Share

PERMINTAAN BAPAK

"Anak Mas Gani meninggal, Pak? Inalillahi wa Inna ilaihi raji'un ...."

Bayi perempuan yang belum sempat kulihat wajahnya itu akhirnya menyerah. Mungkin dia juga merasakan kalau orangtuanya terbebani dengan kehadirannya.

"Bapak tahu kamu kesal, Ndra. Bapak menyesal karena tidak bisa menjadi penengah. Akan tetapi seburuk-buruknya saudara, dia tetap keluarga kamu."

Aku diam. Terserah Bapak mau bicara apa. Toh, dari arah pembicaraannya Bapak masih terlihat membela mereka. Bahkan terkesan menyudutkan aku.

Sepertinya penyesalan hanya terucap di bibir saja, tanpa bisa memaknainya lebih dalam.

"Kamu berubah semenjak menikah, Ndra. Bapak seperti kehilangan satu orang anak." Aku melirik Aina yang sedang menggantikan aku melayani pembeli. Semoga saja Aina tidak fokus menyimak. Aku tidak ingin dia merasakan sakit mendengar ucapan Bapak.

"Soal hubungan Bapak dan Bu Asti, sepertinya kamu lebih dewasa untuk mengerti. Bapak butuh orang untuk merawat dan menemani Bapak. Tanpa sepengetahuan mereka, Bapak sudah menikah siri dengan Bu Asti."

Aku diam dan beralih menatap Bu Asti yang mulai gusar. Mungkin, dia takut dengan respon yang akan kuberikan setelah mendengar pernyataan Bapak.

"Andra nggak masalah, Pak. Saya malah senang kalau Bapak ada yang menemani. Tetapi, apa persetujuan saya ini berpengaruh? Toh, Bapak tidak pernah meminta pendapat saya selama ini?"

Bapak bergeming. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan sekarang. Menyesalkah? Atau marah karena menganggap aku berani melawannya?

"Ada hal yang lebih penting dari ini sebenarnya. Bapak atas nama Adel ingin meminta bantuan kamu."

"Bantuan apa, Pak? Apa orang seperti saya masih dibutuhkan?" tanyaku penuh emosi. Aku melirik Aina yang menatapku dengan tajam. Pasti dia marah karena aku sudah bersikap diluar batas pada Bapak.

Aku tahu, Aina dan Bang Faiz memang sangat menghormati ibunya. Tidak pernah sekalipun aku mendengar mereka berucap kasar.

Menurutku itu wajar. Karena apa yang diterima Ibu mertuaku itu, juga sebanding dengan apa yang dia lakukan untuk anak-anaknya. Selalu hati-hati dalam bersikap dan selalu adil saat mengambil keputusan.

Saat aku tidak bekerja pun, Ibu masih memperlakukan ku dengan baik, sama seperti biasanya.

"Niko pergi meninggalkan rumah, Ndra. Ada yang bilang, dia pergi bersama wanita lain ke Bandung."

Aku tersentak mendengar pernyataan Bapak. Niko yang biasanya takluk dengan istrinya, ternyata berani juga meninggalkan rumah demi wanita lain. Mungkinkah Niko juga lelah dengan perangai Adel?

"Lalu saya harus bagaimana, Pak?"

"Temani Adel mencari Niko ke rumah orangtuanya. Dia belum tahu kalau Adel sedang hamil sekarang. Kasihan dia, Ndra ...," mohon Bapak.

Jadi karena ini Bapak rela datang jauh-jauh ke rumahku?

Bukan karena rasa bersalah, apalagi merindukan anak menantu dan cucunya, Abidzar. 

Ya, sepanjang percakapan kami, Bapak sama sekali tidak menanyakan kabar Abi. Haruskah sekarang aku ikut peduli dengan kesulitan mereka?

"Apa tidak ada yang lain yang bisa membantu, Pak?"

"Dani tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya, sedangkan Mas-mu masih dalam suasana berduka. Kamu sedang tidak bekerja sekarang, kan?"

"Saya kerja, Pak. Bapak bisa lihat, ini usaha yang baru saya rintis bersama Aina. Memang bukan pekerjaan yang membanggakan untuk Bapak, tapi ada harapan saya disini."

"Setidaknya kamu bisa libur, Ndra. Tolong Adel. Bapak akan ganti keuntungan kamu selama beberapa hari!" ucap Bapak lantang, dan terdengar angkuh di telinga siapapun yang mendengarnya.

Aku lagi-lagi hanya bisa menarik nafas agar bisa mengendalikan diri. Percuma. Membalas ucapan Bapak hanya akan membuatku terlihat sebagai anak durhaka di mata para pembeli yang ikut menyimak pembicaraan kami. Tanpa mereka sadari, bahwa ada juga orangtua yang dholim terhadap anaknya.

Dengan mudahnya Bapak ingin membayar tenagaku untuk membantu Adel. Lalu, kenapa saat aku membutuhkan uang dua ratus ribu Bapak diam saja?

"Ini bukan masalah untung atau rugi, Pak! Tapi saya baru memulai usaha ini. Ada uang Aina  yang menjadi tanggung jawab saya untuk mengelolanya."

"Jadi, kamu tidak bisa membantu Adel?" tanya Bapak memastikan.

"Saya berunding dulu dengan Aina, Pak."

"Bapak tunggu jawaban kamu, Ndra. Tolong bantu Adel!" pesan Bapak sebelum pergi.

"Jangan lupa juga buka blokirannya agar kami mudah menghubungi kamu!'

***

Malam harinya, aku meminta pendapat Aina. Walaupun aku sudah yakin, kalau dia pasti menyuruhku memenuhi permintaan Bapak. 

"Mas jangan inget Adel yang selalu bikin kesel. Coba deh, ingat waktu dia masih kecil. Apa Mas tega kalau adik yang dijaga dari kecil itu ada yang nyakitin?"

"Waktu sudah mengubah semuanya, sayang ... Nggak bisa disamain. Adel sudah banyak berubah!"

"Jadi mau sampai kapan begini? Barangkali dengan bantuan Mas kali ini, Adel bisa lebih menghargai?"

Aku bingung. Malas sebenarnya berurusan dengan mereka lagi. Saudara tapi rasa orang lain.

"Mas coba lihat Abi. Apa dia akan kesepian terus sampai besar?  Selama ini, Abi kaya nggak punya saudara. Jangankan kenal Dinda sepupunya, sama Kakek, Om dan Tantenya, aja enggak ...."

Dinda adalah anak Dani dan istrinya, Zema. Jangankan Abi, aku dan Aina saja baru sekali bertemu dengannya. 

"Percuma kenal mereka kalau hanya bikin hati Abi sakit nantinya. Aku harus melindungi perasaan kamu, perasaan Abi juga!"

"Jangan balas kejahatan dengan kejahatan suamiku sayaaaang ... Mas lupa kalau ada Allah sebaik-baiknya pemberi balasan?" Aina mulai membujukku dengan mimik wajah yang menggemaskan.

"Kali ini aja kamu bantu Adel, kalau setelah ini dia masih nggak berubah, aku juga nyerah!"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
suka sama Andra walau keluarganya tidak menyukai Aina tetapi dia tetap membantu Aina . tidak seperti cerita yg lain terus di jodohkan diam " di sini ceritanya menyenangkan suami istri yg baik saling membantu . good job thoer
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status