Share

Empat

Author: Puspita
last update Last Updated: 2023-02-18 12:01:34

Aku urung beranjak ketika Sinta memberi usul untuk menelpon Mas Haris dan memintanya datang.

Sinta terpekik setelah menghubungi Mas Haris. "Dia bisa datang, Rin!" Nampak jelas rona kebahagiaan di wajahnya.

Iseng aku mengirim pesan pada Mas Haris. Memintanya menjemput dengan beralasan jika ban motorku kempes. Aku hanya ingin memastikan, apa dia patut dipertahankannya apa tidak.

Pesanku langsung dibaca, namun tak terlihat dia mengetik. Aku masih sabar menunggu balasan dari Mas Haris, kira-kira apa yang hendak dikatakannya. Sementara Sinta dan Rindu nampak riang menunggu kedatangan Mas Haris.

[Aku sibuk, Nyia. Sebentar lagi rapat. Kamu pesan ojol aja, sekalian minta antar ke bengkel] balasnya setelah cukup lama. Aku mengangguk-angguk setelah membaca pesannya. Sudah jelas, putusan apa yang harus kuambil.

"Mas Haris kok lama ya, Sin? Bukannya kantornya dekat dari sini?" ucap Rindu, sepertinya dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan suami orang.

"Barusan dia chat aku, katanya sudah otw. Tadi, Mas Haris bilang, kalau Tania mengirim pesan, katanya ban motornya kempes," sahut Sinta. Kedua wanita itu pun tertawa.

"Terus-terus?" tanya Rindu dengan mata berbinar.

Sinta mengulum senyum sebelum menjawab,

"ya Mas Haris tetap memilih ke sini dong ... secara yang baru kan lebih menarik." Kedua wanita itu kembali tertawa bersama.

Aku pun semakin yakin dengan keputusan yang akan kuambil. Setelah menangkan hati sejenak, aku bangkit dan langsung beranjak. Semua sudah jelas, tak perlu lagi aku menunggu, batinku. Namun, lagi-lagi aku harus mengurungkan langkah setelah melihat di halaman kafe sudah berdiri Mas Haris.

Apa ini sebuah petunjuk, Tuhan? Apa yang harus kulakukan? Melihat mereka bercengkrama? Seketika emosiku naik. Namun, lantunan istighfar dalam hati mampu menahannya.

Aku pun kembali duduk sambil meti-matian menata hati. Sengaja kuambil beberapa foto ketiga orang tersebut. Mungkin, akan berguna, batinku. Setelah kurasa cukup, aku pun bergegas pergi. Tak ada lagi air mata, seminggu kemarin sudah cukup untuk meratapi pernikahan kami. Sampai di rumah, aku langsung berkemas.

Aku berdiri termangu di depan koper yang sudah penuh dengan pakaian. Setelah itu aku mengambil ransel yang tergantung di belakang pintu. Dengan cepat aku memasukkan barang-barang yang tersisa.

Tiba-tiba ada ide muncul di kepala ketika hendak mengirim pesan pada Mas Haris. Pikiranku berubah, kenapa harus mengirim pesan, kalau bisa video call bisa, dan mungkin dampaknya akan lebih luar biasa.

Bibir ini tersenyum, entah apa arti senyumku itu. Setelah tiga kali panggilanku ditolak. Sepersekian detik kemudian sebuah pesan masuk. [Aku rapat]

Tawaku membahana seketika, hingga air mata menetes saking lucunya. Satu keahlian baru suamiku, semenjak ngebet nikah lagi, dia sangat pandai berbohong. Setelah tawaku reda, aku pun mengirim gambar koper padanya.

[Mau kemana kamu?] Mungkin saat ini dia tengah kebingungan melihat gambar koper yang sengaja kubuka. Andai Mas Haris jeli sedikit saja, kupastikan dia akan murka.

Pesan selanjutnya, kuharap dia tetap baik-baik saja. Aku mengiriminya beberapa foto yang tadi kuambil.

[Pembohong! Talak aku sekarang juga!] pesanku belum terbaca olehnya karena keburu dia meneleponku. Hingga dering ketiga aku baru mengangkatnya dengan malas.

"Tunggu aku di rumah." Setelah itu panggilan terputus. Bibirku tersenyum miring. Hancur kamu, Mas!

Kujatuhkan bobot tubuhku di sofa. Iseng-iseng kubuka status W******p. Mataku menyipit setelah melihat status terbaru Sinta. 'Bahagia rasanya bisa memberi jalan sahabatku meraih surga'

Sudah dipastikan status Facebooknya juga sama. Biasanya postingannya selalu ramai dengan komentar. Aku pun menuju ke aplikasi biru. Benar saja, kali ini dia juga memposting beberapa foto mereka bertiga. Namun, wajah Mas Haris ditutup dengan stiker.

Suara mobil memasuki halaman, membuatku mengalihkan pandangan dari ponsel. Beberapa kali menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya secara perlahan, sebelum berhadapan dengan manusia-manusia licik itu, aku

"Nyia!" seru Mas Haris lantang. Langkanya terdengar tergesa-gesa.

"Nyia, kenapa masih membahas hal ini? Sudah kubilang aku akan berbuat adil," cerocosnya setelah sampai di tempatku berada.

"Tapi kenyataannya berkata lain, Mas Haris. Adil yang seperti apa maksudnya? Jika, kamu lebih mementingkan menemui wanita calon istri barumu ketimbang membantu istri pertama yang tengah kesulitan?" sahutku dengan suara kubuat senormal mungkin.

"Aku bisa jelasin, Nyia." Seperti biasa, Sinta akan maju sebagai pembela.

Aku menatap wanita yang mengaku sebagai sahabat, tapi menusuk dari belakang itu.

"Dimlah, Sin. Jangan ikut campur," tegasku.

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Nyia," sahutnya tak gentar. Dia masih saja berusaha menjadi tameng untuk Mas Haris.

"Aku ndak butuh penjelasan darimu, Sin. Aku hanya butuh kata talak dari lelaki ini!" tegasku sambil menunjuk tepat ke wajah Mas Haris.

"Jangan meminta sesuatu yang akan membuatmu menyesal, Nyia," sahut Mas Haris dengan raut wajah meremehkan.

"Aku takkan menyesal, Mas. Talak aku sekarang juga. Hanya itu yang kuinginkan saat ini," tantangku.

"Pikirkan sekali lagi, Tania! Sekali kata itu terucap, maka semuanya akan berakhir."

"Semua sudah berakhir semenjak kamu memutuskan membawa wanita lain masuk ke rumah kita, Mas."

"Tidak, Mbak Tania, jangan pergi. Biar aku aja yang pergi. Aku memang wanita tak tahu diri, mengiyakan saja ketika Mas Haris menawarkan pernikahan." Wanita itu menangis setelah mengucapkannya. Sungguh tukang sandiwara.

Aku sama sekali tak menggubris perkataan Rindu. Kutatap lekat manik hitam milik Mas Haris.

"Ya Allah, kasihan sekali anakku, harus kehilangan sosok yang baru saja dicintainya," imbuh Rindu. Reflek tangan Mas Haris mengelus pundaknya.

Cuih! Perutku langsung mual melihat kejadian tersebut.

"Tania Az-zahra, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu, sekarang juga!" ucap Mas Haris dengan lantang. Setelah itu lelaki yang sudah tiga tahun menemaniku itu memalingkan wajahnya.

Sementara Sinta dan Rindu terpekik, kedua wanita itu menutup mulut masing-masing dengan kedua tangannya.

"Mas Haris!" seru Sinta. "Kamu sadar apa yang sudah kamu ucapkan?!" imbuhnya, setelah itu dia mendekatiku. Kedua tangannya terentang hendak memelukku. Namun, segera aku menepisnya.

"Aku baik-baik saja," ucapku dengan tatapan tajam tepat di manik matanya. "Terima kasih, Mas. Dan selamat ya, Rindu. Keinginanmu untuk memiliki Mas Haris seutuhnya sudah tercapai. Selamat."

Setelah berucap, aku bergegas masuk ke kamar untuk mengambil koper yang tadi kusiapkan. Tak ada penyesalan, karena ini adalah jalan terbaik. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku masih berada ditengah-tengah mereka. Sahabat yang bermuka dua dan madu yang juga sama. Hidupku terlalu berharga untuk meladeni orang-orang seperti itu.

"Pergi sekarang juga, Pak Haris."

Lelaki yang sudah bukan apa-apaku itu menunduk. Begitu juga dengan Sinta. Berbeda dengan Rindu, wanita itu nampak terkejut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau tania anjing, sikapmu bukan menunjukkan kau wanita hebat,anjing!! dasar pecundang dungu dan pantas kau dicampakkan kayak sampah
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suka sama sikapnya Tania yang tegas
goodnovel comment avatar
Shawor Wangsa New
tega banget sahabatnya itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   tujuh puluh

    "Serius kamu sudah nikah?" tanyanya dengan wajah jenaka, nampak jelas kalau dia meremehkanku, menganggap ucapanku adalah candaan belaka."Alhamdulillah, iya, Sin," sahutku sambil tersenyum."Kenapa dia nggak kamu ajak ke sini? Harusnya diajak dong, biar nggak disangka hoax.""Dia suamiku," ucapku sambil menoleh sekilas pada Mas Wisnu.Aku tersenyum melihat perubahan pada wajah Sinta, sepertinya dia menahan napasnya. Wajahnya perlahan memerah, menandakan kalau saat ini dia tengah dikuasai angkara."Kalian?! Tidak mungkin! Mas! Kamu jangan diam saja! Katakan kalau yang dikatakan Tania tidak benar, Mas!" teriaknya, secepat kilat Sinta mendorong tubuhku, beruntung Mas Wisnu sigap menangkap."Semua yang dikatakan Tania adalah kebenarannya, Sin. Kami telah menikah beberapa bulan yang lalu. Ingat, kamu juga sudah mengizinkannya," ucap Mas Wisnu. Saat ini dia sudah berada diantara aku dan Sinta."Aku memang mengizinkanmu menikah

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh sembilan

    "Lakukan kalau kamu ingin melakukannya." Aku yang mendengar ucapan Mas Wisnu sampai menggigit bibir. "Apa? Kamu tega Mas! Kamu tega menyuruhku bunuh diri? Kamu tega meninggalkanku sendirian? Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa!""Ini adalah jalan terbaik untuk kita," sahut Mas Wisnu suaranya tetap terdengar tenang."Ini pasti hasutan wanita itu! Istri keduamu! Ternyata dia memang benar-benar ular. Semuanya breng sek! Kamu, orang tuaku, Haris, orang tuanya, ibumu, Tania! Semua breng sek!" Bahkan, dalam setiap amarahnya, Sinta masih saja menyebut namaku."Tak ada yang menghasutku. Semua ini sudah lama kupikirkan. Jika dulu kamu selalu mengancamku karena rasa balas budi. Sekarang aku sudah membayarnya. Jadi, tak ada lagi yang memberatkan langkahku untuk pergi. Jangan menyalahkan orang lain atas perpisahan ini. Karena sejatinya kita tidak pernah bersama. Renungkan kenapa semua ini bisa terjadi. Aku juga bukan orang suci, tapi aku belajar untuk m

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh delapan -Pov Sinta

    "Ibu setelah punya menantu lagi, jadi pinter ya, atau jangan-jangan memang dia yang mengajari."Wanita itu menghela napas, sepertinya ucapanku telah menyentil perasaan, masa bodoh. Aku lakukan itu biar dia tahu kalau aku tidak suka dia terlalu dekat dengan maduku."Ibu tadi bawa buah jeruk kamu mau ibu kupasin?" tanyanya mengalihkan pembicaraan."Nggak, Bu. Malas! Oh iya, kenapa ya, Bu? maduku itu nggak mau ke sini? Ibu pernah tanya ke dia nggak?""Enggak, Sin, tapi dia pernah bilang ke ibu. Dia akan menemuimu kalau kondisimu sudah sehat." Ibu mengambil buah jeruk yang ada di kresek, kemudian mengupasnya tanpa bertanya padaku. Sepertinya dia benar-benar ingin menantangku"Sok peduli, padahal aslinya dia seneng kan aku seperti ini? Biar bisa mendapatkan Mas Wisnu seutuhnya. Buktinya sampai sekarang dia tak mau bertemu denganku.""Sinta, kondisimu baru saja pulih, jadi sebaiknya kamu tidak usah memikirkan hal-hal seperti itu. Istir

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh tujuh - Pov Sinta

    Baru sekarang aku merasakan sangat dicintai oleh seorang lelaki. Mas Wisnu, suami yang selama ini ku anggap tidak berguna, bahkan kehadirannya tak kuanggap sama sekali, selalu ada untukku. Aku yakin dia lebih memilihku daripada istri mudanya.Setiap malam dia selalu menjagaku di rumah sakit, walaupun sikapnya masih dingin dan tak banyak bicara. Wajar, karena selama ini kamu memang jarang berkomunikasi. Mulai sekarang aku akan belajar mencintainya, melupakan masa lalu dan juga Tania. Ternyata, kebencianku pada Tania telah menghancurkan hidupku. Entah ke mana wanita itu, sejak kedatangannya waktu itu, dia tak lagi menampakkan batang hidungnya ke sini. Padahal aku ingin berterima kasih padanya karena dulu menolak Mas Wisnu. Juga ingin memberitahunya, jika aku mampu dimadu.Aku bisa membuktikan apa yang dulu pernah kuucapkan padanya, karena selama ini tak ada masalah yang berarti antara aku dan maduku. Mas Wisnu cukup adil, dan itu membuatku semakin kagum padanya.

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh enam

    "Kekurangan dan keterbatasan ekonomi, membuatnya menjadi pribadi pekerja keras, dan sangat menghormati serta menghargai orang-orang yang membantu dan berjasa dalam hidupnya. Salah satunya Sinta. Ibu sendiri kurang paham, tepatnya kapan mereka berkenalan. Setelah pergi merantau, tiba-tiba dia datang bersama dengan Sinta, dan mengatakan kalau dia adalah istrinya."Aku masih dia menyimak, sambil memijat kaki ibu. Sebenarnya Ibu menolak, bahkan tadi dia yang mau memijit kakiku. "Aku sangat bahagia, Nak Nyia. Dulu, di mataku Sinta adalah wanita yang baik, tutur katanya lembut. Tak tahunya semua itu hanyalah topeng sandiwara. Ibu benar-benar tertipu, Nak Nyia. Kasihan Wisnu, harus menikung hutan batin yang cukup berat. Saat ini pun, dia dalam posisi sulit. Satu sisi Dia sangat mencintaimu, di sisi lain dia tak tega melihat kondisi Sinta. Tak jarang Ibu melihatnya menangis di masjid rumah sakit."Tak terasa air mataku menetes mendengar penuturan i

  • PEMBALASAN UNTUK SAHABAT TUKANG HASUT   Enam puluh lima

    "Soal Mas Haris bagaimana, Mas?" tanyaku pada Mas Wisnu ketika dia keluar dari kamar mandi. Sengaja menunggunya karena ada banyak hal yang ingin kutanyakan dan kukatakan padanya. Lelaki itu hanya menatapku sekilas, kemudian sibuk memakai bajunya."Apanya? Dia udah dimakamkan?" sahutnya. kali ini dia tengah mengeringkan rambutnya. "Kronologinya bagaimana, Mas? Kok dia bisa meninggal?" Aku benar-benar penasaran."Kalau menurut keterangan polisi, dia terjatuh dari kursi roda, kepalanya membentur ujung ranjang. Hanya itu karena memang tak ada luka yang berarti di tubuhnya." Mas Wisnu melangkah mendekatiku."Haris terlihat sehat, tubuhnya berisi dan juga bersih. Berbeda dengan kondisi Sinta saat kami menemukannya. Sangat miris, Nyia. Tangan dan kakinya dirantai, sementara mulutnya dilakban. Tapi tak ditemukan memar di tubuhnya," imbuhnya setelah duduk di sampingku."Aku tahu, tadi aku dari rumah sakit," kataku sambil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status