Romi benar-benar tidak menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhirnya bekerja di perusahaan yang selalu dibanggakannya selama ini. Sayangnya, semua alasan dalam surat pemecatan dirinya memang benar-benar masuk akal. Semua kesalahan itu memang pernah dilakukannya. Tapi entah bagaimana cara sang direktur bisa membongkar tiap kesalahan yang dia yakin pernah disembunyikannya dengan rapi. Hal itu tentu membuat Romi tidak bisa berkutik lagi.
"Kok jam segini udah pulang, Pah? Papa sakit?" Mayang menyambut keheranan suaminya yang pulang pulang lebih cepat dari biasanya. Romi tak bereaksi. Dia langsung mendudukkan diri ke sofa ruang tamu dengan lemas. Dilemparkannya surat pemecatan dirinya ke atas meja. Mayang yang penasaran, segera membuka kertas tersebut dan mulai membacanya. "Apa?! Bagaimana mungkin? Papa melakukan kesalahan apa sampai dipecat kayak gini?" Mata wanita itu membelalak, wajahnya seketika berubah merah padam. Rasanya tidak mungkin suaminya tiba-tiba dipecat tanpa peringatan sebelumnya. Pasti ada yang salah dengan semua itu? Atau jangan-jangan ... "Ini pasti ada yang salah, Pah. Anak sulungmu itu pasti yang sudah membuatmu dipecat kayak gini. Mama tidak percaya ini bisa terjadi begitu saja," kata wanita itu bersungut. "Tidak mungkin, Mah. Di surat itu memang tertulis banyak sekali kesalahanku. Jadi ini nggak ada hubungannya sama Raka." "Tidak mungkin bagaimana? Papa bilang kemarin Papa melihatnya di kantor bersama Bu Ayu kan? Lalu hari ini Papa dipecat. Apa itu masih kurang jelas?!" Mayang benar-benar marah. Dia sangat yakin, pemecatan suaminya memang ada hubungannya dengan Raka. "Sudahlah! Mungkin memang sudah waktunya aku cari kerjaan lain. Sudah terlalu lama aku berada di perusahaan itu," ucap Romi kemudian, berusaha membuat istrinya berhenti tersulut emosi. "Papa mau kerja apa? Memangnya gampang cari kerja jaman sekarang? Apalagi cari posisi manajer seperti kemarin? Usia Papa juga sudah tua, ngerti nggak sih? Siapa yang mau mempekerjakan orang di usiamu yang sekarang, Pah?" Mayang nampak tersenyum sinis. "Jangan pesimis dulu, Mah. Aku juga kan banyak punya kenalan. Aku yakin aku bisa mendapatkan pekerjaan lain yang sama baiknya dengan kerjaanku kemarin." "Ah terserah Papa lah. Aku nggak mau tahu ya, pokoknya Papa nggak boleh nganggur. Kebutuhan kita masih banyak, Pah. Anak kita masih kecil-kecil. Kalau mengandalkan hidup dari aset yang kita punya, kita bisa bertahan berapa lama? Lama-lama kita bisa jadi gelandangan nanti," ujarnya dengan emosi. "Kamu tuh kalau bicara yang baik, Mah. Jangan marah-marah seperti itu. Aku juga pusing, capek. Jangan malah membuatku semakin stress." "Aahh!! terserah Papa deh!" Mayang pun segera meninggalkan suaminya yang masih bersandar lemas di sofa. Seandainya dia masih bersama Rani, pasti Rani akan memberinya dukungan, bukannya malah mengomelinya seperti sekarang. * "Papa kok nggak sarapan, Mah?" tanya Mayla di sela-sela sarapan pagi itu. "Masih molor papa kamu tuh di kamar," jawab Mayang malas. "Memangnya papa kenapa? Sakit?" Mayla penasaran. Melihat mamanya hanya mengedikkan bahu, gadis remaja itu pun segera bangkit dari kursi makan untuk kemudian berjalan menuju kamar orang tuanya. "Pah," panggilnya sambil mengetuk pintu kamar. Tak mendengar sahutan dari dalam, Mayla pun segera membuka sendiri pintunya. Di dalam kamar, dilihatnya Romi masih terbaring di ranjang dengan pulasnya. Mayla menempelkan punggung tangan ke dahi sang papa hingga membuat lelaki itu membuka mata. "Ada apa, May?" tanyanya dengan suara parau. "Papa sakit? Kenapa tidak bangun dan sarapan?" tanya gadis itu cemas. "Papa kurang enak badan, Sayang. Nanti agak siangan papa sarapan. Biarkan papa tidur dulu, ya?" "Memangnya papa nggak ke kantor?" "Tidak, Sayang. Papa sudah tidak kerja di kantor lagi. Papa sudah berhenti." "Ooh, begitu ya,” ucapnya sedih. Romi yang melihat raut kekhawatiran pada Mayla, lantas mengelus pipi anaknya dengan lembut. Syukurlah, setidaknya dia masih punya anak perempuan yang penyayang. Mudah-mudahan kelak anak itulah yang akan bisa merawat dirinya di hari tua, karena sejujurnya Romi jadi kurang yakin dengan cinta Mayang padanya akhir-akhir ini. "Maaf ya, papa nggak bisa ngantar sekolah hari ini. Naik taksi online dulu ya, Sayang?" kata Romi. "Iya nggak masalah, Pah. Papa istirahat saja. Jangan khawatirkan Mayla. Oke?" kata gadis itu ceria, membuat Romi sedikit terhibur. "Ya sudah, May berangkat sekolah dulu ya, Pah?" pamitnya sembari mencium tangan dan pipi sang papa. * "Apa yang Anda lakukan di sini, Bu? Sudah saya bilang Anda tidak boleh masuk!" Seorang satpam mencekal lengan Mayang yang berusaha menerobos masuk ke ruang direktur. Beberapa saat yang lalu, wanita itu tiba di bekas kantor Adiatama untuk mempertanyakan masalah pemecatan yang dilakukan terhadap suaminya. Saat resepsionis menolaknya untuk bertemu dengan sang direktur, Mayang justru berlari ke arah lift menuju ke lantai atas. Resepsionis yang panik segera memanggil petugas keamanan dan menyuruhnya mengejar. Jadilah Mayang dikejar dua petugas keamanan sampai di depan ruang direktur. "Aku ingin bertemu dengan Bu Ayu. Itu saja kok. Kalian ini ribet amat!" hardiknya pada dua petugas yang sedang memeganginya. Mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, Ayu pun segera bergegas keluar. "Ada apa ini, Pak?" tanyanya. "Ibu ini memaksa masuk, Bu Direktur. Kami sudah berusaha mencegahnya, tapi dia nekat." Ayu memindai Mayang dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sepertinya dia pernah melihat wanita di depannya, tapi dimana? Ayu mengerutkan dahi. "Kamu siapa?" tanyanya kemudian. "Bu Ayu, izinkan saya berbicara dengan Anda sebentar saja, Bu. Saya Mayang. Dulu saya juga pernah bekerja di sini sebagai sekretarisnya Pak Romi," jelas Mayang bersemangat, berharap wanita di depannya akan mau mendengarkannya barang sebentar saja. Mendengar itu, Ayu justru tersenyum sinis. "Ooh, jadi kamu yang namanya Mayang? Perusak rumah tangga orang itu?" Mata Mayang membelalak. Dia tidak menyangka akan mendapat kalimat tamparan pedas seperti itu dari seorang direktur sekelas Ayu. "Anda salah, Bu. Itu tidak benar. Anda pasti telah diracuni oleh anak bernama Raka itu. Dengarkan saya dulu, Bu. Itu fitnah! Saya dan suami saya tidak bersalah. Jangan pecat suami saya, tolong, Bu Ayu!" Mayang memohon, sesenggukan. "Bawa dia keluar, Pak! Dan jangan biarkan orang seperti ini masuk ke kantor kita lagi," ujar Ayu tanpa mengindahkan penjelasan Mayang yang panjang lebar. Dua petugas segera menyeret Mayang ke lantai bawah. Beberapa staf yang melihat kejadian itu hanya menggeleng-geleng keheranan. Banyak pasang mata menatap seolah sedang melihat orang gila yang digelandang menuju RSJ oleh para perawat. Bahkan beberapa orang yang kebetulan mengenal Mayang pun mulai berbisik-bisik membicarakannya. * Di ruangannya, Ayu terlihat tersenyum, puas sekaligus getir. Ternyata ini lebih drama dari yang dia pikirkan. Istri baru dari ayah Raka terlihat sangat tertekan dengan pemecatan suaminya. Dia pun jadi tidak sabar untuk menceritakan hal itu pada sang pujaan hati. [Raka, bisa keluar makan siang sekarang?] Tulisnya di dalam sebuah pesan. Kemudian senyumnya mengembang saat sebuah balasan diterimanya tak lama setelah itu. Bersambung …Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanita yang terlihat begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya.Akhirnya, disinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiaannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa masih hidup.Mayla sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya.Pesta itu tidak begitu mewah karena hanya dihadiri oleh tamu-tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya sangat mengesankan betapa sang pengantin pria sudah mempersiapkan pesta itu dengan hati.Tak jauh beda dengan Mayla, Ibu Rani pun nampak sangat haru dengan pernikahan putra pertamanya. Kekhawatirannya akan dendam sang anak pada ayah kandungnya ternyata tidak terbukti benar. Raka membuktikannya dengan akhir yang membahagiak
"Dia di mana, Bik?" Bik Sani langsung menyambut saat Raka tiba di halaman rumah. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah."Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau ke luar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," jelas Bik Sani, mengikuti langkah Raka menuju ke dalam."Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik.""Baik, Pak."Sampai di depan kamar Mayla, Raka ragu untuk mengetuk. Hari itu sebenarnya dia belum punya rencana untuk menemuinya. Namun karena Bik Sani menelpon dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya dia berubah pikiran.Tak ada sahutan dari dalam saat akhirnya Raka mengetuk kamar itu. Hingga dia pun memutuskan untuk membukanya paksa.Raka menghela nafas lega saat dilihatnya Mayla sedang tidur meringkuk di atas ranjang."May!" Raka mendekat dengan buru-buru, memegang kepala gadis yang terlihat terbaring lemah di atas ranjang itu. Badannya sedikit panas. Raka mulai panik."Bik! Bibi!" Teriakannya membuat Bik Sani langsung berlari tergopoh menu
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah terlihat datang.Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba-tiba seperti akan berhenti di depan rumah. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa.Dia juga selalu berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbang memanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba-tiba muncul mengagetkan dan membuatnya takut. Raka seperti menghilang di telan bumi.Beberapa kali ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; belanja bulan ini, gaji Bik Sani, uang sekolah, atau bersenang senanglah. Siapa lagi yang mengirimkan uang sebanyak itu selain Raka?Lalu beberapa kali terkadang ada pesan masuk ke aplikasi hijaunya."Sudah di
"Semalam mau tanya apa?" Tiba-tiba Raka bertanya di sela-sela sarapan.Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi itu untuk kedua momongannya."Eeehm, itu Kak ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran mendadak hilang seketika melihat wajah yang menatapnya dengan tak berkedip dan mendominasi seperti biasa."Itu apa?" desak Raka. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus sekarang. Kenapa malah diam?" cecar Raka.Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja jadi seperti orang bodoh saat sedang berhadapan dengan Raka."Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah.""Aku tau. Trus ngapain?""Kakak tau? Gimana kakak bisa tau?" Dahi Mayla berkerut."Apa sih memangnya yang nggak aku tau dari kamu?" ucap Raka bernada merendahkan. "Trus kenapa?" lanjutnya."Itu ... Ayah bilang sesuatu sama Mayla.""Bilang apa?" Raka beralih ke piring di depann
"Mayla!" Firman langsung berteriak saat melihat Mayla muncul dari pintu gerbang sekolah."Ayah!" Mata Mayla berbinar melihat sang Ayah yang sedang berdiri di dekat mobil MPV keluaran tahun lama itu."Ayah kok di sini?" tanyanya saat berhasil sampai di dekat Firman."Kebetulan tadi Ayah lewat, jadi sekalian mampir. Kamu sudah makan? Temenin Ayah makan siang yuk?" ajak Firman. Mayla pun mengangguk senang.Selain teman-temannya di sekolah dan keluarga Ibu Rani, Mayla sangat jarang berinteraksi dengan orang lain. Kehadiran Ayah hari itu sepertinya membawa suasana lain dalam hatinya.Mayla masuk ke dalam mobil Firman tepat pada saat mobil Raka berhenti di depan sekolahnya.Melihat Mayla dijemput sang Ayah, Raka pun langsung melaju meninggalkan tempat itu.Dia yakin hari itu Mayla akan mengetahui kartu merahnya. Ayahnya pasti akan mengatakan padanya tentang lamaran itu..*****"Apa? Ayah pasti bercanda kan?" Mayla membelalakkan mata tidak percaya di sela-sela makan siang di sebuah Restoran P
Berbeda dengan saat di rumah, sikap Raka di ruko ternyata lebih cuek. Saat sampai di sana, dia langsung meminta salah seorang karyawan wanitanya untuk membantu Mayla mengenal pekerjaan barunya. Sementara dia sendiri sibuk di ruang kerja bersama Radit.Kikuk dan minder. Itu yang dirasakan Mayla di kantor itu. Menjadi yang paling muda dan paling tidak mengerti apa-apa. Mayla jadi tersadar jika hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan ketidak-beruntungan."Setelah selesai, jangan lupa filenya disimpan ya. Buat nanti laporan mingguan ke Bang Raka," ucap karyawan wanita itu menyudahi penjelasan. Mayla hanya mengangguk, kurang yakin."Oke, kalau ada masalah nanti tanyain aja, nggak usah malu. Semuanya baik kok di sini," ujarnya lagi. Meski sudah diperlakukan ramah seperti itu, Mayla tetap saja merasa asing. Terlebih karena Raka juga tak memperlakukannya spesial di tempat itu.*****Jam sudah menunjuk pukul 5 sore saat sebagian besar karyawan sudah mulai meninggalkan ruangan. Hanya beberap