"Kamu nanti tinggal bersama Paman Jati Luhur di belakang," ujar Tuan Putri pada Angga, ketika dia akan menuju ke kediamannya yang berada di Istana Timur.
Lalu, seorang pelayan perempuan datang dari arah depan menyambut Tuan Putri, dan mengawalnya masuk ke dalam keputrian.
"Baiklah Gara, mari kita ke belakang! Akan kutunjukkan kamarmu," ajak Jati Luhur.
Keduanya kemudian menuju ke sebuah rumah sederhana yang berada di belakang kediaman Tuan Putri.
Istana Paladu tidaklah semegah istana kerajaan lain, karena hanya berbentuk rumah kayu sederhana dengan atap rumbia. Selain itu, wilayah Istana Paladu kecil, dan hanya sebesar kadipaten yang berada di Sindang Nagara.
"Ini kamarmu. Meskipun sederhana, tetapi cukup untuk beristirahat. Lagi pula besok kau harus menghadap Tuan Putri," ucap Jati Luhur.
"Terima kasih, Paman. Ini sudah lebih dari cukup," ucap Angga ramah. "Oh iya, apa Paman tahu kediaman Adyaksa, putra Tuan Senopati?"
"Kenapa kamu menanyakan pemuda dengan kedigdayaan tinggi itu?" tanya Jati Luhur. Lelaki paruh baya itu tampak heran, karena Angga mengenal lelaki yang merupakan anggota Partai Telaga Emas itu.
"Tidak, hanya penasaran saja. Sepertinya pemuda itu sangat sakti. Tuan putri yang bilang," ucap Angga sambil garuk-garuk kepala. Dia tak ingin diketahuin punya urusan dengan pemuda itu.
"Kediamannya ada di belakang Istana Besar Gusti Prabu. Tepatnya tiga rumah ke belakang, di dekat gerbang sebelah utara," ucap Jati Luhur.
Lelaki paruh baya itu kemudian memberi tahu, jika ingin bertamu ke kediaman Adyaksa haruslah saat siang hari. Karena pemuda itu pasti lelah setelah perjalanan jauh dari Sindang Nagara.
"Kalau begitu, aku pamit dulu. Besok pagi kita berangkat bersama ke kediaman Tuan Putri," ucap Jati Luhur ramah.
"Baik paman, terima kasih atas segala bantuannya," ucap Angga ramah. Pemuda itu kemudian beranjak menuju tempat peristirahatan, ketika Jati Luhur sudah memasuki kamarnya sendiri yang tak jauh dari letak kamarnya.
***
Malam hari, saat semua orang sudah tertidur lelap, seseorang mengendap-endap di atap rumbia Istana Paladu. Sosok tersebut berpakaian serba hitam dengan penutup wajah yang juga senada.
Meskipun bertubuh besar, sosok itu tidak menimbulkan suara kala melangkah di atas atap karena dia memiliki ilmu meringankan tubuh. Sosok tersebut dengan santai melompat dari satu atap ke atap lainnya.
Beberapa waktu kemudian, sosok dengan pakaian serba hitam itu berdiri tegak di atap sebuah rumah besar yang berada di dekat gerbang utara. Tampak jelas orang tersebut sedang menunggu seseorang keluar dari bangunan besar kediaman petinggi kerajaan itu.
Setelah beberapa lama menunggu di atap rumbia, akhirnya muncul seorang pemuda yang keluar dari rumah besar. Pemuda berpakaian putih tersebut menuju ke kamar mandi yang letaknya di belakang rumah.
Namun, ketika pemuda yang tak lain adalah Adyaksa keluar dari kamar mandi, alangkah terkejutnya ia ketika mendapati orang berpakaian serba hitam berdiri di depannya.
“Macan Kumbang?” tanya Adyaksa tidak yakin. Meski begitu, dia sangat terkejut dan ketakutan.
"Aku datang ke sini menuntut balas kepadamu, Adyaksa. Kau harus membayar pengkhianatanmu kepadaku!" bentak sosok berpakaian serba hitam yang membuka penutup wajahnya.
Bulu kuduk Adyaksa langsung merinding, saking takutnya. Pemuda tersebut menganggap bahwa yang datang adalah hantu Macan Kumbang.
“Maafkan aku. Aku hanya menjalankan perintah ketua,” ucap Adyaksa membela diri.
"Apa dengan minta maaf, kau bisa menunjukkan bahwa aku tidak bersalah?" tanya Angga sambil memegang kerah baju putih milik Adyaksa.
BRAKK!
Tubuh Adyaksa langsung terlempar ke pintu kamar mandi, hingga menimbulkan suara keras. Pemuda itu hanya bisa mengeluh tanpa bisa berteriak.
"Ampun Macan Kumbang. Aku akan mencari bukti untuk membuktikan kau tidak bersalah," ucap Adyaksa. Pemuda itu mencoba melobi agar dia tidak dibunuh oleh hantu Macan Kumbang.
"Apa omonganmu bisa dipercaya?" Angga masih tampak marah bercampur kesal kepada Adyaksa. Dia kembali menarik kerah baju Adyaksa, lalu mengangkat tubuh pemuda itu untuk kedua kalinya. Kali ini Adyaksa sampai tercekik kerah bajunya sendiri.
Angga kembali teringat saat dia hampir mati di tangan ribuan orang golongan putih dan pemerintah. Meskipun kala itu dia sadar Adyaksa berdiri di belakang tanpa berbuat apa-apa, tetap saja baginya pemuda itu bersalah.
"Nyawaku taruhannya. Bukankah kau sudah tahu kediamanku?" Adyaksa terus berusaha meyakinkan Angga, bahwa dia akan membantu membersihkan nama Macan Kumbang dari tuduhan pembunuhan.
Namun ketika Macan Kumbang hendak menarik kerah Adyaksa lebih tinggi, tiba-tiba terdengar langkah orang mendekat.
"Ada apa Adyaksa? Kenapa malam begini masih keluyuran di luar dengan kondisi merangkak di depan kamar mandi?" tanya seorang lelaki tua dari balik dinding sebelah rumah.
Setelah itu dilanjutkan dengan adat perkawinan antara Adyaksa dengan Lintang Ayu Wardani. Keduanya dinikahkan oleh sesepuh yaitu tak lain adalah Aki Jati Luhur.Angga harus menjadi wali bersama ayahnya, Prabu Bajra Wastu Kencana.Di tempat itu juga diadakan sebuah adat ketika seorang adik melangkahi kakaknya dalam sebuah pernikahan. Angga harus lari kemudian dikejar oleh Adyaksa sampai dapat. Sebagai bukti bahwa Anggara Wastu Kencana telah rela jika adiknya menikah, sebuah adat yang akan terus dijaga sampai ratusan tahun ke depan."Kenapa aku mau disuruh berlari?" ucap Angga sambil garuk-garuk kepala. Namun dia tampak kaget ketika di antara penonton ada seorang perempuan yang tersenyum kepadanya. Hal itu jelas membuat dirinya kaget bukan main, mungkin takut diajak nikah seperti adiknya."Apa yang terjadi kepadamu?" tanya Ranu Paksi kepada muridnya yang tampak bingung."Ada urusan pribadi yang sedikit mengganggu, paman" ucap Angga."Apa yang bisa aku bantu?" tanya Ranu Paksi mencoba me
"Tentu saja, sekali gerakan kau akan kehilangan kepalamu.""Kenapa kau paham dengannya?""Tentu saja, ketika kau sibuk di Istana. Aku mengangkat seorang murid yaitu dirinya." ucap Semanik yang seakan membuat Pangeran Mandura tidak percaya hal itu terjadi.Pangeran Mandura tetap menganggap Angga seperti dulu, hanya orang lemah yang tidak punya kemampuan apa-apa."Jadi apa yang akan kau lakukan jika aku tetap akan berangkat?" tanya Pangeran Mandura yang malah kecewa dengan ayahnya yang justru memberikan kemampuan kepada orang lain. Padahal Pangeran Mandura sendiri yang tak pernah pulang ketika berada di Istana Sindang Nagara dimana akan dilakukan prosesi Raja baru."Aku yang akan membunuhmu!"Jelas semua orang kaget dengan ucapan dari Semanik. Tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh resi yang paling berpengaruh itu."Partai Ngarai Biru adalah milik Anggara Wastu Kencana, jadi akan setia terhadap yang sah apapun yang terjadi!"Beberapa orang yang mendengarkan ucapan dari Seman
"Bukan, aku bukan putra Mahkota. Sudah ada Raja baru yang akan memimpin Nagarawangi ke depannya." ucap Angga yang kini bicara sendiri namun menggunakan suara yang berbeda dengan aslinya.Mendengar hal itu jelas membuat Pangeran Mandura terkejut bukan main, tak mengerti siapa yang akan meneruskan tahta Sindang Nagara."Siapa yang kau maksud?" tanya Pangeran Mandura tampak penasaran."Satu yang pasti bukan dirimu!"Angga malah bicara seenaknya yang membuat Pangeran Mandura jelas tersinggung, lawannya tahu niatnya. Meskipun masih penasaran, namun rasa kesal lebih menumpuk di dirinya.Angga sama sekali tidak menjelaskan bahwa yang akan menjadi Raja adalah Adyaksa yang menikahi Gusti Putri Lintang Ayu Warda
“Maafkan Ayah, Aku sedang urusan penting di Hutan Mati. Sepertinya tempat kita dulu sangat cocok untuk dijadikan tempat perjuangan mendapatkan tahta Sindang Nagara.” ucap sang anak yang tidak merasa sedih akan kematian adiknya sendiri itu.“Mau kau jadikan apa anakku? Bukankah bencana dahsyat itu sudah memperingatkan kita untuk tidak gegabah di sana?” Sang Ayah mencoba untuk memberi masukan kepada anaknya yang semakin hari semakin tidak jelas pikirannya.“Tenang saja ayah, tidak akan terjadi apa-apa. Sindang Nagara sedang kosong, ini kesempatan kita untuk mendapatkan tahta itu.”Anak tersebut adalah Pangeran Mandura semakin bersemangat untuk melancarkan hasrat terpendam nya. Hasrat yang selama ini tertutup oleh sang ayah, yang ternyata adalah seseorang yang mengabdi lama di Sindan
Angga berteriak ketika ada sebuah senjata menyerang, jelas membuat Prana Shinta kaget. Namun dapat ditahan menggunakan tangan, sehingga serangan tidak datang lagi.JLEP!Sebuah anak panah terbang dengan sangat cepat, langsung mengenai pohon. Beruntung tidak kena ke tubuh tiga orang yang sedang berjuang."Hei bayangan hitam, siapa kau? Cepat tunjukan siapa kau?" tanya Prana Shinta sambil mengeluarkan pedang miliknya."Apa yang akan kita lakukan?" tanya Prana Shinta sambil waspada terhadap serangan."Kita harus berpencar, supaya ketahuan dimana sebenarnya serangan datang!"Keduanya berpencar seraya mencari dari mana asal serangan yang datang. Namun aneh
"Raja, aku di sini," ucap perempuan yang menjadi pasangannya. Tampak jika perempuan itu tertimpa reruntuhan, namun dia bisa selamat dari kematian."Syukurlah kau tidak apa-apa, ayo kita pergi dari sini. Kita tunggu apakah ada orang yang datang atau tidak," ucap Raja yang ternyata masih hidup. "Menurut dugaan pasti ada serangan lain yang akan merebut Nagarawangi!"Keduanya kemudian pergi dari reruntuhan yang membuat mereka terluka. Ada yang lecet, ada juga yang terluka dalam hingga perlu pertolongan temannya.Dua puluh persen dari semua kekuatan memang masih bisa bertahan, mereka memutuskan untuk kembali ke kediaman Raja. Mengikuti apa yang diperintahkan oleh Raja bahwa akan mengawasi jika serangan datang.***