"Kuburan itu dibuat lagi seakan tak tak pernah dibongkar. Padahal sudah kosong. Ibumu sangat rapi melakukannya, jadi hingga sekarang, gak ada yang tau. Kalau kuburan Danu sama Suci sudah dibongkar."
"Pak, lalu bagaimana deng–" Dewi ingin bertanya. Tapi terpaksa terputus.
"Maaf, Mas. Lubangnya sudah siap," kata seorang laki-laki, yang ditaksir seumuran dengan Roni dari pintu depan yang dibiarkan terbuka. Membuat Dewi urung mengajukan pertanyaan ke Bapak mertuanya. Tadinya dia ingin bertanya perihal fhoto yang dilihatnya.
"Oh, makasih ya Mas. Ini bayarannya." Roni merogoh saku celananya, dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu ke penggali lubang.
"Banyak sekali ini Mas," kata penggali lubang. 
"Maassss!" Dewi teriak sekuat tenaga memanggil Roni."Dewii!" Roni masih berusaha menggapai tanganku. Tapi tak berhasil.JEBRETPintu ruangan itu tertutup dengan sendirinya. Kejadiannya begitu cepat. Hal ini di luar dugaan mereka semua. Dewi sangat ketakutan. Jelas mereka yang ada di luar ruangan menjadi panik melihat kejadian yang barusan di depan mata mereka."Mas! Mas! Buka pintunya! Bapak!" Dewi terus teriak memanggil dan menggedor-gedor pintu dari dalam. Tak ada hasil."Dewi! Kamu tenang ya Sayang. Menyingkir dari balik pintu, Mas akan dobrak pintu ini," kata suaminya. Dewi menuruti kata-katanya dan menjauh dari pintu.
Roni melepaskan pelukannya dari Dewi. Matanya menyapu seluruh isi ruangan. Dia berjalan pelan, ke arah serpihan kaca dari bingkai yang jatuh tadi. Diambilnya foto yang ada di bingkai itu. Diperhatikannya dengan seksama. Dia melihat ke arah Dewi. Alisnya bertaut, melihat wajah yang ada di foto itu sangat mirip dengan istrinya. Tapi dia juga tau, itu jelas bukan Dewi."Pak … siapa wanita dalam foto ini?" katanya sembari berjalan mendekati Bapaknya yang masih berdiri terpaku di depan pintu. Roni menunjukkan lembaran foto itu ke Pak Darma. Pak Darma hanya menunduk lesu."Pak!" Roni lebih tegas memanggil Bapaknya. Karena sedari tadi, Pak Darma tak menjawab pertanyaannya."Namanya Minati." Pak Darma menyebutkan satu nama.
"Usapkan ke wajah beliau, Bung." Roni menuruti instruksi Iwan. Segera diambilnya lagi botol yang ada di lantai itu, isinya masih ada sepertiga lagi. Lalu menuangkan ke telapak tangannya dan mengusapkan pada wajah Pak Darma. Beliau mulai agak tenang setelah wajahnya diusap dengan air yang sudah dibacakan doa ruqyah."Ya sudah, biarkan dulu. Kita urus jasad ini terlebih dahulu," kata Ustad Imam, dia menghela nafas juga menggelengkan kepala melihat Pak Darma yang masih terduduk dan menggumamkan penyesalannya.Kedua peti itu berisi jasad dua bocah yang sudah mengering layaknya mumi. Dengan posisi kepala mendongak ke atas, mata melotot juga mulut yang menganga. Kedua tangan dan kaki kedua bocah itu bentuknya menekuk. Sama persis dengan jasad Bu Wati.
"Bapak sepertinya sangat bersalah atas apa yang sudah terjadi selama ini. Dia terus saja meracau sampai tertidur sendiri." Roni menghela nafas mendengarnya."Bagaimana Ustad? Kira-kira apa yang harus kita lakukan?" tanya Roni pada Ustad Faruk dan Ustad Imam.Cukup lama mereka semua menunggu jawaban dari sang Ustad. Sang Ustad sedang memikirkan, solusi terbaik untuk Pak Darma. "Sebaiknya, jangan biarkan Bapak dalam keadaan sendirian. Rasa bersalahnya yang terlalu besar, takutnya bisa membuka jalan bagi jin kafir untuk kembali menyesatkannya."Roni menutup wajahnya, mengusap-usapnya dengan kasar. Sepelik ini ternyata berurusan dengan makhluk Allah yang dilaknat itu."Mas Roni, makan siang sudah
Mereka semua reflek menoleh ke arah sumber suara yang membuat Roni menghentikan kata-katanya. Suara itu berasal dari kamar Pak Darma. Suara itu suara Pak Darma. Yang berteriak lantang, memaki pada Iblis yang sudah menjeratnya.Spontan mereka semua bergerak, dengan langkah cepat menuju kamar Pak Darma. Belum lagi mereka sampai ke kamarnya, Pak Darma sudah keluar dengan wajah beringas. Terlihat marah sekali. Pak Darma berlari ke arah luar rumah. Mereka semua ikut berlari mengejarnya."Pak! Mau kemana?" tanya Roni sambil berusaha mengejar Pak Darma.Pak Darma tak mempedulikan panggilan Roni. Dia terus saja berlari, dia berlari ke arah gudang, seperti mencari-cari sesuatu. Pak Darma kelihatan sibuk, matanya liar melihat kesana kemari. Dengan dada yang b
"Bawa Bapak ke dalam!" titah Ustad Faruk.Roni langsung memapah Pak Darma yang kelihatan sangat tak berdaya. Dibantu Iwan, yang dengan sigap ikut memapah Pak Darma dari posisi yang berlawanan. Pak Darma masih dalam keadaan sadar. Tapi seperti tak bertenaga. Dia benar-benar mengalami luka batin yang sangat berat.Dewi segera membuat teh hangat juga membawakan handuk kecil, untuk mengelap wajah Bapak mertuanya. Diserahkannya handuk itu ke tangan Roni. Roni dengan telaten mengelap wajah Bapaknya, juga tangannya. Ada kristal bening yang siap melesak dari matanya. Tapi berusaha ditahan sekuat tenaga, dia tak boleh cengeng dihadapan Bapaknya. Karena dia harus menjadi pundak bagi Bapaknya sekarang.Tak pernah Roni melihat Bapaknya terpuruk seperti ini. Biasanya Pak Darm
"Mas mau cari informasi dari Bulek Ipah. Bisa saja dia tau sesuatu. Selama ini pun, Bulek Ipah tak pernah bercerita kalau Mas punya dua orang kakak yang sudah meninggal. Apalagi Mas baru tau, kalau Mas bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan," papar Roni dengan pandangan menerawang.Dewi mengerti maksudnya. Bukan hanya Roni, Dewi pun sangat ingin tahu. Dewi merasa ada keterkaitan atas semua yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mengingat kata-kata Pak Darma untuk mencari Bu Wiyah."Mas, kita cari Bu Wiyah yuk," ajak Dewi. Pandangan Roni langsung beralih pada istrinya.Roni menatap Dewi lekat, tepat di manik matanya. Dewi tak berani beradu pandang berlama-lama dengannya. Dia menunduk, menghindari tatapan Roni, yang seakan menyi
Siang ini Roni dan Dewi bersiap mau pulang ke kampung halaman Bu Wati. Rasa penasaran mereka tak bisa dibendung lagi. Banyak pertanyaan yang belum mereka temukan jawabannya. Sementara Pak Darma, orang yang seharusnya bisa mereka harapkan untuk memberi jawaban. Sedang dalam masa pengobatan di Pesantren. Mental Pak Darma sangat terguncang. Membuat Pak Darma belum bisa untuk diajak berkomunikasi dengan baik.Saat ini hanya satu tujuan mereka, Bu Ipah. Ya, siapa tau Bu Ipah bisa memberikan jawaban. Dewi masih merasa heran. Kenapa Bu Ipah tak pernah memberi tahu perihal kuburan Danu dan Suci kepadanya. Padahal dulu, saat dia masih remaja, dia sering menginap di rumah Bu Ipah."Mas, kamu yakin … kita naik motor ke kampung? Apa tak sebaiknya kita bawa mobil saja?" tanya Dewi. Tangannya sibuk memasukkan beberapa potong baju gant