Share

BAB 2

Author: Izumi chouka
last update Last Updated: 2025-04-23 10:33:22

Sudah beberapa hari terakhir tubuh Rin terasa tak karuan. Mual di pagi hari, kepala terasa berat, dan tubuhnya lemas tanpa sebab. Ia sempat mengira itu hanya kelelahan biasa karena terlalu banyak menghabiskan waktu di butik. Namun saat tubuhnya terasa semakin melemah dan jadwal menstruasinya telat lebih dari seminggu, Rin mulai curiga.

Pagi itu, diam-diam ia pergi ke klinik tanpa memberitahu siapa pun. Bahkan Ibu Darmi, pembantu di rumah, hanya tahu kalau Rin ingin membeli keperluan butik. Ia tak ingin menimbulkan kecurigaan, apalagi jika hal yang ia takutkan benar.

Dokter wanita paruh baya menyambutnya dengan senyum lembut. Pemeriksaan berjalan cukup cepat. Setelah tes urin dilakukan, dokter meminta Rin untuk melakukan USG untuk memastikan.

"Selamat, Bu Rin. Anda sedang hamil dua bulan," kata dokter itu, menunjuk layar kecil di depannya. Terlihat titik kecil berdetak lemah tapi pasti. "Detak jantung janin sudah terdengar. Tapi karena ini awal kehamilan, Anda harus sangat berhati-hati. Jangan terlalu lelah, jangan stres, dan perbanyak istirahat."

Rin hanya diam. Bibirnya bergetar mencoba menahan luapan emosi yang tak tertahankan. Hamil? Seharusnya ia bahagia, bukan? Tapi yang ada justru rasa takut menyergapnya. Napasnya tersengal, tangan bergetar memegang hasil USG.

"Dok... kalau saya mengalami tekanan atau stres, itu bisa memengaruhi janin, kan?" tanyanya pelan.

Dokter mengangguk. "Bisa, apalagi di usia kandungan muda seperti ini. Apa ada masalah di rumah?"

Rin tersenyum kecil, menyembunyikan luka yang terlalu dalam untuk diceritakan. "Tidak, saya hanya... kaget."

---

Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya tak berhenti berputar. Dalam genggamannya, amplop berisi hasil tes itu terasa berat seperti beban yang menyesakkan dadanya. Ia ingin menjaga kandungannya. Anak ini satu-satunya hal yang terasa hidup di tengah kehampaan yang ia rasakan selama ini. Namun... bagaimana jika Reihan tahu?

Bayangan wajah suaminya yang dingin langsung muncul. Bukan hanya tak mencintainya, Reihan bahkan menyentuhnya hanya sekali itu pun karna Reihan sedang mabuk. Rin yakin, jika Reihan tahu soal kehamilan ini, ia tak akan bahagia. Mungkin malah akan memintanya menggugurkannya.

Sesampainya di rumah, Rin menyembunyikan hasil tes di antara tumpukan kain di kamar jahitnya. Hatinya berat. Ia tahu tak bisa menyembunyikan ini selamanya. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin melindungi anaknya—meskipun itu berarti harus menanggung semuanya sendiri.

---

Malam menjelang. Rin duduk di ruang makan, menyentuh gelas teh yang sudah dingin. Pintu depan terdengar dibuka dengan kasar, disusul suara langkah kaki cepat. Reihan pulang. Rin menoleh, namun pria itu bahkan tak melirik ke arahnya. Wajahnya gelap, matanya tajam.

“Rin!” suara Reihan memecah keheningan. “Kapan kamu berhenti berpura-pura jadi istri yang baik?! Aku sudah muak!”

Rin terdiam. Ia sudah terbiasa disalahkan atas hal yang bahkan tak ia pahami.

“Aku akan ajukan perceraian minggu depan. Kamu dengar itu?” lanjut Reihan, melempar jaketnya ke sofa.

Rin menelan ludah. Tangannya refleks menyentuh perut. “Reihan… bisakah kita bicara baik-baik?”

“Tak ada yang perlu dibicarakan!” bentaknya sebelum masuk ke kamar tamu dan membanting pintunya.

Air mata Rin jatuh. Ia ingin marah. Ingin berteriak bahwa ia tengah mengandung anaknya. Tapi bibirnya terlalu lemah untuk mengatakan semua itu. Hatinya terlalu takut akan kemungkinan bahwa Reihan akan menyuruhnya mengakhiri kehidupan kecil dalam rahimnya.

“Bu Rin…” suara Ibu Darmi dari arah tangga mengagetkannya. “Kalau Reihan sedang seperti itu, Ibu istirahat saja dulu. Biar saya yang urus semuanya.”

Rin mengangguk pelan. Ia bangkit, melangkah menuju kamarnya dengan napas berat. Saat berbaring, ia membelai perutnya. Air mata masih mengalir, tapi dalam hati ia berjanji: Apa pun yang terjadi, Ibu akan melindungimu... Nak.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 12

    Sudah satu hari berlalu sejak Rin pergi dan menandatangani surat cerai itu. Tapi buat Reihan, waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Sepi. Hampa. Sejak pagi, tak ada kabar dari Rin. Pesan yang ia kirim belum juga dibalas. Hanya centang dua. Tidak dibaca. Tidak dijawab. Reihan duduk di balik kemudi, tapi pikirannya tidak berada di jalan. Ia hanya tahu satu hal: dia ingin melihat Rin. Ingin mendengar penjelasan. Ingin tahu alasan Rin pergi begitu saja. Mobil Reihan berhenti di depan gedung butik yang dulu ia bantu bangun untuk Rin. Awalnya hanya permintaan ringan—Rin bilang dia butuh kesibukan, supaya tidak terus-menerus terkurung di rumah yang dingin itu. Maka Reihan membuatkannya butik. Tempat di mana Rin bisa menumpahkan kreativitas dan sedikit kebahagiaannya. Tapi hari ini, gerbang butik itu terkunci rapat. Lampu padam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Reihan turun dari mobil dan berdiri di depan pintu kaca. Di balik pantulan dirinya sendiri, dia bisa melihat ru

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 11

    Suasana restoran siang itu sebenarnya tenang, dengan alunan musik lembut yang mengalir dari sudut ruangan. Namun, di meja pojok yang dipesan Karina, suasana justru sebaliknya. Reihan tampak tidak tenang. Tatapannya terus-menerus tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di samping piringnya. Ibu jarinya sesekali menyentuh layar, membuka pesan, lalu menutupnya lagi. Begitu terus, seperti sedang menunggu sesuatu. Karina mengaduk sup di depannya, lalu mendesah pelan, menyembunyikan kekesalan yang mulai naik ke permukaan. "Reihan," panggilnya manja, berusaha menarik perhatian. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi kelihatan nggak fokus." Reihan mengangkat kepalanya sejenak, lalu kembali menatap ponsel. Kali ini dia membuka pesan terakhirnya—pesan yang ia kirim untuk Rin pagi tadi. "Kita perlu bicara. Pulang." Tapi sampai sekarang, tak ada balasan. Hanya dua centang. Dingin. Diam. “Rin sudah tanda tangan surat cerai,” ucap Reihan akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Karina membelalakkan ma

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 10

    Mentari sudah tinggi saat Reihan akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Masih mengenakan piyama, rambutnya acak-acakan, dan mata sedikit sembab karena kelelahan setelah perjalanan dinas dari luar kota. Langkah kakinya malas namun mantap menuju ruang makan, berharap menemukan sedikit ketenangan di pagi yang terlambat ini. Di atas meja, ada secangkir kopi hitam yang masih hangat. Aroma robusta menyentuh indra penciumannya, cukup untuk membangunkan pikirannya yang masih mengawang. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan meminum kopi itu dalam diam. Beberapa saat kemudian, dia memanggil, “Mbak Sari... Rin mana?” Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah itu sejak awal pernikahan mereka, muncul dari dapur sambil membawa lap tangan. Wajahnya tampak ragu, seolah menyimpan sesuatu yang enggan ia sampaikan. “Ny. Rin… pagi-pagi sekali sudah pergi, Mas,” jawabnya dengan suara pelan. Reihan mengernyit, meletakkan cangkirnya. “Pergi? Ke mana?” Alih-alih menjawab, Mbak Sari menyerahk

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 9

    Langit telah menggelap, menyisakan bayang-bayang lampu jalan yang sesekali menyorot trotoar yang sepi. Sebuah mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan gerbang rumah dua lantai yang tampak tenang dari luar. Rin membuka pintu, mengucapkan terima kasih singkat pada Jacob, lalu melangkah keluar.Angin malam menyambut tubuhnya yang lelah saat ia masuk melewati pagar, membuka pintu rumah yang sudah ia tinggali selama tiga tahun terakhir—rumah yang sepi, sunyi, dan dingin. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan hangat, hanya lorong-lorong kosong dan dinding-dinding yang seperti tak pernah mendengar kata cinta.Begitu masuk, Rin mengganti sepatunya dan berjalan langsung menuju kamar. Rutinitas yang sudah seperti kebiasaan. Ia membersihkan diri, mengganti bajunya dengan piyama longgar, lalu duduk diam di depan meja rias.Tatapannya kosong. Pantulan dirinya di cermin seperti sosok asing—mata sembab, wajah pucat, dan bahu yang tampak lelah. Semua terasa berat. Terlalu berat.Tanpa sengaj

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 8

    Jarum jam masih menunjuk pukul tujuh kurang ketika mobil Jacob melaju pelan di jalanan kota yang mulai ramai oleh orang-orang yang hendak beraktivitas. Di kursi penumpang, Rin awalnya berniat pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba, ia berubah pikiran.“Jak… bisa anterin aku ke butik aja?” katanya lirih.Jacob menoleh sekilas. “Kamu yakin nggak mau langsung pulang?”Rin menggeleng lemah. “Aku cuma... belum siap pulang. Lagipula, aku ada beberapa hal yang harus diberesin.”Jacob mengangguk dan mengarahkan mobil ke jalan menuju butik. Namun, begitu mobil berhenti di depan butik dan Rin hendak turun, tubuhnya mendadak limbung. Tanpa aba-aba, Rin jatuh pingsan tepat di sisi mobil.“Rin!” Jacob panik. Ia langsung keluar, menangkap tubuh Rin sebelum sepenuhnya menyentuh tanah. Nafasnya tercekat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat Rin kembali ke dalam mobil dan memacu kendaraan menuju rumah sakit terdekat.---Setelah pemeriksaan selesai, Jacob duduk cemas di ruang tunggu. Tak lama, dokter keluar d

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 7

    Malam sudah larut ketika Rin sampai di rumah. Suasana tenang menyambutnya, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menggema di antara keheningan ruang tamu. Ia membuka pintu dengan perlahan, berharap tak perlu berinteraksi dengan siapa pun malam ini. Tapi harapannya pupus saat matanya menangkap sosok Reihan yang tengah duduk santai di sofa, kaki disilangkan, tangan memegang buku, dan secangkir kopi yang sudah tinggal separuh.Tatapan mereka bertemu sejenak. Rin buru-buru memalingkan wajah dan melangkah cepat menuju tangga.“Dari mana saja kamu?” tanya Reihan tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.Rin diam. Kakinya tetap melangkah, meski dalam hati ia tahu pertanyaan itu tak akan berhenti di situ.“Rin!” suara Reihan meninggi. “Sudah malam begini baru pulang. Jangan diam saja!”Langkah Rin terhenti. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku dari rumah Nenek Atika.”Reihan menutup bukunya dan berdiri, menghampiri Rin dengan langkah berat. Di tangannya kini t

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 6

    Siang itu, Rin duduk di sudut restoran yang cukup tenang dengan interior elegan dan pencahayaan lembut. Ia tengah menunggu klien barunya, seorang pebisnis muda yang tertarik bekerja sama dengan butiknya. Dengan sikap profesional, Rin mengecek ulang presentasi desain yang akan ditawarkannya. Tak lama, seorang pria berjas datang menghampiri. Wajahnya ramah dan senyumnya menyenangkan. "Maaf menunggu, saya Arvin," katanya sambil mengulurkan tangan. Rin menyambutnya dengan senyum sopan. Tapi senyum itu memudar seketika ketika ia melihat sosok yang berjalan di belakang Arvin. Jacob. Rin menatapnya dengan ekspresi terkejut, sementara Jacob hanya mengangkat alis, menyapa dengan santai, “Kita bertemu lagi, Rin.” Ternyata, Arvin adalah sahabat dekat Jacob. Ia pun menjelaskan bahwa Jacob kebetulan bersamanya saat ia sedang membaca profil butik milik Rin, dan Jacob langsung menyarankan untuk bertemu langsung. “Kau cukup terkenal di antara desainer butik, jadi aku bilang ke Arvin, dia harus co

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 5

    Langit mulai gelap saat Reihan memarkir mobilnya di halaman rumah. Hari ini entah kenapa dia merasa ingin pulang lebih awal. Biasanya dia menghabiskan waktu lebih lama di kantor atau bertemu Karina, tapi sore ini ada rasa gelisah yang tak bisa ia jelaskan. Langkahnya berat saat memasuki rumah. Sepi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar. Reihan meletakkan jasnya di sandaran kursi, melonggarkan dasi, lalu berjalan menuju ruang makan. Di meja sudah terhidang makanan. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan mulai menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya. Satu suapan. Dahi Reihan langsung mengernyit. Suapan kedua. Raut wajahnya berubah menjadi tak sabar. “Mbak!” serunya tiba-tiba, meletakkan sendok dengan suara keras. “Mbak Sari!” Asisten rumah tangga itu muncul dari arah dapur dengan raut wajah panik. “Iya, Tuan?” “Apa ini?” Reihan menunjuk piring di hadapannya. “Kenapa rasanya hambar? Bahkan sambalnya pun aneh. Kamu baru masak ya?” Dengan ragu, Mbak Sari menjawab, “Maaf, Tuan

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 4

    Karina memasuki kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Hari itu, ia sudah cukup sabar menunggu, namun rasa sabarnya hampir habis. Reihan yang sedang duduk di meja kerjanya menatapnya dengan ekspresi datar, menyadari bahwa Karina datang untuk menuntut hal yang sudah lama ia tunda. “Reihan,” Karina memulai dengan nada yang tegas, “kapan kamu akan menepati janji kita?” Reihan menatap Karina dengan pandangan lelah, seolah-olah sudah tahu apa yang akan diucapkannya. “Janji apa, Karina?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Suasana kantor yang tenang seakan mendukung suasana hati Reihan yang mulai terkikis habis oleh konflik-konflik yang semakin rumit. “Janji tentang perceraian Rin,” Karina menyebutkan nama itu dengan suara dingin. “Kamu berjanji akan menceraikan dia, Reihan. Aku tidak bisa terus menunggu. Aku tidak akan jadi wanita kedua dalam hidupmu, dan kamu tahu itu.” Reihan menarik napas panjang, mengusap wajahnya sejenak.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status