Share

BAB 2

~ Memang, seringkali orang-orang mengaitkan satu sama lain yang terjadi dengan apa yang didengar. Padahal itu belum tentu benar. 

__________

Asumsi ramah yang melekat pada masyarakat desa ternyata dipatahkan oleh kelakuan Allsya.

Kentara sekali diantara anak-anak desa yang seusianya, Allsya berbeda. Ketika anak perempuan pada umumnya terlihat anggun dengan rok dan kain slendang di kepala, Allsya justru membedakan diri dengan pakaian kaos gombrang dan celana selutut yang semuanya berwarna gelap. Hanya rambutnya yang tetap panjang serupa anak perempuan lainnya, itu juga selalu diikat sembarang seolah tak ingin ribet juga merawatnya. 

Tentu saja Allsya sangat berkeinginan untuk memotongnya, tapi sang mama melarangnya dengan tegas yang bahawasannya rambut adalah keindahan dari seorang perempuan. 

Namun, terlepas dari itu semua pada dasarnya Allsya memang cantik. Dengan lekuk tubuh nyaris sempurna meski  masih remaja. Berwajah oval dengan hidung mancung dan bibir sensual kemerahan. Ditambah dengan rambut hitam panjang dan sedikit ikal di bagian ujungnya, menyampurnakan penampilannya sebagai wanita. Terlihat sangat menarik perhatian dengan gayanya yang casual.

Teman perempuan sebayanya datang dengan menundukan kepala juga tersenyum malu-malu. Allsya sebaliknya, ia dengan santai menyibak kerumunan. Wajah datar tanpa senyuman, bahkan sama sekali tak mengucapkan sapaan. 

"Tak punya sopan santun." Beberapa mahasiswa berkomentar seperti itu. 

Allsya mendengarnya, tapi ia tak peduli.

Lalu anak tetangganya ada yang mengklarifikasi, "Biasa anak orang kaya," informasinya sengaja untuk mencela.

Memang, seringkali orang-orang mengaitkan satu sama lain yang terjadi dengan apa yang didengar. Padahal itu belum tentu benar. 

Seperti halnya Allsya yang selalu dijuluki si anak orang kaya ketika di usia lima, dan ia pernah bertanya perihal itu pada temannya sewaktu kecil. "Apa itu si anak orang kaya?"

"Anak yang punya banyak uang untuk membeli apa yang diinginkan." Temannya senantiasa menjawab demikian. 

Jika benar seperti itu, tetapi kenapa ia tidak pernah merasakannya? Justru sering kali tidak punya uang. Sedangkan teman-temannya tidak pernah percaya, bahkan mengatakan ia berbohong karena uang Allsya tidak mau dipinta.

Allsya pun kebingungan, teman-temannya menyimpulkan atas rujukan dari mana?

Seseorang menghampiri, mengarahkan  Allsya harus  kemana. Lalu diberikannnya susu kotak dan beberapa biskuit, sebagai penghargaan telah bersedia datang sebagai informan. 

Sekitar tujuh orang mengantri di depannya. Tentu Allsya tidak mau berlama-lama di sana. 

Dan bukan Allsya namanya jika tak bisa memenuhi keinginannya, ia akan melakukan segala cara selagi bisa.

Pemuda kota–salah satu dari mahasiswa yang bertugas mewawancarai mereka  heran melihatnya mundur secara teratur dan tergantikan gadis yang baru saja datang kemudian duduk di hadapannya.

"Mereka tidak keberatan dan atas dasar kesepakatan bukan paksaan apalagi ketakutan," terang Allsya sebelum ditanya.

Pemuda kota itu mengangguk paham melihat mereka berebut jajanan. Ternyata gadis ini menukar makanan bagiannya dengan mereka.

"Kamu ... keturunan Batak?" tanyanya memulai wawancara.

Allsya hanya mengendikkan bahu, enggan untuk menjawab.

"Atau campuran antara Sunda dan Batak?"

Wajar si pemuda kota  bertanya seperti itu. Wajah manis Allsya khas orang Sunda berbanding terbalik dengan sikapnya.

"Bukankah itu tidak ada dalam pertanyaan wawancara?" Bukannya menjawab, Allsya malah balik bertanya.

"Hanya ingin tahu."

"Apakah itu penting untukmu tahu?"

"Kamu berbeda."

"Apa itu sebuah kesalahan?"

"Tidak. Tapi ...."

"Jadi wawancara atau tidak?" potong Allsya cepat.

"O–oh, oke-oke," ucap pemuda kota itu buru-buru. Tak disangka malah pertanyaannya dibalas pertanyaan. 

Melihat gaya bicaranya yang terlalu berani, tanpa rasa takut meski yang dihadapinya lebih tua dibanding dirinya. Mengagumkan!

Memang, terkesan arogan. Namun, bila diperhatikan secara cermat akan mengundang pertanyaan, ada apa dengannya? Dan benar saja seseorang telah melakukannya hingga tak segan menjadikannya bahan penelitian.

"Sebelumnya, namamu siapa, Dek?" Pemuda kota itu berusaha bertanya semanis mungkin.

"Allsya."

"Alsya ...?"

Tak mau lagi bersuara, segera saja Allsya merebut pulpen dan kertas dari tangan lelaki yang terus bawel bertanya, entah siapa namanya. Diisinya semua kolom pertanyaan yang telah disajikan dengan cepat. 

"Kenapa harus repot-repot ditanyai satu per satu? Tinggal bagikan saja kertasnya dan suruh isi masing-masing, kan cepat?" Pikir Allsya dalam hati.

Namun, Allsya melupakan satu hal, bahwa mereka--remaja yang sebaya dengannya sama sekali tak mengenal aksara.

"Sudah." Allsya menyerahkan kertas dan pulpen yang tadi direbutnya. Kemudian melenggang keluar. Tak dihiraukannya teriakan yang meminta untuk difoto terlebih dahulu sebagai dokumentasi.

Tugasnya telah selesai. Allsya datang sebagai sample penelitian para mahasiswa itu hanya karena merasa perlu menunjukan sesuatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status