Share

Bab 3. Cinta Monyet

Melihat ekspresi wajah Rere yang begitu lucu, Freza tidak mampu menyembunyikan tawanya. Suaranya begitu keras, membumbung ke langit-langit cafe.

“Pasti itu tadi ekspresi kamu waktu Zeega bilang kayak gitu tadi, ya?” selidik Freza.

Dia menggoda Rere setelah wanita itu menceritakan beberapa kejadian yang dialami di mall, saat tadi mereka berboncengan motor menuju cafe.

Dengan emosi yang belum stabil, Rere menggerakkan lengan dengan kekuatan penuh untuk melemparkan tas tangannya tepat ke muka Freza.

Sebagai anggota karate, refleks lelaki itu cukup baik hingga mampu menghindar tepat pada waktunya.

“Ketawa lagi, aku lempar lagi, pakai piring nanti,” tambah Rere.

Freza mengatupkan kedua tangannya pertanda meminta ampun kepada Rere. Sebelum pertengkaran melebar, sang pramusaji datang membawa pesanan mereka.

Energi yang sudah terkuras cukup banyak membuat Rere memakan nasi gorengnya begitu cepat dan lahap.

Freza mencoba mengutarakan pikirannya lagi.

“Kamu sih, lelaki kayak begitu, kok, digila-gilain? Aku saja udah nggak suka dari awal. Apalagi, dia itu nggak sopan, tau? Kalau bertamu harusnya turun dari mobil, minta izin ke orang tuanya. Bukannya ngebunyiin klakson. Sok-sokan,” gerutu Freza.

“Lain kali itu, kalau sayang atau cinta, atau apalah itu, ke orang yang benar. Ya, kayak aku gini,” ucap lelaki itu lagi.

“Kalau kamu bisa bawa cincin berlian segede gaban, sama mas kawinnya logam mulia yang gede, bolehlah aku pikirin untuk sama kau.” Tidak mau kalah, Rere menjawab sambil tertawa terbahak-bahak.

***

Sesampainya di rumah, Rere langsung menuju kamar setelah mencium tangan ibunya, yang kebetulan sedang duduk di ruang tamu.

Belum sempat pertanyaan sang ibu dijawab, Rere sudah menghilang di balik pintu kamar.

“Ada apa dengan Rere, Nak Freza?” Bu Suli langsung bertanya kepada teman laki-laki Rere yang kebetulan mengantarkan hingga ke depan pintu.

“Dia lagi patah hati, Bu. Tapi, nggak pa-pa, kok. Biasalah, cinta monyet. Monyetnya sudah kabur.” Freza menjawab dengan dibarengi sedikit gurauan, agar Bu Suli tidak khawatir, “Saya undur diri, Bu, mau masuk ke kamar.”

Bu Suli segera mendatangi kamar Rere yang ternyata tidak dikunci.

Setelah mengetuk tiga kali, dia langsung masuk, dan mendapati anaknya sedang duduk di kursi, menatap kosong ke arah cermin di depannya.

“Nduk, kenapa? Cerita sama Ibu. Dulu, Ibu juga pernah suka-sukaan sama cowok begitu.”

Mendengar kalimat ibunya, Rere langsung berbalik dan menatap wanita tua itu.

“Cerita apa, Bu? Rere nggak kenapa-napa, kok. Apalagi masalah cinta-cinta begitu. Rere, kan, nggak akan pacaran. Ayah sama Ibu, kan, selalu bilang begitu.”

Rere bangkit dari duduknya, kemudian duduk di sebelah ibunya di atas kasur.

“Nduk, memang dalam agama kita nggak boleh pacaran. Tapi, namanya suka itu masih mungkin terjadi, selama kita itu punya hati. Yang penting, kita cukup punya kekuatan untuk mengendalikan diri."

Rere masih diam.

"Itulah kenapa, dulu Ibu juga pernah suka sama orang, tapi, ya, sekedar suka. Ibu memasang tembok tak kasat mata, agar tidak kebablasan. Eh, untungnya cowok yang Ibu suka akhirnya yang ngelamar Ibu. Ya, ayahmu itu.” Bu Suli menutup kalimatnya dengan tawa ringan.

Mendengar cerita itu, Rere juga ikut tertawa. Tadi, dia memang begitu patah hati. Namun, kebiasaannya untuk membatasi perasaan mampu membuatnya pulih lebih cepat.

Apalagi dia cukup mendapat penghiburan saat bertemu sahabatnya.

Dan sebagaimana sang ibu, dia juga terbiasa membangun tembok tak kasat mata pada hatinya, agar tidak pernah suka secara berlebihan.

Hanya saja, tidak tahu mengapa, kali ini hatinya sempat menang. Benar-benar keluar batas dan mampu memorak-porandakan perasaannya dalam sekejap.

“Ibu beruntung ya, bisa dapat orang baik seperti Ayah. Sayangnya, orang baik cepat dipanggil Tuhan.” Rere mengatakannya dengan penuh hati-hati.

“Iya. Kita berkirim doa saja untuk Ayah di tiap salat kita,” ujar Ibu yang kemudian melanjutkan setelah berhenti sejenak.

“Tapi, ingat juga. Kamu jangan terlalu dekat sama Nak Freza. Dia itu bukan mahrammu. Bahaya, banyak setan. Mau kamu kesetanan?”

“Iiihhh, ya nggak mau dong, Bu. Ada-ada saja. Iya, iya, aku nggak akan terlalu dekat sama Freza, kecuali keperluan mengerjakan tugas.”

“Sebenarnya, sebagai wanita muslim, mengenakan hijab itu juga bisa menjaga diri dari keburukan-keburukan itu. Kamu nggak mau terlindungi? Itu wajib, Nduk.”

Lagi-lagi, dalam beberapa kesempatan, Bu Suli berusaha memasukkan nasihatnya untuk mengajak Rere segera berhijab.

“Iya, Ibuuu. Insya Allah, dalam waktu dekat, ya. Rere mau memantapkan diri dulu, sebelum berhijab.”

“Ingat kata Ibu ini, ya." Bu Suli memandang lekat Rere dengan lembut.

"Seharusnya, para wanita muslim itu bukan memantapkan diri baru mengenakan hijab. Sebaliknya, seharusnya kita ini memakai hijab baru memantapkan diri. Karena, dengan berhijab, kita jadi merasa terus diingatkan, kadang merasa sungkan dengan hijab yang kita pakai."

Bu Suli berusaha mencari kalimat yang pas. "Jadinya, kita malah bisa semakin baik untuk menjaga batasan-batasan diri. Dan dengan sendirinya, hati kita akan mantap dan tidak mau melepasnya. Tidak lupa, diiringi doa kepada Allah untuk menjaga dan memantapkan hati.”

“Iya, Ibu sayang. Terima kasih, ya.” Rere memeluk wanita di sebelahnya itu dengan begitu erat.

Bu Suli akhirnya meninggalkan Rere sendirian di kamarnya.

Kesunyian di dalam kamar memanggil memorinya kembali ke kejadian di mall tadi. Dia baru menyadari, bahwa pria bisa saja begitu baik, tetapi bukan berarti mereka punya perasaan terhadap dirinya.

Sejak kejadian ini, dia memantapkan hatinya untuk tidak mudah terlena dengan perlakuan baik seorang laki-laki. Kecuali lelaki itu benar-benar datang ke rumahnya dan melamar.

Serta, nasihat Freza tentang belajar cara dan jenis make up akan dia praktikan. Agar ke depannya tidak ada lagi kejadian memalukan di depan umum.

***

“Halo, Pakde. Bisa bantu Saya?” tanya seorang lelaki melalui sambungan telepon.

Tidak tahu apa yang dikatakan suara di seberang sana, lelaki itu berbicara kembali dengan nada begitu tegas.

“Putuskan kontrak dengan perusahaan Mile Away. Blokir semua anak perusahaannya, dan jangan pernah berhubungan. Terima kasih, Pakde. Semoga sehat selalu ya.”

Setelah selesai dengan panggilan teleponnya, dia bergumam sambil mengulas senyum tipis, “Jika kamu bisa menyakiti seorang wanita hingga membuatnya menangis, maka kamu sudah siap menanggung akibatnya.”

Beberapa hari kemudian, setelah panggilan telepon misterius itu, tersiar kabar di televisi bahwa sebuah perusahaan bernama Mile Away dan beberapa anak perusahaannya harus gulung tikar karena bangkrut.

Sejak itu pula, keluarga tersebut memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Mereka kembali ke negara Tuan Mark, pemilik utama perusahaan yang sebelumnya merupakan Warga Negara Asing (WNA).

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status