Sudah beberapa hari terakhir tubuh Rin terasa tak karuan. Mual di pagi hari, kepala terasa berat, dan tubuhnya lemas tanpa sebab. Ia sempat mengira itu hanya kelelahan biasa karena terlalu banyak menghabiskan waktu di butik. Namun saat tubuhnya terasa semakin melemah dan jadwal menstruasinya telat lebih dari seminggu, Rin mulai curiga.
Pagi itu, diam-diam ia pergi ke klinik tanpa memberitahu siapa pun. Bahkan Ibu Darmi, pembantu di rumah, hanya tahu kalau Rin ingin membeli keperluan butik. Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan, apalagi jika hal yang ia takutkan benar. Dokter wanita paruh baya menyambutnya dengan senyum lembut. Pemeriksaan berjalan cukup cepat. Setelah tes urin dilakukan, dokter meminta Rin untuk melakukan USG untuk memastikan. "Selamat, Bu Rin. Anda sedang hamil dua bulan," kata dokter itu, menunjuk layar kecil di depannya. Terlihat titik kecil berdetak lemah tapi pasti. "Detak jantung janin sudah terdengar. Tapi karena ini awal kehamilan, Anda harus sangat berhati-hati. Jangan terlalu lelah, jangan stres, dan perbanyak istirahat." Rin hanya diam. Bibirnya bergetar mencoba menahan luapan emosi yang tak tertahankan. Hamil? Seharusnya ia bahagia, bukan? Tapi yang ada justru rasa takut menyergapnya. Napasnya tersengal, tangan bergetar memegang hasil USG. "Dok... kalau saya mengalami tekanan atau stres, itu bisa memengaruhi janin, kan?" tanyanya pelan. Dokter mengangguk. "Bisa, apalagi di usia kandungan muda seperti ini. Apa ada masalah di rumah?" Rin tersenyum kecil, menyembunyikan luka yang terlalu dalam untuk diceritakan. "Tidak, saya hanya... kaget." --- Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya tak berhenti berputar. Dalam genggamannya, amplop berisi hasil tes itu terasa berat seperti beban yang menyesakkan dadanya. Ia ingin menjaga kandungannya. Anak ini satu-satunya hal yang terasa hidup di tengah kehampaan yang ia rasakan selama ini. Namun... bagaimana jika Reihan tahu? Bayangan wajah suaminya yang dingin langsung muncul. Bukan hanya tak mencintainya, Reihan bahkan menyentuhnya hanya sekali itu pun karna Reihan sedang mabuk. Rin yakin, jika Reihan tahu soal kehamilan ini, ia tak akan bahagia. Mungkin malah akan memintanya menggugurkannya. Sesampainya di rumah, Rin menyembunyikan hasil tes di antara tumpukan kain di kamar jahitnya. Hatinya berat. Ia tahu tak bisa menyembunyikan ini selamanya. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin melindungi anaknya—meskipun itu berarti harus menanggung semuanya sendiri. --- Malam menjelang. Rin duduk di ruang makan, menyentuh gelas teh yang sudah dingin. Pintu depan terdengar dibuka dengan kasar, disusul suara langkah kaki cepat. Reihan pulang. Rin menoleh, namun pria itu bahkan tak melirik ke arahnya. Wajahnya gelap, matanya tajam. “Rin!” suara Reihan memecah keheningan. “Kapan kamu berhenti berpura-pura jadi istri yang baik?! Aku sudah muak!” Rin terdiam. Ia sudah terbiasa disalahkan atas hal yang bahkan tak ia pahami. “Aku akan ajukan perceraian minggu depan. Kamu dengar itu?” lanjut Reihan, melempar jaketnya ke sofa. Rin menelan ludah. Tangannya refleks menyentuh perut. “Reihan… bisakah kita bicara baik-baik?” “Tak ada yang perlu dibicarakan!” bentaknya sebelum masuk ke kamar tamu dan membanting pintunya. Air mata Rin jatuh. Ia ingin marah. Ingin berteriak bahwa ia tengah mengandung anaknya. Tapi bibirnya terlalu lemah untuk mengatakan semua itu. Hatinya terlalu takut akan kemungkinan bahwa Reihan akan menyuruhnya mengakhiri kehidupan kecil dalam rahimnya. “Bu Rin…” suara Ibu Darmi dari arah tangga mengagetkannya. “Kalau Reihan sedang seperti itu, Ibu istirahat saja dulu. Biar saya yang urus semuanya.” Rin mengangguk pelan. Ia bangkit, melangkah menuju kamarnya dengan napas berat. Saat berbaring, ia membelai perutnya. Air mata masih mengalir, tapi dalam hati ia berjanji: Apa pun yang terjadi, Ibu akan melindungimu... Nak. ---Lorong ICU itu seakan menelan seluruh cahaya. Bau obat-obatan menusuk hidung, bercampur dengan hawa dingin yang membuat siapa pun merasa ngeri. Detik jam dinding terdengar begitu lambat, seakan menyiksa siapa pun yang menunggu di sana.Begitu langkah Reihan terdengar, suasana yang semula hening langsung pecah. Nenek Atika, wanita tua yang sejak tadi hanya bisa berdoa sambil menggenggam tas kecil di pangkuannya, mendadak berdiri. Matanya sembab, wajahnya pucat, tapi amarahnya berkobar.“Dasar bajingan!” serunya, tangan keriputnya menampar keras wajah Reihan. Plak! Suaranya bergema, memecah lorong sunyi itu. “Untuk apa kamu datang ke sini, hah? Setelah semua yang kamu lakukan pada Rin, kamu masih punya muka untuk berdiri di sini?”“Ma, tolong jangan terlalu emosi.” Nyonya Dhea buru-buru meraih lengan mertuanya. Suaranya bergetar, matanya berkaca-kaca. “Kesehatan Mama bisa drop kalau Mama terus-terusan marah.”Tuan Randi ikut bangkit. Sorot matanya tajam menembus putranya sendiri. “Reiha
Darren baru saja keluar dari ruang inap pasien, menatap daftar rekam medis di tangannya. Malam itu, ia memang mengambil jadwal jaga. Meskipun bukan jam visit resmi, Darren selalu menyempatkan memeriksa pasien satu per satu itulah yang membuatnya dikenal sebagai dokter muda penuh perhatian.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Layar menampilkan pesan singkat dari suster jaga IGD. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat, dadanya terasa sesak. Wajahnya menegang, seolah udara di sekelilingnya tiba-tiba menipis.Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju Instalasi Gawat Darurat. Sepatu ketsnya bergemuruh di lantai dingin, gema setiap langkah menambah ketegangan di dadanya.Begitu tiba, seorang perawat menyambutnya dengan wajah lega. “Syukurlah, ada Dokter Darren…”“Mana dokter jaga?” potong Darren, nada suaranya tegas dan tergesa, mata menyapu ruangan mencari siapa pun yang seharusnya bertanggung jawab.Perawat itu menunduk, bibir gemetar. “Maaf, Dok, mereka nggak ngasih info mau kemana dan dihubun
Dengan senyum lebar yang belum pernah Fadel lihat sebelumnya, Reihan melangkah keluar dari sebuah gedung tinggi. Fadel hanya bisa menatap punggung sahabatnya dengan alis berkerut, tak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan mereka. Supir langsung turun, membukakan pintu. Reihan masuk lebih dulu, diikuti Fadel yang masih sibuk menata rasa penasarannya. Di dalam mobil, suasana sempat hening. Fadel akhirnya tak tahan. “Re, bukankah lu agak berlebihan pakai jasa Richard? Dia itu pengacara top, kasus lu kan cuma perceraian,” tanya Fadel heran, menatap sahabatnya yang terlihat santai. Reihan menoleh, hanya membalas dengan senyum tipis. “Lagi pula, yang gugat kan Rin. Harusnya ini bisa cepat kelar, kalian berdua sama-sama mau pisah. Buat apa lu repot-repot?” lanjut Fadel, suaranya terdengar setengah protes. Reihan menatap keluar jendela, seolah menikmati lalu lintas siang itu, sebelum akhirnya menjawab dengan nada pelan tapi penuh
Sabtu yang biasa menjadi hari istirahat bagi Reihan, kali ini terganggu oleh rengekan Karina yang terus memaksanya untuk menemaninya ke pesta kuliner yang tengah diselenggarakan di pusat kota. Karina tampak bahagia di tengah keramaian, matanya berbinar saat mencicipi makanan dan memotret suasana. Tapi tidak dengan Reihan yang justru merasa asing, seperti orang yang tersesat di tengah kerumunan.Hingga pandangannya tertuju pada sosok yang sangat familiar.Rin.Spontan, langkah Reihan bergerak tanpa sadar. Ia hendak menghampiri, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Rin tertawa , terlihat begitu bahagia bersama seorang laki-laki. Dan pemandangan itu semakin menusuk ketika pria itu membelai rambut Rin dengan lembut.Tanpa pikir panjang, Reihan melangkah cepat dan langsung menarik lengan Rin dengan kasar.Rin terkejut dan meringis kesakitan. "Reihan! Sakit!" serunya."Oh, jadi ini alasan kamu pergi dari rumah? Supaya bisa bebas pacaran sama lak
Seminggu sudah berlalu sejak Rin meninggalkan rumah. Namun, ketegangan antara Reihan dan sang nenek, Ny. Atika, belum juga mereda. Suasana makan malam keluarga malam itu pun tak jauh berbeda, datar, canggung, dan penuh dengan percikan emosi yang tersembunyi.Ny. Atika meletakkan sendok dengan pelan, namun tajamnya sorot mata dan nada sarkastisnya lebih menusuk daripada dentingan peraknya di piring. "Sudah seminggu istrimu pergi, dan kamu masih bisa makan dengan wajah setenang itu, Reihan? Jangan-jangan kamu memang bersyukur dia pergi.”Reihan tak menunjukkan perubahan ekspresi. Ia tetap duduk tenang, menyuap makanannya seolah tak ada yang salah. “Dia pergi atas keinginannya sendiri, Nek. Bukan karena aku usir. Kalau masalah perceraian yang nenek maksud, tenang saja, aku akan mengurusnya secepat mungkin.”Ucapan itu sontak menyulut bara. Ny. Atika membentak sambil memukul meja dengan telapak tangannya. “Tidak! Kamu tidak bisa menceraikannya! Kalau kamu tetap memaksa, itu sama saja k
Reihan tengah memeriksa tumpukan dokumen di atas mejanya. Garis kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap memaksa diri untuk fokus. Ketika suasana mulai sedikit tenang, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Fadel masuk begitu saja tanpa mengetuk, seolah ruangan itu adalah miliknya sendiri.Reihan langsung mendongak dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan tidak senang. “Setidaknya, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya. “Kita memang sahabat, tapi sekarang masih jam kerja.”Fadel hanya terkekeh sambil menjatuhkan diri di sofa dengan santai. “Lucu ya. Yang ngomong soal sopan santun kerja ini adalah orang yang semalam ganggu waktu istirahat orang lain gara-gara mabuk berat dan nggak bisa pulang sendiri.”Reihan mendesah, lalu menutup dokumen yang tengah ia baca. “Kalau lo datang ke sini cuma buat ngeledek soal semalam, maaf, gue sedang sibuk. Tapi kalau lo mau bahas urusan bisnis, kita bisa atur jadwal ulang.”Alih-alih tersinggung, Fadel justru tersenyum lebar dengan sorot m