LOGINMalam itu, setelah jamuan makan malam yang panjang dan melelahkan, Elara menolak ditemani oleh Dayang Clara, dengan alasan migrain yang parah. Dayang itu, meskipun curiga, terpaksa mundur.
Elara menunggu di kegelapan kamar mandinya yang luas. Dia tahu Ariel akan masuk melalui pintu belakang untuk tugas terakhir: menyiapkan air mandi lavender dan memastikan tidak ada debu di wastafel marmer. Tepat saat Ariel masuk, Elara sudah menunggunya di dalam bayangan, gaun tidurnya menyatu dengan kegelapan. "Saya tahu Anda sedang diuji," bisik Elara, tanpa basa-basi. "Kelopak itu. Clara. Dia mencurigai sesuatu." Ariel langsung membungkuk. "Tuan Putri, Anda seharusnya tidak berada di sini. Jika Clara kembali—" "Tidak," potong Elara. Dia melangkah maju, tangannya meraih lengan seragam Ariel, sentuhan pertama yang benar-benar mereka lakukan di luar emosi dan di tengah bahaya. "Dengarkan saya, Ariel. Varen semakin agresif. Ayah semakin tegas. Dalam beberapa hari, saya akan terikat. Malam ini mungkin adalah saat terakhir kita memiliki keheningan yang bersih." Air mata tidak ada di mata Elara kali ini. Hanya ada tekad yang membara. "Saya ingin mengatakan ini kepada Anda, sebelum mereka mengambil kata-kata dari lidah saya dan napas dari paru-paru saya. Saya tidak mencintai Varen. Saya tidak ingin menikahinya." "Saya tahu, Tuan Putri," kata Ariel, suaranya hanya sedikit lebih keras dari embusan napas. Ia menatap ke lantai pualam. Elara melepaskan tangannya, tetapi dia tidak mundur. Dia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, hingga Ariel bisa merasakan hangat napasnya. "Lalu siapa yang saya cintai, Ariel? Siapa yang saya rindukan setiap kali saya melihat langit Astaria di malam hari, dan mengapa saya melihat Anda di bawah bintang-bintang itu?" Jantung Ariel berdegup kencang hingga ia merasa tulangnya akan remuk. Ini adalah pengakuan. Sebuah bom yang dijatuhkan dengan kelembutan. "Tuan Putri," ia berbisik kembali, mengangkat pandangannya untuk bertemu dengan mata Elara. Ada kebenaran yang harus diucapkan, bahkan jika itu berarti kematian. "Saya hanya seorang pelayan. Saya hanyalah bayangan. Tetapi jika saya diizinkan untuk melihat bintang-bintang itu bersama Anda, saya tidak akan meminta surga lagi." Itu adalah pengakuan yang setara, di mana dia mengakui status rendahnya tetapi menawarkan jiwanya. "Baik," kata Elara, tiba-tiba terdengar kuat. Dia memejamkan mata sejenak, menerima janji itu. "Anda adalah milik saya. Saya tidak tahu bagaimana, tetapi saya akan memastikan mereka tidak menyentuh Anda, dan mereka tidak mengambil saya." Dia berbalik, mengambil kelopak kering yang Ariel sembunyikan di tangannya, dan menciumnya. "Sekarang pergi, Ariel. Lakukan tugas Anda. Dan jangan pernah lupakan janji ini." Ariel membungkuk dalam-dalam sekali lagi. Ia kembali menyiapkan air mandi, tangannya gemetar. Setelah malam itu, tidak ada jalan kembali. Mereka berdua telah mengakui perasaan mereka, dan sekarang mereka harus menghadapi konsekuensi dari romansa terlarang ini di bawah pengawasan ketat Dayang Clara dan ancaman Pangeran Varen. Bau Tanah dari Timur Pangeran Varen dengan cepat mengambil alih Ruang Perjamuan dan sayap politik istana Astaria. Ia bukan hanya seorang tunangan; ia adalah seorang penjajah yang halus. Setiap jamuan makan, setiap pertemuan, digunakan untuk menunjukkan dominasinya. Elara terpaksa menghadiri jamuan makan yang diselenggarakan Raja untuk Varen. Ariel, sebagai bagian dari tim pelayan yang disiapkan secara khusus, harus berada di dekat meja kerajaan. Ini memberinya kesempatan langka untuk mengamati Varen dari jarak dekat. Varen adalah pembicara yang fasih. Ia berbicara tentang investasi, aliansi militer, dan persatuan. Namun, Ariel menyadari bahwa di balik semua kata-kata manis tentang "persatuan," Varen selalu mempromosikan wilayahnya sendiri, dan secara halus meremehkan produk dan hasil panen Astaria. "Astaria yang indah," kata Varen, mengangkat gelasnya, "Memiliki tanah yang kaya, tetapi hasil panennya kurang optimal. Kami di Varen memiliki teknologi pertanian yang superior, yang dapat kami 'pinjamkan' kepada Anda dengan imbalan bagian dari hasil panen." Raja Astaria, yang selalu berhati-hati, tampak sedikit cemas tetapi tidak berani menolak tawaran Varen secara langsung. Saat Ariel membersihkan remah-remah di dekat Varen, dia mendengar percakapan yang lebih pribadi antara Pangeran itu dengan seorang utusan kepercayaannya, yang datang bersamanya dari Varen. "Pastikan pengiriman bijih besi dari Tambang Utara Astaria ditunda dua minggu lagi," bisik Varen kepada utusannya. "Dengan harga yang saya tawarkan, mereka akan kelaparan, dan Raja akan terpaksa menerima pinjaman kita dengan syarat apa pun." Ariel membeku sejenak, sendok perak di tangannya berhenti bergerak. Ini bukan hanya politik; ini adalah rencana untuk melemahkan Astaria secara ekonomi sebelum pernikahan. Bijih besi dari Tambang Utara adalah sumber daya utama Astaria, dan penundaan pengiriman dapat menyebabkan kekacauan finansial. Malam itu, tugas Ariel di sayap Elara adalah merapikan kantor kecil Putri yang jarang digunakan. Di sana terdapat peta-peta tua kerajaan dan laporan-laporan ekonomi yang sudah lama diabaikan. Elara masuk. Dia mengenakan jubah beludru tebal, tampak lelah setelah berpura-pura tersenyum sepanjang malam. "Varen berbicara terlalu banyak tentang teknologi pertanian, Ariel," kata Elara, duduk di kursi berlengan. "Padahal Varen terkenal karena industri bijih besinya." Elara tidak menanyakan tentang Varen secara langsung, tetapi ia memberikan petunjuk. Dia tahu Varen menyembunyikan sesuatu. "Apakah Anda memperhatikan detail kecil apa pun, Ariel? Para bangsawan selalu meninggalkan petunjuk dalam remah-remah di meja mereka." Ariel memahami. Ini adalah penyelidikan rahasia, menggunakan posisinya sebagai pelayan yang "tak terlihat" untuk menyusup ke tempat yang tidak dapat dijangkau oleh Putri. "Tuan Putri," kata Ariel, berdiri di samping peta tua Astaria. "Saya mendengar percakapan tentang Bijih Besi di Tambang Utara. Ada rencana untuk menunda pengiriman bijih selama dua minggu, yang mungkin dapat memengaruhi keuangan kerajaan." Elara memejamkan mata, mencerna informasi itu. "Tambang Utara... itu area yang sangat strategis. Jika itu ditahan, Astaria akan goyah sebelum ia mengambil alih secara resmi." Dia kemudian menunjuk ke sebuah buku besar di rak. "Ambilkan saya buku ini, Ariel. Judulnya: 'Jalur Perdagangan Astaria Abad ke-17'." Ketika Ariel mengambil buku itu, Elara berbicara lagi, kali ini dengan mata tertuju pada peta di depannya. "Saya ingin Anda mencari tahu, jika Anda bisa, bagaimana Varen bisa menunda pengiriman itu. Apakah dia menyuap kapten kapal, atau apakah dia mengendalikan jalur pegunungan?" Ini adalah tugas mata-mata yang berbahaya. Melanggar batas-batas sosial adalah satu hal; mengganggu urusan politik Pangeran Varen dapat dihukum mati tanpa ampun. "Saya akan melakukannya, Tuan Putri," jawab Ariel tanpa ragu. Janji yang ia buat di bawah bintang-bintang kini beralih dari emosional menjadi tindakan berbahaya. Sebelum Ariel pergi, Elara menambahkan, "Satu hal lagi. Saat Anda pergi, pastikan Anda menaruh lilin putih di ambang jendela balkon. Itu akan menjadi penanda bahwa saya perlu berdiskusi dengan Anda, dan hanya Anda, di observatorium, malam ini. Saya tidak bisa menunggu." Kode rahasia itu kini telah berevolusi dari sekadar pemberitahuan menjadi panggilan mendesak. Malam itu, Ariel meninggalkan sayap Putri bukan dengan hati yang bersemangat, melainkan dengan jantung yang berdetak kencang karena menghadapi bahaya ganda: Dayang Clara dan Pangeran Varen. Astaria kini bergantung pada bayangan seorang anak yatim.Fajar menyingsing membawa kabar buruk bagi Pangeran Varen dan kabar baik yang samar-samar bagi Astaria. Jenderal Kavaleri Cassian kembali ke istana bukan dengan kemenangan perang yang riuh, melainkan dengan laporan tenang tentang ‘pengamanan’ Penyeberangan Sungai Feralis dari pasukan asing yang mencoba menyusup.Meskipun Cassian menahan diri untuk tidak menyebut nama Varen di depan umum, ia segera meminta audiensi darurat dengan Raja.Di Sayap Raja, Elara sedang menunggu dengan hati-hati. Ia telah menyerahkan bros naga perak yang diamankan Ariel kepada Cassian, menjelaskan bahwa bros itu adalah petunjuk, dan membiarkan Ksatria tua itu menyusun narasinya.Tidak lama kemudian, istana diselimuti suasana tegang. Pengawal kerajaan, dipimpin oleh Cassian, diam-diam memasuki kamar Pangeran Varen, menyita barang-barangnya, dan menahannya atas tuduhan yang belum diumumkan.Raja Astaria, yang biasanya tenang, tampak pucat dan terguncang. Pengkhianatan di istananya sendiri,
Malam menjelang serangan yang dijadwalkan. Istana sunyi. Pesta dansa telah berakhir, dan semua orang, termasuk Pangeran Varen yang puas diri, telah pensiun ke kamar mereka. Hanya Dayang Clara yang masih berpatroli, bayangannya melayang di koridor seperti hantu yang bersemangat.Ariel tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jaro, pengawal Varen, telah mencari bros naga perak itu dengan putus asa, yang berarti bukti itu sangat penting. Ariel harus memastikan Jaro tidak menemukannya di Sayap Barat.Ariel tahu bahwa Jaro tidak akan mencari di lokasi tempat bros itu jatuh: gudang anggur tua, tempat yang dianggap terlalu jauh dan terpencil dari urusan istana.Berbekal senter minyak kecil, Ariel menyelinap keluar dari Sayap Barat, bergerak cepat melalui lorong-lorong pelayanan yang gelap, menuju ke Sayap Anggur, tempat yang ia masuki beberapa hari lalu untuk menemukan dokumen pemalsuan.Saat ia mencapai gudang anggur, ia mencium bau lumut dan kelembapan, namun juga bau tan
Dua hari sebelum tanggal serangan yang diperkirakan, istana mengadakan pesta dansa mewah untuk menghormati kedatangan Pangeran Varen dan merayakan pertunangan mereka yang akan datang. Aula dansa berkilauan dengan kristal dan emas, namun bagi Elara, suasana terasa tebal dan menyesakkan. Setiap senyum adalah topeng, setiap sapaan adalah jebakan.Elara mengenakan gaun sutra berwarna biru tua, warnanya sama gelapnya dengan rahasia yang ia sembunyikan. Di tengah hiruk pikuk musik dan tawa, ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kecemasan di matanya.Pangeran Varen, di sisi lain, tampak terlalu ceria. Keyakinan dirinya terpancar kuat. Ia percaya bahwa Raja Astaria masih sibuk dengan menu katering, sementara Jenderal Lycia sedang menggerakkan pasukannya."Kau terlihat mempesona malam ini, Elara," bisik Varen saat memimpinnya dalam sebuah waltz. Jari-jarinya menggenggam pinggang Elara dengan rasa memiliki yang terlalu kuat."Kau juga, Varen," jawab Elara, memaksa seny
Sinar matahari pertama menembus jendela kamar tidur Elara, dan Dayang Clara sudah berdiri di sampingnya, memegang nampan perak yang berisi teh pagi dan, di dalam vas kristal kecil, satu tangkai Anggrek Merah.“Anggrek dari rumah kaca, Tuan Putri. Saya pikir warnanya sangat cocok dengan suasana hati Anda pagi ini,” kata Clara dengan senyum yang terlalu lebar, nadanya penuh makna tersembunyi. Clara menempatkan vas itu tepat di samping tempat tidur Elara, di mana matanya bisa mengawasi.Elara merasa tegang. Dia tahu Ariel pasti sudah mencoba menghubunginya, dan bunga ini adalah satu-satunya kesempatan. Dia harus bertindak secara alami."Anggrek yang indah, Clara. Terima kasih," jawab Elara, mengambil bunga itu.Saat ia memuji warna kelopak bunga, jarinya perlahan-lahan menyentuh batang Anggrek. Dia merasakan ada tonjolan kecil yang tidak wajar, sekecil serpihan. Elara tahu itu. Itu adalah pesan Ariel."Bisakah Anda mengambilkan buku puisi saya, Clara? Saya merasa ingin membaca beber
Dayang Clara adalah seorang musuh yang licik. Keesokan paginya, Clara bertindak bukan dengan tuduhan langsung, melainkan dengan memisahkan Elara dari satu-satunya sekutunya, Ariel. Saat sarapan, Clara mengumumkan, "Tuan Putri, saya telah membuat penyesuaian pada jadwal harian. Pelayan Ariel akan dipindahkan sementara ke Sayap Barat untuk membantu dengan inventarisasi permadani yang rusak. Pekerjaan ini memerlukan tangan yang kuat dan perhatian pada detail, dan saya yakin ia akan berguna di sana." Elara merasakan darahnya mendidih, tetapi ia harus menjaga ketenangan. Memprotes akan menegaskan kecurigaan Clara. "Oh, Sayap Barat? Betapa membosankan," kata Elara, pura-pura cemberut. "Tetapi saya kira permadani yang sobek adalah prioritas. Anda benar, Clara. Biarkan Ariel pergi." Clara tersenyum puas. Itu adalah kemenangan kecil yang memisahkan sepasang sekutu tanpa menimbulkan kecurigaan. Setelah Clara pergi, Elara segera mengirimka
Ariel menunggu sampai larut malam, jauh setelah seluruh istana terlelap, untuk bertemu Elara. Ia tidak berani menggunakan kode lilin di ambang jendela lagi karena takut Dayang Clara mengawasi. Sebagai gantinya, ia pergi ke tempat teraman—pertemuan mereka di observatorium, dengan asumsi bahwa jika ia ditangkap, setidaknya ia akan ditangkap di dekat Elara. Elara sudah ada di sana, menunggu dengan gelisah di bawah teleskop yang diam. Dia tidak memakai jubah tidur mewah malam ini, melainkan gaun yang sederhana, seolah-olah dia siap untuk melarikan diri kapan saja. "Anda datang," bisik Elara, lega yang luar biasa memancar dari matanya. "Saya berhasil, Tuan Putri," jawab Ariel. Ia mengeluarkan gulungan perkamen yang kusut dan bros naga perak dari balik jubahnya. "Ini adalah surat pemalsuan. Ditandatangani oleh 'Kapten R. Volstov'—nama samaran Varen. Dan ini…" Ariel meletakkan bros naga perak di atas meja observatorium. Cahaya bulan memantul dari permukaannya yang mengkilap. "Ini j







