Home / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 478. SATPAM MALAM-MALAM CARI KURIR KERUMAH RAIN?

Share

478. SATPAM MALAM-MALAM CARI KURIR KERUMAH RAIN?

last update Last Updated: 2025-12-21 10:14:35

“Tadi siang, ada kurir dua orang masuk ke perumahan kita, Pak. Um… terus… sampai malam ini, mereka nggak balik juga. Saya sama temen saya khawatir,” ucapnya kebingungan, suaranya terdengar ragu-ragu.

“Soalnya kenapa?” tanya Rain dengan tenang, ekspresinya tetap santai.

“Takut mereka masuk ke rumah warga, Pak. Tapi… alarm warga nggak ada yang bunyi. Apa dirusak atau gimana? Duh… bingung, Pak,” lanjutnya, napasnya terdengar berat menahan cemas.

“Dua orang?” tanya Rain pelan, alisnya sedikit terangkat, matanya menatap tajam namun senyumnya tak pernah benar-benar hilang.

“Iya, Pak. Dua orang, dan… yang bikin saya kaget… mereka masuk ke rumah kosong yang dijual itu, Pak. Motornya ada di sana, tapi orangnya nggak ada,” ucap sekuriti itu lirih, wajahnya terlihat makin gelisah.

“Hmm… bahaya juga, ya,” ucap Rain sambil tersenyum tipis, seolah menimbang sesuatu di kepalanya.

“Itu dia, Pak. Saya lewat pas lihat tadi Pak Rain ngapain, saya kira orang asing masuk,” katanya cepat, lalu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG   480. KEJUTAN. PAKET ITU TIBA!

    “Pulang sendiri? Maksudnya apa, ya?” ucap Ari lirih sambil duduk bersandar pada tembok. Ia mengisap sebatang rokok dalam-dalam, matanya waspada menyapu sekitar, seolah mencari jawaban dari rasa takut yang mulai merayap. “Ari, dipanggil bos!” Ari tersentak. Ia segera berdiri, mematikan rokoknya asal, lalu melangkah cepat menuju lantai dua. “Iya, Bos,” ucap Ari singkat saat berdiri di depan atasannya, bahunya tampak tegang. “Lo tahu di mana teman kita dua lagi?” tanya bos itu dingin, sorot matanya tajam menekan. “Gue nggak tahu, Bos. Terakhir mereka mau nganterin barang,” jawab Ari cepat, berusaha terdengar tenang meski tenggorokannya terasa kering. “Nggak usah pura-pura polos,” potong sang bos tajam. “Lo tahu, kan, mereka berdua gue kasih izin buat eksekusi korban?” “Sumpah, gue nggak tahu sama sekali, Bos,” ucap Ari cepat. Suaranya terdengar kaku, rahangnya mengeras menahan gugup. “Anak-anak bilang… lo ini mata-mata,” ucap bosnya datar, tapi sorot matanya tajam menusuk

  • PELAN PELAN SAYANG   479. RAIN KIRIM BALIK, ARI PANIK.

    “Apa semua udah beres, Mas?” tanya Gendis berbisik pelan sambil menyentuh dada bidang suaminya malam itu. Rain mengangguk sambil tersenyum, matanya sempat melirik ke arah Bima yang tertidur pulas tak jauh dari mereka, wajah kecil itu terlihat damai dalam keheningan malam. “Udah semua, Sayang,” ucap Rain lembut sambil mengusap punggung istrinya pelan, penuh kasih sayang—kontras dengan apa yang ia lakukan beberapa jam lalu di ruang kamar tamu yang dipenuhi darah dan peluh keringat. “Aku takut, Mas… sumpah aku takut...” bisik Gendis lirih. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tak ia sembunyikan, tubuhnya makin dalam terbenam dalam pelukan suaminya, mencari rasa aman. “Saya nggak akan lukai kamu sama Bima. Saya cuma… ngelakuin hal yang seharusnya, mempercepat masalah hidup mereka,” ucap Rain pelan sambil tersenyum, lalu mengecup pucuk kepala istrinya dengan lembut. “Bisa nggak kamu nggak ngelakuin itu lagi? Terlebih di dalam rumah kita sendiri, Mas…” ucap Gendis sambil menangis

  • PELAN PELAN SAYANG   478. SATPAM MALAM-MALAM CARI KURIR KERUMAH RAIN?

    “Tadi siang, ada kurir dua orang masuk ke perumahan kita, Pak. Um… terus… sampai malam ini, mereka nggak balik juga. Saya sama temen saya khawatir,” ucapnya kebingungan, suaranya terdengar ragu-ragu. “Soalnya kenapa?” tanya Rain dengan tenang, ekspresinya tetap santai. “Takut mereka masuk ke rumah warga, Pak. Tapi… alarm warga nggak ada yang bunyi. Apa dirusak atau gimana? Duh… bingung, Pak,” lanjutnya, napasnya terdengar berat menahan cemas. “Dua orang?” tanya Rain pelan, alisnya sedikit terangkat, matanya menatap tajam namun senyumnya tak pernah benar-benar hilang. “Iya, Pak. Dua orang, dan… yang bikin saya kaget… mereka masuk ke rumah kosong yang dijual itu, Pak. Motornya ada di sana, tapi orangnya nggak ada,” ucap sekuriti itu lirih, wajahnya terlihat makin gelisah. “Hmm… bahaya juga, ya,” ucap Rain sambil tersenyum tipis, seolah menimbang sesuatu di kepalanya. “Itu dia, Pak. Saya lewat pas lihat tadi Pak Rain ngapain, saya kira orang asing masuk,” katanya cepat, lalu

  • PELAN PELAN SAYANG   477. TAKUT NGGAK?

    Rain segera memfoto dua paket itu, menyimpan hasil foto dengan tenang, senyum dan terlihat bahagia. Ia menatapnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, merenggangkan tubuhnya, sebelum bersiap menguburkan dua jasad tanpa kepala di pekarangan belakang rumahnya. Hujan kini sudah reda, hanya sisa tetesan air yang menetes perlahan dari dedaunan. Dengan tenang namun penuh kewaspadaan, Rain mulai mencangkul tanah di bawah pohon beringin, tak jauh dari gazebo tempat keluarganya biasanya berkumpul—duduk santai, makan siang bersama, sambil menikmati ikan koi yang berenang di kolam. Tubuhnya berkeringat deras, air mengucur dari pelipis dan rambutnya, bercampur tanah basah yang menempel di tangannya. Setiap hentakan cangkul terdengar menggema di pekarangan, seakan menyadarkan dirinya akan kengerian yang sedang ia lakukan. Sementara itu, sekuriti perumahan elite tempat ia tinggal tengah kebingungan mencari kurir pemilik motor tersebut. “Bro, jam berapa mereka masuk?” tanyanya pada

  • PELAN PELAN SAYANG   476. REAKSI GENDIS WAKTU TAHU APA YANG DILAKUKAN SUAMINYA.

    “Ini… jasad, Sayang,” ucap Rain pelan sambil melangkah mendekati dua bungkusan di lantai. Gerakannya membuat Gendis tersentak. Ia mundur perlahan, punggungnya menekan sandaran ranjang. “Kamu bunuh orang lagi?” tanya Gendis dengan suara bergetar, nyaris tak sanggup menatapnya. Rain terdiam sejenak. “Maaf, Sayang. Saya… saya ngerasa harus,” katanya lirih. “Mereka masuk ke rumah ini dan—” “Mas!” potong Gendis keras, suaranya pecah oleh tangis. “Kamu janji nggak bakal ngelakuin itu lagi sama aku. Kenapa kamu ingkar?” isaknya makin menjadi. Rain menunduk. Tatapannya jatuh pada bungkusan itu sebelum tangannya meremas kaus yang masih bernoda darah. “Saya terpaksa, Sayang…” ucapnya pelan, suaranya berat, seolah menahan sesuatu yang lebih gelap dari yang berani ia akui. “Sekalipun terpaksa, kamu bisa, kan, laporin mereka ke polisi?” ucap Gendis dengan suara bergetar. “Atau dipukul aja… jangan sampai begini,” lanjutnya, tangisnya tertahan di ujung kata. Rain terdiam. Rahangnya

  • PELAN PELAN SAYANG   475. GANTIAN. RAIN KINI YANG AKAN KIRIM PAKET.

    Gendis menunggu di dalam kamar tidur sambil memeluk Bima yang tertidur nyenyak. “Mas…” bisiknya lirih, seolah memanggil Rain agar segera kembali padanya. “Aku yakin itu tadi darah. Itu tadi darah… banyak banget di baju dia…” ucap Gendis sambil menangis pelan, menahan isak agar tak mengganggu tidur Bima. Dengan tangan gemetar, Gendis beranjak dari ranjang. Ia menyisipkan bantal di sisi kiri dan kanan tubuh Bima, memastikan anak itu aman. Setelah itu, ia melangkah keluar kamar, menekan beberapa tombol kunci dengan cepat, hampir tergesa. Lorong kamar rumah mewahdi depannya gelap dan sunyi. Napas Gendis tercekat. Ia menatap lurus ke depan sebelum menekan tombol lampu. Cahaya menyala satu per satu, seolah memerangi kegelapan yang menelan rumah itu sejak tadi. Jantungnya berdegup kencang. Gendis meraih vas bunga kristal di atas meja—dingin, berat, dan licin di telapak tangannya—sebagai satu-satunya alat pertahanan diri. Dengan langkah ragu namun memaksa diri untuk terus maju,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status