Share

PELANGI DI WAJAH AISYAH
PELANGI DI WAJAH AISYAH
Penulis: Rara Shasha

NIKAHIN AKU SEHARI SAJA(perjanjian sebelum nikah)

Tersebutlah seseorang bernama Pak Afran seorang Walikota dengan status duda, istrinya telah meninggal dunia sejak tiga tahun yang lalu. Pak Afran berusia lima puluh lima tahun. Lelaki tampan, berwibawa, punya banyak uang. Pasti menjadi incaran rayuan banyak wanita.

Sedangkan Aisyah, wanita tiga puluh tujuh tahun yang dulu sempat bekerja di kediaman Pak Afran sebagai sekretaris beliau. Kedekatan dan kebersamaan menjadikan Aisyah jatuh hati pada Pak Afran namun demi menjaga nama baik, Aisyah lebih rela mengikis mimpinya dari pada melanjutkannya.

Hingga entah karena apa tetiba Aisyah kembali mempunyai akses mendekat pada Afran dan Aisyah pun baru tahu kalau sebenarnya ‘ummi’ telah lama meninggal dunia. Kedekatan yang intens, bincang-bincang menyenangkan membuat mereka menjadi saling membutuhkan. Paling tidak membutuhkan teman berbincang.

“Aku tunggu kamu di stasiun kereta api pukul 13.00 karena kereta akan datang pukul 15.00” Itu pesan singkat yang Aisyah terima dari whatsappnya. Pesan itu di tulis oleh Pak Afran. Lelaki yang sangat dicintainya bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu.

“Inggih” Jawab Aisyah cepat karena saat itu ia masih sibuk dengan acara penjurian lomba kebersihan Desa tingkat kecamatan.

Acara pun usai, Aisyah bingung memilih gaun. Gaun mana yang akan ia gunakan untuk menemui Pak Afran seorang Walikota di tempatnya tinggal. Ia hanya wanita biasa, gaun mahalpun ia tak punya. Meski kini ia telah sedikit bangkit dari segi ekonomi namun kondisi kehidupannya belum benar-benar pulih 100 persen. Jadi, baju-bajunya banyak yang berada di pegadaian untuk menafkahi anak-anaknya. Aisyah terdiam, ia duduk sejenak di atas spring bed empuk yang baru ia beli dari hasilnya menulis cerita.

Hingga ia memutuskan memilih gaun berwarna krem dengan jilbab coklat. Ia sejenak mematut dirinya di depan cermin. Gaunnya mungkin tidak mahal namun wajah imut yang Aisyah miliki masih lumayan cantik meski dengan penampilan seadanya.

“Ach, PD aja lagi. Paling nanti Pak Afran akan berkomentar…” Ujarnya sambil mengulum senyum membayangkan komentar dari Pak Afrannya. Aisyah seolah tahu sampai sebatas apa Pak Afran akan mengomentari penampilannya. Jadi ia easy going saja.

Ia menggunakan Avanza hitam miliknya menemui Pak Afran di stasiun. Mobil Avanza yang ia beli dari hasil pemberian harta warisan abahnya di tambah dengan pemberian adiknya dan almarhum suaminya, muncullah Avanza itu.

“Bapak dimana ?” Tanya Aisyah.

“Kamu masuk saja.”

“Ini sudah masuk, Bapak dimana ?” Tanya Aisyah lagi karena ini untuk pertama kali ia sampai di stasiun ini.

pandangannya tertuju pada lelaki dengan jaket kulit berwarna coklat dan celana panjang. 

“Usia lelaki ini 55 tahun namun penampilannya seperti masih 35 tahun “ Desis Aisyah lirih. “Pantas masih banyak saja wanita yang berjajar untuk berada di samping beliau terlebih saat beliau menyandang predikat duda.”

Aisyah mendekati lelaki tersebut, mencium ujung pergelangan tangan beliau. Mereka berdua bersisihan menuju gerbong kereta api yang telah datang. Langkah-langkah panjang beliau membuat Aisyah sedikit kesulitan mensejajarkan diri. 

Di gerbong itu mereka duduk berdampingan, entah mengapa tiba-tiba Aisyah menjadi kikuk dan menjadi kehabisan bahan pembicaraan. Beruntung Pak Afran memutuskan pindah tempat duduk di kursi belakang. Paling tidak Aisyah sedikit bernafas lega. Ia mulai bisa memandangi jalanan dengan bebas, menjadikan tiap derit gerbong kereta api tersebut sebagai inspirasi dalam kertas-kertas tulisannya nanti. Aisyah juga mulai bias menghubungi anak-anaknya di rumah. Paling tidak episode tujuh jam berlalu itu tidak berlalu dengan sia-sia. Hingga stasiun tujuan berada di depan mata. 

Aisyah turun, Pak Afran berada di depan mendahului. Bila ini terjadi di daerahnya Aisyah bisa maklum, demi menghindari gosip hal itu Pak Afran lakukan namun ini terjadi di tempat yang sudah demikian jauh. Sudah beda provinsi dan Aisyah yakin tidak semua orang mengenali kepala daerah di daerah yang lain, wong terkadang dengan kepala daerahnya sendiri saja masyarakat banyak yang tidak kenal apalagi dengan kepala daerah di daerah lain. Namun Aisyah mau tidak mau harus ikut dalam peraturan yang tidak tertulis ini.

Ia telah sepakat siap menjadi istri tanpa tuntutan apapun, dengan tetap menjunjung nama baik dan kehormatan ke duanya. Seringkali Aisyah merasa ingin marah memang, jika dalam bincang tak sengaja Pak Afran berkata, “tolong rahasiakan nama bapak ya..” Aisyah seringkali protes. Demikian agungkah seorang pejabat menjaga harga diri dan nama baiknya hingga harus di pesan beberapa kali sebelum perjalanan dimulai ? Tidakkah mereka sadar bahwa orang lain juga punya ingin yang sama untuk tetap di hargai dan dijaga nama baiknya. Jadi pada hakekatnya adalah sama. Sama-sama punya ingin yang sama. Bukan hanya Pak Afran saja Aisyah pun ingin nama baiknya terpelihara. 

Kariernya yang baru saja bersinar tidak mungkin Aisyah biarkan meredup hanya karena cintanya pada Pak Afran yang akan disalah artikan oleh orang lain, itu sebabnya ia menjaga. Ia tidak mau dunia mencemooh dirinya hanya mengambil keuntungan atas kedekatannya dengan Pak Afran. Ia tidak ingin dunia mencaci bahwa kedekatannya dengan Pak Afran hanyalah numpang tenar. Itulah mengapa Aisyah meminta menikah sehari saja.

Cintanya pada pak Afran demikian besar dan telah bertengger sangat lama di hatinya hingga rasanya sulit buat dirinya untuk tidak memiliki mimpi bersama lelaki itu. Dulu ia pergi semata karena ia tidak ingin menjadi penghancur rumah tangga pak Afran dan ummi. Ia ingin tetap jadi perempuan yang baik dengan tidak menjadi perebut suami orang.

Berbagai cerita telah ia lalui dan ia sama sekali tidak pernah mengusik Pak Afran kecuali dalam kesulitan yang tidak mampu ia pecahkan.

Pernah suatu ketika ia menghubungi Pak Afran untuk meminta uang dua ratus lima puluh ribu rupiah karena saat itu ia berada di sebuah desa terpencil yang sangat jauh dari kota dan hanya ada satu ATM disana. Ia meminta karena uangnya habis sedang saat itu si kecil sedang sakit namun saying telponnya diterima oleh Ummi. Dan sejak hai itu ia tidak lagi menghubungi Pak Afran karena rasa malu yang demikian besar.

Ummi adalah sosok idola bagi Aisyah, susah bagi Aisyah untuk menyakiti hati ummi meski terkadang beberapa kejadian sempat membuat mereka bertentang kata namun Aisyah selalu mampu muncul dan berkata “maaf” lalu dengan kebaikannya ummi pun segera memaafkan Aisyah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status