Share

HMT 6 - Penculikan

Matahari mulai mencondongkan sinarnya. Bertanda hari mulai petang. Ratu Yang dan Yihua tanpak asik menikmati perjalanan. Jalan menuju bukit Huan Zhu memang sangatlah indah. Di sana terdapat lembah-lembah bukit yang menghijau yang ditumbuhi bunga-bunga liar yang indah dan mewangi.

Tak heran jika tempat ini dijuluki serambi istana langit oleh semua orang. Dari udara segar yang berhembus tercium wangi bunga Lie Mie. Bunga keabadian yang tumbuh di tebing bukit gunung Huan Zhu.

Bunga Lie Mie dipercaya semua orang dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Namun bunga Lie Mie hanya mekar menjelang malam bulan purnama saja. Seperti petang ini.

"Wangi itu, aku sangat menyukainya," ucap Ratu Yang segera menyikap tirai pentutup jendela tandunya. Sepasang mata melihat bunga Lie Mie yang mulai bermekaran seolah menyambut kedatangannya di gunung Huan Zhu sore itu.

"Yihua akan meminta prajurit memetik bunga Lie Mie untuk Yang Mulia Ratu. Kemudian Yihua akan membuatkan parfum dari sari bunga suci itu. Bagaimana?" tukas Yihua sembari tersenyum menggoda sang ratu.

"Ide yang sangat bagus. Aku suka, Yihua!" Ratu Yang memekik senang mendengarnya.

Yihua hanya membalas senyum untuknya. Sebagai abdi setia sekaligus sahabat Ratu Yang, Yihua selalu ingin melihat wanita cantik itu selalu tampak ceria.

Baru satu tahun terakhir ini Ratu Yang bisa tersenyum lagi. Setelah kematian ayahnya dua tahun yang lalu, gadis itu selalu murung dan tampak bersedih. Yihua sangat bersyukur karena kini Ratu Yang mulai bisa menerima kematian sang ayah.

"Berhenti!"

Suara itu seiring dengan tandu yang ditumpangi oleh Ratu Yang dan Yihua ikut berhenti. Ada apa ini? Ratu Yang dan Yihua tampak saling pandang cemas. Ratu Yang segera menyikap tirai jendela di sampingnya.

"Jenderal Chou, ada apa?" tanya Ratu Yang pada Jenderal Chou yang ternyata sudah berdiri di samping jendela tandunya.

"Maaf, Yang Mulia. Sepertinya kita harus menunda perjalanan sejenak. Jembatan di depan tampak rusak parah karena badai semalam. Kami harus memperbaikinya lebih dulu. Mohon Yang Mulia bisa bersabar," jawab Jenderal Chou sembari menundukkan wajahnya di hadapan sang ratu.

"Baiklah," balas Ratu Yang tampak sedikit kecewa. Hh, padahal perjalanan tinggal sebentar lagi, kenapa malah terjadi masalah? Ada-ada saja, pikirnya.

"Silakan, Yang Mulia." Yihua membantu Ratu Yang keluar dari tandunya setelah para prajurit menurunkannya lebih dulu.

"Yang Mulia silakan beristirahat lebih dulu. Kami akan memperbaiki jembatan itu segera," sambut Perdana Menteri Han sembari membungkuk, mempersilakan Ratu Yang untuk memasuki tenda yang sudah prajurit dirikan.

Ratu Yang hanya mengangguk dan segera mengayunkan sepasang tungkainya menuju tenda. Yihua dan beberapa dayang mengapitnya dari belakang. Sedangkan Jenderal Chou mulai mengerahkan prajurit untuk segera memperbaiki jembatan. Mengingat hari semakin sore, apa pun bisa saja terjadi di dalam hutan begini.

"Yang Mulia, minumlah teh ini. Anda pasti sangat kelelahan." Yihua meletakkan talam dari logam perak dengan poci kecil dan satu gelas terbuat dari keramik pada meja di hadapan Ratu Yang.

"Yihua, apakah masih lama? Aku sudah tak betah berlama-lama di sini," tukas Ratu Yang sembari menatap Yihua yang sedang menuangkan poci teh pada cangkir kecil di hadapannya.

"Yihua baru saja melihatnya. Sepertinya sebentar lagi akan segera selesai. Bersabarlah," balas Yihua sembari tersenyum. Dua tangannya meletakkan cangkir kecil berisi teh di hadapan sang Ratu, "minumlah dulu. Anda pasti akan lebih baik," lanjutnya.

Ratu Yang hanya menatapnya bosan sembari meraih gelas teh itu, lantas menyesapnya seketika. Yihua tersenyum senang melihatnya.

"Serahkan Ratu Yang pada kami!"

"Siapa kalian?!"

"Dimana Ratu Yang?!"

"Lancang!!"

Suara bising itu terdengar sampai ke telinga Ratu Yang. Siapa yang datang? Dia dan Yihua saling pandang penuh tanya.

"Yang Mulia!" Yihua memekik kaget karena Ratu Yang langsung bangkit dan meninggalkan tenda tanpa berkata apa pun. Dia segera menyusulnya.

TAK!

PRANG!

Sepasang netra Ratu Yang membulat sempurna melihat Jenderal Chou dan para prajurit sedang bertarung dengan sekelompok pria tak di kenal. Siapa mereka? Beraninya melawan para prajurit istana, pikirnya geram. Ratu Yang segera menghunus pedangnya dan maju.

"Yang Mulia, apa yang Anda lakukan? Hamba mohon tetaplah di dalam tenda. Ini sangat berbahaya." Perdana Menteri Han dan Yihua segera menghadang sang ratu yang siap untuk bertarung.

"Minggir kalian, aku tak bisa duduk saja melihat para bajingan itu melukai para prajuri istana." Ratu Yang menatap geram pada pertempuran yang sedang terjadi di hadapannya.

"Yang Mulia, hamba mohon kembalilah ke dalam tenda. Biarlah Jenderal Chou dan para prajurit yang menangani mereka," tukas Perdana Menteri berusaha mati-matian agar Ratu Yang tidak sampai ikut bertarung.

Sedangkan Yihua menatap sang ratu penuh kecemasan.

"Jangan cemaskan aku." Ratu Yang segera mengayunkan langkahnya menuju medan perang. Tangannya sudah gatal ini menebas leher para begundal itu dengan pedangnya.

"Yang Mulia!"

Perdana Menteri Han dan Yihua hanya bisa meraung cemas. Sedangkan Ratu Yang mulai memainkan pedangnya. Mencari leher para bajingan itu untuk ditebas. Gerakannya cukup lihai dan cekatan.

"Yang Mulia, apa yang Anda lakukan? Kembalilah ke tenda. Biarkan hamba yang mengurus mereka!" Jenderal Chou sangat kaget sekaligus cemas melihat Ratu Yang sedang bertarung membantunya.

"Tak apa, Jenderal! Ayo kita habisi mereka!" teriak Ratu Yang sembari menoleh pada Jenderal Chou yang berada agak jauh di seberang sana. Sedangkan pedangnya terus menyabet para musuh di depannya dengan sengit.

Meski sangat cemas, Jenderal Chou tetap melanjutkan peperangan. Dia hanya berdoa agar Ratu Yang tetap baik-baik saja.

Pertarungan sengit itu masih terus berlangsung. Perdana Menteri Han dan Yihua hanya menonton dengan jantungnya yang berdebar-debar. Terlebih tampaknya para pria tak di kenal itu mengincar Ratu Yang. Meski sang ratu mahir jurus pedang, namun bagaimana jika dia terus dikeroyok begitu. Mereka sudah hampir menangis saking cemasnya.

Ratu Yang semakin bengis melawan para musuh dengan sabetan pedangnya. Namun tiba-tiba ada dua tangan kekar yang mencengkeram kedua bahunya dan mengangkatnya ke atas. Terbang. Sial! Pria dengan jubah hitam itu semakin tinggi membawanya.

"YANG MULIA!"

Perdana Menteri Han dan Yihua berteriak melihat seorang pria membawa Ratu Yang terbang tinggi. Tentu saja mereka sangat cemas.

Para dayang dan para prajurit berhamburan sembari menanggah ke atas. Kemana pria itu akan membawa ratu mereka.

"Sial!" Jenderal Chou segera melesat ke atas menyusul Ratu Yang. Dia pun terbang dengan cepat agar tidak tertinggal jejak mereka.

"Lepaskan aku, siapa kau?!" Ratu Yang berusaha berontak. Memukul dada bidang pria jubah hitam yang mendekap tubuhnya.

Pria itu menutupi sebagian wajahnya dengan kain hitam. Ratu Yang berusaha mengenali wajahnya dengan menanggah menatap pria itu.

"Tenanglah, Yang Zhu. Aku akan membawamu terbang ke istanaku," jawab pria itu kemudian.

Suara itu? Ratu Yang tampak kaget mendengar suara pria yang merengkuh tubuhnya saat ini. Pangeran Tong Yi? Ya, itu suara pangeran Tong Yi, pangeran dari Selatan.

"Tong Yi, kau?!" Ratu Yang menatap tajam pada wajah pria itu.

Pria itu membuka kain penutup wajahnya, "Rupanya kau masih mengingatku, Yang Zhu."

Ratu Yang menatapnya penuh dendam. Bola matanya menyala merah, seperti bola api yang muncul dari neraka. Bagaimana tidak? Putra Mahkota Tong Yi adalah putera dari Raja Tong Hao, orang yang telah membunuh ayahnya.

"Jangan marah seperti itu. Kau hanya akan terlihat semakin memesona saja di mataku, Yang Zhu. Diamlah dan ikut denganku ke Selatan," tukas Pangeran Tong Yi. Dia kembali fokus mengerahkan seluruh kekuatan untuk terbang lebih tinggi lagi.

"Lepaskan aku!" Ratu Yang hanya bisa berusaha berontak. Sedangkan Tong Yi malah tertawa gemas melihatnya ketakutan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status