Share

BAB 43.

Author: QIEV
last update Huling Na-update: 2025-07-30 22:08:59

Pintu toko baru saja ditutup Elan. Dia juga memasang tanda closed. Berjaga agar konflik keluarga ini tidak jadi konsumsi publik. Meski dirinya tak tahu apapun.

Ibu Deni menatap dingin pria asing ini. Dia mewanti agar Elan tak ikut campur urusan mereka.

"Siapa kamu!" tanyanya dengan mata menyalak.

"Malaikat Amaludin," jawab Elan singkat tanpa melihat wajah ibu Deni. Dia memilih berdiri di kusen pintu penghubung ke dapur, bersedekap.

Qale meletakkan ponselnya di atas etalase. Dia mencoba menanggapi dengan sabar. "Duduk, Kak, Nyonya," katanya sambil menunjuk kursi tak jauh dari mereka.

Ajakan itu diacuhkan. Lea menuding wajah Qale. "Cabut perkara!" sentak Lea. Telunjuknya menyentuh dahi Qale.

"Muka polos kelakuan iblis!" maki ibu Deni, sambil memegangi lengan Lea.

Qale masih diam. Dia menghargai Lea di depan Ria dan Elan. Membalas pun percuma, hanya menambah kebenciannya nanti.

Sembuh dan menerima ingatan masa lalu saja menguras energi, apalagi soal kecewa.

Melihat Qale hanya diam, ke
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 44.

    Qalesya bergeming. Rasa iba sekaligus kecewa masih menggantung di sudut matanya.Dia menghela napas. Menghampiri sang ayah yang berdiri di depan pintu toko.Qale mengajaknya duduk di kursi rotan dekat jendela, memandangi pohon di sisi jalanan yang masih basah oleh guyuran dinas PU. Tangannya tenang di atas paha, sementara pikirannya sibuk memutar ulang kata-kata dari surel yang baru ia baca tadi—penawaran damai, dari pihak Lea.Hasan datang pagi-pagi sekali, membawa kantong berisi buah dan teh celup. Ia duduk berhadapan dengan Qale, tubuhnya terlihat tegang."Kalau cuma buat damai demi reputasi, Ayah pulang aja," ujar Qale, datar.Hasan menghela napas. "Ayah nggak mau kamu berpikir bahwa Ayah nyuruh kamu tunduk. Ayah cuma pengin kamu punya ruang buat mikir jernih.""Ruang jernih ... dulu, ibu juga nggak punya," balas Qale cepat. "Sekarang, aku juga begitu."Hasan akhirnya bicara soal warisan. Tentang aset, pembagian keuntungan masa lalu, dan surat legal yang siap ia tandatangani jika

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 43.

    Pintu toko baru saja ditutup Elan. Dia juga memasang tanda closed. Berjaga agar konflik keluarga ini tidak jadi konsumsi publik. Meski dirinya tak tahu apapun.Ibu Deni menatap dingin pria asing ini. Dia mewanti agar Elan tak ikut campur urusan mereka."Siapa kamu!" tanyanya dengan mata menyalak."Malaikat Amaludin," jawab Elan singkat tanpa melihat wajah ibu Deni. Dia memilih berdiri di kusen pintu penghubung ke dapur, bersedekap.Qale meletakkan ponselnya di atas etalase. Dia mencoba menanggapi dengan sabar. "Duduk, Kak, Nyonya," katanya sambil menunjuk kursi tak jauh dari mereka.Ajakan itu diacuhkan. Lea menuding wajah Qale. "Cabut perkara!" sentak Lea. Telunjuknya menyentuh dahi Qale. "Muka polos kelakuan iblis!" maki ibu Deni, sambil memegangi lengan Lea.Qale masih diam. Dia menghargai Lea di depan Ria dan Elan. Membalas pun percuma, hanya menambah kebenciannya nanti. Sembuh dan menerima ingatan masa lalu saja menguras energi, apalagi soal kecewa. Melihat Qale hanya diam, ke

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 42.

    Pintu toko berbunyi pelan saat Qale mendorongnya masuk. Bau gula karamel dan sisa adonan yang mengering di loyang menyambutnya seperti sapaan hangat seorang ibu.Ria sudah berdiri di balik meja kasir, senyumnya canggung seperti seseorang yang menyimpan kejutan tapi tak tahu harus mulai dari mana.Tatapan Qale pada Ria menyiratkan kalimat, "Mana dia?"Ria membalas dengan lirikan mata ke kanan, ruangan staf. Sambil meladeni pembeli yang akan membayar.Qale memilih merapikan etalase yang sudah kosong, menata pastry itu agar tampak rapi."Dia di dalam, Mbak. Lagi ngeliatin dapur kita kayak lagi audit," bisik Ria sambil menunjuk arah belakang.Qale menaikkan alis, "Kok diizinkan ke dalam?" katanya lalu melangkah pelan masuk ke dalam. Napasnya sempat ditahan ketika melihat sosok pria itu.Kaos putih polos, jaket jeans robek yang digantung di satu bahu, kamera menggantung di leher, dan celana kargo hitam yang digulung seenaknya. Pria itu membalik badan, menatap Qale sekilas, lalu menunduk la

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 41.

    Qale masih menata napasnya setelah membaca notifikasi di ponselnya."Ngapain Ayah telpon jam segini?" gumamnya seraya meletakkan gawainya asal.Dia lalu kembali merebahkan badannya, mencoba tertidur meski pikirannya berisik.Pagi itu, udara terasa lebih tenang dari biasanya. Qale duduk di meja makan bersama Wafa, semangkuk bubur ayam di hadapannya hanya disentuh beberapa sendok. Pikirannya masih dipenuhi mimpi semalam—tentang ibunya, Lea, dan kalimat singkat yang menggores hati."Aku mau bicara dengan Ayah hari ini," ucap Qale tiba-tiba.Wafa menoleh, sendok di tangannya berhenti di udara. "Kamu yakin? Soal apa?"Qale menatapnya lurus. "Aku harus tahu dari mulut Ayah langsung. Soal Ibu. Soal semuanya."Wafa menunduk sebentar, lalu mengeluarkan sebuah map dari bawah meja. Ia menyodorkannya perlahan. "Tapi aku nggak bisa nemenin, gapapa?" ujarnya sedikit kuatir.Qale mengangguk. "Gak apa, udah biasa sendiri, kan?" celotehnya sedikit tersenyum.Wafa lalu menyerahkan sebuah kertas di map

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 40.

    Langit mendung saat Qale melangkah keluar dari ruang sidang. Langkahnya tertatih, bukan karena luka di pelipis atau lengannya, tapi karena sesuatu yang jauh lebih dalam : kepercayaan pada keluarga yang runtuh.Wafa menyusulnya dari belakang. Roda kursi dorongnya menyentuh lantai marmer gedung pengadilan dengan bunyi lembut yang anehnya lebih terasa menusuk daripada langkah kaki siapapun di sekeliling mereka."Kamu nggak harus percaya sekarang," ucap Wafa pelan. "Tapi kamu harus bersiap jika kenyataannya memang dia," kata Wafa pelan.Qale duduk di bangku taman kecil di belakang gedung pengadilan. Kepalanya menunduk. Tangannya menggenggam ujung jaketnya erat-erat."Dia ... dia kakakku, Tata" bisiknya. "Sejak kecil, kami selalu sama-sama. Yang nemenin aku main meski Lea hanya diam saja ... kami juga sering berbagi makanan," tutur Qale dengan nada lesu.Wafa menunduk. Suaranya berat. "Mungkin kamu harus ingat juga hal-hal yang waktu itu kamu pikir 'aneh', tapi kamu abaikan."Qale menatapn

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 39.

    Wafa melihat berkas itu. Dia tidak terkejut, seolah sudah menduga bahwa otak pelakunya sama.Qale bertanya pada Wafa, tapi lelaki itu memintanya fokus pada dirinya agar lekas pulih.Saat kunjungan dokter, Wafa meminta agar Qale bisa diizinkan pulang. Tak lupa surat keterangan sehat agar Qale bisa hadir dipersidangan pekan depan.***Ruang sidang lumayan penuh. Beberapa di antaranya wartawan yang siap mencatat setiap kejadian. Di barisan depan, Qale duduk dengan tubuh tegak, wajahnya pucat tapi sorot matanya tak lagi rapuh. Perban di pelipisnya belum dilepas, dan luka di lengannya masih terasa nyeri jika disentuh. Tapi tidak ada yang lebih menyakitkan daripada rasa ingin tahu yang tak kunjung terjawab.Sementara di kursi pesakitan, Lea duduk dengan rambut tergerai, berhias pita di sisi kanan. Wajahnya tampak tenang, tapi suaranya ketika menjawab pertanyaan jaksa terdengar rapuh dan terbata."Saya ... saya tidak tahu apa-apa. Saya buta saat itu. Mana mungkin saya bisa melihat kejadian b

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status