Share

Bab 6

MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.

Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.

“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”

Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.

Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak yang tidak berdosa ini tumbuh dan lahir, walaupun aku tidak menikah? Aku bisa pergi saja dari kota ini, menumpang di tempat saudara yang jauh, dan melahirkannya sendiri. Aku akan menjadi single parent. Aku tahu sudah banyak yang melakukan hal itu, melahirkan walaupun tanpa suami!

Atau pilihan kedua yang lebih cepat dan singkat. Aku bunuh diri, dan mengakhiri semuanya tanpa susah-susah lagi. Tetapi, pilihan ini hanya akan menunjukkan kerapuhanku, akan membuat diriku ditertawakan oleh Yulia dan yang lainnya, dan jelas akan membuat orang tuaku menjadi sedih dan kehilangan. Tidak, ini bukan pilihan. Masih banyak yang ingin aku lakukan di dunia ini, termasuk membalas dendam kepada Radit!

Adakah alternatif pilihan ketiga? Menikah dengan Radit? Alternatif ini cepat-cepat aku buang, karena tidak mungkin. Radit tidak mungkin mau.

Tetapi benar-benar ada hal di luar kekuasaan kita. Seperti ibuku hari ini, tiba-tiba saja masuk ke kamarku dan langsung menodongku dengan pertanyaan, “Nduk, apa yang kamu sembunyikan dari ibu?”

Bagi anda yang belum tahu, ‘nduk’ atau lengkapnya ‘genduk’ adalah panggilan orang tua suku Jawa kepada anak perempuan.

Jelas aku sama sekali tidak menduga ibu akan bertanya seperti itu, hari ini.

“Ibu, aku tidak tahu apa maksud ibu,” sahutku pura-pura tidak mengerti.

Ibu menatapku tajam, ada kemarahan dalam sorot mata itu yang membuat aku tidak berani balas menatapnya. Aku menunduk, membiarkan rambutku menutupi sebagian mukaku untuk menyembunyikannya.

Tiba-tiba ibu memegang perutku. “Kamu hamil?” tanyanya tanpa ampun.

Bagaimana aku bisa menjawabnya? Jadi aku diam saja, rasa takut mengungkungku. Dan tiba-tiba, sebuah tamparan keras membuat pipiku menjadi panas. Ibu menamparku!

Rasa kagetku lebih besar dari rasa sakitku karena ditampar. Aku langsung menangis sejadi-jadinya di kaki ibu, tanpa bisa berkata apa-apa lagi selain “ampun ibu… ampun… maafkan Indri…”

Lama aku menangis terisak-isak sambil memeluk kaki ibu yang duduk di tempat tidur. Aku jelas salah, bagaimanapun. Aku salah dalam bergaul, aku salah dalam mengenal Radit, aku salah telah mengharapkan dan menerimanya menjadi pacarku. Aku salah dalam semua hal. Pokoknya akulah yang bersalah atas nasib yang menimpaku.

Ibu diam saja. Aku tahu ibu sedang berjuang keras menahan amarah, menahan kesedihannya, menahan rasa sakit hatinya, menahan kekecewaannya terhadap anak gadisnya yang kehormatannya sudah direnggut orang, dan kini hamil sebelum menikah! Anak gadisnya ini sudah nista, kotor, dan tidak mempunyai kehormatan lagi. Bagaimana dia akan menikah?

Tanpa menghiraukanku, ibu lalu bangkit dan berjalan keluar kamar. Aku yang memeluk kakinya terseret oleh langkahnya, sampai aku harus melepaskan kaki ibu yang terus melangkah tanpa memperdulikan aku sama sekali.

Tidak lama kemudian bapakku masuk kamar. Pintu kamar ditendangnya dengan penuh amarah.

“Indri, jelaskan!” teriak bapak.

Tidak ada lagi keberanianku, semuanya sudah terbang dan lenyap entah ke mana. Aku yang masih duduk bersimpuh di lantai kamar, langsung merangkak dan memeluk kaki bapak.

“Ampun… pak… ampuni Indri pak… Indri salah, ampun…”

Aku menangis tanpa bisa menahan diri lagi. Rasanya sudah lama aku tidak menangis, dan kini semua air mata dan penyesalanku tumpah-ruah. Aku pasrah, aku bersalah. Aku berdosa. Jika bapak dan ibu menghendaki, aku dibunuh pun akan rela.

“Setan kamu! Iblis apa yang membuatmu melakukan perbuatan terkutuk itu? Apa kurangnya kami menjagamu?”

“Ampun pak, maafkan Indri. Indri salah, Indri mohon maaf kepada bapak dan ibu…” kataku menghiba sambil menangis.

“Siapa yang melakukannya Indri?” akhirnya bapak bertanya dengan nada getir. Aku tahu, bapakku sangat terpukul dengan keadaanku ini. Aku anak perempuan satu-satunya. Kakak dan adikku laki-laki.

Dengan terpaksa aku menceritakan semua peristiwa yang aku alami. Aku sudah pasrah. Bapak dan ibu sudah tahu, apalagi yang perlu aku sembunyikan? Biarlah nasibku di tangan mereka, aku pasrah. Aku sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Malamnya, om Aryo datang ke rumah. Aku tahu kedatangan om Aryo pasti karena disuruh bapak. Om Aryo adalah adik bapak  yang berprofesi sebagai pengacara. Kami biasa memanggilnya om, bukan pakle (paklik) sebagaimana seharusnya orang Jawa, karena om Aryo sering membahasakan dirinya sendiri dengan sebutan ‘om’.

Kali ini kedatangannya adalah karena ‘kasusku’. Setelah mereka ngobrol cukup lama, aku dipanggil.

“Indri, apa khabar?” tanya om Aryo berbasa-basi. Dia biasa akrab dengan kami, para ponakannya, dan pembawaannya memang ceria. Tetapi pertanyaannya kali ini sulit sekali aku jawab, karena aku kikuk bukan main. Apa mungkin aku jawab ‘baik, om’ seperti biasanya, sedangkan keadaanku jauh dari baik-baik saja?

Karena aku tidak kunjung menjawab, om Aryo lalu berkata, “kali ini kamu kebablasan, ya…”

Aku menunduk. Aku malu sama om Aryo.

“Begini, Indri,” kata om Aryo serius sambil memperbaiki posisi duduknya. “Menurut kami, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan keluarga kita, selain kamu kawin!”

Entah bagaimana perasaanku mendengar itu, aku gamang. Solusi itu mungkin paling rasional, karena jika dua orang berhubungan intim --dan akhirnya hamil, maka harus dikawinkan!

Tetapi dengan Radit? Orang yang telah merenggut kegadisanku secara curang, yang kemudian tanpa perasaan menghinaku di depan orang?? Tunggu dulu, aku tidak mau! Aku sudah mati rasa terhadap orang itu!

‘Menyelamatkan keluarga’? Aduh, om Aryo telah mengeluarkan mantra sakti. Kalau sudah demikian alasannya, bagaimana aku menolak? Aku sudah bersalah, dan kehormatan keluargaku sedang terancam oleh perbuatanku. Alangkah egoisnya aku jika tidak bersedia!

“Apa mungkin, om?” tanyaku penuh keraguan. Seharusnya pertanyaanku itu berbunyi, ‘apakah Radit mau?’

Om Aryo mencoba bersikap optimis. “Yah, kita harus berusaha, Indri. itu satu-satunya jalan. Apakah kamu mempunyai jalan lain?”

Om Aryo ini pintar sekali dalam berbicara, dan pertanyaannya itu sangat memojokkan, membuat aku tidak berkutik. Pantas saja karir om Aryo sebagai pengacara sangat sukses. Jika demikian, bisa diharapkan solusi yang diambil om Aryo akan berhasil. Aku jadi berdebar ingin melihat hasilnya.

“Baik, om” sahutku. Rasanya ada sedikit kelegaan menyeruak masuk ke dalam hatiku. Ada harapan. Harapanku keluar dari kesulitan ini, dan harapan keluargaku agar nama baik keluarga tidak tercemar di masyarakat.

Tiga hari berlalu hingga om Aryo datang ke rumah kami lagi.

“Memang pacarmu yang bernama Radit itu brengsek!” kata om Aryo kepadaku. Tampak benar dia kesal.

“Aku tidak bekerja sendiri,” lanjutnya. “Aku bersama team mendatangi rumahnya untuk bertemu dan berunding, tetapi dia tidak tahu ke mana. Orang tuanya pun mengaku tidak tahu, dan tidak bisa dihubungi. Kita dikejar waktu. Kandunganmu semakin tua dan akan kelihatan! Dan lagi, kalau nanti melahirkan, jaraknya terlalu dekat dengan hari pernikahanmu. Orang pasti curiga.”

“Lalu bagaimana, om?” tanyaku ikut cemas.

“Kamu tetap harus menikah!”

“Tetapi Radit?”

“Persetan dengan dia! Nanti kita akan mencari cara untuk memberi pelajaran anak itu.”

“Lalu?”

“Kamu akan kawin dengan kakaknya!”

“Hahh!!”

Jelas aku sangat kaget dengan pernyataan om Aryo itu. Kawin dengan kakaknya Radit? Mas Naren?

Ah, ini sudah di luar kemampuanku untuk membayangkannya.

“Kok gitu, om?” tanyaku dalam kebingungan.

“Iya, dan ini sudah diputuskan!” tegas om Aryo.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status