Li Feng berdiri dengan pedang di tangannya, tubuhnya bergetar hebat. Rasa sakit menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuhnya, seolah-olah ribuan jarum menusuk kulitnya. Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Sorak sorai para prajurit di sekelilingnya terdengar samar di telinganya. Kemenangan telah diraih, tetapi sesuatu yang mengerikan menggerogoti tubuhnya dari dalam.
"Li Feng!" suara Panglima Wei menggema di tengah medan pertempuran yang telah reda. Ia berlari ke arah pemuda itu, ekspresinya penuh kekhawatiran. Li Feng membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba pandangannya mengabur. Lututnya melemas dan tubuhnya ambruk ke tanah. "Li Feng!" Para prajurit yang baru saja bersorak kini bergegas menghampiri pemimpin mereka yang jatuh tak sadarkan diri. Pedang Naga Langit yang ia genggam pun tergelincir dari tangannya dan tertanam di tanah berlumuran darah. Di dalam istana kekaisarKegelapan menyelimuti ibu kota ketika Jenderal Zhao berdiri di balkon kediamannya, menatap bulan yang separuh tertutup awan. Malam itu, pikirannya dipenuhi rencana untuk menyingkirkan Li Feng. Ia telah menunggu terlalu lama, dan kini saatnya bertindak sebelum pemuda itu semakin berkuasa. Di dalam ruangan, beberapa pejabat berpangkat tinggi telah berkumpul. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Jenderal Zhao, mereka yang merasa terancam dengan kehadiran Li Feng yang semakin dekat dengan Kaisar. “Kita tidak bisa lagi menunggu,” kata Jenderal Zhao dengan suara rendah, tetapi penuh ketegasan. “Li Feng harus disingkirkan sebelum ia memiliki pengaruh lebih besar di istana.” Seorang pejabat tua, Menteri Lu, mengangguk. “Kaisar tampaknya semakin mempercayai bocah itu. Jika ia diberi kekuasaan lebih, kita semua dalam bahaya.” “Bagaimana rencana kita?” tanya seorang jenderal lain, alisnya berkerut. Jenderal Zhao
Langit ibu kota tampak kelabu saat Li Feng berjalan melewati gerbang istana. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seakan mencerminkan suasana hatinya yang tengah dipenuhi kegelisahan. Ia dipanggil oleh Kaisar secara mendadak, sebuah kejadian yang jarang terjadi kecuali ada hal penting yang harus dibahas. Di sepanjang koridor istana, para kasim dan pelayan menundukkan kepala saat ia lewat, tetapi Li Feng dapat merasakan tatapan-tatapan tersembunyi di antara mereka. Bisik-bisik lirih terdengar di kejauhan, tetapi ia mengabaikannya. Pikirannya terlalu dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang akan ia hadapi di hadapan Kaisar. Ketika akhirnya ia tiba di Balairung Naga Emas, dua prajurit penjaga membuka pintu besar itu. Di dalamnya, sang Kaisar duduk di atas singgasana megahnya, mengenakan jubah kuning keemasan yang memancarkan kewibawaan. Di sebelahnya, Jenderal Zhao berdiri dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mata mereka bertemu sejenak, dan dalam tata
Angin malam berembus pelan di istana kekaisaran, membawa aroma dupa yang masih menyala di sudut aula utama. Li Feng berdiri tegak di hadapan Kaisar, matanya penuh keteguhan. Di sekelilingnya, para pejabat tinggi dan jenderal terkemuka memperhatikannya dengan ekspresi beragam—ada yang penasaran, ada yang khawatir, dan ada pula yang jelas-jelas mengharapkan kehancurannya. Kaisar sendiri tampak tenang, wajahnya sulit terbaca. Di tangannya, cawan emas berisi anggur merah berkilauan di bawah cahaya lentera. Tawaran yang baru saja ia lontarkan masih menggantung di udara, menunggu jawaban dari Li Feng. "Yang Mulia," Li Feng membuka suara, nadanya penuh hormat, namun tak ada sedikit pun keraguan di dalamnya. "Saya menghargai anugerah yang diberikan kepada saya, tetapi saya harus menolak tawaran ini." Ruangan mendadak hening. Beberapa pejabat terkejut, beberapa lainnya menahan napas. Jenderal Zhao yang berdiri di sisi kanan Kaisar menyeringai tipi
Malam itu, udara ibu kota terasa lebih dingin dari biasanya. Angin bertiup pelan, membawa bisikan samar dari lorong-lorong gelap yang berkelok di antara bangunan-bangunan besar. Kediaman Li Feng, yang terletak di tepi distrik bangsawan, tampak sepi. Lampu-lampu minyak di halaman depan berkedip tertiup angin, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding batu. Li Feng duduk di ruang utama, wajahnya tegang. Ia masih mengingat dengan jelas momen di istana ketika ia menolak perintah Kaisar. Sebuah keputusan yang bisa dianggap sebagai penghinaan besar bagi kekaisaran. Namun, hatinya berkata bahwa itu adalah pilihan yang benar. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan politik yang hanya akan menyeretnya ke dalam jurang kehancuran. Xiao Lan, yang sejak tadi diam di sampingnya, akhirnya angkat bicara, "Tuan Muda, Anda terlihat cemas. Apakah Anda menyesal?" Li Feng menggeleng pelan. "Bukan menyesal, tetapi aku tahu bahwa penolakanku tadi past
Suara dentingan pedang dan jeritan pertempuran masih menggema di udara ketika Li Feng menghunus pedangnya dengan napas tersengal. Serangan mendadak para pembunuh bayaran membuat kediamannya hancur berantakan, tubuh-tubuh terkapar di halaman rumah, beberapa masih menggeliat dalam sekarat. Namun, tidak ada yang lebih membuat darahnya berdesir selain sosok yang tergeletak di depan matanya. “Xiao Lan!” Li Feng bergegas berlutut di samping gadis itu. Tubuhnya bersimbah darah, matanya setengah terpejam, dan napasnya lemah. Sebuah luka menganga di bahu kanannya, darah merembes tanpa henti, membasahi kain pakaiannya yang sudah kotor oleh debu dan tanah. Tangannya gemetar saat menyentuh pipi gadis itu. “Bertahanlah, Xiao Lan. Aku akan menyelamatkanmu.” Xiao Lan tersenyum samar, matanya mencoba menatap Li Feng meski kelopak matanya terasa begitu berat. “Kau... kau baik-baik saja, Li Feng?” suaranya lemah, hampir tak terdengar di teng
Malam terasa sunyi setelah pertarungan yang mengerikan itu berakhir. Cahaya bulan menerangi halaman kediaman Li Feng yang kini porak-poranda. Bau anyir darah masih memenuhi udara, dan mayat-mayat para penyerang tergeletak tak bernyawa. Namun, Li Feng tidak memedulikan itu semua. Matanya hanya tertuju pada satu hal—Xiao Lan yang terbaring lemah di pangkuannya. "Xiao Lan… bertahanlah!" Li Feng menggenggam tangan gadis itu erat. Napasnya memburu, bibirnya gemetar. Xiao Lan tersenyum tipis, meski wajahnya pucat pasi. "Aku baik-baik saja… jangan khawatir…" Kata-kata itu terdengar lemah dan hampir tidak terdengar. Luka di perutnya masih mengeluarkan darah. Li Feng tahu betul, jika ia tidak segera melakukan sesuatu, Xiao Lan akan kehilangan nyawanya. "Tidak! Kau tidak akan baik-baik saja jika terus seperti ini!" Li Feng menatap sekeliling, mencari seseorang yang bisa membantu. "Aldi! Cepat panggil tabib terbaik di ibu kota!"
Malam di ibu kota terasa lebih sunyi dari biasanya. Li Feng berdiri di ambang jendela, memandang ke kejauhan dengan tatapan penuh tekad. Keputusan telah diambil—ia harus pergi dari sini sebelum musuh yang lebih kuat datang memburunya. "Xiao Lan, kau yakin tidak apa-apa jika aku pergi sekarang?" tanya Li Feng dengan suara yang sarat kekhawatiran. Xiao Lan yang terbaring di atas tempat tidur dengan perban di lengannya mengangguk pelan. "Aku lebih baik sekarang. Kau harus pergi sebelum mereka menemukan tempat ini." Li Feng mengepalkan tangannya. "Aku bersumpah, aku akan kembali dengan lebih kuat. Tidak ada yang bisa menginjak-injak kita lagi." Tanpa menunggu lebih lama, ia mengenakan jubah hitamnya dan memasukkan beberapa perbekalan ke dalam kantong kain. Xiao Lan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Hati-hati di Gunung Terlarang, Li Feng. Banyak yang mengatakan tempat itu menyimpan lebih dari sekadar rahasia."
Langit mulai meredup saat Li Feng menapaki jalan setapak berbatu yang mengarah ke Gunung Terlarang. Angin dingin berembus, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang lembap. Sesekali, ranting-ranting pohon bergoyang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di antara kabut yang mulai turun. "Hah… siapa sangka perjalanan ini akan seberat ini," gumamnya sambil mengusap keringat di pelipisnya. Baru beberapa li meninggalkan perbatasan ibu kota, Li Feng sudah merasakan bahaya yang mengintainya. Ia tahu bahwa banyak pihak menginginkan kepalanya, baik karena hadiah yang ditawarkan atau dendam yang mendalam. Dan benar saja, di depan sebuah persimpangan, tiga sosok berjubah gelap telah menunggunya. Mata mereka menatap tajam seperti serigala yang kelaparan. "Li Feng! Akhirnya kau muncul juga!" salah satu dari mereka berseru sambil mencabut pedang panjangnya. Li Feng menajamkan pandangannya. "Pemburu hadiah, ya?" Ia menar
Lembah Tujuh Langit telah menjadi saksi bisu dari ribuan pertarungan legendaris. Terkubur dalam sejarah panjang yang berabad-abad, tempat ini terkenal sebagai medan yang hanya bisa ditaklukkan oleh mereka yang benar-benar memiliki jiwa seorang pendekar. Namun, saat ini, tanah yang dipenuhi dengan aura kekuatan tersebut terasa semakin sunyi dan mencekam. Hanya ada dua pasukan yang mengisi kesunyian itu, satu pasukan yang terdesak, dan satu lagi yang datang dengan harapan untuk merenggut kehidupan mereka. Li Feng berdiri di bibir jurang yang menatap lembah yang terhampar luas di bawah kakinya. Hanya ada tiga ribu prajurit yang tersisa di pihaknya—pasukan yang tersisa setelah bertahan melawan serangan pasukan Shen Lu yang tak kenal ampun. Angin malam yang dingin berdesir melalui rambutnya, menciptakan ketenangan yang seolah bertentangan dengan pertempuran yang sudah di depan mata. “Bai,” panggilnya, suaranya sedikit tercekat, “Apakah kau yakin ini satu-satunya cara?”
Lembah Tujuh Langit—tempat yang dikenal sebagai tanah suci bagi para pendekar sejati—menjadi saksi dari perjuangan yang semakin mendekati garis akhir. Di sini, Li Feng berdiri tegak di samping Jenderal Bai, memandang lurus ke depan dengan tatapan tajam yang tak terhalang. Di belakang mereka, tiga ribu pasukan yang tersisa, masing-masing dengan wajah yang penuh keteguhan, namun tak bisa menutupi ketegangan yang terasa di udara. "Jenderal Bai," suara Li Feng menggema di antara batu-batu besar yang mengelilingi lembah. "Ini adalah satu-satunya tempat di mana kita bisa bertahan." Jenderal Bai mengangguk perlahan, meski raut wajahnya penuh kerut mendalam, seolah beban sejarah masa lalunya kembali menghantui setiap langkah yang ia ambil. "Tujuh Langit... tempat ini menyimpan banyak rahasia," jawabnya, suaranya serak. "Dan aku tidak yakin kita akan keluar dari sini hidup-hidup." Li Feng merasakan beratnya kata-kata itu, namun ia tahu bahwa pilih
Li Feng berdiri tegap di hadapan gua yang gelap. Udara di sekitar Padang Asin ini terasa lebih berat dari biasanya. Angin yang seharusnya menyegarkan malah menambah kesan angker, menggulung sepi yang semakin menyesakkan. Pikirannya berkelana, meraba ke segala arah, berusaha menyusun kata-kata yang tepat untuk menyentuh hati seorang pria yang telah terasing begitu lama—Jenderal Bai. Dia adalah satu-satunya orang yang bisa mengubah arah pertempuran yang akan datang. Bai, yang dulu dikenal sebagai Jenderal Perang terkuat, kini tinggal bayangannya sendiri, seolah terlupakan oleh dunia. Namun, ada satu hal yang Li Feng tahu pasti: hanya Bai yang bisa menghentikan pasukan Shen Lu yang datang bagaikan badai, menggulung semua yang ada di hadapannya. Li Feng melangkah memasuki gua, diikuti oleh Putri Ling’er yang setia. Setiap langkahnya terasa semakin berat. Mereka mendekati tempat di mana Bai mengasingkan diri, tempat di mana dia memilih untuk melupakan semua
Li Feng menatap horizon dengan pandangan kosong. Langit yang kelabu, penuh dengan awan mendung, seakan menggambarkan beratnya perjalanan yang harus dilalui. Di depan matanya, medan perang semakin mendekat, dan Shen Lu dengan pasukannya yang tak terhentikan hampir mencapai gerbang ibu kota. Namun, Li Feng tahu bahwa ada satu harapan terakhir yang bisa mencegah kehancuran. “Jenderal Bai... di mana dia?” pikirnya, menggenggam erat Pedang Naga Langit yang ada di tangannya. Pedang itu masih terbalut energi gelap yang terus-menerus mengalir ke dalam tubuhnya, mengingatkannya akan kutukan yang kerap mengganggu. Namun, ia sudah terbiasa dengan rasa sakit itu—lebih baik rasa sakit itu daripada kehilangan segalanya. Dari dalam kedalamannya, suara Putri Ling’er terngiang, mengingatkannya pada kata-kata terakhir mereka sebelum berpisah. “Kamu bisa menghadapinya, Li Feng. Tak peduli betapa beratnya jalan ini, kamu harus menemukan jalan keluarnya. Jangan biarkan peda
Angin malam berdesir di antara pilar-pilar Istana Selatan, membawa aroma darah yang masih hangat. Li Feng berdiri mematung. Di hadapannya, tubuh Perdana Menteri Gao tergeletak tak bernyawa, darah mengalir perlahan dari luka di lehernya — merah pekat di atas lantai batu putih yang bersih. "Guru..." gumamnya lirih, hampir seperti bisikan yang hilang tertiup angin. Ia mengepalkan tinjunya, gemetar. "Mengapa harus begini...?!" Di tangan Gao yang membeku, sebuah gulungan kecil tampak tersembunyi, hampir terlewatkan jika Li Feng tidak memperhatikannya dengan saksama. Dengan langkah berat, seolah setiap gerakan menambah beban di pundaknya, ia berlutut dan mengambil gulungan itu. Kulitnya sudah rapuh, nyaris retak di setiap sudutnya, seperti usianya yang sudah terlalu tua untuk membawa rahasia besar. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Srek! Ia membuka gulungan itu perlahan, takut bahwa sedikit saja kecerobohan akan m
Langkah-langkah itu terdengar menggema di lorong panjang Istana Timur, seirama dengan detak jantung Li Feng yang berdentam di telinganya. “Hah... hah...” Napasnya berat, tapi matanya tetap tajam, menusuk kegelapan seperti pedang yang terhunus. Bayangan Perdana Menteri Gao sudah tampak di depan. Tubuh tua itu berdiri tenang, seolah-olah telah menunggunya sejak lama. Sebuah senyum getir melintas di wajah keriput itu, penuh kelelahan... dan penyesalan. "Li Feng..." Gao mengangguk pelan, suaranya serak. "Akhirnya kau datang." Li Feng berhenti beberapa langkah di depannya. Tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. "Mengapa, Guru...?" suaranya pecah, setengah berteriak, setengah memohon. "Mengapa Anda... Anda yang dulu mengajarkan saya tentang kehormatan, tentang kesetiaan pada negeri ini... malah berkhianat?!" Perdana Menteri Gao menghela napas panjang. "Kesetiaan?" Ia terkekeh pahit. "Apa itu kesetiaan, anak muda? Pada siapa ka
Malam itu, langit di atas ibu kota menggantung berat, seolah menahan ribuan jeritan yang tak pernah diucapkan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan batu, membuat istana megah di kejauhan tampak seperti bayangan raksasa yang menyamar di balik dunia nyata. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Sial… pikirnya. Setiap langkah yang ia ambil di atas tanah kekaisaran kini terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada lagi wajah yang bisa dipercayai. "Kau yakin mau melakukan ini?" suara Mei Yue, pelan seperti desir angin, membelah kebisuan malam. Li Feng menoleh. Mata perempuan itu bersinar dalam temaram lentera jauh di belakang mereka. Ada ketegangan, ada keraguan. Tapi yang paling kuat… ada ketakutan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya — untuk Li Feng. "Huh," Li Feng mendengus, setengah tersenyum getir. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangka
Langit abu-abu menggantung berat di atas reruntuhan Tianxiang, seakan langit sendiri menangisi kota yang pernah bersinar seperti permata di tengah kekaisaran. Angin membawa debu dan bau darah, menusuk ke dalam lubuk jiwa mereka yang masih bertahan. Li Feng berdiri diam, memegang gulungan kuno erat-erat di tangannya, seolah-olah kertas tua itu adalah satu-satunya jangkar yang mengikatnya pada kenyataan. "Sumpah Kaisar Pertama..." gumamnya lirih, matanya yang merah menatap kosong ke depan. "Shen Lu... negeri yang sudah lama dikabarkan lenyap... ternyata belum pernah benar-benar hilang..." Di sampingnya, Mei Yue memandang dengan tatapan gelap, seakan hatinya tahu lebih banyak daripada apa yang berani ia katakan. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, “Li Feng, kita harus berbicara. Sekarang.” Li Feng mengangguk tanpa suara. Keduanya bergegas ke sebuah bangunan setengah roboh — bekas rumah seorang saudagar, kini hanya kerangka
Angin malam menusuk kulit, bagai jarum-jarum halus yang menari di sepanjang reruntuhan Kota Tianxiang. Asap membubung ke langit gelap, dan di antara puing-puing, Li Feng berlutut dengan tubuh menggigil, memeluk tubuh rapuh Putri Ling’er. “Ling’er…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Putri itu menggenggam tangan Li Feng, lalu — dengan napas tersengal — menyerahkan sebuah gulungan tua, warnanya pudar, talinya nyaris rapuh. "Ini... rahasia... takdir kita," bisiknya. "Bawa... gulungan ini... ke tempat yang aman, Li Feng... Demi kita semua..." Dan kemudian—duk!—kepalanya terkulai di pelukan Li Feng. Li Feng menahan napas. “T-tidak… Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Ia mengguncang tubuh Ling’er, matanya memanas, suara di dadanya bergemuruh seperti badai. "Aaaaaargh!" pekiknya, membebaskan kemarahan, kepedihan, dan penyesalan dalam satu teriakan panjang yang menggetarkan udara. Namun, t