Share

bab 6. Tolong Mandikan Bayi Saya

"Saya ..., heran deh dok, tadi saya ketemu pasien aneh, sekarang ketemu dokter aneh."

Aku membuang muka.

Dokter Andi tertawa, " Pasien aneh gimana?" tanyanya.

"Hhhh, ya aneh lah pokoknya, males bahas saya dok," sahutku sambil mengaduk es jeruk dengan sedotan.

"Mbak Adel, tinggal jawab aja loh tentang pertanyaan saya, sudah punya suami atau belum? gitu aja bingung," Dokter Andi belum juga puas bertanya.

" Hhhh, embuh lah dok, saya belum kepikiran soal jodoh, saya cuma pingin kerja nabung terus nyenengin orang tua," jawabku.

"Oh gitu, berarti belum punya ya kesimpulannya ?" tanya dokter Andi lagi .

"Eh bwambankkkkk, kalah mbak Najwa shihab dari elo soal interogasi, " batinku.

"Iya dokter, saya belum punya calon, mungkin gak laku," sahutku ketus.

"Hush, jangan bilang gitu mbak, ucapan itu doa lo, mbak Adel ini cantik cuma..." dokter Andi menghentikan kalimatnya.

"Cuma apa?!" mata auto melotot seketika.

"Cuma judes dan sering manyun. Itu yang bikin nggak kuat. Hahahaha." Dokter Andi tertawa. Tapi tiba-tiba tersedak.

"Uhukkk, uhuk," dokter Andi terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.

"Dok, dokter!" aku bingung, tanganku menepuk-nepuk punggungnya. Dari jarak cukup dekat, aku bisa melihat pipi halus dan rahang kokohnya.

Hatiku bergetar. "Dokter ini ganteng juga." Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran yang melintas tanpa permisi.

"Makanya, udah tahu kalau makan jangan sambil ngomong, tuh kan, tersedak sekarang," aku mengomel-ngomel.

Tiba-tiba dokter Andi memegang tanganku. "Kamu khawatir sama aku?" tanyanya. Memandangku intens.

Aku terdiam. Awas aja kalau dia tadi pura-pura tersedak, aku sunatin lagi. Eh, hush...pikiran aneh...hush...

"Saya nggak khawatir, saya cuma nggak mau ya dokter tersedak terus dispneu (mengalami gangguan nafas atau gagal nafas), saya gak mau nolong, ga kuat nggendong, dan nggak mau ngasih nafas buatan."

"Hahahaha, tambah judes tambah manis, jangan galak-galak ke sejawat dong, masak ramahnya cuma sama pasien aja, sama dokternya galak," sahut dokter Andi merajuk.

"Dokter salah makan ya tadi? baru sebulan kerja di RS sini, udah ngajak saya nemenin makan dan ngomong aneh-aneh, cepet makan aja dok, saya nguantuk !" seruku.

Sebenarnya deg-degan juga digombalin cowok. Karena setelah dicampakkan borokokok, memang aku menutup diri dari mengenal makhluk adam.

"Ya sudah, saya makan dulu dengan tenang deh." Dokter Andi berhenti menggodaku dan kini serius dengan makanannya.

Begitu makananya habis, dokter Andi pun membayarnya dan mengajakku pulang.

"Mbak Adel diantar ke kontrakan apa diantar ke rumah sakit lagi ?" tanyanya.

"Ke rumah sakit aja dokter, motor saya disana," jawabku.

Saat masuk ke mobil dokter Andi, dokter Andi bertanya, " mbak boleh minta nomor Wa?"

Aku mengangguk, sedikit ragu. Dokter Andi meraih ponselnya sambil menyetir. Aku menyebutkan sederet nomor dan dokter Andi menyimpannya.

Sesampai di rumah sakit, aku segera membuka sabuk pengaman dan pintu mobil. Saat hampir keluar, dokter Andi memegang tanganku.

"Makasih mbak untuk malam ini, semoga bisa menemaniku lebih sering," tukasnya.

Aku mendelik. Dokter Andi mengedipkan matanya. " Hahaha, sudah sana pulang mbak, besok dinas apa?" tanyanya.

"Malam, " sahutku, sambil melirik pergelangan tanganku yang masih ada dalam cekalan dokter Andi.

Dokter Andi mengerti. Dia melepaskan tanganku dan membiarkanku keluar dari mobilnya.

Aku berlari menuju tempat parkir motorku. Jantungku bergemuruh, tapi aku tetap berusaha tenang. Di atas sepeda, sebelum menghidupkan mesin motor, aku tersenyum sendiri.

"Ah, aku pasti sudah gila tersenyum-senyum sendiri di atas motor malam-malam." Aku menggetok kepalaku yang memakai helm dengan tangan.

Seorang satpam yang berkeliling rumah sakit menegurku.

"Dorrr!" sapa pak Satpam memukul pundakku.

"Eeeehhh, copot-copot!" Aku nyaris melompat dari motor. " Ngagetin aja nih si bapak," tukasku.

"Lah, embak saya kira kesurupan, senyum-senyum sendirian ditengah malam pake nggetok kepala lagi, " jawab pak satpam.

Aku tersipu malu. "Ya sudah pak, udah malam banget. Saya pulang dulu." kataku sambil menghidupkan dan melajukan motor.

Sesampai dikontrakan aku segera berganti baju dan merebahkan diri. Merenungi hal ganjil yang terjadi seharian ini padaku. Aku masih bingung sikap dokter Andi yang tiba-tiba mengajakku menemani makan. Belum lagi perasaan sebel yang belum hilang akibat bertemu borokokok.

Antara mimpi dan bangun, aku mendengar notifikasi w******p di ponsel. Setengah mengantuk, aku membuka layar ponsel.

[Selamat tidur Macan]

[Manis cantik tapi galak]

[emoticon melet]

Profile dokter Andi yang sedang bersidekap dan tersenyum .

"Asem." aku bergumam sambil tersenyum dan memeluk ponsel.

Esoknya setelah sholat subuh, aku berniat santai melihat drakor sambil maskeran. Tapi ternyata keinginanku harus sirna saat membaca pesan w******p dari mbak Iim, temanku yang bertugas dinas pagi.

[Adel, tuker dinas ya]

[Aku ada acara keluarga]

[Nanti aku yang dinas malam langsung nerus besok dinas pagi]

"Hm, males sebenarnya dinas pagi, pasti si borokokok pulang pagi ini dan ngerusuh lagi," gumamku.

Tapi aku tidak tega melihat teman yang butuh bantuan.

[Oke mbak, siap]

Masih jam 5 pagi, cukup lah kalau untuk beres-beres rumah dan olahraga secukupnya.

Aku bergegas mengambil sapu dan memutar musik blackpink sambil bersih-bersih rumah.

Kemudian melakukan senam aerobik sampai jam 6 pagi.

Semenjak aku sering mendapat body shamming tentang kegendatanku, apalagi sampai kejadian Roma berpaling dariku, aku memutuskan untuk berubah. Berolahraga teratur dan makan-makanan sehat. Bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri.

Jam 06.45, aku sudah siap diatas motor kesayangan. Tak lupa mengunci pintu kontrakan sebelum berangkat kerja.

"Bismillah, nggak ketemu dokter aneh dan pasien aneh lagi," gumamku sebelum melajukan motor.

"Wah, Adelia nggantiin mbak Iim ya?" sapa Dwi, teman dinas malam.

"Yup, yuk operan dinas, Anif apa sudah datang?" tanyaku. Pasangan dinas mbak Iim sepertinya belum terlihat pagi ini.

"Mbak Anif minta tuker dinas sama saya mbak Adel," terdengar suara Nur yang tiba-tiba muncuk dari pintu masuk.

"Eaa, kita jodoh Nur," sahutku sambil menggandeng Nur.

"Beneran mau jodoh sama saya, bukan sama dokter An...awwww, sakit mbak." Nur mengaduh karena kakinya kuinjak.

Aku mendelik. Nur meringis.

"Wah, kalian ini menyembunyikan apa ya? " tanya Dwi.

"Nggak ada say, ya sudah, ayo operan," sahutku.

Kami berempat lalu berkeliling melakukan

operan dari kamar vip 1. Saat membuka kamar, terlihat bu Rania sedang menyusui bayinya ditunggui oleh pak Roma.

"Selamat pagi bu, ada keluhan? sekarang waktunya pulang ya, tunggu dokter visite dulu, " sapa Dwi.

"Ndak ada keluhan mbak, cuma saya mau minta tolong, diantara mbak ini ada nggak yang bisa mandikan anak saya sampai cuplak puser ?" tanya bu Rania penuh harap.

"Sekalian mengajari memandikan bayi, saya kan belum bisa, tenang saja, nanti fee nya disesuaikan dengan permintaan mbak," lanjut bu Rania.

Kami berpandangan. "Kalau rumah saya agak jauh Bu, sepertinya tidak bisa kalau saya harus wira wiri memandikan setiap pagi dan sore," sahut Nur.

"Saya punya bayi juga masih usia 3 bulan, sepertinya saya tidak bisa menerima permintaan ibu," tukas Dwi.

"Rumah saya dekat, tapi saya gak bisa naik sepeda motor, " sambung Putri.

Pandangan mereka kemudian serempak mengarah padaku.

"Aaargghhh, kenapa seolah takdir bersekongkol agar aku ketemu terus sama si borokokok, " batinku.

"Tinggal mbak Adel nih, jadi, mbak Adel mau nggak mandiin bayi saya sampai cuplak puser?" tanya bu Rania.

Aku bingung, "Sebenarnya saya...."

next?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status