakan Nathan tak lagi bisa berkompromi dengan waktu. Ia tidak ingin terlambat, ia tidak ingin membuat orang-orang yang ia sayangi menunggu dan kecewa, semua itu karena sebuah konsep yang tertanam semenjak kedua tangan mungilnya menyambut pelukan hangat dua orang yang begitu berarti di hidupnya, kedua orang tuannya saat ini. Bahwa ia selalu ingin menjadi kebanggaan dan membanggakan kedua orang tua yang merawat dan membesarkannya. Karena baginya menjadi bagian dari keluarga Lee adalah sebuah anugerah dan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sedikitpun. Sebesar itu rasa cintanya untuk sebuah keluarga yang menerima apapun keadaan dan kondisi seorang Nathan yang ditinggalkan, sehingga prioritas tertinggi dari hidupnya adalah kedua orang tuanya, kedua adiknya, dan sebuah kepercayaan.
*****
Ting tung ting tung ting tungSatu ikat bunga peony memenuhi tangan Nathan yang kini sedang menunggu dengan gusar di depan pintu. Kegelisahan seperti memenuhi pikirannya tak kala Vivian yang biasanya begitu cepat membukakan pintu, kini harus membuatnya menunggu. Semua karena rasa bersalahnya, ia mengakui kesalahannya hari itu dan ia ingin menyelesaikan semuanya. Sekali lagi Nathan menekan bel yang tak lama setelahnya ia mendapati Vivian muncul dari balik pintu dengan senyuman kecut menyambut kehadiran Nathan."Kau belum tidur?"Vivian lagi-lagu tersenyum. Senyum yang bahkan bisa Nathan artikan dengan baik. "Aku tidak bisa tidur, masuklah," tutur Vivian yang berusaha bersikap sewajarnya seolah ia tak marah dan baik-baik saja. "Apa ini bunga Peonyku?"Nathan mengangguk dan Vivian segera memeluk bunga miliknya untuk menikmati wangi harum khas bunga peony yang paling ia suka."Apa ada toko bunga yang buka selarut ini?""Aku sudah membelinya tadi siang."Vivian kemudian menyadari seberapa
Suara musik berdentum begitu keras di telinga Nathan, ia tidak pernah tahu jika acara after party akan dikemas dengan cara seperti ini, cukup liar. After party yang lebih terlihat seperti sebuah pesta club malam dimana semua orang berpesta dan bersenang-senang seolah hanya hidup hanya untuk hari itu saja. Nathan menolak segala macam minuman karena kedua matanya terus menatap Kiara yang terlihat menikmati pesta, menari di lantai dansa bersama dengan para model pria dan wanita sembari membawa segelas minuman. Beberapa orang berpesta di kolam dengan bikini bahkan tak jarang ada beberapa orang yang sedang bermesraan sembari menghisap rokok bergantian. Suasana yang tidak nyaman bagi seorang Jonathan Carringtoon Lee yang merasa semua itu bukan dunianya. Dunianya terlalu tenang dibandingkan keadaan malam itu.Beberapa wanita terlihat mendekati Nathan karena memang pria itu begitu tampan dan menarik perhatian. Namun mentah-mentah Nathan menolak dan meminta para wanita yang mendekatinya untuk p
Degup jantung yang memburu membuat Vivian merasa panik karena gugup, udara yang mendadak terasa dingin membuat tubuhnya juga ikut terasa kaku. Berusaha mengatasi rasa gugupnya ia berjalan kesana-kemari untuk mengurangi semua ketegangan meskipun riasan telah menghiasi wajah sempurna Vivian malam itu, sangat cantik meskipun ia tak dapat tersenyum merasakan malam itu yang tak sesuai dengan harapan. Sesekali ia menatap deretan kursi penonton dari balik tirai, memastikan bahwa tempat yang ia pesan telah terisi dan tak lagi kosong."Get ready in ten minute!"Kedua jari-jari Vivian saling bertaut dan ia mulai terpejam untuk memohon banyak hal, hanya sepuluh menit yang terasa begitu cepat berlalu karena Nathan tak kunjung datang."Please please please Nathan please." Vivian terus berharap bahwa Nathan akan datang di menit-menit terakhir sebelum pertunjukannya dimulai."In five minute!"Vivian membuka kedua matanya dan kembali nenatap kursi kosong yang tak juga terisi oleh pemiliknya. Vivian m
De Young Museum, adalah tempat yang paling Nathan ingin kunjungi selama di San Francisco, tujuannya adalah untuk menghadiri pameran koleksi graphic art Anderson dan membeli sebuah lukisan karya Umbereto Boccioni yang nantinya akan ia letakan di ruang makan. Ia berkeliling dan melihat satu per satu karya seni yang saat itu dipamerkan hingga hatinya tertarik kepada satu karya yang ia rasa mampu bersinergi dengan ruang makannya. Kepuasan tergambar di wajah tampan yang selalu tersenyum dengan kedua mata yang berbinar, ia jatuh cinta, jatuh cinta kepada sebuah karya seni yang membuatnya terbang ribuan mil hanya untuk menjemputnya dan membawanya pulang.Kegiatanya hari itu berakhir saat ia sudah membeli lukisan yang ia inginkan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi museum yang berdiri sejak tahun 1894 itu sembari menunggu jadwal selanjutnya yaitu menonton pertunjukkan Vivian. Banyak hal yang ia kagumi selama mengelilingi museum yang luas itu, bagaimana bagunannya yang terkesan un
Makan malam yang memuaskan itu berakhir membuat Vivian kekenyangan karena masakan Nathan yang sangat enak, berkali-kali Vivian memuji calon suaminya yang sangat lihai di dapur dan membuat makanan enak. Kini keduanya memutuskan untuk menikmati malam bersama di apartemen Vivian yang sengaja ayah Vivian beli untuk Vivian yang tinggal di San Fransisco.Dua gelas berkaki panjang berisi wine menjadi pendamping kedua orang yang sedang duduk di ruang santai sembari menatap langit malam dari jendela yang terbuka lebar. Mengobrol sembari bersandar di sofa berwarna biru muda yang nyaman dan cukup luas. Nathan yang tiba-tiba meletakan gelas wine-nya dan beranjak kembali dengan satu kotak obat yang membuat Vivian merasa tersentuh. Pria itu duduk di samping Vivian sebelum akhirnya merain kedua kaki Vivian untuk ia letakan di pangkuannya.“Aku tidak sengaja melihatnya.”Vivian hanya bisa tersenyum senang menerima perlakuan manis Nathan.“Terlihat sangat menyakitkan. Kau tidak melapisinya dengan toe p
Alunan musik mengiringi langkah indah Vivian saat menari, melompat di udara dan berputar dengan begitu ringan saat menciptakan gerakan indah. Senyum tak luput dari wajahnya ketika ia menari dengan beberapa orang yang membuatnya menjadi pusat dari pertunjukan, menunjukan pendalaman karakter dengan wajah sempurna yang mampu membius mata para penoton yang menerima dengan baik emosi Vivian dalam gerakan indahnya."Well done everyone! Well done!!"Seorang pria dan wanita yang duduk di bangku penonton bertepuk tangan dan memuji penampilan para pemain dalam sesi terakhir latihan. Membuat semua orang tersenyum bahagia dan saling berpelukan saling menyemangati untuk pertunjukan utama nanti.Vivian melepas sepatu baletnya dan kembali memeriksa jari-jari kakinya yang terluka. Ia terdiam, sama sekali tak indah namun menunjukkan seberapa besar usaha jari-jari buruk rupanya untuk sampai pada titik yang ia impikan. Bukankah semakin terluka semakin indah karena semua usahanya. Kedua matanya kini bera







