Kurebahkan tubuh diatas pembaringan, menarik nafas dalam-dalam sambil meregangkan otot kaki dan tangan. Hari yang sangat melelahkan, aku ingin tidur lebih awal malam ini.Dila sudah terlelap disampingku, merapatkan selimut ditubuhnya aku pun ikut terpejam disisinya.Bismillah ... buatlah malam ini aku terlelap ya Rabb.Sebelum adzan subuh, berkumandang mata sudah terbuka. Meraih gawai melihat media sosial untuk mencari sedikit hiburan. Setelah puas scroll tidak jelas aku langsung beringsut menuju toilet sekalian untuk membersihkan tubuh.Baru saja melepas mungkena, suara gawai terdengar nama Ibu tertera didalam layar melakukan panggilan.Hhhh ... lelah juga hati ini terus-terusan ditelpon dengan Ibu."Iya, Bu?" meski malas, panggilannya tetap aku jawab."Sudah bangun, Riss?" Ibu bertanya."Sudah. Ini baru saja selesai sholat subuh." jawabku. "Ika gimana?""Ika sudah lebih baik," jawab Ibu. Bibirku membulat, ikut senang mendengar keadaan Ika."Mmm ... hari ini jadi ke kantor Polisi kan
"Kalau Bapak tidak percaya sama saya, Bapak tanyakan langsung dengan Ika. Saya yakin, Ika sangat mengerti perasaan saya saat ini." desis Rissa dengan wajah misterius."Apa maksudmu?" Bapak yang terdiam akhirnya mengeluarkan suara, menatap lekat pada Rissa.Bukan menjawab, Rissa malah mendengkus dengan senyum menyerigai dan tatapan mengerikan.Ada apa ini, kenapa perasaanku mendadak tidak enak.Kenapa Rissa bawa-bawa, Ika?Apa Rissa merencanakan hal buruk pada Adikku?Awas saja!"Apa maksudmu, Riss?" Bapak kembali bertanya, wajahnya menegang dengan tatapan lurus pada Rissa.Rissa kembali mendengkus, kali ini disertai kekehan kecil.Sungguh, menyebalkan sekali dia!"Yakin, Bapak mau tahu?" Rissa mencondongkan wajah, menatap Bapak lebih dekat."Ya. Ada apa?" Bapak mulai terlihat gusar, pun dengan diriku.Rissa menarik nafas, menyandarkan tubuh disisi kursi. Nafasnya terhembus panjang, seolah sedang melepas penat yang begitu dalam."Wisnu ..." Rissa menjeda kalimat, bisa aku lihat dia men
Persendianku begitu lemas, pupus sudah harapan untuk hidup kembali bersama Rissa. Rissa tersenyum miring saat meraih map dari tangan Bapak, sementara Bapak masih tertunduk enggan menengok kearahku. Melihatnya aku semakin muak, Bapak benar-benar mempermainkan aku. Aku masih ingat betul, dimana saat Bapak mengajari tentang mendidik istri yang mulai membangkang. Aku bahkan masih ingat, dimana Bapak berbicara agar aku memukul Rissa, jika Rissa mulai tak patuh padaku. Aku merasa dipecundangi! "Pak ..." suara familiar terdengar, aku menoleh lemas. Terlihat Ibu datang sambil menenteng plastik belanjaan. "Bu," Bapak sangat bersemangat, dia langsung mendekati Ibu dan memeluknya. Mata Ibu terlihat berkaca-kaca, sedetik kemudian air matanya mengalir dengan deras. Entah mengapa aku tak terharu sama sekali, yang ada aku malah semakin jengah melihat keduanya. "Rissa, trimaksih Nak. Maaf sudah merepotkanmu," lirih Ibu dengan tatapan lembut. Rissa hanya mengangguk, sambil tersenyu
"Ya Alloh ..."Jaya yang begitu cemas langsung berlari tunggang langgang keluar rumah, meminta pertolongan."Nayaa ... Ferdi!" seru Jaya ketakutan didepan rumah tetangganya. Gedoran pintu terdengar bertubi-tubi, membuat siempunya rumah keluar dengan jalan terpogoh-pogoh."Ada apa, Pak? Kenapa?" tanya Ferdi setengah sadar, jantungnya berdegup kencang, kaget dengan gedoran keras yang terasa menghujam dadanya."Tolong saya," Jaya menatap gemetar tetangganya. "Istri saya pingsan, nafasnya tidak ada!" ucap Jaya ketakutan setengah mati, hatinya bagai diremas-remas. Takut hal buruk menimpa pada Hanum."Astagfirulloh ..." Ferdi terperangah, rasa cemas kini mulai bergelayut didadanya."Kenapa, Mas?" Naya yang keluar dari kamar menatap Ferdi dan Jaya bergantian."Ayok, kita bawa kerumah sakit, Pak." ucap Ferdi tanpa menjawab pertanyaan istrinya."Kamu tunggu disini aja, Mah. Aku mau kerumah Bu Hanum." titah Ferdi pada istrinya.Dengan langkah tergesa keduanya memasuki rumah, menerobos masuk ked
Jaya mematung ditempatnya, menatap nanar kearah Ika yang memandang Wisnu dengan tatapan bengis. Emosi Ika kembali tersulut, melihat Wisnu yang menggeleng lemas dengan pandangan tak nyaman menatap Jaya. Seolah mengisyaratkan agar Ika tak banyak bicara pada Bapaknya."Kenapa? Kau malu?" cibir Ika. Wisnu menundukkan kepala diiringi nafas panjang.Malu? Ya. Itu benar. Wisnu sangat malu, dia merasa terhina dihadapan mertua. Pun Wisnu cemas, takut kalau Jaya akan menyeret dan menghajarnya ditempat. Meski semua itu memang pantas dia dapatkan."Setelah Dokter mengizinkan aku pulang, secepatnya aku akan menggugat cerai." ucap Ika. Wisnu seketika mendongkak, tak menjawab hanya menyorot Ika dengan tatapan penyesalan.Sungguh, hatinya teramat gusar. Mengingat Wisnu, yang masih sangat mencinta Ika.Ingin sekali menjelaskan bahwa dia hanya main-main. Tapi rasanya percuma, hanya akan kembali memicu emosi Ika."Ka ..." Jaya membuka suara. Ika menoleh, wajahnya terlihat datar namun sorotnya terlihat p
Santi menangis pilu melihat Wisnu dipapah oleh security, tubuhnya masih bergetar mengingat kejadian kekerasan didepan matanya.Jaya menatap sinis, menyentak pakaiannya lalu berjalan dengan hati puas menuju kamar inap Hanum."Dari mana saja, Pak." Hanum langsung melempar tanya saat Jaya menduduki kursi disamping ranjangnya."Dari kamar, Ika." sahut Jaya sambil menormalkan detak jantung. "Kamu belum tidur?" tanya Jaya, bibirnya melengkung tipis mencoba bersikap sewajarnya.Hanum menghela nafas, mengingat Ika, dadanya kembali terasa sesak."Ika bilang dia mau cerai," lirih Hanum, hati berderit pilu meraba sakit hati yang diderita putrinya. Jaya yang mendengar langsung menoleh, wajah terlihat kaku dengan kening yang mengkerut."Kasihan, Ika dan anaknya ..." desah Hanum dengan suara tertahan, wajah begitu lelah, ketara sekali sedang banyak fikiran."Menurutmu gimana, Pak?" tanya Hanum.Jaya bergeming, lidahnya mendadak sulit digerakan.Hanum menghela nafas panjang, menepuk pelan dada agar
Bugh!!Bugh!!Rudi menghantam tembok dengan kepalan tangannya, emosi yang terlalu besar membuat hatinya panas terbakar.Dia merasa terhina, bodoh dan sangat marah dengan keadaan. Andai tubuhnya tidak terkurung, sudah pasti Rissa lah yang menjadi sasaran kemarahannya."Siall!!" maki Rudi dengan geram. Amplop yang ada ditangannya mengumpal diremas secara kasar."Anj**ng!! Perempuan sialan. Sok cantik! Belagu!!" nafas Rudi menggebu-gebu, dilemparnya gumpalan amplop itu kesembarang arah tanpa membaca isi yang ada didalam kertas.Rudi kembali menghantam tangannya dengan tembok, tak peduli dengan rasa sakit dan perih yang menjalar atau darah yang bercucuran keluar dari buku-buku yang ada disela tangannya."Brengsek kamu Rissa ... awas saja kalau aku bebas. Aku cekik batang lehermu!" geram Rudi begitu murka. Kemarahan tergambar jelas disorot matanya."Heh! Berisik!" sentak petugas yang kebetulan lewat didepan sel nya. Mata Rudi mendelik, melotot tajam kearah petugas."Elu yang berisik!" bala
"sayang, anak Bunda." Hella mengulurkan tangan meraih Hamdan yang duduk menangis sesegukan."Kita berobat sekarang ya," lirihnya sambil mengambil gendongan, lalu meraih dompet berwarna pink yang ada diatas kursi, lalu memasukkannya kedalam tas kecil.Hela bertekad akan mencari keberadaan, Rissa. Tapi sebelumnya dia akan kerumah orangtua Rudi, untuk meminta sedikit uang.Yah, memalukan memang. Tapi dia tak punya pilihan. Dari pada anak sakit dan kelaparan, itu jauh lebih menakutkan.Meski baru dua kali menginjakkan kaki dirumah Hanum, Hella dapat mengingat jalan untuk kembali kerumah itu. Hella sudah menguatkan mental, berjaga-jaga jika nanti Hanum akan menyemprotnya dengan kata-kata kasar."Pak, beli obat panas untuk anak dua tahun." ujar Hella didepan apotek. Kebetulan didepan gang kontrakan ada ruko apotek, berjejer dengan toko sembako dan perabotan."Merek apa, Mbak?" tanya laki-laki setengah baya dibelakang etalase."Adanya apa, Pak? Yang murah tapi bagus?" Hella balik bertanya."