ログインDuduk dalam satu ruangan, tangan Rain tampak berada di atas paha Gendis. Sesekali ia mengusap perut istrinya dengan lembut, berulang kali, lalu kembali menggenggam tangannya. Mereka berbincang ringan bersama Adam dan Luna, suasananya hangat dan penuh rasa nyaman. “Iya, jadi… kita ketemu di ruang konsultasi. Saya pasien Mas Rain,” ucap Gendis sambil tersenyum, lalu melirik suaminya dengan tatapan penuh kasih. “Oh ya? Asyik banget ya!” ujar Luna bersemangat, matanya berbinar mendengar cerita itu. Perbincangan terus mengalir hingga akhirnya Rain dan Adam berpindah ke ruangan billiard. Mereka tampak santai, bergantian menembak bola sambil berbicara. Lampu gantung meja billiard menciptakan suasana yang tenang namun tegang di antara percakapan mereka. “Rain, kamu masih ingat kasus beberapa tahun lalu?” tanya Adam sambil bersandar pada stik billiard, menunggu giliran Rain. Rain menyundul bola. Tok! Bola itu masuk mulus. Ia bergerak mengambil posisi baru sambil tersenyum tipis. “Suaminya
“Saya nggak pernah bercanda dengan apa yang saya bilang, dengan apa yang saya lakuin, Adam. Jadi kamu tenang aja,” ucap Rain sambil tersenyum tipis, berdiri tegak menatap taman belakang rumah orang tuanya yang remang. “Saya tahu, Rain. Saya kenal kamu tuh bukan setahun dua tahun. Saya cuma khawatir aja sama istri kamu,” ucap Adam, nadanya terdengar tulus tapi sarat kecemasan. “Kamu tenang aja, dia bukan perempuan kebanyakan,” ucap Rain sambil melirik Gendis di ruang TV, matanya melembut seketika. “Oke. Jangan lupa, kalau bisa secepatnya ke rumah. Pembahasan kita bakal makan waktu lama dan… ya, nostalgia lah. Main billiard di rumah,” ucap Adam sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan lagi suasana. “Siap, pasti. Udah lama nggak main billiard juga,” ucap Rain sambil ikut tertawa pelan. Percakapan ringan itu berlanjut beberapa detik sebelum akhirnya berakhir. Rain mengembuskan napas perlahan, lalu kembali duduk di ruang TV. Ia menikmati secangkir kopi sambil memeriksa data-data yang
“Sayang, nggak ada yang perlu kamu khawatirin dari semua ini. Saya udah janji sama kamu, semua yang saya lakukan kamu harus tahu. Dan saya pegang omongan ini sampai mati,” ucap Rain penuh ketulusan, menatap istrinya seolah ingin memastikan ia merasa aman. “Iya deh…” ujar Gendis pelan sambil mengangguk. Ia berusaha tenang, meskipun ada sesuatu yang jelas masih mengganjal di hatinya. Tak terasa, mobil mereka berhenti di kediaman keluarga Rain. “Wah… ke sini juga,” ucap Ibu Rain begitu melihat Gendis berjalan ke arahnya. “Iya dong, Mama. Obatnya udah sampai, kan?” tanya Gendis sambil memeluk ibu mertuanya hangat. “Udah dong… makasih banget, kamu perhatian sama Mama,” ucap Ibu Rain sambil melirik Rain yang sedang meletakkan kue dalam kotak hitam di atas meja makan. “Rain, bawa apa tuh?” tanya ibunya lagi, penasaran. “Kue, Ma. Kebetulan beli banyak. Aku kan stok makanan terus di rumah, dan ini aku bawa sebagian buat Mama juga,” jawab Gendis sebelum Rain membuka mulut. Ia duduk di si
“Teman? Teman kantor? Klien?” tanya Gendis sambil mengerutkan dahi, matanya menatap Rain penuh curiga yang sulit ia sembunyikan. “Teman lama saya,” ucap Rain pelan sambil mengangguk. Tangannya terulur mengusap perut istrinya, mencoba menenangkan suasana. “Nggak jauh dari rumah Mama.” “Mendadak banget?” Gendis menatapnya lebih dalam, rasa tidak nyaman mulai muncul di wajahnya. “Kamu nggak sembunyiin sesuatu dari aku kan, Sayang?” “Nggak ada, Sayang…” Rain tersenyum kecil, tapi sorot matanya terlihat sedikit gelisah. “Emang saya udah lama nggak ketemu. Dia baru balik dari LA.” “Perempuan?” tanya Gendis lagi, suaranya merendah, mengandung kecemasan yang tidak bisa ia tutupi. “Laki-laki…” ucap Rain sambil menarik napas pelan, berusaha meredam ketegangan di antara mereka. “Ada masalah?” tanya Gendis pelan, matanya masih meneliti ekspresi suaminya. “Nggak ada. Cuma mau ketemu doang… Beneran,” ucap Rain sambil mencoba tersenyum. Ia meraih tangan Gendis lembut. “Kamu mau ikut? A
“Kok mirip Pak Kevin?” ucap Angga pelan. Nada suaranya merendah, seperti baru saja menyadari sesuatu yang tidak ia inginkan. “Tuh kan? Makanya pas aku liat ini tuh kayak… siapa gitu.” Shasha mengembuskan napas gelisah. “Dan ini kan videonya dua malam lalu, aku ambil dari rekaman CCTV. Ngapain coba dia ke rumah kita dan liatin kayak gitu? Ya kan?” ucapnya, jelas terdengar tidak nyaman. “Tapi masalahnya, apa dia tahu itu rumah kita?” tanya Angga, alisnya mengerut, pikiran mulai bergerak liar. “Makanya itu, Sayang.” Shasha mengusap lengannya sendiri, tubuhnya merinding. “Selain Pak Rain sama istrinya, sisanya cuma Mama Papa kita. Nggak ada yang lain. Temen kantor? Mereka bahkan belum tahu rumah kita sampai sekarang.” Sore itu, benak Angga penuh tanya. Jantungnya berdegup cepat, membayangkan Kevin berdiri diam di depan rumahnya pada jam malam—seakan membawa sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar rasa ingin tahu. Tiba di sebuah restoran, Angga menggandeng tangan Shasha sam
“Saya ngerasa, nggak ada yang aneh sih,” ucap Rain dengan tenang. Ia bahkan tidak menoleh, hanya memindahkan kursor di layar laptop sambil menghela napas pendek. “Polanya itu, Pak. Koper semua,” ucap Angga, nadanya lebih serius, alisnya mengerut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, gelisah. “Kamu tuh masih kebawa suasana yang kemarin,” ucap Rain sambil tertawa kecil lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Senyumnya tipis, tapi matanya tetap jernih dan tenang. “Iya kali, ya. Kangen juga sih… seru gitu kita malam-malam keluar rumah ninggalin istri,” ucap Angga sambil tertawa, meski fokusnya tetap pada layar laptop. Gendis yang baru melintas dari arah kamar menuju ruang makan, menggeleng pelan sambil tertawa kecil mendengar ucapan mereka. Perut besarnya ikut bergerak saat ia menahan tawa, tatapannya hangat pada dua orang yang sedang bekerja itu. “Besok saya ke kantor, tapi cuma sebentar aja. Nggak bisa lama-lama ninggalin Gendis,” ucap Rain sambil menoleh sekilas pada istrinya, senyum







