Share

Empat

Aku urung beranjak ketika Sinta memberi usul untuk menelpon Mas Haris dan memintanya datang.

Sinta terpekik setelah menghubungi Mas Haris. "Dia bisa datang, Rin!" Nampak jelas rona kebahagiaan di wajahnya.

Iseng aku mengirim pesan pada Mas Haris. Memintanya menjemput dengan beralasan jika ban motorku kempes. Aku hanya ingin memastikan, apa dia patut dipertahankannya apa tidak.

Pesanku langsung dibaca, namun tak terlihat dia mengetik. Aku masih sabar menunggu balasan dari Mas Haris, kira-kira apa yang hendak dikatakannya. Sementara Sinta dan Rindu nampak riang menunggu kedatangan Mas Haris.

[Aku sibuk, Nyia. Sebentar lagi rapat. Kamu pesan ojol aja, sekalian minta antar ke bengkel] balasnya setelah cukup lama. Aku mengangguk-angguk setelah membaca pesannya. Sudah jelas, putusan apa yang harus kuambil.

"Mas Haris kok lama ya, Sin? Bukannya kantornya dekat dari sini?" ucap Rindu, sepertinya dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan suami orang.

"Barusan dia chat aku, katanya sudah otw. Tadi, Mas Haris bilang, kalau Tania mengirim pesan, katanya ban motornya kempes," sahut Sinta. Kedua wanita itu pun tertawa.

"Terus-terus?" tanya Rindu dengan mata berbinar.

Sinta mengulum senyum sebelum menjawab,

"ya Mas Haris tetap memilih ke sini dong ... secara yang baru kan lebih menarik." Kedua wanita itu kembali tertawa bersama.

Aku pun semakin yakin dengan keputusan yang akan kuambil. Setelah menangkan hati sejenak, aku bangkit dan langsung beranjak. Semua sudah jelas, tak perlu lagi aku menunggu, batinku. Namun, lagi-lagi aku harus mengurungkan langkah setelah melihat di halaman kafe sudah berdiri Mas Haris.

Apa ini sebuah petunjuk, Tuhan? Apa yang harus kulakukan? Melihat mereka bercengkrama? Seketika emosiku naik. Namun, lantunan istighfar dalam hati mampu menahannya.

Aku pun kembali duduk sambil meti-matian menata hati. Sengaja kuambil beberapa foto ketiga orang tersebut. Mungkin, akan berguna, batinku. Setelah kurasa cukup, aku pun bergegas pergi. Tak ada lagi air mata, seminggu kemarin sudah cukup untuk meratapi pernikahan kami. Sampai di rumah, aku langsung berkemas.

Aku berdiri termangu di depan koper yang sudah penuh dengan pakaian. Setelah itu aku mengambil ransel yang tergantung di belakang pintu. Dengan cepat aku memasukkan barang-barang yang tersisa.

Tiba-tiba ada ide muncul di kepala ketika hendak mengirim pesan pada Mas Haris. Pikiranku berubah, kenapa harus mengirim pesan, kalau bisa video call bisa, dan mungkin dampaknya akan lebih luar biasa.

Bibir ini tersenyum, entah apa arti senyumku itu. Setelah tiga kali panggilanku ditolak. Sepersekian detik kemudian sebuah pesan masuk. [Aku rapat]

Tawaku membahana seketika, hingga air mata menetes saking lucunya. Satu keahlian baru suamiku, semenjak ngebet nikah lagi, dia sangat pandai berbohong. Setelah tawaku reda, aku pun mengirim gambar koper padanya.

[Mau kemana kamu?] Mungkin saat ini dia tengah kebingungan melihat gambar koper yang sengaja kubuka. Andai Mas Haris jeli sedikit saja, kupastikan dia akan murka.

Pesan selanjutnya, kuharap dia tetap baik-baik saja. Aku mengiriminya beberapa foto yang tadi kuambil.

[Pembohong! Talak aku sekarang juga!] pesanku belum terbaca olehnya karena keburu dia meneleponku. Hingga dering ketiga aku baru mengangkatnya dengan malas.

"Tunggu aku di rumah." Setelah itu panggilan terputus. Bibirku tersenyum miring. Hancur kamu, Mas!

Kujatuhkan bobot tubuhku di sofa. Iseng-iseng kubuka status W******p. Mataku menyipit setelah melihat status terbaru Sinta. 'Bahagia rasanya bisa memberi jalan sahabatku meraih surga'

Sudah dipastikan status Facebooknya juga sama. Biasanya postingannya selalu ramai dengan komentar. Aku pun menuju ke aplikasi biru. Benar saja, kali ini dia juga memposting beberapa foto mereka bertiga. Namun, wajah Mas Haris ditutup dengan stiker.

Suara mobil memasuki halaman, membuatku mengalihkan pandangan dari ponsel. Beberapa kali menarik napas panjang kemudian mengeluarkannya secara perlahan, sebelum berhadapan dengan manusia-manusia licik itu, aku

"Nyia!" seru Mas Haris lantang. Langkanya terdengar tergesa-gesa.

"Nyia, kenapa masih membahas hal ini? Sudah kubilang aku akan berbuat adil," cerocosnya setelah sampai di tempatku berada.

"Tapi kenyataannya berkata lain, Mas Haris. Adil yang seperti apa maksudnya? Jika, kamu lebih mementingkan menemui wanita calon istri barumu ketimbang membantu istri pertama yang tengah kesulitan?" sahutku dengan suara kubuat senormal mungkin.

"Aku bisa jelasin, Nyia." Seperti biasa, Sinta akan maju sebagai pembela.

Aku menatap wanita yang mengaku sebagai sahabat, tapi menusuk dari belakang itu.

"Dimlah, Sin. Jangan ikut campur," tegasku.

"Aku bisa menjelaskan semuanya, Nyia," sahutnya tak gentar. Dia masih saja berusaha menjadi tameng untuk Mas Haris.

"Aku ndak butuh penjelasan darimu, Sin. Aku hanya butuh kata talak dari lelaki ini!" tegasku sambil menunjuk tepat ke wajah Mas Haris.

"Jangan meminta sesuatu yang akan membuatmu menyesal, Nyia," sahut Mas Haris dengan raut wajah meremehkan.

"Aku takkan menyesal, Mas. Talak aku sekarang juga. Hanya itu yang kuinginkan saat ini," tantangku.

"Pikirkan sekali lagi, Tania! Sekali kata itu terucap, maka semuanya akan berakhir."

"Semua sudah berakhir semenjak kamu memutuskan membawa wanita lain masuk ke rumah kita, Mas."

"Tidak, Mbak Tania, jangan pergi. Biar aku aja yang pergi. Aku memang wanita tak tahu diri, mengiyakan saja ketika Mas Haris menawarkan pernikahan." Wanita itu menangis setelah mengucapkannya. Sungguh tukang sandiwara.

Aku sama sekali tak menggubris perkataan Rindu. Kutatap lekat manik hitam milik Mas Haris.

"Ya Allah, kasihan sekali anakku, harus kehilangan sosok yang baru saja dicintainya," imbuh Rindu. Reflek tangan Mas Haris mengelus pundaknya.

Cuih! Perutku langsung mual melihat kejadian tersebut.

"Tania Az-zahra, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu, sekarang juga!" ucap Mas Haris dengan lantang. Setelah itu lelaki yang sudah tiga tahun menemaniku itu memalingkan wajahnya.

Sementara Sinta dan Rindu terpekik, kedua wanita itu menutup mulut masing-masing dengan kedua tangannya.

"Mas Haris!" seru Sinta. "Kamu sadar apa yang sudah kamu ucapkan?!" imbuhnya, setelah itu dia mendekatiku. Kedua tangannya terentang hendak memelukku. Namun, segera aku menepisnya.

"Aku baik-baik saja," ucapku dengan tatapan tajam tepat di manik matanya. "Terima kasih, Mas. Dan selamat ya, Rindu. Keinginanmu untuk memiliki Mas Haris seutuhnya sudah tercapai. Selamat."

Setelah berucap, aku bergegas masuk ke kamar untuk mengambil koper yang tadi kusiapkan. Tak ada penyesalan, karena ini adalah jalan terbaik. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku masih berada ditengah-tengah mereka. Sahabat yang bermuka dua dan madu yang juga sama. Hidupku terlalu berharga untuk meladeni orang-orang seperti itu.

"Pergi sekarang juga, Pak Haris."

Lelaki yang sudah bukan apa-apaku itu menunduk. Begitu juga dengan Sinta. Berbeda dengan Rindu, wanita itu nampak terkejut.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau tania anjing, sikapmu bukan menunjukkan kau wanita hebat,anjing!! dasar pecundang dungu dan pantas kau dicampakkan kayak sampah
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suka sama sikapnya Tania yang tegas
goodnovel comment avatar
Shawor Wangsa New
tega banget sahabatnya itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status