Share

BAB 3

Author: Izumi chouka
last update Last Updated: 2025-04-23 14:20:24

Pagi itu, aroma kopi dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah. Tapi bukannya menyambut pagi dengan semangat seperti biasanya, Rin justru terduduk lemas di kamar mandi. Tubuhnya berkeringat dingin, dan perutnya kembali bergejolak. Ia buru-buru memeluk toilet, memuntahkan isi perutnya dengan napas terengah.

Sudah beberapa hari seperti ini. Mual di pagi hari, tubuh lemas, dan jantungnya selalu berdegup lebih cepat setiap mendengar langkah kaki Reihan di rumah.

Pintu kamar mandi terbuka. Reihan berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan ekspresi dingin yang sama—tatapan yang sudah terlalu akrab bagi Rin.

“Drama apalagi pagi ini?” tanya Reihan tanpa menutupi kekesalannya.

Rin menoleh lemah, menyeka sudut bibirnya dengan tisu. “Aku hanya tidak enak badan.”

Reihan mendengus. “Kau selalu punya cara untuk menarik perhatian. Tapi hentikan. Aku lelah dengan semua pura-pura ini.”

Rin tak menjawab. Ia tahu, menjelaskan pun tidak akan mengubah apapun. Reihan sudah menutup telinganya sejak lama. Bagi pria itu, semua yang ia lakukan hanyalah upaya menjatuhkan harga dirinya.

Sebelum pergi, Reihan sempat berbalik dan berkata, “Nanti malam ikut ke makan malam ulang tahun Nenek. Jangan macam-macam di sana. Kau tahu dia sangat menyayangimu.”

---

Malamnya, rumah keluarga besar Reihan dipenuhi tawa dan candaan. Meja makan panjang itu dipenuhi hidangan istimewa, dan di ujungnya duduk Nenek Reihan yang tampak anggun dengan rambut putih yang disanggul rapi.

Semua berjalan baik hingga salah satu tante Reihan mulai melontarkan pertanyaan yang sudah lama ditahan-tahan.

“Rin, sudah tiga tahun menikah, ya? Kapan mau kasih kami cucu?”

Senyum Rin membeku. Reihan, yang duduk di sampingnya, tetap diam. Matanya tertuju ke gelas anggur, pura-pura tak mendengar.

“Jangan-jangan Reihan yang bermasalah?” celetuk seorang sepupu, disambut tawa kecil yang menyebalkan.

“Reihan, jangan-jangan kamu terlalu sibuk sampai lupa tugas suami?” sahut yang lain.

Nenek Reihan ikut angkat bicara, “Kamu itu cucu laki-laki satu-satunya. Masa tak bisa berikan aku cicit? Jangan bilang kamu...”

“Nek,” potong Rin tiba-tiba.

Semua mata tertuju padanya.

“Yang bermasalah bukan Reihan,” katanya tegas. “Aku yang tidak bisa hamil.”

Ruang makan langsung senyap. Tangan-tangan yang semula sibuk dengan sendok dan garpu kini terhenti. Reihan menoleh pelan, wajahnya sulit dibaca.

Rin menatap semua orang satu per satu, lalu tersenyum kecil. “Jadi kalau kalian mau menyalahkan seseorang, salahkan aku saja.”

Nenek Reihan tampak terkejut, lalu menghela napas dan menggenggam tangan Rin. “Kamu tetap cucu menantuku, Rin. Jangan pernah merasa sendirian.”

---

Perjalanan pulang di dalam mobil dipenuhi keheningan yang tegang. Jalanan gelap, tapi wajah Reihan lebih gelap dari malam itu sendiri. Ia menghentikan mobil di pinggir jalan, lalu menoleh tajam ke arah Rin.

“Kenapa kau lakukan itu?” tanyanya dingin.

Rin menoleh tenang. “Lakukan apa?”

“Berakting menyalahkan dirimu di depan keluargaku? Mencari simpati? Menjatuhkan aku secara halus?”

Rin tersenyum sinis. “Oh, jadi bagimu itu menjatuhkan, ya?”

Reihan mengepalkan tangan di kemudi. “Jangan bermain cantik, Rin. Aku tahu semua triknya.”

“Aku hanya mempermudah jalanmu,” kata Rin, menoleh ke jendela. “Bukankah itu alasan yang bagus untuk menceraikanku? Istrimu mandul. Tak bisa melahirkan anak. Harusnya kau bahagia.”

Reihan menatapnya lama. Ada emosi yang berkelebat di matanya—entah marah, bingung, atau mungkin... takut. Tapi seperti biasa, ia memilih diam. Menyalakan mesin dan kembali melajukan mobil tanpa berkata-kata.

Di balik senyumnya yang tenang, Rin menggenggam erat perutnya. Hatinya sakit, bukan karena ucapan Reihan, tapi karena ia harus menyembunyikan kebenaran. Ia tidak mandul. Ia sedang mengandung. Tapi lebih baik seluruh dunia menganggapnya mandul, daripada kehilangan satu-satunya harapan kecil dalam hidupnya.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 12

    Sudah satu hari berlalu sejak Rin pergi dan menandatangani surat cerai itu. Tapi buat Reihan, waktu seolah berjalan lebih lambat dari biasanya. Sepi. Hampa. Sejak pagi, tak ada kabar dari Rin. Pesan yang ia kirim belum juga dibalas. Hanya centang dua. Tidak dibaca. Tidak dijawab. Reihan duduk di balik kemudi, tapi pikirannya tidak berada di jalan. Ia hanya tahu satu hal: dia ingin melihat Rin. Ingin mendengar penjelasan. Ingin tahu alasan Rin pergi begitu saja. Mobil Reihan berhenti di depan gedung butik yang dulu ia bantu bangun untuk Rin. Awalnya hanya permintaan ringan—Rin bilang dia butuh kesibukan, supaya tidak terus-menerus terkurung di rumah yang dingin itu. Maka Reihan membuatkannya butik. Tempat di mana Rin bisa menumpahkan kreativitas dan sedikit kebahagiaannya. Tapi hari ini, gerbang butik itu terkunci rapat. Lampu padam. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam. Reihan turun dari mobil dan berdiri di depan pintu kaca. Di balik pantulan dirinya sendiri, dia bisa melihat ru

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 11

    Suasana restoran siang itu sebenarnya tenang, dengan alunan musik lembut yang mengalir dari sudut ruangan. Namun, di meja pojok yang dipesan Karina, suasana justru sebaliknya. Reihan tampak tidak tenang. Tatapannya terus-menerus tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di samping piringnya. Ibu jarinya sesekali menyentuh layar, membuka pesan, lalu menutupnya lagi. Begitu terus, seperti sedang menunggu sesuatu. Karina mengaduk sup di depannya, lalu mendesah pelan, menyembunyikan kekesalan yang mulai naik ke permukaan. "Reihan," panggilnya manja, berusaha menarik perhatian. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi kelihatan nggak fokus." Reihan mengangkat kepalanya sejenak, lalu kembali menatap ponsel. Kali ini dia membuka pesan terakhirnya—pesan yang ia kirim untuk Rin pagi tadi. "Kita perlu bicara. Pulang." Tapi sampai sekarang, tak ada balasan. Hanya dua centang. Dingin. Diam. “Rin sudah tanda tangan surat cerai,” ucap Reihan akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar. Karina membelalakkan ma

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 10

    Mentari sudah tinggi saat Reihan akhirnya terbangun dari tidur panjangnya. Masih mengenakan piyama, rambutnya acak-acakan, dan mata sedikit sembab karena kelelahan setelah perjalanan dinas dari luar kota. Langkah kakinya malas namun mantap menuju ruang makan, berharap menemukan sedikit ketenangan di pagi yang terlambat ini. Di atas meja, ada secangkir kopi hitam yang masih hangat. Aroma robusta menyentuh indra penciumannya, cukup untuk membangunkan pikirannya yang masih mengawang. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan meminum kopi itu dalam diam. Beberapa saat kemudian, dia memanggil, “Mbak Sari... Rin mana?” Asisten rumah tangga yang sudah bekerja di rumah itu sejak awal pernikahan mereka, muncul dari dapur sambil membawa lap tangan. Wajahnya tampak ragu, seolah menyimpan sesuatu yang enggan ia sampaikan. “Ny. Rin… pagi-pagi sekali sudah pergi, Mas,” jawabnya dengan suara pelan. Reihan mengernyit, meletakkan cangkirnya. “Pergi? Ke mana?” Alih-alih menjawab, Mbak Sari menyerahk

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 9

    Langit telah menggelap, menyisakan bayang-bayang lampu jalan yang sesekali menyorot trotoar yang sepi. Sebuah mobil sedan hitam berhenti perlahan di depan gerbang rumah dua lantai yang tampak tenang dari luar. Rin membuka pintu, mengucapkan terima kasih singkat pada Jacob, lalu melangkah keluar.Angin malam menyambut tubuhnya yang lelah saat ia masuk melewati pagar, membuka pintu rumah yang sudah ia tinggali selama tiga tahun terakhir—rumah yang sepi, sunyi, dan dingin. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan hangat, hanya lorong-lorong kosong dan dinding-dinding yang seperti tak pernah mendengar kata cinta.Begitu masuk, Rin mengganti sepatunya dan berjalan langsung menuju kamar. Rutinitas yang sudah seperti kebiasaan. Ia membersihkan diri, mengganti bajunya dengan piyama longgar, lalu duduk diam di depan meja rias.Tatapannya kosong. Pantulan dirinya di cermin seperti sosok asing—mata sembab, wajah pucat, dan bahu yang tampak lelah. Semua terasa berat. Terlalu berat.Tanpa sengaj

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 8

    Jarum jam masih menunjuk pukul tujuh kurang ketika mobil Jacob melaju pelan di jalanan kota yang mulai ramai oleh orang-orang yang hendak beraktivitas. Di kursi penumpang, Rin awalnya berniat pulang ke rumah. Tapi tiba-tiba, ia berubah pikiran.“Jak… bisa anterin aku ke butik aja?” katanya lirih.Jacob menoleh sekilas. “Kamu yakin nggak mau langsung pulang?”Rin menggeleng lemah. “Aku cuma... belum siap pulang. Lagipula, aku ada beberapa hal yang harus diberesin.”Jacob mengangguk dan mengarahkan mobil ke jalan menuju butik. Namun, begitu mobil berhenti di depan butik dan Rin hendak turun, tubuhnya mendadak limbung. Tanpa aba-aba, Rin jatuh pingsan tepat di sisi mobil.“Rin!” Jacob panik. Ia langsung keluar, menangkap tubuh Rin sebelum sepenuhnya menyentuh tanah. Nafasnya tercekat. Tanpa membuang waktu, ia mengangkat Rin kembali ke dalam mobil dan memacu kendaraan menuju rumah sakit terdekat.---Setelah pemeriksaan selesai, Jacob duduk cemas di ruang tunggu. Tak lama, dokter keluar d

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 7

    Malam sudah larut ketika Rin sampai di rumah. Suasana tenang menyambutnya, hanya suara detak jam dinding yang terdengar menggema di antara keheningan ruang tamu. Ia membuka pintu dengan perlahan, berharap tak perlu berinteraksi dengan siapa pun malam ini. Tapi harapannya pupus saat matanya menangkap sosok Reihan yang tengah duduk santai di sofa, kaki disilangkan, tangan memegang buku, dan secangkir kopi yang sudah tinggal separuh.Tatapan mereka bertemu sejenak. Rin buru-buru memalingkan wajah dan melangkah cepat menuju tangga.“Dari mana saja kamu?” tanya Reihan tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.Rin diam. Kakinya tetap melangkah, meski dalam hati ia tahu pertanyaan itu tak akan berhenti di situ.“Rin!” suara Reihan meninggi. “Sudah malam begini baru pulang. Jangan diam saja!”Langkah Rin terhenti. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pelan, “Aku dari rumah Nenek Atika.”Reihan menutup bukunya dan berdiri, menghampiri Rin dengan langkah berat. Di tangannya kini t

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 6

    Siang itu, Rin duduk di sudut restoran yang cukup tenang dengan interior elegan dan pencahayaan lembut. Ia tengah menunggu klien barunya, seorang pebisnis muda yang tertarik bekerja sama dengan butiknya. Dengan sikap profesional, Rin mengecek ulang presentasi desain yang akan ditawarkannya. Tak lama, seorang pria berjas datang menghampiri. Wajahnya ramah dan senyumnya menyenangkan. "Maaf menunggu, saya Arvin," katanya sambil mengulurkan tangan. Rin menyambutnya dengan senyum sopan. Tapi senyum itu memudar seketika ketika ia melihat sosok yang berjalan di belakang Arvin. Jacob. Rin menatapnya dengan ekspresi terkejut, sementara Jacob hanya mengangkat alis, menyapa dengan santai, “Kita bertemu lagi, Rin.” Ternyata, Arvin adalah sahabat dekat Jacob. Ia pun menjelaskan bahwa Jacob kebetulan bersamanya saat ia sedang membaca profil butik milik Rin, dan Jacob langsung menyarankan untuk bertemu langsung. “Kau cukup terkenal di antara desainer butik, jadi aku bilang ke Arvin, dia harus co

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 5

    Langit mulai gelap saat Reihan memarkir mobilnya di halaman rumah. Hari ini entah kenapa dia merasa ingin pulang lebih awal. Biasanya dia menghabiskan waktu lebih lama di kantor atau bertemu Karina, tapi sore ini ada rasa gelisah yang tak bisa ia jelaskan. Langkahnya berat saat memasuki rumah. Sepi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar. Reihan meletakkan jasnya di sandaran kursi, melonggarkan dasi, lalu berjalan menuju ruang makan. Di meja sudah terhidang makanan. Tanpa banyak pikir, ia duduk dan mulai menyendokkan nasi dan lauk ke piringnya. Satu suapan. Dahi Reihan langsung mengernyit. Suapan kedua. Raut wajahnya berubah menjadi tak sabar. “Mbak!” serunya tiba-tiba, meletakkan sendok dengan suara keras. “Mbak Sari!” Asisten rumah tangga itu muncul dari arah dapur dengan raut wajah panik. “Iya, Tuan?” “Apa ini?” Reihan menunjuk piring di hadapannya. “Kenapa rasanya hambar? Bahkan sambalnya pun aneh. Kamu baru masak ya?” Dengan ragu, Mbak Sari menjawab, “Maaf, Tuan

  • PERNIKAHAN TANPA NAMA   BAB 4

    Karina memasuki kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Hari itu, ia sudah cukup sabar menunggu, namun rasa sabarnya hampir habis. Reihan yang sedang duduk di meja kerjanya menatapnya dengan ekspresi datar, menyadari bahwa Karina datang untuk menuntut hal yang sudah lama ia tunda. “Reihan,” Karina memulai dengan nada yang tegas, “kapan kamu akan menepati janji kita?” Reihan menatap Karina dengan pandangan lelah, seolah-olah sudah tahu apa yang akan diucapkannya. “Janji apa, Karina?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. Suasana kantor yang tenang seakan mendukung suasana hati Reihan yang mulai terkikis habis oleh konflik-konflik yang semakin rumit. “Janji tentang perceraian Rin,” Karina menyebutkan nama itu dengan suara dingin. “Kamu berjanji akan menceraikan dia, Reihan. Aku tidak bisa terus menunggu. Aku tidak akan jadi wanita kedua dalam hidupmu, dan kamu tahu itu.” Reihan menarik napas panjang, mengusap wajahnya sejenak.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status