Pagi itu, aroma kopi dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah. Tapi bukannya menyambut pagi dengan semangat seperti biasanya, Rin justru terduduk lemas di kamar mandi. Tubuhnya berkeringat dingin, dan perutnya kembali bergejolak. Ia buru-buru memeluk toilet, memuntahkan isi perutnya dengan napas terengah.
Sudah beberapa hari seperti ini. Mual di pagi hari, tubuh lemas, dan jantungnya selalu berdegup lebih cepat setiap mendengar langkah kaki Reihan di rumah. Pintu kamar mandi terbuka. Reihan berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan ekspresi dingin yang sama—tatapan yang sudah terlalu akrab bagi Rin. “Drama apalagi pagi ini?” tanya Reihan tanpa menutupi kekesalannya. Rin menoleh lemah, menyeka sudut bibirnya dengan tisu. “Aku hanya tidak enak badan.” Reihan mendengus. “Kau selalu punya cara untuk menarik perhatian. Tapi hentikan. Aku lelah dengan semua pura-pura ini.” Rin tak menjawab. Ia tahu, menjelaskan pun tidak akan mengubah apapun. Reihan sudah menutup telinganya sejak lama. Bagi pria itu, semua yang ia lakukan hanyalah upaya menjatuhkan harga dirinya. Sebelum pergi, Reihan sempat berbalik dan berkata, “Nanti malam ikut ke makan malam ulang tahun Nenek. Jangan macam-macam di sana. Kau tahu dia sangat menyayangimu.” --- Malamnya, rumah keluarga besar Reihan dipenuhi tawa dan candaan. Meja makan panjang itu dipenuhi hidangan istimewa, dan di ujungnya duduk Nenek Reihan yang tampak anggun dengan rambut putih yang disanggul rapi. Semua berjalan baik hingga salah satu tante Reihan mulai melontarkan pertanyaan yang sudah lama ditahan-tahan. “Rin, sudah tiga tahun menikah, ya? Kapan mau kasih kami cucu?” Senyum Rin membeku. Reihan, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Matanya tertuju ke gelas anggur, pura-pura tak mendengar. “Jangan-jangan Reihan yang bermasalah?” celetuk seorang sepupu, disambut tawa kecil yang menyebalkan. “Reihan, jangan-jangan kamu terlalu sibuk sampai lupa tugas suami?” sahut yang lain. Nenek Reihan ikut angkat bicara, “Kamu itu cucu laki-laki satu-satunya. Masa tak bisa berikan aku cicit? Jangan bilang kamu...” “Nek,” potong Rin tiba-tiba. Semua mata tertuju padanya. “Yang bermasalah bukan Reihan,” katanya tegas. “Aku yang tidak bisa hamil.” Ruang makan langsung senyap. Tangan-tangan yang semula sibuk dengan sendok dan garpu kini terhenti. Reihan menoleh pelan, wajahnya sulit dibaca. Rin menatap semua orang satu per satu, lalu tersenyum kecil. “Jadi kalau kalian mau menyalahkan seseorang, salahkan aku saja.” Nenek Reihan tampak terkejut, lalu menghela napas dan menggenggam tangan Rin. “Kamu tetap cucu menantuku, Rin. Jangan pernah merasa sendirian.” --- Perjalanan pulang di dalam mobil dipenuhi keheningan yang tegang. Jalanan gelap, tapi wajah Reihan lebih gelap dari malam itu sendiri. Ia menghentikan mobil di pinggir jalan, lalu menoleh tajam ke arah Rin. “Kenapa kau lakukan itu?” tanyanya dingin. Rin menoleh tenang. “Lakukan apa?” “Berakting menyalahkan dirimu di depan keluargaku? Mencari simpati? Menjatuhkan aku secara halus?” Rin tersenyum sinis. “Oh, jadi bagimu itu menjatuhkan, ya?” Reihan mengepalkan tangan di kemudi. “Jangan bermain cantik, Rin. Aku tahu semua triknya.” “Aku hanya mempermudah jalanmu,” kata Rin, menoleh ke jendela. “Bukankah itu alasan yang bagus untuk menceraikanku? Istrimu mandul. Tak bisa melahirkan anak. Harusnya kau bahagia.” Reihan menatapnya lama. Ada emosi yang berkelebat di matanya—entah marah, bingung, atau mungkin... takut. Tapi seperti biasa, ia memilih diam. Menyalakan mesin dan kembali melajukan mobil tanpa berkata-kata. Di balik senyumnya yang tenang, Rin menggenggam erat perutnya. Hatinya sakit, bukan karena ucapan Reihan, tapi karena ia harus menyembunyikan kebenaran. Ia tidak mandul. Ia sedang mengandung. Tapi lebih baik seluruh dunia menganggapnya mandul, daripada kehilangan satu-satunya harapan kecil dalam hidupnya. ---Dengan senyum lebar yang belum pernah Fadel lihat sebelumnya, Reihan melangkah keluar dari sebuah gedung tinggi. Fadel hanya bisa menatap punggung sahabatnya dengan alis berkerut, tak habis pikir apa yang sebenarnya terjadi. Tak lama, sebuah sedan hitam berhenti di hadapan mereka. Supir langsung turun, membukakan pintu. Reihan masuk lebih dulu, diikuti Fadel yang masih sibuk menata rasa penasarannya. Di dalam mobil, suasana sempat hening. Fadel akhirnya tak tahan. “Re, bukankah lu agak berlebihan pakai jasa Richard? Dia itu pengacara top, kasus lu kan cuma perceraian,” tanya Fadel heran, menatap sahabatnya yang terlihat santai. Reihan menoleh, hanya membalas dengan senyum tipis. “Lagi pula, yang gugat kan Rin. Harusnya ini bisa cepat kelar, kalian berdua sama-sama mau pisah. Buat apa lu repot-repot?” lanjut Fadel, suaranya terdengar setengah protes. Reihan menatap keluar jendela, seolah menikmati lalu lintas siang itu, sebelum akhirnya menjawab dengan nada pelan tapi penuh
Sabtu yang biasa menjadi hari istirahat bagi Reihan, kali ini terganggu oleh rengekan Karina yang terus memaksanya untuk menemaninya ke pesta kuliner yang tengah diselenggarakan di pusat kota. Karina tampak bahagia di tengah keramaian, matanya berbinar saat mencicipi makanan dan memotret suasana. Tapi tidak dengan Reihan yang justru merasa asing, seperti orang yang tersesat di tengah kerumunan.Hingga pandangannya tertuju pada sosok yang sangat familiar.Rin.Spontan, langkah Reihan bergerak tanpa sadar. Ia hendak menghampiri, namun langkahnya terhenti saat melihat pemandangan yang membuat darahnya mendidih. Rin tertawa , terlihat begitu bahagia bersama seorang laki-laki. Dan pemandangan itu semakin menusuk ketika pria itu membelai rambut Rin dengan lembut.Tanpa pikir panjang, Reihan melangkah cepat dan langsung menarik lengan Rin dengan kasar.Rin terkejut dan meringis kesakitan. "Reihan! Sakit!" serunya."Oh, jadi ini alasan kamu pergi dari rumah? Supaya bisa bebas pacaran sama lak
Seminggu sudah berlalu sejak Rin meninggalkan rumah. Namun, ketegangan antara Reihan dan sang nenek, Ny. Atika, belum juga mereda. Suasana makan malam keluarga malam itu pun tak jauh berbeda, datar, canggung, dan penuh dengan percikan emosi yang tersembunyi.Ny. Atika meletakkan sendok dengan pelan, namun tajamnya sorot mata dan nada sarkastisnya lebih menusuk daripada dentingan peraknya di piring. "Sudah seminggu istrimu pergi, dan kamu masih bisa makan dengan wajah setenang itu, Reihan? Jangan-jangan kamu memang bersyukur dia pergi.”Reihan tak menunjukkan perubahan ekspresi. Ia tetap duduk tenang, menyuap makanannya seolah tak ada yang salah. “Dia pergi atas keinginannya sendiri, Nek. Bukan karena aku usir. Kalau masalah perceraian yang nenek maksud, tenang saja, aku akan mengurusnya secepat mungkin.”Ucapan itu sontak menyulut bara. Ny. Atika membentak sambil memukul meja dengan telapak tangannya. “Tidak! Kamu tidak bisa menceraikannya! Kalau kamu tetap memaksa, itu sama saja k
Reihan tengah memeriksa tumpukan dokumen di atas mejanya. Garis kelelahan tampak jelas di wajahnya, namun ia tetap memaksa diri untuk fokus. Ketika suasana mulai sedikit tenang, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Fadel masuk begitu saja tanpa mengetuk, seolah ruangan itu adalah miliknya sendiri.Reihan langsung mendongak dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan tidak senang. “Setidaknya, ketuk pintu dulu sebelum masuk,” tegurnya. “Kita memang sahabat, tapi sekarang masih jam kerja.”Fadel hanya terkekeh sambil menjatuhkan diri di sofa dengan santai. “Lucu ya. Yang ngomong soal sopan santun kerja ini adalah orang yang semalam ganggu waktu istirahat orang lain gara-gara mabuk berat dan nggak bisa pulang sendiri.”Reihan mendesah, lalu menutup dokumen yang tengah ia baca. “Kalau lo datang ke sini cuma buat ngeledek soal semalam, maaf, gue sedang sibuk. Tapi kalau lo mau bahas urusan bisnis, kita bisa atur jadwal ulang.”Alih-alih tersinggung, Fadel justru tersenyum lebar dengan sorot m
Jam hampir menunjukkan pukul satu dini hari ketika ponsel Fadel berdering di atas nakas. Dengan mata yang masih terpejam, tangannya meraba-raba mencari sumber suara. Setelah berhasil meraihnya, ia menjawab panggilan itu dengan suara serak."Halo?"Suara musik yang keras langsung terdengar dari seberang, disusul suara seorang pria asing yang terdengar tergesa."Halo, ini kerabat pemilik ponsel ini? Orangnya sedang mabuk berat. Bisa tolong jemput sekarang? Soalnya dia sudah mulai membuat tamu lain merasa tidak nyaman."Sekejap, rasa kantuk Fadel menguap. Ia langsung terduduk di atas ranjang dan mengumpat pelan.“Sialan... Reihan.”
Karina berdiri di depan etalase sebuah toko tas mewah. Matanya menyisir satu per satu koleksi terbaru yang dipajang rapi, sementara jemarinya menunjuk tas-tas yang menarik perhatiannya. Sesekali, tawanya terdengar renyah saat ia berbicara dengan pelayan toko, ringan, penuh percaya diri, seperti dunia hanya berputar untuknya.Di sampingnya, Reihan berdiri diam. Wajahnya datar, pandangannya kosong. Jelas pikirannya tidak berada di tempat itu."Yang ini lucu ya, Han?" Karina menoleh, menunjukkan sebuah tas berwarna merah marun yang mencolok. Namun Reihan hanya melirik sekilas dan tidak menjawab. Karina mendengus pelan, tak puas dengan respons hambar itu.Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari belakang, dan dalam hitungan detik....Plak!Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Reihan.Karina terkejut, begitu pula para pegawai toko yang menyaksikan kejadian itu. Reihan hanya diam, refleks menyentuh pipinya yang memerah. Di hadapannya berdiri Ny. Atika, neneknya, dengan wajah murka da