Aroma roti panggang dan kopi hitam menyeruak dari dapur, memenuhi setiap sudut rumah besar yang terasa hampa. Matahari pagi menyusup masuk melalui celah tirai, menyinari sebagian kamar yang sejak tadi sudah ia tinggali dalam diam. Rin berdiri di depan cermin, mengenakan blus putih sederhana dan celana bahan yang rapi. Wajahnya tampak tenang, tapi ada semburat kosong yang tak bisa disembunyikan di matanya.
Hari ini, genap tiga tahun usia pernikahannya dengan Reihan. Tapi tak ada ucapan selamat, tak ada kue, yak ada kado, dan yang jelas tak pernah ada perhatian. Yang terdengar saat ini hanya suara gelak tawa dari bawah. Tawa seorang perempuan. Tawa yang sejak setahun lalu mulai sering terdengar di rumah ini. Rin tak perlu menebak siapa, karena ia mengenal suara itu lebih baik dari suara hatinya sendiri. Karina. Rin menahan napas, mencoba mengabaikan. Tapi rasa sesak itu terlalu kuat mencengkram dadanya. Ia berjalan ke arah pintu kamar, membukanya perlahan, dan menuruni tangga. Namun baru beberapa anak tangga, langkahnya terhenti. Karina duduk manja di meja makan, mengenakan pakaian santai berwarna lembut. Tangannya sibuk menyuapi Reihan, yang duduk di seberangnya dengan senyum yang tak pernah Rin lihat sejak mereka menikah. “Coba ini, yang kamu suka,” ucap Karina, suaranya lembut dan memanjakan. Reihan tertawa pelan, lalu menggenggam tangan Karina sebentar, sebelum mengambil roti yang ditawarkan. “Kamu memang selalu tahu seleraku.” Rin berdiri diam. Dada kirinya berdenyut aneh. Ia tahu, ia tak punya hak untuk marah. Karena sejak awal, rumah ini bukan rumahnya. Reihan bukan suaminya—setidaknya bukan dalam artian yang seharusnya. Mereka hanya pasangan di atas kertas, perjanjian yang didikte oleh kepentingan keluarga. Satu tahun lalu, tepat di usia pernikahan kedua mereka yang hambar, Reihan pernah memerintah Rin untuk ke ruang kerja dengan ekspresi dingin. Reihan tak banyak bicara, dengan sikap angkuh dan arogannya, Reihan memperkenalkan seseorang yang duduk di pangkuannya sambil bergelayut manja di dada Reihan. “Ini Karina,” katanya pelan. “Dia mantan tunanganku. Kami masih bersama.” Rin membeku. Reihan melanjutkan, “Tapi nenek tidak boleh tahu. Kalau kamu bisa menjaga rahasia ini, aku tidak akan mengganggumu. Aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan, selama kamu tidak ikut campur hidupku.” Rin hanya mengangguk. Bukan karena ia setuju, tapi karena ia lelah dengan semua hal yang di lalui nya. Sejak awal hingga saat ini, Reihan tak pernah melihatnya dan menganggap keberadaannya. Bahkan saat ia mengenakan gaun pengantin, berdiri di altar sebagai wanita sahnya, Reihan tak pernah menatapnya sebagai istri melainkan sebagai musuh yang menghalangi langkahnya. Dan Karina, entah bagaimana sekarang hidup nyaman di antara mereka dan di dalam rumah yang secara hukum adalah rumah tangga mereka. Langkah Rin kini mundur perlahan. Ia kembali ke atas, mengambil tas kerja serta ponselnya, dan menyiapkan diri untuk pergi ke butik. Sebelum keluar, ia kembali melewati ruang makan dengan pandangan lurus ke depan. Reihan meliriknya sejenak, tapi tak berkata apa pun dan kembali menatap Karina. Karina hanya tersenyum dengan wajah penuh kemengan, seolah tak ada luka yang pernah ditorehkan. Rin hanya menatap dengan tatapan datar dan tak peduli, kemudian melangkah pergi. Hari ini, ia tidak punya waktu untuk terluka.Dengan senyum lebar yang belum pernah Fadel lihat sebelumnya, Reihan melangkah keluar dari sebuah gedung tinggi. Fadel hanya bisa menatap punggung sahabatnya dengan alis berkerut, tak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan mereka. Supir langsung turun, membukakan pintu. Reihan masuk lebih dulu, diikuti Fadel yang masih sibuk menata rasa penasarannya. Di dalam mobil, suasana sempat hening. Fadel akhirnya tak tahan. “Re, bukankah lu agak berlebihan pakai jasa Richard? Dia itu pengacara top, kasus lu kan cuma perceraian,” tanya Fadel heran, menatap sahabatnya yang terlihat santai. Reihan menoleh, hanya membalas dengan senyum tipis. “Lagi pula, yang gugat kan Rin. Harusnya ini bisa cepat kelar, kalian berdua sama-sama mau pisah. Buat apa lu repot-repot?” lanjut Fadel, suaranya terdengar setengah protes. Reihan menatap keluar jendela, seolah menikmati lalu lintas siang itu, sebelum akhirnya menjawab dengan nada pelan tapi penuh
Sabtu yang biasa menjadi hari istirahat bagi Reihan, kali ini terganggu oleh rengekan Karina yang terus memaksanya untuk menemaninya ke pesta kuliner yang tengah diselenggarakan di pusat kota. Karina tampak bahagia di tengah keramaian, matanya berbinar saat mencicipi makanan dan memotret suasana. Tapi tidak dengan Reihan yang justru merasa asing, seperti orang yang tersesat di tengah kerumunan.Hingga pandangannya tertuju pada sosok yang sangat familiar.Rin.Spontan, langkah Reihan bergerak tanpa sadar. Ia hendak menghampiri, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Rin tertawa , terlihat begitu bahagia bersama seorang laki-laki. Dan pemandangan itu semakin menusuk ketika pria itu membelai rambut Rin dengan lembut.Tanpa pikir panjang, Reihan melangkah cepat dan langsung menarik lengan Rin dengan kasar.Rin terkejut dan meringis kesakitan. "Reihan! Sakit!" serunya."Oh, jadi ini alasan kamu pergi dari rumah? Supaya bisa bebas pacaran sama lak
Seminggu sudah berlalu sejak Rin meninggalkan rumah. Namun, ketegangan antara Reihan dan sang nenek, Ny. Atika, belum juga mereda. Suasana makan malam keluarga malam itu pun tak jauh berbeda, datar, canggung, dan penuh dengan percikan emosi yang tersembunyi.Ny. Atika meletakkan sendok dengan pelan, namun tajamnya sorot mata dan nada sarkastisnya lebih menusuk daripada dentingan peraknya di piring. "Sudah seminggu istrimu pergi, dan kamu masih bisa makan dengan wajah setenang itu, Reihan? Jangan-jangan kamu memang bersyukur dia pergi.”Reihan tak menunjukkan perubahan ekspresi. Ia tetap duduk tenang, menyuap makanannya seolah tak ada yang salah. “Dia pergi atas keinginannya sendiri, Nek. Bukan karena aku usir. Kalau masalah perceraian yang nenek maksud, tenang saja, aku akan mengurusnya secepat mungkin.”Ucapan itu sontak menyulut bara. Ny. Atika membentak sambil memukul meja dengan telapak tangannya. “Tidak! Kamu tidak bisa menceraikannya! Kalau kamu tetap memaksa, itu sama saja k
Reihan tengah memeriksa tumpukan dokumen di atas mejanya. Garis kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap memaksa diri untuk fokus. Ketika suasana mulai sedikit tenang, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Fadel masuk begitu saja tanpa mengetuk, seolah ruangan itu adalah miliknya sendiri.Reihan langsung mendongak dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan tidak senang. “Setidaknya, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya. “Kita memang sahabat, tapi sekarang masih jam kerja.”Fadel hanya terkekeh sambil menjatuhkan diri di sofa dengan santai. “Lucu ya. Yang ngomong soal sopan santun kerja ini adalah orang yang semalam ganggu waktu istirahat orang lain gara-gara mabuk berat dan nggak bisa pulang sendiri.”Reihan mendesah, lalu menutup dokumen yang tengah ia baca. “Kalau lo datang ke sini cuma buat ngeledek soal semalam, maaf, gue sedang sibuk. Tapi kalau lo mau bahas urusan bisnis, kita bisa atur jadwal ulang.”Alih-alih tersinggung, Fadel justru tersenyum lebar dengan sorot m
Jam hampir menunjukkan pukul satu dini hari ketika ponsel Fadel berdering di atas nakas. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya meraba-raba mencari sumber suara. Setelah berhasil meraihnya, ia menjawab panggilan itu dengan suara serak."Halo?"Suara musik yang keras langsung terdengar dari seberang, disusul suara seorang pria asing yang terdengar tergesa."Halo, ini kerabat pemilik ponsel ini? Orangnya sedang mabuk berat. Bisa tolong jemput sekarang? Soalnya dia sudah mulai membuat tamu lain merasa tidak nyaman."Sekejap, rasa kantuk Fadel menguap. Ia langsung terduduk di atas ranjang dan mengumpat pelan.“Sialan... Reihan.”
Karina berdiri di depan etalase sebuah toko tas mewah. Matanya menyisir satu per satu koleksi terbaru yang dipajang rapi, sementara jemarinya menunjuk tas-tas yang menarik perhatiannya. Sesekali, tawanya terdengar renyah saat ia berbicara dengan pelayan toko, ringan, penuh percaya diri, seperti dunia hanya berputar untuknya.Di sampingnya, Reihan berdiri diam. Wajahnya datar, pandangannya kosong. Jelas pikirannya tidak berada di tempat itu."Yang ini lucu ya, Han?" Karina menoleh, menunjukkan sebuah tas berwarna merah marun yang mencolok. Namun Reihan hanya melirik sekilas dan tidak menjawab. Karina mendengus pelan, tak puas dengan respons hambar itu.Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari belakang, dan dalam hitungan detik....Plak!Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Reihan.Karina terkejut, begitu pula para pegawai toko yang menyaksikan kejadian itu. Reihan hanya diam, refleks menyentuh pipinya yang memerah. Di hadapannya berdiri Ny. Atika, neneknya, dengan wajah murka da