[Suami yang mau menikah lagi, sepupu yang dimusuhi. Hadeh] chat Nina di grup warga.
[Sabar Mbak Sinta. Orang baik pasti bertemu dengan orang baik][Eh, keluarkan saja si Tania. Dia juga sudah bukan warga sini. Bikin gaduh aja]Setelah itu beberapa tag memanggil namaku bertebaran di grup tersebut. Bahkan ada yang japri. Mereka rata-rata menanyakan kebenaran berita tersebut. Namun, ada juga yang menghujat. Mereka yang menghujat adalah para bestienya Sinta. Sifatnya ya setali tiga uang dengannya.Bapak kembali dari musolah tak sendiri. Dia datang bersama dengan seorang lelaki muda."Nyia, bikinin kopi," titah bapak setelah aku menjawab salamnya. Kopi adalah hal yang wajib disuguhkan pada setiap tamu yang datang ke rumah."Nyia, ini Nak Eko. Dia ini bekerja di polres. Tadi bapak sudah menceritakan semuanya padanya. Kata Nak Eko, kasusnya bisa dilaporkan sebagai penipuan.""Pak, yang di foto itu memang benar aku, tadi Mas HaTepat pukul delapan pagi aku sampai di rumah yang tiba-tiba sudah bukan milikku. Bersamaan dengan sebuah mobil yang sepertinya juga hendak ke rumah ini."Maaf, Bu Tania. Kuncinya sudah kami ganti," ucap Rendra setelah dia turun dari mobil. Di belakangnya Ajeng nampak sungkan. Padahal aku belum sempat membuka kuncinya."Gak pa-pa, itu hak kalian," sahutku sambil sedikit menepi, memberi mereka tempat untuk membuka gembok. Kami masuk beriringan setelah pintu pagar terbuka. Tak ada obrolan, karena aku malas untuk sekedar basa-basi.Tujuanku langsung ke kamar, semua masih sama seperti kemarin. Aku pun mulai membuka lemari dan mengeluarkan semua pakaian. Aku takkan membawanya pulang, rencananya aku akan langsung membawa baju-baju ini ke panti. Semuanya ada empat koper.Setelah itu aku melangkah ke dapur. Di ruangan favoritku itu ada Rendra dan Ajeng, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. "Aku akan mengambil beberapa alat masak kesayangan," ujarku
Pov Wisnu"Kamu apa-apaan, Sin?! Bikin malu saja! Kamu sendiri yang tadi menyuruhku membantu Tania karena dia mau pindah. Kamu juga yang bikin heboh! Sampai kapan kamu mengusik kehidupan Tania, Sinta?!" Semakin hari, sikap Sinta membuatku senewen. Hampir semua ucapannya jauh dari kenyataan. "Kamu kenapa sih, Mas? Marah-marah gak jelas! Tugasmu itu hanya menuruti permintaanku, udah itu saja! Ndak usah protes! Ingat siapa yang membantumu hingga bisa seperti sekarang!" Selalu itu saja yang dijadikannya senjata untuk melemahkanku. Namun, kali ini Sinta benar-benar keterlaluan. Bodohnya aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak setiap keinginannya. Ibu, ibu adalah alasan Sinta untuk lebih mengikatku. Wanita yang telah melahirkanku itu sangat mencintai Sinta, karena Sinta memperlakukannya dengan baik dan loyal. Walaupun kutahu semua itu hanya sandiwara. "Berhenti melakukan hal yang gak baik, Sin. Kita jalani hidup ini dengan sewajarnya. Jangan lagi
Kabar begitu cepat tersebar. Kedua mertuaku begitu murka melihat anaknya seolah tak berdaya. Sumpah serapah keluar dari mulut ibu mertua. Namun, Sinta kembali beraksi. Dia dengan air mata yang menganak sungai di pipi, mati-matian membelaku. Mengatakan bahwa semua ini salah Tania.Mas Haris dan calon istrinya juga datang, lelaki yang kuanggap seperti saudara itu menghadiahiku sebuah bogem mentah, tepat di wajah. Membuat cairan hangat dan kental keluar dari hidungku yang sepertinya patah."Bang sat! Tega kamu menyakiti Sinta!" murkanya. Kembali sebuah bogem dia lepaskan. Semua menjerit, Sinta dengan tubuh yang seolah rapuh menahannya, kemudian memelukku yang kepayahan.Ekor mataku menatap ibu yang tengah meringkuk di sudut ruangan. Wanita itu merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan."Mas Wisnu tidak bersalah, Mas. Ini memang salahku, terlalu percaya dengan Tania. Aku memang sering meminta Mas Wisnu saat Tania butuh teman dan aku tak bisa. Tak
Aku tetap berangkat ke bengkel, setelah mengobati hidung dan memastikan ibu baik-baik saja. Walaupun, wanita yang sangat kuhormati itu mendiamkanku. Tak masalah, asal dia masih bisa tersenyum bersama Sinta.Sampai di bengkel, sudah ada beberapa pelanggan yang antri. Mereka menatapku heran, tetapi tetap saja menyapa ketika aku lewat. Bahrul, salah satu pegawaiku menghampiri dan menyerahkan nota pembayaran untuk kutotal. Sesekali dia melirik kearahku. Di bengkel aku hanya mengawasi dan mentotal biaya yang harus dibayar pelanggan, sambil sesekali melayani pembeli yang mencari onderdil sepeda motor.Bengkel sudah tutup, tapi aku enggan untuk melangkah pulang. Iseng aku membuka aplikasi biru. Akun yang pertama kali terlihat adalah akun Sinta, itu karena dia sering mentag akunku.'Alhamdulillah, satu masalah teratasi. Hempaskan sahabat toxic, apalagi yang terang-terangan hendak merebut suami kita'Postingannya mendapatkan ratusan lika dan komentar. Rata
Pov Wisnu[Besok di warung lesehan tempo hari] terkirim dan langsung terbaca. Tania sedang mengetik.[Jam berapa, Mas?] Balasan masuk dari Tania.Aku menimbang-nimbang sebentar. [Sehabis Dzuhur, bisa?][Ok, makasih ya, Mas] balasnya cepat.[Sama-sama, Nyia] Ada yang lega di dalam hati, setelah berbalas pesan dengan Tania. Mungkin, kekhawatiran tentangnya telah hilang.Aku enggan menebak apa yang akan dibicarakan Tania, sepertinya cukup serius hingga dia menghubungiku lebih dulu. Aku langsung menghapus pesan darinya, khawatir akan dibaca Sinta dan akan dijadikan sebagai senjata untuk semakin menyudutkanku. Apa ini sebuah kesalahan, Tuhan? Semua tergantung niat, sahutku dalam hati.Malam ini terasa sangat panjang. Apakah diluar sana, ada seseorang yang mengalami masalah hidup seperti yang kualami ini. Terjebak dalam sebuah pernikahan yang penuh dengan sandiwara, dan sangat sulit untuk melepaskan diri.Aku baru mas
"Bagaimana keadaan Sinta?" tanyanya setelah pelayanan tadi pergi.Aku menggeleng sambil berdecak. "Mungkin ini kurang baik, membicarakan istri dengan wanita lain." Aku terkekeh. "Tapi, berhubun ada hubungannya denganmu, sebaiknya kita dibicarakan." Tania menatapku intens. Ah, mengapa sekarang Tania terlihat berbeda."Aku minta maaf atas tindakannya kemarin," imbuhku setelah sepersekian detik pikiranku melalang buana."Aku sakit hati, Mas. Walaupun sudah berusaha memaafkan. Sinta sudah keterlaluan dan aku ndak bisa seperti bapak.""Aku tahu, dan dia sama sekali tidak merasa bersalah." Aku menghela napas panjang jika mengingat perbuatan Sinta kemarin."Nyia, apa ini salahku yang tak bisa tegas sama dia?" Entah keberanian dari mana, aku bisa curhat sama Tania. Apa karena rasa nyaman ini?"Aku gak tahu, Mas. Yang kutahu, memang ada karakter orang seperti itu. Syukur-syukur Mas Wisnu bisa membuatnya berubah me
Akhirnya aku resmi menyandang status baru. Status yang bisa membuat wanita dipandang rendah. Entah mengapa dan sejak kapan janda dipandang sebagai wanita yang harus diwaspadai. Padahal jika bisa, wanita juga tidak ingin menjadi janda jika pasangannya setia dan tak neko-neko.Tak sedikit yang menyayangkan gagalnya pernikahanku dengan Mas Haris. Wajar mereka beranggapan seperti itu karena tidak tahu yang sebenarnya. Apalagi selama ini, sikap Mas Haris terlihat baik di sini. Bapak saja terkecoh, apalagi mereka yang hanya melihat bungkusnya saja.Rumah dalam keadaan sepi ketika aku sampai. Mungkin, bapak masih di sawah. Baru saja aku sampai di kamar mandi untuk mencuci muka dan kaki, terdengar salam dari luar. Aku pun kembali melangkah keluar sambil membalas salam."Apa kabar, Nyia?" sapa Sinta yang sudah berdiri di depan pintu. Wanita itu begitu percaya diri. Apa dia lupa, dengan apa yang sudah dilakukannya padamu sebulan yang lalu?
"Mbak Tania! Mbak Tania! Assalamualaikum!"Aku yang tengah tidur siang tergagap mendengar kegaduhan di luar rumah. Walaupun kesadaran belum sepenuhnya penuh, aku bergegas keluar, setelah menarik jilbab instan di sandaran kursi dan memakainya asal."Ada apa ini?" tanyaku panik setelah melihat dua orang di depan pintu yang juga terlihat panik. "Pak Malik, Mbak! Pak Malik—" Satu diantara mereka hendak menjelaskan. Namun, terlihat kesulitan."Bapak di sawah, Pak? Ada apa?" Aku masih tak mengerti arah pembicaraan ini."Pak Malik mengalami kecelakaan, Mbak. Sekarang dibawa ke rumah sakit," ujar satunya. "Innalilahi Bapak!" jeritku tertahan. "Pak, tolong antar aku ke rumah sakit ya, aku ambil tas dulu.""Iya, Mbak," sahutnya, aku bergegas masuk untuk mengambil yang aku butuhkan.Dalam perjalanan aku tak bisa tenang. Berkali-kali meminta Pak Sulkan untuk mempercepat laju mo