Aku urung beranjak ketika Sinta memberi usul untuk menelpon Mas Haris dan memintanya datang.
Sinta terpekik setelah menghubungi Mas Haris. "Dia bisa datang, Rin!" Nampak jelas rona kebahagiaan di wajahnya.Iseng aku mengirim pesan pada Mas Haris. Memintanya menjemput dengan beralasan jika ban motorku kempes. Aku hanya ingin memastikan, apa dia patut dipertahankannya apa tidak.Pesanku langsung dibaca, namun tak terlihat dia mengetik. Aku masih sabar menunggu balasan dari Mas Haris, kira-kira apa yang hendak dikatakannya. Sementara Sinta dan Rindu nampak riang menunggu kedatangan Mas Haris.[Aku sibuk, Nyia. Sebentar lagi rapat. Kamu pesan ojol aja, sekalian minta antar ke bengkel] balasnya setelah cukup lama. Aku mengangguk-angguk setelah membaca pesannya. Sudah jelas, putusan apa yang harus kuambil."Mas Haris kok lama ya, Sin? Bukannya kantornya dekat dari sini?" ucap Rindu, sepertinya dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan suami orang."Barusan dia chat aku, katanya sudah otw. Tadi, Mas Haris bilang, kalau Tania mengirim pesan, katanya ban motornya kempes," sahut Sinta. Kedua wanita itu pun tertawa."Terus-terus?" tanya Rindu dengan mata berbinar.Sinta mengulum senyum sebelum menjawab,"ya Mas Haris tetap memilih ke sini dong ... secara yang baru kan lebih menarik." Kedua wanita itu kembali tertawa bersama.Aku pun semakin yakin dengan keputusan yang akan kuambil. Setelah menangkan hati sejenak, aku bangkit dan langsung beranjak. Semua sudah jelas, tak perlu lagi aku menunggu, batinku. Namun, lagi-lagi aku harus mengurungkan langkah setelah melihat di halaman kafe sudah berdiri Mas Haris.Apa ini sebuah petunjuk, Tuhan? Apa yang harus kulakukan? Melihat mereka bercengkrama? Seketika emosiku naik. Namun, lantunan istighfar dalam hati mampu menahannya.Aku pun kembali duduk sambil meti-matian menata hati. Sengaja kuambil beberapa foto ketiga orang tersebut. Mungkin, akan berguna, batinku. Setelah kurasa cukup, aku pun bergegas pergi. Tak ada lagi air mata, seminggu kemarin sudah cukup untuk meratapi pernikahan kami. Sampai di rumah, aku langsung berkemas.Aku berdiri termangu di depan koper yang sudah penuh dengan pakaian. Setelah itu aku mengambil ransel yang tergantung di belakang pintu. Dengan cepat aku memasukkan barang-barang yang tersisa.Tiba-tiba ada ide muncul di kepala ketika hendak mengirim pesan pada Mas Haris. Pikiranku berubah, kenapa harus mengirim pesan, kalau bisa video call bisa, dan mungkin dampaknya akan lebih luar biasa.Bibir ini tersenyum, entah apa arti senyumku itu. Setelah tiga kali panggilanku ditolak. Sepersekian detik kemudian sebuah pesan masuk. [Aku rapat]Tawaku membahana seketika, hingga air mata menetes saking lucunya. Satu keahlian baru suamiku, semenjak ngebet nikah lagi, dia sangat pandai berbohong. Setelah tawaku reda, aku pun mengirim gambar koper padanya.[Mau kemana kamu?] Mungkin saat ini dia tengah kebingungan melihat gambar koper yang sengaja kubuka. Andai Mas Haris jeli sedikit saja, kupastikan dia akan murka.Pesan selanjutnya, kuharap dia tetap baik-baik saja. Aku mengiriminya beberapa foto yang tadi kuambil.[Pembohong! Talak aku sekarang juga!] pesanku belum terbaca olehnya karena keburu dia meneleponku. Hingga dering ketiga aku baru mengangkatnya dengan malas."Tunggu aku di rumah." Setelah itu panggilan terputus. Bibirku tersenyum miring. Hancur kamu, Mas!Kujatuhkan bobot tubuhku di sofa. Iseng-iseng kubuka status W******p. Mataku menyipit setelah melihat status terbaru Sinta. 'Bahagia rasanya bisa memberi jalan sahabatku meraih surga'Sudah dipastikan status Facebooknya juga sama. Biasanya postingannya selalu ramai dengan komentar. Aku pun menuju ke aplikasi biru. Benar saja, kali ini dia juga memposting beberapa foto mereka bertiga. Namun, wajah Mas Haris ditutup dengan stiker.Suara mobil memasuki halaman, membuatku mengalihkan pandangan dari ponsel. Beberapa kali menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya secara perlahan, sebelum berhadapan dengan manusia-manusia licik itu, aku"Nyia!" seru Mas Haris lantang. Langkanya terdengar tergesa-gesa."Nyia, kenapa masih membahas hal ini? Sudah kubilang aku akan berbuat adil," cerocosnya setelah sampai di tempatku berada."Tapi kenyataannya berkata lain, Mas Haris. Adil yang seperti apa maksudnya? Jika, kamu lebih mementingkan menemui wanita calon istri barumu ketimbang membantu istri pertama yang tengah kesulitan?" sahutku dengan suara kubuat senormal mungkin."Aku bisa jelasin, Nyia." Seperti biasa, Sinta akan maju sebagai pembela.Aku menatap wanita yang mengaku sebagai sahabat, tapi menusuk dari belakang itu."Dimlah, Sin. Jangan ikut campur," tegasku."Aku bisa menjelaskan semuanya, Nyia," sahutnya tak gentar. Dia masih saja berusaha menjadi tameng untuk Mas Haris."Aku ndak butuh penjelasan darimu, Sin. Aku hanya butuh kata talak dari lelaki ini!" tegasku sambil menunjuk tepat ke wajah Mas Haris."Jangan meminta sesuatu yang akan membuatmu menyesal, Nyia," sahut Mas Haris dengan raut wajah meremehkan."Aku takkan menyesal, Mas. Talak aku sekarang juga. Hanya itu yang kuinginkan saat ini," tantangku."Pikirkan sekali lagi, Tania! Sekali kata itu terucap, maka semuanya akan berakhir.""Semua sudah berakhir semenjak kamu memutuskan membawa wanita lain masuk ke rumah kita, Mas.""Tidak, Mbak Tania, jangan pergi. Biar aku aja yang pergi. Aku memang wanita tak tahu diri, mengiyakan saja ketika Mas Haris menawarkan pernikahan." Wanita itu menangis setelah mengucapkannya. Sungguh tukang sandiwara.Aku sama sekali tak menggubris perkataan Rindu. Kutatap lekat manik hitam milik Mas Haris."Ya Allah, kasihan sekali anakku, harus kehilangan sosok yang baru saja dicintainya," imbuh Rindu. Reflek tangan Mas Haris mengelus pundaknya.Cuih! Perutku langsung mual melihat kejadian tersebut."Tania Az-zahra, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu, sekarang juga!" ucap Mas Haris dengan lantang. Setelah itu lelaki yang sudah tiga tahun menemaniku itu memalingkan wajahnya.Sementara Sinta dan Rindu terpekik, kedua wanita itu menutup mulut masing-masing dengan kedua tangannya."Mas Haris!" seru Sinta. "Kamu sadar apa yang sudah kamu ucapkan?!" imbuhnya, setelah itu dia mendekatiku. Kedua tangannya terentang hendak memelukku. Namun, segera aku menepisnya."Aku baik-baik saja," ucapku dengan tatapan tajam tepat di manik matanya. "Terima kasih, Mas. Dan selamat ya, Rindu. Keinginanmu untuk memiliki Mas Haris seutuhnya sudah tercapai. Selamat."Setelah berucap, aku bergegas masuk ke kamar untuk mengambil koper yang tadi kusiapkan. Tak ada penyesalan, karena ini adalah jalan terbaik. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku masih berada ditengah-tengah mereka. Sahabat yang bermuka dua dan madu yang juga sama. Hidupku terlalu berharga untuk meladeni orang-orang seperti itu."Pergi sekarang juga, Pak Haris."Lelaki yang sudah bukan apa-apaku itu menunduk. Begitu juga dengan Sinta. Berbeda dengan Rindu, wanita itu nampak terkejut."Mas, bisa jelasin semuanya?" Rindu menodong penjelasan pada calon suaminya."Dek Rindu, ini tidak seperti yang dikatakan Tania. Aku sudah menyiapkan sebuah rumah untuk kamu dan Aurel." Mas Haris berucap sambil memegang kedua pundak Rindu.Aku hampir kelepasan tawa ketika mendengar panggilan mesranya."Kamu memang yang terbaik, Mas. Aku semakin mantap untuk menikah denganmu," sahut Rindu dengan mata berbinar."Jadi, nunggu apa lagi? Silakan angkat kaki dari rumahku!" tegasku."Dengan senang hati, Tania. Kuharap kamu tidak menyesali semua ini." Dengan percaya diri, Mas Haris menggandeng tangan mulus Rindu, setelah itu mereka berjalan beriringan menuju luar yang diikuti oleh Sinta."Apa-apaan kamu, Nyia?!" seru seseorang dari arah depan. Membuat langkah ketiga orang itu berhenti.Dahiku mengernyit melihat kedatangan wanita baya tersebut. Dari mana mantan mertuaku itu bisa tahu? "Ibu?" Mas Haris menyongsong kedatangan orang tuanya. Begitu juga dengan Sinta si pencari muka. Sementara Rin
Sambil menunggu balasan pesan dari Mas Wisnu, aku membuka lemari untuk mengambil berkas-berkas penting yang kupunya. Aku harus memikirkan cara bagaimana mengungkap dan memberi pelajaran yang setimpal pada Mas Haris. Sertifikat rumah ini disimpan bapak, bagaimana bisa Mas Haris mendapatkannya. Benar-benar tidak beres.Kegiatanku terhenti ketika notifikasi di ponsel berbunyi. [Selamat menikmati menjadi gembel, Nyia. Makanya jadi wanita jangan sok! Sekarang rasakan akibatnya] Bunyi sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Kutatap barisan huruf itu kubaca berulang kali. Dari gaya menulisnya, sepertinya aku tahu siapa pengirimnya. Namun, aku memilih abai. Sekali lagi kuteguhkan hati, tak perlu meladeni manusia toxic seperti itu.Notif baru muncul, pesan dari Mas Wisnu masuk. Aku segera menggeser layar ponsel dan membaca pesannya. [Aku sudah sampai, langsung masuk apa nunggu di luar?]Gegas kuketik balasan [Tunggu di luar saja, Mas] terkirim dan langsung terbaca. Sedetik kemudian emot jempol ma
Aku mengurungkan apa yang hendak kukatakan pada Mas Wisnu. Lelaki itu pun sepertinya tidak begitu merespon ucapanku tadi.Selesai makan, kami langsung meluncur ke rumah bapak. Saat ini pikiran ini sibuk merangkai kata yang akan kusampaikan pada bapak nanti. Hingga tak sadar sudah sampai di halaman rumah bapak."Kok nggak sama Haris?" tanya bapak setelah aku menyalaminya. "Mas Haris sibuk, Pak," sahutku asal. Mungkin saja kan dia sedang sibuk. Sibuk dengan calon istrinya.Setelah itu bapak mengajak Mas Wisnu masuk. Lelaki berwajah manis itu pun menurut. Belum juga air yang kumasak mendidih, bapak memanggil. "Nyia, Nak Wisnu mau balik!" Aku pun segera ke depan. "Nunggu kopinya jadi, Mas. Airnya udah hampir mendidih.""Ntar kesorean, Nyia. Keburu anak-anak tutup," sahut lelaki berambut ikal itu.Mas Wisnu punya sebuah bengkel, itulah pekerjaannya. Aku senang saja melihat orang yang punya usaha sendiri, walaupun kecil
[Suami yang mau menikah lagi, sepupu yang dimusuhi. Hadeh] chat Nina di grup warga. [Sabar Mbak Sinta. Orang baik pasti bertemu dengan orang baik][Eh, keluarkan saja si Tania. Dia juga sudah bukan warga sini. Bikin gaduh aja]Setelah itu beberapa tag memanggil namaku bertebaran di grup tersebut. Bahkan ada yang japri. Mereka rata-rata menanyakan kebenaran berita tersebut. Namun, ada juga yang menghujat. Mereka yang menghujat adalah para bestienya Sinta. Sifatnya ya setali tiga uang dengannya.Bapak kembali dari musolah tak sendiri. Dia datang bersama dengan seorang lelaki muda."Nyia, bikinin kopi," titah bapak setelah aku menjawab salamnya. Kopi adalah hal yang wajib disuguhkan pada setiap tamu yang datang ke rumah."Nyia, ini Nak Eko. Dia ini bekerja di polres. Tadi bapak sudah menceritakan semuanya padanya. Kata Nak Eko, kasusnya bisa dilaporkan sebagai penipuan.""Pak, yang di foto itu memang benar aku, tadi Mas Ha
Tepat pukul delapan pagi aku sampai di rumah yang tiba-tiba sudah bukan milikku. Bersamaan dengan sebuah mobil yang sepertinya juga hendak ke rumah ini."Maaf, Bu Tania. Kuncinya sudah kami ganti," ucap Rendra setelah dia turun dari mobil. Di belakangnya Ajeng nampak sungkan. Padahal aku belum sempat membuka kuncinya."Gak pa-pa, itu hak kalian," sahutku sambil sedikit menepi, memberi mereka tempat untuk membuka gembok. Kami masuk beriringan setelah pintu pagar terbuka. Tak ada obrolan, karena aku malas untuk sekedar basa-basi.Tujuanku langsung ke kamar, semua masih sama seperti kemarin. Aku pun mulai membuka lemari dan mengeluarkan semua pakaian. Aku takkan membawanya pulang, rencananya aku akan langsung membawa baju-baju ini ke panti. Semuanya ada empat koper.Setelah itu aku melangkah ke dapur. Di ruangan favoritku itu ada Rendra dan Ajeng, mereka seperti sedang mendiskusikan sesuatu. "Aku akan mengambil beberapa alat masak kesayangan," ujarku
Pov Wisnu"Kamu apa-apaan, Sin?! Bikin malu saja! Kamu sendiri yang tadi menyuruhku membantu Tania karena dia mau pindah. Kamu juga yang bikin heboh! Sampai kapan kamu mengusik kehidupan Tania, Sinta?!" Semakin hari, sikap Sinta membuatku senewen. Hampir semua ucapannya jauh dari kenyataan. "Kamu kenapa sih, Mas? Marah-marah gak jelas! Tugasmu itu hanya menuruti permintaanku, udah itu saja! Ndak usah protes! Ingat siapa yang membantumu hingga bisa seperti sekarang!" Selalu itu saja yang dijadikannya senjata untuk melemahkanku. Namun, kali ini Sinta benar-benar keterlaluan. Bodohnya aku tak bisa berbuat apa-apa untuk menolak setiap keinginannya. Ibu, ibu adalah alasan Sinta untuk lebih mengikatku. Wanita yang telah melahirkanku itu sangat mencintai Sinta, karena Sinta memperlakukannya dengan baik dan loyal. Walaupun kutahu semua itu hanya sandiwara. "Berhenti melakukan hal yang gak baik, Sin. Kita jalani hidup ini dengan sewajarnya. Jangan lagi
Kabar begitu cepat tersebar. Kedua mertuaku begitu murka melihat anaknya seolah tak berdaya. Sumpah serapah keluar dari mulut ibu mertua. Namun, Sinta kembali beraksi. Dia dengan air mata yang menganak sungai di pipi, mati-matian membelaku. Mengatakan bahwa semua ini salah Tania.Mas Haris dan calon istrinya juga datang, lelaki yang kuanggap seperti saudara itu menghadiahiku sebuah bogem mentah, tepat di wajah. Membuat cairan hangat dan kental keluar dari hidungku yang sepertinya patah."Bang sat! Tega kamu menyakiti Sinta!" murkanya. Kembali sebuah bogem dia lepaskan. Semua menjerit, Sinta dengan tubuh yang seolah rapuh menahannya, kemudian memelukku yang kepayahan.Ekor mataku menatap ibu yang tengah meringkuk di sudut ruangan. Wanita itu merasa bersalah atas apa yang sudah kulakukan."Mas Wisnu tidak bersalah, Mas. Ini memang salahku, terlalu percaya dengan Tania. Aku memang sering meminta Mas Wisnu saat Tania butuh teman dan aku tak bisa. Tak
Aku tetap berangkat ke bengkel, setelah mengobati hidung dan memastikan ibu baik-baik saja. Walaupun, wanita yang sangat kuhormati itu mendiamkanku. Tak masalah, asal dia masih bisa tersenyum bersama Sinta.Sampai di bengkel, sudah ada beberapa pelanggan yang antri. Mereka menatapku heran, tetapi tetap saja menyapa ketika aku lewat. Bahrul, salah satu pegawaiku menghampiri dan menyerahkan nota pembayaran untuk kutotal. Sesekali dia melirik kearahku. Di bengkel aku hanya mengawasi dan mentotal biaya yang harus dibayar pelanggan, sambil sesekali melayani pembeli yang mencari onderdil sepeda motor.Bengkel sudah tutup, tapi aku enggan untuk melangkah pulang. Iseng aku membuka aplikasi biru. Akun yang pertama kali terlihat adalah akun Sinta, itu karena dia sering mentag akunku.'Alhamdulillah, satu masalah teratasi. Hempaskan sahabat toxic, apalagi yang terang-terangan hendak merebut suami kita'Postingannya mendapatkan ratusan lika dan komentar. Rata