LOGIN“Kamu yakin kita harus pakai cincin itu?” tanya Reina berbisik saat melihat bunda Abian berjalan mendekat ke arah altar sambil membawa kotak beludru warna merah.
“Apa hal begini saja kamu tidak tahu?” sindir Abian. “Jangan mulai,” peringat Reina sambil mencubit lengan Abian dengan pelan. Setelah acara tukar cincin selesai, lima puluh tamu undangan pilihan bergiliran mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Mereka adalah orang-orang terpilih dari keluarga inti, rekan bisnis hingga orang yang berpengaruh dalam dunia bisnis. Mereka semua menyambut bahagia pernikahan ini, berbanding terbalik dengan kedua mempelai. Sore harinya, Reina memilih untuk mengurung diri di kamar pengantin yang dingin dan luas. Ia tidak memedulikan petugas keamanan yang berpatroli di sekitar vila, tidak juga suara para pekerja yang mulai membereskan dekorasi. Ia hanya berbaring di ranjang, menatap langit-langit yang sama hampa dengan hatinya. Di tempat lain, Abian berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit yang mulai menghitam. Angin membawa aroma laut dari kejauhan. Di tangannya, ada foto dirinya dan Cindy yang masih tersimpan di dompet. Ia menatapnya lama, rasa cinta itu masih ada, tapi hatinya tidak menerima sebuah pengkhianatan. “Permainan ini baru saja dimulai,” gumam Abian sebelum memasukkan dompet ke dalam saku celananya. Malam itu, mereka makan malam berdua untuk pertama kalinya sebagai suami istri. Di ruang makan yang terlalu megah dan terlalu sepi, Reina memutar-mutar garpunya tanpa niat untuk menyentuh makanan. “Aku akan tinggal di rumahku,” kata Abian memulai. “Besok kamu akan ikut denganku,” lanjutnya. Reina mendongak. “Kapan aku menyetujui itu?” Abian melirik sekilas istrinya, lalu kembali fokus pada makanannya. “Tidak ada pilihan lain. Apartemenmu terlalu dekat dengan ... seseorang.” Reina menyipitkan mata. “Apa maksudmu?” “Raka.” Detik itu juga jantung Reina berdetak cepat. “Sejauh mana kamu menyelidikiku?” Abian mengedikkan bahu. “Sejauh yang kamu bayangkan.” Reina menatap tajam Abian. “Termasuk tentang orang tuanya?” “Termasuk tentang ibu Kasih yang pernah menjadi wanita penghibur di klub malam,” tambah Abian dengan santainya, acuh dengan tatapan berang Reina. Reina meletakkan garpu dengan kasar. “Sialan. Kamu pikir dengan menyelidiki latar belakang Raka, kamu bisa mengontrolku seperti dulu?” “Tidak, tapi aku akan memastikan tidak ada skandal baru yang mencuat setelah semua ini,” jawab Abian dingin. Mata mereka saling bertemu. Dingin melawan panas, luka melawan gengsi. Di tengah meja itu, dua gelas wine merah menjadi saksi bahwa pernikahan ini bukan tentang cinta, melainkan tentang kekuasaan, rahasia, dan kebencian yang belum selesai. Selepas makan malam yang penuh ketegangan itu, Abian dan Reina menuju kamar pengantin yang telah disiapkan. Keduanya mulai melakukan aktivitas masing-masing tanpa memperdulikan yang lain. Abian berjalan menuju balkon dan Reina langsung menuju kamar mandi. Kerutan di kening Reina muncul saat melihat Abian rebahan di satu-satunya kasur yang ditempatkan di tengah ruangan. “Kenapa masih di sini?” tanyanya. “Tentu saja untuk tidur,” jawab Abian masih dengan memejamkan kedua bola matanya, menyembunyikan netra hazel yang memikat. “Tidur? Maksudmu kita malam ini harus berbagi tempat tidur?” tanya Reina memastikan dan berharap lelaki itu menjawab tidak. Abian membuka matanya. Hazel bertemu obsidian. Seringai muncul di bibir tebalnya sebelum menjawab. “Sayangnya iya. Bukankah sudah seharusnya sepasang suami-istri berbagi tempat tidur dan saling menghangatkan?” “Kalau kamu pikir malam ini akan seperti malam-malam kita dulu.” Reina menatap tajam Abian. “Teruslah berharap dalam mimpimu itu,” lanjutnya. Reina lalu mengambil bantal dan berjalan ke arah sofa yang ukurannya cukup besar. Malam ini dia akan tidur di sofa. Dia tidak sudi harus seranjang dengan Abian, cukup di masa lalu dia menjadi bodoh, tidak untuk masa sekarang. . . . ~ To Be Continue ~“Siapa kamu?” tanya Abian dengan nada dingin yang mematikan.Panggilan itu terputus begitu saja sebelum sempat ada jawaban. Abian menurunkan ponsel perlahan. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya berubah gelap, memancarkan amarah sekaligus kekhawatiran.Papa Reina menangkap aura menantunya yang tegang dan menatapnya cemas. “Bian, ada apa?” tanyanya hati-hati.“Kita harus segera ke rumah sakit, Pa,” jawab Abian tegas, suaranya bergetar tipis menahan marah dan khawatir. “Reina, ada sesuatu yang terjadi padanya.”Dalam perjalanan menuju rumah sakit, ponsel Abian kembali bergetar di tangannya. Nama bodyguard muncul di layar, membuat dadanya menegang sebelum panggilan itu terhubung. Perasaan tidak nyaman merambat cepat, seperti firasat buruk yang baru saja menemukan bentuknya.“Tuan Abian, Nyonya Reina diculik,” lapor suara di seberang begitu sambungan terhubung, terdengar tergesa namun terkontrol. “Saat ini saya menja
“Apa rapatnya sudah disiapkan?” tanya Abian akhirnya, suaranya rendah namun tegas.“Mereka sudah menyiapkannya, Tuan,” jawab Roy tanpa ragu. “Ruang rapat utama diamankan. Link rapat daring juga sudah saya kirim ke Jay sesuai permintaan Anda dan Tuan besar.”Abian mengangguk pelan. “Pastikan tidak ada gangguan. Hari ini tidak boleh ada celah.”“Siap, Tuan.”Mobil berhenti tepat di depan gedung utama Brawijaya Group. Abian turun lebih dulu dengan langkah mantap, jasnya rapi, sorot matanya dingin dan tak tergoyahkan. Udara di sekelilingnya seolah mengeras, membawa tekanan yang tak kasatmata. Di dalam mobil, Papa Reina masih duduk tenang, wajahnya datar dan berwibawa, jelas siap menghadapi apa pun yang akan terjadi hari ini.Abian melangkah masuk ke lobi diikuti oleh Roy. Suasana mendadak berubah. Beberapa karyawan yang biasanya menyapa kini hanya menunduk hormat, merasakan ketegangan yang menggantung di udara.“Roy,” ucap Abian sing
Papa Reina menggenggam tangan itu perlahan, penuh kehati-hatian. Jemarinya gemetar, membawa penyesalan yang akhirnya tak bisa lagi ia sembunyikan. Tatapannya jatuh, sarat rasa bersalah yang terlambat disadari.“Boleh, Sayang,” ucap Papa Reina lirih, suaranya penuh kehati-hatian. “Kita jalani pelan-pelan. Papa akan sabar dan ada untukmu.”Ia menatap putrinya dengan mata basah. “Papa ingin mendengar semuanya, setiap luka yang selama ini kamu pendam sendiri.”Reina mengangguk kecil. Air mata kembali jatuh, namun kali ini tidak disertai ketakutan yang melumpuhkan. Ada gemetar di bahunya, ada luka yang masih terbuka, tetapi juga ada keberanian yang baru saja tumbuh.Mama Reina mendekat dan duduk di sisi ranjang, tangannya menyentuh pundak Reina dengan kehangatan yang menenangkan. “Kita keluarga, Nak,” ucapnya lembut. “Luka lama memang tidak bisa hilang seketika, namun kita bisa berjalan bersama, pelan-pelan, sambil saling menjaga.”
Abian menegang seketika, dadanya seolah berhenti berdetak selama satu detik sebelum melangkah maju tanpa ragu. “Apa dia sudah sadar, Dok?” tanyanya cepat, suaranya tertahan di antara harap dan takut.Dokter menatapnya sejenak, lalu menjawab pelan, “Tadi sempat sadar sebentar dan pasien meminta bertemu dengan Tuan Abian. Kondisinya masih lemah, tetapi pendarahan sudah berhasil dikendalikan. Tanda vitalnya mulai stabil, jadi Anda boleh masuk sebentar, bicara padanya, tapi jangan membuatnya terkejut.”Abian melangkah masuk ke ruang tindakan tanpa menoleh ke belakang. Bau antiseptik langsung menyergap inderanya, menusuk hidung dan tenggorokan. Di tengah ruangan, Reina terbaring lemah, wajah pucat, dengan selang dan alat medis menempel di tubuhnya.Langkah Abian melambat saat mendekat, tangannya gemetar saat menggenggam jemari Reina yang dingin. “Maafkan Mas,” bisiknya lirih, suaranya pecah. “Mas terlambat, tapi Mas di sini sekarang. Mas janji, k
“Pa-papa?” gumam Abian, terkejut melihat Papa Reina berdiri di lorong rumah sakit.“Nak Bian, apa yang terjadi pada anak mama, Sayang?” tanya Mama Reina, suaranya bergetar, penuh kecemasan dan kasih sayang.Abian terdiam sejenak, menahan emosi yang mendidih di dadanya. Menatap lelaki paruh baya itu membuat darahnya bergejolak. Jika saja dia tidak mengingat status mertuanya, sudah pasti ia akan meledak tanpa pikir panjang.“Tuan,” gumam Roy di sampingnya, menyadari wajah Abian memerah menahan amarah.“Aku bisa menahannya,” sahut Abian lirih, menatap kedua orang tua istrinya dengan mata yang menahan bara kemarahan.Bodyguard dan Roy merasakan ketegangan itu dengan jelas. Tangan Abian mengepal erat, rahangnya mengeras, setiap tarikan napasnya terasa berat dan tajam. Udara di sekitarnya seolah ikut menegang, siap pecah kapan saja.“Reina mencoba bunuh diri,” ujar Abian pelan, suaranya nyaris seperti peng
Abian menoleh pada Roy. “Bawa semua data ini ke ruang aman. Jangan biarkan siapa pun mengaksesnya tanpa izinku. Termasuk keluargaku sendiri.”Roy mengangguk tegas. “Siap, Tuan. Semua akan diamankan.”“Gabungkan dengan semua bukti yang sudah kita punya,” lanjut Abian tanpa jeda. “Mulai sekarang, semuanya masuk ke perintah darurat.”“Baik, Tuan,” jawab Roy cepat, ekspresinya berubah lebih serius.Abian mengembuskan napas berat, lalu menatap mereka berdua. Sorot matanya dingin namun penuh tekad. “Kalau Cindy pikir dia bisa menutup semua jejak dan bermain-main dengan nyawa orang, dia salah besar. Aku akan pastikan semuanya tersingkap dengan caraku.”Tidak ada satu pun yang berani menanggapi. Aura Abian berubah tajam, dingin, seperti badai yang baru saja menemukan arah pasti untuk menghantam. Roy hanya mampu menunduk dalam, memahami bahwa sesuatu yang jauh lebih besar baru saja bergerak.Setelah memberikan perintah terakhir, Abian ber







