POV AINAAku menatap lekat wajah Mas Andra yang tertidur pulas di pangkuanku. Akhirnya, pertanyaan demi pertanyaan yang selama ini muncul dibenakku terjawab sudah.Semenjak menikah dengan Mas Andra, tiga tahun yang lalu, aku memang sudah merasa ada keanehan. Suamiku seperti terasingkan dan menjauhkan diri dari keluarganya. Setiap kali aku bertanya, dia hanya berkilah kalau keluarganya memang sibuk. Ternyata, dia rela menutupi semuanya demi menjaga perasaan istrinya.Semua berawal saat Mas Andra membeli handphone baru. Pesan-pesan lama yang sudah dicadangkan tetap tersimpan dan dia lupa menghapusnya lagi. Dari deretan chat yang masih ada, aku tahu kalau hubungan Mas Andra dengan keluarganya selama ini tidak baik. Namun, kasih sayang dan perhatian lebih yang dicurahkan Mas Andra, membuatku lupa dengan hal penting yang harus kuselidiki.Selama dua hari tidak memiliki handphone, Mas Andra kerapkali meminjam ponsel milikku setiap kali dia merasa bosan. Entah membuka akun IG atau Facebook,
"Sayang, kamu udah tidur?" tanyaku pada Aina di ujung sambungan telepon. Sehari-harinya kami selalu bersama. Jadi saat terpisah seperti ini, membuatku sangat merindukannya."Udah, Mas. Eh, kalau sekarang belum."Aina terdengar gugup. Mungkin dia merasakan hal yang sama sepertiku. Menahan rindu. Membuatku tertawa mendengar jawabannya yang terdengar menggemaskan itu."Abi sudah tidur?" tanyaku lagi. Karena biasanya, dia hanya akan tidur kalau sudah kugendong."Sudah. Mas, kapan pulang?""Malam ini Mas pulang sayang, sebentar lagi. Oya, tadi Mas dihubungi Bang Faiz dan dia bilang, mau ikut bareng sama Mas malam ini ke Jakarta. Nih, lagi nunggu di depan kontrakannya.""Nanti Adel bagaimana, Mas? Takutnya nggak nyaman kalau Bang Faiz ikut." Suara Aina terdengar cemas."Dia masih ingin menunggu Niko dirumah mertuanya. Jadi nggak ikut pulang.""Oh begitu ... Oya, Mas, tadi Bapak kesini lagi sama Bu Asti," terang Aina. "Bapak? Ngapain?""Dia bilang, dia mau ketemu Abi.""Terus?""Bapak bawa b
"Saya baru mau jualan, Pak. Kalau nanti sore bagaimana?" kataku beralasan. Mencoba mengetes Bapak. Apakah ini benar-benar darurat atau tidak."Tapi Bapak perlu sekarang, Ndra!" pintanya lagi. Suaranya kini terdengar jauh lebih tenang, tapi kenapa aku malah semakin khawatir?Prang!!!Aku menoleh cepat. Ternyata Aina baru saja menjatuhkan gelas beling."Yang, kamu nggak apa-apa?" tanyaku khawatir dan sedikit mengabaikan Bapak. Kuletakan ponsel di meja, lalu mengambil pecahan kaca.Kulihat Aina langsung menutup laptopnya dan ikut berjongkok memunguti pecahan beling."Nggak sengaja kesenggol gelasnya tadi." Suara Aina terdengar bergetar."Kamu duduk aja, biar Mas yang beresin!" perintahku setelah melihat tangannya juga gemetar saat memasukan satu persatu pecahannya ke dalam plastik "Aku aja yang beresin. Mas harus nemuin Bapak, kan?""Nggak tahu, Mas bingung. Nanti jualan bagaimana? Mana ayamnya sudah terlanjur Mas kasih bumbu!""Ya ampun, masih mikirin ayam aja. Kan ada Bang Faiz!""Ngg
Aku berteriak kencang saking kagetnya, melihat Bapak sudah berada di bawah tempat tidur dengan posisi tengkurap."Angkat, Mang!" perintahku begitu Mang Eri datang.Kami berdua langsung menggotong Bapak menuju mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Bu Asti terus menangisi Bapak yang tidak sadarkan diri."Bapak mengalami pendarahan di otak, Del. Kondisinya kritis sekarang!" Aku memberitahu Adel lewat panggilan telepon.Saat aku menemukan Bapak, dahinya memang terluka. Mungkin karena benturan yang keras ketika dia terjatuh."Kok bisa, Mas?" tanya Adel datar."Mas nggak tahu. Bapak terjatuh dari tempat tidur!""Tapi aku belum bisa pulang, Mas. Bagaimana kalau tiba-tiba Niko datang dan meminta persetujuan keluarganya untuk menikahi Findri? Bisa kecolongan aku nanti!" katanya mencari alasan.Aku hanya tertunduk lesu mendengar alasan Adel. Ini adalah ketiga kalinya menghubungi saudaraku dan mereka sama-sama menolak menemui Bapak.Sebelumnya, Dani dan Mas Gani men
Mas Gani hanya diam melihat aku dan Dani bertengkar. Biasanya, tanpa dikomando, dia akan mengambil alih tugasnya sebagai pemimpin. Namun, kali ini dia tidak berkutik melihat pertengkaran yang terjadi. Mungkinkah dia menyesali sikapnya pada Bapak belakangan ini?Setelah aku dan Bu Asti mengurus administrasi, jenazah Bapak di bawa ke rumah untuk disemayamkan.Adel yang datang bersama mertuanya, menangis histeris melihat Bapak sudah tidak bernyawa. Tangis penyesalan pun mewarnai kedatangannya. Tangis yang tidak berarti apa-apa karena Bapak kini sudah tiada."Nak, Ibu pulang dulu ...," pamit Bu Asti padaku, setelah Bapak selesai dikebumikan."Ibu tetap disini dulu!" pintaku.Bu Asti mengembuskan napas kasar. Dia sempat melirik ketiga saudaraku."Ibu nggak mau menambah kesedihan saudara kalian. Insya Allah doa dari Ibu akan terus mengalir untuk Bapak, walaupun Ibu tidak di sini, Nak!"Bu Asti mungkin menyadari. Kehadirannya di sini tidak diharapkan mereka."Tapi, Bu!" Aku masih berusaha me
"Itu kelamaan Andra! Jual rumah itu nggak seperti jual cabai! Kita bisa bicarakan ini dulu!" sela Mas Gani tak mau kalah."Mas! Ini bukan masalah itu. Aku tahu rumah ini nggak akan langsung terjual, tapi etika, Mas! Bapak baru meninggal tadi!""Susah memang ngajak Mas Andra kalau berunding soal beginian. Jangan salahkan kami kalau kita bertindak di belakang kamu, Mas!" kata Dani mengompori."Silahkan! Toh, kalian pasti juga butuh tanda tangan saya sebagai salah satu ahli waris! Dan saya nggak akan pernah menandatanganinya sebelum seratus hari Bapak!" sahutku kasar, sambil berlalu meninggalkan mereka.Aku berjalan keluar. Langkahku terasa berat sekali. Di teras, keluarga dari kedua kakak Bapak masih berkumpul. Aku tidak yakin kalau mereka tidak mendengar perdebatan kami yang cukup keras itu."Andra, sepertinya Pak De harus pamit. Maaf nggak bisa bermalam disini," kata Pak De Wirya, kakak Bapak yang pertama. "Nggih, Pak De!"Mereka semua jauh-jauh dari kampung kesini menggunakan bus ya
Dengan tergopoh-gopoh, Mang Eri yang sedang berada di ruang depan menghampiriku ke kamar Bapak. Kakiku lemas seketika sampai harus memegang pinggiran tempat tidur."Ada apa, Mas Andra?" sahut Mang Eri yang ikut panik mendengar teriakanku. Dia melihat ke dalam kamar Bapak untuk memastikan apa yang terjadi."Mang, apa CCTV di rumah ini masih berfungsi semua?" desakku begitu Mang Eri datang."Masih Mas Andra, memangnya ada apa?" tanyanya penasaran. Aku mengusap tengkuk yang tiba-tiba saja terasa berat."Kita lihat rekaman waktu Dani ke kamar ini dan bertengkar sama Bapak ya, Mang!"Mang Eri tampak mengingat-ingat sejenak."Tanggal berapa itu ya, Mas?""Tanggal dua puluh tiga kalau nggak salah Mang. Coba saja dulu!" perintahku lagi."Iya, Mas."Kami berdua segera menuju kamar bekas ruang kerja Bapak saat masih aktif bekerja dulu, untuk melihat rekaman CCTV pada hari itu. Dengan perasaan berdebar, aku tak sabar menunggu file terbuka."Sebenarnya, ada apa Mas Andra?" tanya Mang Eri makin pe
Aku menuruti saran Aina. Keesokan harinya, lebih dulu kujemput Adel bersama Mang Eri menggunakan mobil Bapak."Kenapa, sih Mas? Apa nggak bisa lewat pesan aja?" Adel menggerutu sambil masuk ke dalam mobil "Nggak bisa, Del. Oya, mertua kamu masih ada di sini?""Sudah kembali ke Bandung kemarin, Mas!""Kamu nggak jagain Niko lagi disana?""Aku udah malas, Mas. Yang penting, semua aset udah atas nama aku, jadi aku nggak perlu ngemis-ngemis dia buat balik lagi sama aku!" Adel mendengkus kesal."Lha, terus ngapain waktu itu kamu minta anter ke Bandung?" tanyaku gemas."Aku cuma mau tahu bagaimana sikap mertuaku saat tahu anaknya selingkuh!"Aku kembali melirik Adel, melihat ekspresi wajah yang sudah kembali seperti biasanya. Tidak ada lagi gurat kesedihan yang menyiratkan kalau dia sedang terluka.Beginikah jika menikah hanya memandang harta? Adel tidak begitu peduli saat belahan jiwanya mencintai wanita lain. Kalau aku, mungkin lebih baik kehilangan segalanya daripada harus kehilangan Ai