Share

5 - Suami?

Pukul tiga dini hari, lebih tiga puluh menit.

Kurang lebih dua jam lagi yang tersisa, menuju pertunjukkan sunrise dan langit California kesukaannya dari atas balkon kamar.

Berrand pun memutuskan memperpanjang waktunya untuk tak tidur, jika sampai nanti terlelap, maka tidak dapat diabadikannya momen sang fajar meninggalkan peraduan.

Prediksi cuaca yang bagus, tanpa mendung, merupakan kesempatan bagus.

Pasti akan dihasilkan pemandangan yang memanjakan mata. Berrand enggan untuk melewatkan.

Kopi menjadi solusi guna mencegah kantuk. Memang tidak benar-benar berhasil hingga seratus persen bekerja dengan baik. Namun, yakin bisa bertahan sampai jam enam nanti.

Berrand pun menikmati peracikan kopinya yang dilakukan seorang diri, walaupun rasa dihasilkan tidak akan sesempurna barista profesional.

Namun, layak diminum. Berrand juga membuat dua buah pancakes seukuran teflon biasa, diisi topping madu.

Bisa saja salah satu pelayannya dibangunkan untuk menyajikan menu tersebut, namun tidak dilakukan.

Berrand menganggap memasak adalah salah satu cara untuk bisa menerima diri sendiri apa adanya, dengan hasil yang tidak perlu sempurna.

Berrand sudah tahu dimana titik lemahnya. Belum ada satu orang pun menyadari. Ia pun tak pernah berniat mengungkap. Akan disimpan seorang diri selamanya.

"Sayang ...,"

Tubuh Berrand seketika menjadi langsung menegang, tak hanya alunan suara serak begitu lembut yang didengarnya. Namun, juga oleh pelukan dari belakang diterima.

"Kau sedang apa di sini?"

Berrand berusaha untuk secepat mungkin menghilangkan keterkejutan. Ia harus segera mengetahui siapa sekiranya sudah berani bersikap seperti padanya.

Berrand menolak dugaan yang muncul di dalam kepala. Soal apa pun yang menyangkut si wanita asing, tidak akan dibiarkan membebani pikirannya.

"Aku mencarimu dari tadi, kemana-mana."

Berrand meraih kedua tangan melingkar di perutnya, kali ini. Dengan gerakan kilat berhasil dilepaskan.

Tentu bersamaan akan badannya yang juga dibalik menghadap wanita itu. Mereka saling berhadap-hadapan.

Berrand kembali dilanda keterkejutan, tepat setelah dapat mengenali jelas sosok tengah berdiri di depannya. Mata membelala dengan begitu lebarnya.

Ternyata benar, si wanita asing.

Kini, benar-benar tengah berada di hadapannya dengan kesedihan tampak jelas pada wajah pucat wanita itu.

Dilihat jelas pula, bagaimana air mata mengalir deras menuruni kedua pipi si wanita asing yang tirus.

Berrand mengurungkan niatan mendorong wanita itu menjauh. Namun, bukan berarti menerima pelukan dari si wanita asing lagi.

Ingin dilepas, tetapi dibatalkan karena isakan tertangkap oleh kedua telinganya kian mengeras. Berrand memilih diam saja, mematung tanpa melakukan apa-apa.

"Aku merindukanmu, Sayang."

Berrand masih belum bergeming, saat menerima rengkuhan pada tubuhnya dari si wanita asing.

Berrand kehilangan kemampuan berpikirnya secara tiba-tiba pula.Tak tahu harus melakukan tindakan apa.

"Jangan pergi terlalu lama. Kau tahu? Aku kesepian."

"Hiks. Kau menyebalkan, Suamiku."

Kerutan di dahi Berrand bertambah. Rasa pening pun semakin besar. Situasi sedang dihadapi terasa diluar kendali.

Bahkan, tak bisa dipahami sama sekali olehnya. Untuk bertindak pun dibutuhkan beberapa pertimbangan.

Suamiku.

Sudah sekian kali Berrand mendengar panggilan tersebut. Dan, membuat dirinya merasa semakin aneh.

Namun, belum bisa ditunjukkan bantahan apa-apa atau menjelaskan pada si wanita asing. Ya, menegaskan bahwa ia bukanlah suami dari siapa pun, termasuk wanita itu.

"Hahahaha."

Kedua telinga Berrand menangkap jelas suara tawa. Tentu dikeluarkan oleh si wanita asing.

Entah apa yang telah membuat wanita itu bisa berekspresi demikian, Berrand tidak terpikirkan sama sekali.

"Haha. Kau tahu? Walau kau menyebalkan, aku sangat mencintaimu, Suamiku. Jadi, aku akan memaafkanmu."

"Tapi, tolong jangan pergi lagi tanpa aku ikut bersama denganmu. Aku tidak bisa menjauh darimu."

Pelukan di antara mereka sudah dilepaskan si wanita asing, harusnya Berrand bisa mengurangi rasa tegang. Namun, tidak demikian, ia justru terbebani dengan gelenyar aneh lainnya.

Apalagi, saat memandang lebih lekat ke dalam iris si wanita asing yang beriris biru, keanehan di hati kian besar.

Logika menyuruh Berrand berhenti berkontak mata dengan si wanita asing, akan tetapi daya magnet sorot teduh yang dipancarkan terlalu berhasil memikat Berrand.

"Aku ingin selalu bersamamu, Suamiku."

Berrand membulatkan mata, saat menyadari bibirnya telah menerima ciuman si wanita asing.

Berrand benar-benar mematung, tak bergerak sama sekali, meski merasakan pagutan lembut di bibirnya.

"Aku sangat mencintaimu. Tolong percayalah."

"Aku ... aku bukan ...." Berrand menggantung perkataan.

"Aku bukan suamimu."

Berrand memandang menerus si wanita asing, ingin dillihat bagaimana reaksi akan ditunjukkan atas pengakuannya.

Mata wanita itu melebar. Namun, senyuman terpamer di wajah belum menampakkan pemudaran.

Butuh beberapa detik menunggu, sampai akhirnya si wanita asing meloloskan tawa dengan kencang.

Berrand yang kali ini dilanda rasa terkejut, tidak disangka si wanita sing akan meresposn dengan cara demikian.

Berrand lebih terkaget lagi, saat wajahnya ditangkup kedua telapak tangan hangay si wanita asing.

"Kau bukan suamiku, ya? Hahaha."

"Baiklah, kau adalah pendamping hidup dari Loura Quinn. Jadi, maknanya berbeda juga bukan?"

"Atau bisa juga diubah menjadi calon ayah dari anak-anak Loura Quinn. Hihi. Terdengar menggemaskan buk—"

Berrand langsung sigap menahan tubuh si wanita asing yang baru diketahui bernama Loura Quinn, wanita itu nyaris saja jatuh karena keseimbangan berdiri terganggu.

"Aku pusing."

Berrand pun segera mengangkat tubuh Loura. "Aku akan membawamu ke kamar. Kau harus beristirahat."

Berrand tak melakukan kontak mata, walau sadar dan sanat tahu Loura Quinn sedang memandangnya lekat.

"Terima kasih, Suamiku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status