Share

Bab 6

Author: Almirah
last update Last Updated: 2021-09-01 11:08:24

MUNGKIN terlalu cepat aku memutuskan untuk tidak menikah dengan Radit, tetapi aku memang putus asa dan merasa sakit hati dengan perlakuan Radit yang menghinaku di kampus.

Nyatanya, setelah lewat seminggu, aku dan Fien tidak berhasil juga mendapatkan dokter atau bidan yang mau membantu aborsi.

“Tidak bisa, tidak mungkin,” rata-rata mereka menjawab seperti itu. “Harus ada alasan medis untuk melakukannya, bukan alasan malu atau belum menikah. Aturan aborsi sekarang sangat ketat karena berkaitan dengan hukum. Salah-salah kita yang masuk penjara!”

Jadi, bagaimana? Usia kandungan semakin tua, dan tentu akan semakin sulit untuk mendapatkan alasan untuk aborsi. Jika dilakukan secara tradisional, akan semakin berbahaya. Bahkan secara nekat aku meminum obat peluntur, atau obat atau makanan dan minuman yang dilarang untuk wanita hamil. Tetapi tidak ada efeknya.

Dalam keputusasaan, aku menghadapi dua pilihan yang sulit. Apakah aku biarkan anak yang tidak berdosa ini tumbuh dan lahir, walaupun aku tidak menikah? Aku bisa pergi saja dari kota ini, menumpang di tempat saudara yang jauh, dan melahirkannya sendiri. Aku akan menjadi single parent. Aku tahu sudah banyak yang melakukan hal itu, melahirkan walaupun tanpa suami!

Atau pilihan kedua yang lebih cepat dan singkat. Aku bunuh diri, dan mengakhiri semuanya tanpa susah-susah lagi. Tetapi, pilihan ini hanya akan menunjukkan kerapuhanku, akan membuat diriku ditertawakan oleh Yulia dan yang lainnya, dan jelas akan membuat orang tuaku menjadi sedih dan kehilangan. Tidak, ini bukan pilihan. Masih banyak yang ingin aku lakukan di dunia ini, termasuk membalas dendam kepada Radit!

Adakah alternatif pilihan ketiga? Menikah dengan Radit? Alternatif ini cepat-cepat aku buang, karena tidak mungkin. Radit tidak mungkin mau.

Tetapi benar-benar ada hal di luar kekuasaan kita. Seperti ibuku hari ini, tiba-tiba saja masuk ke kamarku dan langsung menodongku dengan pertanyaan, “Nduk, apa yang kamu sembunyikan dari ibu?”

Bagi anda yang belum tahu, ‘nduk’ atau lengkapnya ‘genduk’ adalah panggilan orang tua suku Jawa kepada anak perempuan.

Jelas aku sama sekali tidak menduga ibu akan bertanya seperti itu, hari ini.

“Ibu, aku tidak tahu apa maksud ibu,” sahutku pura-pura tidak mengerti.

Ibu menatapku tajam, ada kemarahan dalam sorot mata itu yang membuat aku tidak berani balas menatapnya. Aku menunduk, membiarkan rambutku menutupi sebagian mukaku untuk menyembunyikannya.

Tiba-tiba ibu memegang perutku. “Kamu hamil?” tanyanya tanpa ampun.

Bagaimana aku bisa menjawabnya? Jadi aku diam saja, rasa takut mengungkungku. Dan tiba-tiba, sebuah tamparan keras membuat pipiku menjadi panas. Ibu menamparku!

Rasa kagetku lebih besar dari rasa sakitku karena ditampar. Aku langsung menangis sejadi-jadinya di kaki ibu, tanpa bisa berkata apa-apa lagi selain “ampun ibu… ampun… maafkan Indri…”

Lama aku menangis terisak-isak sambil memeluk kaki ibu yang duduk di tempat tidur. Aku jelas salah, bagaimanapun. Aku salah dalam bergaul, aku salah dalam mengenal Radit, aku salah telah mengharapkan dan menerimanya menjadi pacarku. Aku salah dalam semua hal. Pokoknya akulah yang bersalah atas nasib yang menimpaku.

Ibu diam saja. Aku tahu ibu sedang berjuang keras menahan amarah, menahan kesedihannya, menahan rasa sakit hatinya, menahan kekecewaannya terhadap anak gadisnya yang kehormatannya sudah direnggut orang, dan kini hamil sebelum menikah! Anak gadisnya ini sudah nista, kotor, dan tidak mempunyai kehormatan lagi. Bagaimana dia akan menikah?

Tanpa menghiraukanku, ibu lalu bangkit dan berjalan keluar kamar. Aku yang memeluk kakinya terseret oleh langkahnya, sampai aku harus melepaskan kaki ibu yang terus melangkah tanpa memperdulikan aku sama sekali.

Tidak lama kemudian bapakku masuk kamar. Pintu kamar ditendangnya dengan penuh amarah.

“Indri, jelaskan!” teriak bapak.

Tidak ada lagi keberanianku, semuanya sudah terbang dan lenyap entah ke mana. Aku yang masih duduk bersimpuh di lantai kamar, langsung merangkak dan memeluk kaki bapak.

“Ampun… pak… ampuni Indri pak… Indri salah, ampun…”

Aku menangis tanpa bisa menahan diri lagi. Rasanya sudah lama aku tidak menangis, dan kini semua air mata dan penyesalanku tumpah-ruah. Aku pasrah, aku bersalah. Aku berdosa. Jika bapak dan ibu menghendaki, aku dibunuh pun akan rela.

“Setan kamu! Iblis apa yang membuatmu melakukan perbuatan terkutuk itu? Apa kurangnya kami menjagamu?”

“Ampun pak, maafkan Indri. Indri salah, Indri mohon maaf kepada bapak dan ibu…” kataku menghiba sambil menangis.

“Siapa yang melakukannya Indri?” akhirnya bapak bertanya dengan nada getir. Aku tahu, bapakku sangat terpukul dengan keadaanku ini. Aku anak perempuan satu-satunya. Kakak dan adikku laki-laki.

Dengan terpaksa aku menceritakan semua peristiwa yang aku alami. Aku sudah pasrah. Bapak dan ibu sudah tahu, apalagi yang perlu aku sembunyikan? Biarlah nasibku di tangan mereka, aku pasrah. Aku sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

Malamnya, om Aryo datang ke rumah. Aku tahu kedatangan om Aryo pasti karena disuruh bapak. Om Aryo adalah adik bapak  yang berprofesi sebagai pengacara. Kami biasa memanggilnya om, bukan pakle (paklik) sebagaimana seharusnya orang Jawa, karena om Aryo sering membahasakan dirinya sendiri dengan sebutan ‘om’.

Kali ini kedatangannya adalah karena ‘kasusku’. Setelah mereka ngobrol cukup lama, aku dipanggil.

“Indri, apa khabar?” tanya om Aryo berbasa-basi. Dia biasa akrab dengan kami, para ponakannya, dan pembawaannya memang ceria. Tetapi pertanyaannya kali ini sulit sekali aku jawab, karena aku kikuk bukan main. Apa mungkin aku jawab ‘baik, om’ seperti biasanya, sedangkan keadaanku jauh dari baik-baik saja?

Karena aku tidak kunjung menjawab, om Aryo lalu berkata, “kali ini kamu kebablasan, ya…”

Aku menunduk. Aku malu sama om Aryo.

“Begini, Indri,” kata om Aryo serius sambil memperbaiki posisi duduknya. “Menurut kami, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan keluarga kita, selain kamu kawin!”

Entah bagaimana perasaanku mendengar itu, aku gamang. Solusi itu mungkin paling rasional, karena jika dua orang berhubungan intim --dan akhirnya hamil, maka harus dikawinkan!

Tetapi dengan Radit? Orang yang telah merenggut kegadisanku secara curang, yang kemudian tanpa perasaan menghinaku di depan orang?? Tunggu dulu, aku tidak mau! Aku sudah mati rasa terhadap orang itu!

‘Menyelamatkan keluarga’? Aduh, om Aryo telah mengeluarkan mantra sakti. Kalau sudah demikian alasannya, bagaimana aku menolak? Aku sudah bersalah, dan kehormatan keluargaku sedang terancam oleh perbuatanku. Alangkah egoisnya aku jika tidak bersedia!

“Apa mungkin, om?” tanyaku penuh keraguan. Seharusnya pertanyaanku itu berbunyi, ‘apakah Radit mau?’

Om Aryo mencoba bersikap optimis. “Yah, kita harus berusaha, Indri. itu satu-satunya jalan. Apakah kamu mempunyai jalan lain?”

Om Aryo ini pintar sekali dalam berbicara, dan pertanyaannya itu sangat memojokkan, membuat aku tidak berkutik. Pantas saja karir om Aryo sebagai pengacara sangat sukses. Jika demikian, bisa diharapkan solusi yang diambil om Aryo akan berhasil. Aku jadi berdebar ingin melihat hasilnya.

“Baik, om” sahutku. Rasanya ada sedikit kelegaan menyeruak masuk ke dalam hatiku. Ada harapan. Harapanku keluar dari kesulitan ini, dan harapan keluargaku agar nama baik keluarga tidak tercemar di masyarakat.

Tiga hari berlalu hingga om Aryo datang ke rumah kami lagi.

“Memang pacarmu yang bernama Radit itu brengsek!” kata om Aryo kepadaku. Tampak benar dia kesal.

“Aku tidak bekerja sendiri,” lanjutnya. “Aku bersama team mendatangi rumahnya untuk bertemu dan berunding, tetapi dia tidak tahu ke mana. Orang tuanya pun mengaku tidak tahu, dan tidak bisa dihubungi. Kita dikejar waktu. Kandunganmu semakin tua dan akan kelihatan! Dan lagi, kalau nanti melahirkan, jaraknya terlalu dekat dengan hari pernikahanmu. Orang pasti curiga.”

“Lalu bagaimana, om?” tanyaku ikut cemas.

“Kamu tetap harus menikah!”

“Tetapi Radit?”

“Persetan dengan dia! Nanti kita akan mencari cara untuk memberi pelajaran anak itu.”

“Lalu?”

“Kamu akan kawin dengan kakaknya!”

“Hahh!!”

Jelas aku sangat kaget dengan pernyataan om Aryo itu. Kawin dengan kakaknya Radit? Mas Naren?

Ah, ini sudah di luar kemampuanku untuk membayangkannya.

“Kok gitu, om?” tanyaku dalam kebingungan.

“Iya, dan ini sudah diputuskan!” tegas om Aryo.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PERSETAN!   Bab 20

    SEKITAR jam 5 sore, mas Naren sampai di rumahku. “Ayo masuk, mas,” sambutku di teras menyuruhnya masuk ke rumah. “Ah, nggak usah Ndri, di sini saja,” katanya sembari melihat Bunga-bunga yang ada di taman depan rumah. Aku tertegun. Mas Naren tidak mau masuk ke rumahku?? “Masuk mas, ibu ada di dalam,” kataku. Sewajarnya menantu datang menyalami mertuanya, apalagi ibu baru mendapat musibah dan dia kemarin tidak datang menghadiri pemakaman bapak. Tetapi mas Naren tidak menghiraukan ajakanku. Kini semakin jelas, dia tidak mau masuk ke rumahku! Mas Naren baru kali ini ke rumahku. Kami sebelumnya memang tidak begitu saling kenal, dan pernikahanku dengannya terjadi begitu saja tanpa dia pernah datang meminangku, atau mengunjungiku terlebih dahulu di rumah ini. Kini, dengan sikapnya, dia menempatkanku di posisi yang sangat tidak enak. Bagaimana mungkin aku meminta ibu untuk keluar dan menemuinya di sini? Apa kata mas Pras nanti jika mel

  • PERSETAN!   Bab 19

    SETELAH prosesi pemakaman bapak, aku tetap di rumah ibu untuk menemaninya. Aku merasa malas dan kecewa terhadap mas Naren dan keluarga pak Handoyo karena mereka tidak sedikit pun tampak hadir, padahal mereka terbilang keluarga dekat. Suami dan mertuaku! Malamnya mas Naren menelepon. “Indri, kapan kamu pulang?” tanyanya tanpa rasa bersalah sama sekali. Padahal, di rumah ini, di ruang depan, masih banyak orang yang melaksanakan tahlilan dan membaca Al-Qur’an karena kematian bapak. Teganya suamiku ini menanyakan kapan aku pulang! “Maaf mas, aku tidak pulang. Aku mau menemani ibu dulu. Ada acara tahlilan selama tujuh hari,” jawabku dengan malas. “Tujuh hari? Mami menanyakan kamu,” sahut mas Naren tanpa empati. “Iya,” jawabku singkat lalu mematikan telepon. Ada rasa eneg di perutku mendengar nada bicaranya itu. Tetapi kembali ponselku bergetar. Mas Naren menelepon lagi. “Indri, kamu tidak bisa tidak pulang selama itu…” Mendengar kata-kata i

  • PERSETAN!   Bab 18

    DI KANTOR, aku tidak dapat fokus dengan pekerjaanku. Pikiranku terus sibuk membayangkan bagaimana reaksi papi mami nanti jika melihat kami pergi tanpa pamit. ‘Tidak mungkin. Itu tidak mungkin dilakukan!’ bantahku sendiri dalam hati. Tetapi, jika kami tidak jadi pergi, alangkah bahagianya nanti Radit menertawakan kami. Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada telepon dari ibu. “Indri…” terdengar suara ibu memanggilku, tetapi nadanya sangat berduka. Kayaknya ibu menangis. “Iya bu. Ibu kenapa?” tanyaku cemas. Firasatku langsung menjadi tak enak. “Bapak… Ndri… bapak…” “Iya… Bapak kenapa bu?” aku menjadi panik. “Bapak kecelakaan… Ndri… bapak… meninggal…” Astaghfirullah! Seketika aku merasa seperti jiwaku melayang. “Ibu… bapak di mana??” teriakku kacau. “Indri… kamu pulang, nduk…” sayup ibu berkata dan suaranya kemudian menghilang. Mungkin ibu pingsan. Aku segera menelepon mas Naren. “Mas, bapak meninggal, kec

  • PERSETAN!   Bab 17

    “TIDAK bisa!” teriak Radit. Aku menoleh sambil tersenyum mengejeknya. “Mengapa tidak bisa? Sudah lumrah kalau pengantin baru berbulan madu.” “Tetapi kalian bukan pengantin!” “Kamu sendiri ikut menyaksikan pernikahan kami.” “Tetapi…” Radit menatap mas Naren penuh dendam. “Kamu tidak bisa melakukan itu!” geramnya. Namun sesaat kemudian, Radit malah tersenyum.”Oh, begitu cara kalian! Coba saja kamu lakukan, culun! Kamu akan menyesal!” Radit terang-terangan menyebut mas Naren sebagai culun. Mas Naren sendiri hanya diam dan tidak berusaha untuk bicara. Aku kasihan kepadanya. Mengapa Radit begitu songong kepada kakaknya? Apakah dia sudah tahu kalau mas Naren hanyalah seorang anak pungut, sehingga dia bisa meremehkannya? “Ehmm…” terdengar papi berdehem hendak bicara. “Naren, bukankah di kantor sekarang lagi banyak pekerjaan? Kita masih harus menemui orang-orang pemda untuk memuluskan pembebasan lahan yang sekarang seda

  • PERSETAN!   Bab 16

    MAS NAREN tidak meneruskan kata-katanya. Aku pun tidak ingin mendesaknya. Biarlah dia menenangkan hatinya terlebih dahulu.“Ayo kita tidur…” kata mas Naren akhirnya.Aku bingung. Orang di depanku ini sungguh aneh. Baru saja dia membuka persoalan, namun belum selesai, dia malah mengajak untuk tidur.“Mas, teruskan dulu kata-katamu tadi,” pintaku penasaran.Mas Naren malah tersenyum. “Sudahlah Indri, sudah malam. Ayo kita tidur. Besok kamu masuk kerja, kan?”“Tidak, kamu teruskan dulu kata-katamu. Tetapi… apa?”“Indri…”Sifat keras kepalaku muncul. “Kalau gitu, aku turun. Tidur di bawah!”“Eh…” mas Naren menarik tanganku sehingga aku terdorong ke depan dan menimpanya di atas tempat tidur. Dengan sigap mas Naren menggulingkanku sehingga dia menjadi di atas badanku. Dengan posisi itu dia jadi leluasa memeluk dan menciumik

  • PERSETAN!   Bab 15

    JIKA menuruti perasaan hati ingin membalas kesombongan Radit, aku akan langsung berkata ‘Ya, lebih baik begitu, dan aku terbebas dari kalian!’Tetapi aku tidak boleh terbawa emosi karena kelakuan Radit. Kesadaranku masih mengingatkanku bahwa selain Radit, anggota keluarga pak Handoyo ini semua baik kepadaku. Mas Naren pun sudah mulai berubah. Pak Handoyo dan mami Rita bahkan sedang menunggu cucunya dalam kandunganku ini. Pasti mereka akan sangat menyayanginya mengingat sulitnya mereka mendapatkan keturunan, seperti yang diceritakan mas Naren.Jadi persoalan sebenarnya hanya pada Radit. Oke, aku akan membalasnya dengan cara yang lain!Aku tersenyum. Aku melihat Radit melongo melihat senyumku.“Boleh saya tebak, kenapa kamu ingin melakukannya, tuan Radit?”Radit diam, kelihatan menunggu lanjutan kata-kataku.“Kamu sekarang cemburu kepada mas Naren, kan? Karena aku menjadi istri mas Naren, dan tidak bisa menjadi ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status