Share

Bab 5

Author: Almirah
last update Last Updated: 2021-08-28 11:40:12

TERUS-TERANG, aku lagi sensi terhadap kata hamil. Aku tidak mau mendengar kata itu. Tetapi sekarang, di hadapan Fien dan Yulia, Radit menyebutnya dan terang-terangan menuduh aku mengaku hamil untuk memerasnya!

Mengaku hamil! Itu satu soal. Memerasnya, itu soal kedua.

Kalau mengaku hamil, setidaknya itu sudah mengindikasikan kalau aku sudah berhubungan intim, padahal aku belum menikah. Jadi… itu sama saja mengumumkan bahwa aku sudah melakukan hubungan intim dengan dia, Radit!

“Bengsek kamu,” kataku putus asa.

Aku menarik tangan Fien untuk segera berlalu dari tempat itu. Aku tidak ingin memperjelas ‘statusku’ dengan membantah atau berbicara terlalu banyak soal hamil itu di depan semua orang.

Tetapi Radit malah menarik tanganku, lalu menjejalkan setumpuk uang itu ke tanganku!

“Kamu nggak usah pura-pura, Indri! semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!” kata Radit dengan sangat jelas. Semua orang yang tidak tuli pasti bisa mendengarnya dengan jelas.

“Radit!” hanya itu kata yang mampu aku keluarkan dari mulutku. Aku menjadi lemas, dan jika tidak langsung dipegang oleh Fien, mungkin aku akan jatuh ke tanah.

Teganya Radit bicara seperti itu kepadaku, di depan banyak orang lagi. Aku mendekatinya? Oh Tuhan… kok bisa dia menuduhku seperti itu.

Untuk mendapatkan uang? Ya Tuhan… aku sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu. Aku tidak membutuhkan uang dari Radit. Aku belum pernah kekurangan uang karena masih tinggal dengan orang tuaku, dan kami cukup mampu, walaupun tidak sekaya keluarga Radit.

Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku, jangan-jangan Radit telah mendengar fitnah orang tentang aku! ‘Semua orang tahu kalau kamu mendekatiku untuk mendapatkan uang!’ Semua orang? Gila banget… semua orang tahu?

“Radit!” aku memberanikan diri dan berjuang menenangkan diriku. “Jangan memfitnah aku!”

“Fitnah?” sahut Radit. “Kan kamu yang telepon aku dan bilang kalau kamu hamil!”

Oh my God! Radit, please… kenapa kamu semakin memperjelasnya?

Aku menepis uang yang diberikan Radit sehingga berhamburan ke tanah. “Brengsek,” sungutku sambil bergegas melangkah pergi. Aku tidak ingin --atau tidak kuat-- untuk berlama-lama berhadapan dengan Radit. Adegan tadi pasti telah menjadi tontonan menarik bagi semua orang yang akhirnya ramai di tempat itu.

“Hahaha…” terdengar suara ketawa Radit menikam punggungku dengan sejuta anak panah. “Indri, kalau masih kurang, kamu tinggal bilang, yaa…” teriaknya lagi, dan kakiku benar-benar tersandung sesuatu sehingga aku terhuyung.

Brengsek! Setan!

Aku berjalan secepat aku mampu ke arah motorku, pengin cepat-cepat menghilang dari tempat itu. Tetapi Fien mencegahku naik motor.

“Sini, biar aku yang bawa motornya,” kata Fien sambil mengambil kunci motor dari tanganku.

Aku mengerenyit. “Motormu bagaimana?”

“Sudah, biar saja, biar ditinggal di sini dulu,” sahut Fien. “Aku tidak mungkin membiarkan kamu membawa motor dalam keadaan seperti itu,” katanya.

Aku sadar apa yang dikatakan Fien itu benar. Badanku gemetar, dan tenagaku sebenarnya sudah tidak ada. Dari semula badanku memang terasa lemas --atau lemah, mungkin karena aku hamil.

Aku bilang kepada Fien agar mengantarku pulang ke rumah. Aku mau pulang… Tetapi, di tengah jalan aku berubah pikiran. Tidak, sebaiknya Fien tidak mengantarku ke rumah. Nanti akan berhadapan dengan ibu, dan mungkin nanti akan berkembang menjadi sebuah kecurigaan dan interogasi. Jangan! Aku belum siap!

“Fien, kita ke warung Bejo saja,” kataku kepada Fien.

Fien menjadi heran, dan terasa dia ragu ketika mengemudikan motor. Fien lalu berhenti di pinggir jalan.

“Kenapa?” tanya Fien heran.

“Kita ke situ saja, aku mau cool down sebentar. Nanti kan kita masih ada kuliah, dan motormu masih di kampus,” jawabku berdalih.

Kami lalu menuju warung Bejo, tidak jauh dari kampus. Warung Bejo cukup populer di antara kami karena sering dipakai nongkrong bersahaja sambil menunggu waktu kuliah berikutnya. Warung Bejo sendiri sebenarnya julukan, bukan nama aslinya, karena di depan warung ada spanduk iklan sebuah produk herbal dengan tulisan “Bejo” yang besar. Kami lalu menyebutnya warung “Bejo”.

Di warung bejo aku memesan kopi, dan ini membuat Fien heran lagi. “Sejak kapan kamu minum kopi?” tanyanya.

Aku mencoba tersenyum, berusaha membiasakan diriku lagi karena syok yang kualami tadi. “Aku biasa kok, minum kopi,” jawabku memberi alasan. Jelas Fien tahu kalau alasan itu mengada-ada, tetapi dia diam saja.

“Indri…” panggil Fien setelah kami mencicipi minuman masing-masing. Aku tahu, kini saatnya Fien akan bertanya-tanya.

“Yang dibilang Radit tadi…” Fien tidak bisa melanjutkan pertanyaannya, tetapi aku sudah paham.

Berat aku harus menjawab pertanyaan Fien. Tetapi hal ini pasti tidak bisa disimpan lama-lama. Kalau aku menjawab tidak, toh nanti Fien akan tahu juga, dan tentunya aku akan dicap telah berbohong.

“Fien,” aku meraih tangan Fien. Aku butuh sebuah pegangan. Aku merasa, mataku pasti sudah berkaca-kaca. Ada genangan hangat di kelopak mataku. Dan, tanganku gemetar.

Fien lalu memegang tanganku juga, seakan meyakinkan bahwa dia tetap bersamaku.

Dengan seluruh kekuatan yang ada aku berkata, “benar… aku hamil.”

Aku merasakan pegangan tangan Fien seketika mengencang ketika mendengar pernyataanku. Aku tahu dia sudah bisa menduganya, namun ketika pernyataan itu keluar dari mulutku, dia tetap merasakan kaget juga.

Lama kami terdiam, berpegangan tangan di atas meja. Ketika Fien akhirnya melepaskan tangannya, dia tetap tidak bisa berkata apa-apa.

Aku menyadarkan diriku, mengumpulkan semua semangat dan tenaga yang aku miliki. Aku lalu tersenyum. “Tidak apa-apa, Fien. Aku akan mengatasinya,” kataku memperlihatkan kepercayaan diri. Paling tidak, aku tidak boleh terlihat begitu rapuh di mata Fien setelah apa yang aku alami.

“Radit?” tanya Fien lagi berusaha untuk yakin.

“Iya, siapa lagi,” jawabku sedikit tersinggung.

“Kok bisa?”

Entah kenapa, aku menjadi geli dan ingin tertawa mendengar pertanyaan Fien yang tidak percaya itu. Mungkin karena aku sudah merasa lega telah mengakui keadaanku kepada seseorang, atau mungkin juga karena sarafku sudah ada yang terputus.

“Radit meracuni minumanku, memberiku obat perangsang!” jelasku mencoba memberi dalih.

“Ya?”

“Di Songgoriti, waktu itu…”

Sekarang aku melihat wajah Fien puas dengan jawaban-jawabanku. Semua sudah jelas, sudah terbuka. Pertanyaan-pertanyaannya yang lama pun, ketika waktu itu ibuku meneleponnya menanyakanku yang belum pulang dan tidak bisa dihubungi, menjadi terjawab juga. Baginya, semua sudah clear.

“Lalu apa rencanamu?” tanya Fien lagi.

“Aku akan menggugurkan kandunganku!”

“Hahh?”

Jelas Fien terkejut dan bingung.

“Aku nggak bisa Fien, menghadapi ini…” kataku memohon pengertiannya.

“Tetapi… itu… berdosa besar!”

“Ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah bilang ke Radit, tetapi kamu lihat sendiri sikapnya. Dia yang menyuruh aku menggugurkan kandunganku. Dan sekarang dia malah sama si Yulia. Aku tidak bisa bilang ini ke orang tuaku…”

“Tapi bagaimana caranya?” Fien malah bertanya.

“Fien, bantu aku. Carikan tempat di mana aku bisa menggugurkan kandunganku…”

“Aku tidak tahu…”

Kami memang sama-sama tidak tahu, tidak ada pengalaman, dan sebenarnya tidak pernah terlintas dalam pikiran kami --tepatnya aku-- akan perlu menggugurkan kandungan. Tetapi kami, atau aku, pernah mendengar bahwa di sebuah desa di luar kota ada praktek untuk menggugurkan kandungan secara tradisional.

“Tapi itu berbahaya!” sanggah Fien.

“Mungkin itu pantas bagiku,” kataku pasrah.

“Tidak,” tegas Fien. “Mungkin kita bisa minta bantuan dokter atau bidan. Mungkin mereka mau mengerti. Berapa sih usia kandunganmu?”

“Kayaknya dua bulan.”

“Oke, aku akan tanya-tanya mungkin ada dokter atau bidan yang bisa membantu. Tetapi, apakah tidak sebaiknya kalian menikah?”

“Dengan Radit? Hmm… Waktu aku kasih tahu kalau aku hamil saja dia tidak perduli. Apalagi setelah perlakuannya tadi. Tidak, Fien. Aku sekarang yang tidak mau!” jawabku tegas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERSETAN!   Bab 20

    SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel

  • PERSETAN!   Bab 19

    SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i

  • PERSETAN!   Bab 18

    DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit. ‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu. “Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis. “Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak. “Bapak… Ndri… bapak…” “Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik. “Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…” Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang. “Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau. “Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan. Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec

  • PERSETAN!   Bab 17

    “TIDAK bisa!” teriak Radit. Aku menoleh sambil tersenyum mengejeknya. “Mengapa tidak bisa? Sudah lumrah kalau pengantin baru berbulan madu.” “Tetapi kalian bukan pengantin!” “Kamu sendiri ikut menyaksikan pernikahan kami.” “Tetapi…” Radit menatap mas Naren penuh dendam. “Kamu tidak bisa melakukan itu!” geramnya. Namun sesaat kemudian, Radit malah tersenyum.”Oh, begitu cara kalian! Coba saja kamu lakukan, culun! Kamu akan menyesal!” Radit terang-terangan menyebut mas Naren sebagai culun. Mas Naren sendiri hanya diam dan tidak berusaha untuk bicara. Aku kasihan kepadanya. Mengapa Radit begitu songong kepada kakaknya? Apakah dia sudah tahu kalau mas Naren hanyalah seorang anak pungut, sehingga dia bisa meremehkannya? “Ehmm…” terdengar papi berdehem hendak bicara. “Naren, bukankah di kantor sekarang lagi banyak pekerjaan? Kita masih harus menemui orang-orang pemda untuk memuluskan pembebasan lahan yang sekarang seda

  • PERSETAN!   Bab 16

    MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik

  • PERSETAN!   Bab 15

    JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status