Setelah toko tutup, Qale kembali ke rumah. Langkahnya pelan, tapi pikirannya berisik. Ia membuka kamar dan mulai mengobrak-abrik laci meja, mencari sesuatu — entah catatan lama, foto, atau ... ingatannya yang hilang.
Tangannya berhenti saat menemukan beberapa lembar kertas dari tumpukan komik usangnya. Gambar. Bukan gambar yang indah, melainkan coretan berantakan — ruwet, penuh goresan gelap dan spiral tak jelas. "Apa ini...? Aku yang menggambarnya?" bisiknya, heran sekaligus takut karena ada namanya di pojok kanan atas. Qalesya. Dia menggenggam kertas itu, lalu berdiri. Tangannya menggantung di udara saat mengetuk kamar sang ayah. Qale menarik napas panjang. Tok. Tok. Hasan membuka pintu, wajahnya terheran melihat si bungsu. "Ada apa?" "Ayah ... aku boleh lihat lemari Ibu, nggak?" Qale berkata pelan. "Mungkin ada buku, catatan, atau apapun..." Hasan menatapnya dalam, masih berdiri di ambang pintu. "Ngapain? Buat apa, sih?" "Aku juga nggak tahu buat apa. Rasanya kayak orang amnesia," lirih Qale. Matanya lalu mendelik seolah berpikir. "Apa aku pernah minum ramuan lupa ... atau memoriku dicabut pas tidur kek di film?” Senyum Qale miris, tapi matanya serius. Hasan menegang. Suaranya tercekat. “Ka-kamu nyari apa, Qale? ... Mana suamimu?" Elak sang ayah. "Fokus jualan kue saja, lah." Pertanyaan itu justru membuat Qale makin curiga. “Kenapa Ayah kayak ketakutan? Ada sesuatu yang disembunyiin dari aku?” Hasan memalingkan wajah. “Sudahlah. Kamu terlalu halu. Pulang sana.” Lalu ia pergi, memilih duduk di teras belakang, menatap langit kosong. Dia menyalakan rokok, tangannya gemetar, karena sudah bertahun-tahun berhenti. “Kalau dia ingat ... semuanya selesai.” Di dalam kepalanya, Hasan mendengar lagi percakapan istrinya dahulu dengan seseorang. Tentang anak mereka. Tentang ketakutan yang tak pernah ia pahami. Dan soal seorang pria bernama Wafa — yang ternyata pernah dikenal oleh istrinya... sebelum semua ini terjadi. Hasan mengepalkan tangan. “Apa hubungan kalian sebenarnya...” Sudah satu jam Qale mencari tapi tak menemukan apapun di lemari ibunya. "Apakah semua hal tentangku sengaja dihapus?” “Atau ... emang aku harusnya nggak tahu siapa diriku?” Dia bangkit dan saat berbalik, Lea berdiri di dekat pintu kamar sang ayah. "Cari apa? ... Masa lalu?" katanya sambil nyanyi kecil. “Biarlah masa lalu ... jangan kau usik ... nanti kamu terluka~” Qale menatapnya tajam. “Terluka apa, Kak?” "Selain bawa sial, kamu juga kepoan." Lea melenggang pergi. Baru beberapa langkah, dia balik badan sambil menunjuk matanya. “Dan kamu belum minta maaf sama aku.” Pemilik toko croissant ini terdiam tepat saat ART rumah mereka datang membawakan segelas teh. “Minum dulu, Neng.” Qale menggeleng. “Makasih, Mbak. Aku mau balik ke toko," ujarnya sembari melangkah. ART itu melirik kertas di tangan Qale. “Itu... boleh lihat?” tanyanya pelan. Qale menyodorkan lembaran gambarnya. Mata senja itu mengamati, seolah ingat sesuatu. “Oh, ini sih gambar waktu Neng dibawa ... eehhmm, bekas—” ART itu buru-buru menunduk. “Eeh, maaf, saya lupa harus nyapu dapur.” Wanita itu gegas pergi, sementara Qale menatap punggungnya curiga. Kalimatnya menggantung. Dibawa? Kemana? Bekas, bekas apa? Dia mendesah. Menepuk pelan kepalanya sendiri. “Kenapa sih aku nggak inget apa-apa...” *** Jelang tengah malam, Qale sampai di depan toko. Saat hendak membuka pintu, seseorang menghampirinya. Driver ojol. Tak bicara, ia menyerahkan sebuah kantong plastik bening lalu pergi tanpa kepastian bagai hubungan tanpa status. Isinya, sebuah CD lengkap dengan pemutarnya. Ada tulisan di bagian luar kemasan CD tadi. "Boleh lupa ... asal tak hilang rasa.” Qale mengernyit, mengendikkan bahu, belum paham maknanya. Dia pun masuk. Duduk bersandar di dinding kamar belakang yang sempit. Qale mengusap keping CD itu sebelum memasukkan ke pemutar tuanya, dia mencium bau lembab seolah telah disimpan lama. Pinggirannya pun sudah banyak goresan. Saat nada piano mengalun, Qale terkekeh, "Oldskul." Merasa seperti kolektor musik jadul. Lalu, suara itu. 🎶 “Ooh Bunda ada dan tiada dirimu ... kan selalu....” Suara pria — lembut dan tenang. Nyanyian lagu “Bunda” itu terasa seperti pelukan dari kejauhan. “Wafa?” gumam Qale. Dia menutup mata, merasakan musiknya, membuat hati menghangat. Tapi, suara itu perlahan memberat. Di akhir lagu, ada jeda. Tiba-tiba, suara anak kecil menyusul — nyanyiannya pelan, tidak merdu, tapi penuh perasaan. Qale membuka mata setengah, bergumam, “Suaraku...?” Dia tak yakin. Tapi rasa kantuk begitu gencar datang. 🎵 “... kan selalu...” suara anak kecil itu berkata pelan menahan isak, “ada di dalam ...” Qale tersentak. Matanya terbuka lagi. Dia mematikan musiknya, seolah ada ketakutan menghantui. “Aku ... i-ituu suara-ku?" Dia menggigit bibirnya cemas. Malam itu, Qale tertidur ditemani suara dari masa lalu — yang membuatnya gelisah. Pagi harinya. Qale bangun dan menatap CD itu. Dia terdiam lama. Sebelum mandi, dia melihat lagi kertas yang dibawa pulang semalam. Tapi ingatannya kembali terbayang oleh kalimat ART tadi. “Bekas...?” Bekas apa? Qale membuka laptop. Jari-jarinya mengetik pelan di G****e, tumpuan bertanya sejuta umat. “Penyebab kehilangan ingatan pada remaja...” “Apakah seseorang bisa digendam untuk melupakan sesuatu?” Qale tertawa kecil dengan ketikannya. "Kek kriminal, gendam." "Eehh ... bukan gendam tapi—" Dia mengetik cepat lalu muncul apa yang dicarinya. “Hah...? Hypno—” Pikirannya kabur, karena suara pintu toko terbuka. Karyawan barunya datang. Qale buru-buru keluar untuk mengeceknya. Gadis itu menatap Qale yang berantakan belum mandi. Lama, lalu berkata pelan. “Yang kuat itu cuma semen, Kak. Bukan Kakak.” Qale tertawa kecil, getir. Belum sempat membalas, seseorang mengetuk pintu kaca toko Anak lipat. Dia melambaikan sebuah kertas. Qale pun menghampirinya dan menerima kertas itu. Hanya ada satu kalimat di sana. "Pulanglah, bukan ke rumah, tapi dirimu." . ."Jangan bilang kalau...." jeda Qale saat melihat ekspresi Bakar.Aspri Wafa itu masih diam membuat Qale mendekat dan mengintip isi layar Bakar."Jadi benar?" Desak Qale, menepuk lengan Bakar. Dengan mimik tegang, Bakar mengangguk kaku. Dia buru-buru menjauhi Qale, menghubungi seseorang.Tangannya terulur mencegah Qale mengikutinya. Dia sibuk bicara di telepon sedang memberi perintah dadakan.Semenit kemudian, Bakar memanggil Qale untuk segera masuk ke mobil. Di sana dia menjelaskan bahwa Danisha baru saja dipindahkan ke rutan ini. "Jangan-jangan... Pak, firasatku?" bisik Qale ketika Bakar mulai melajukan kendaraan meninggalkan pelataran lapas."Firasat apa, Nyah?" "Hatiku bilang harus ketemu Lea dan tadi ucapannya menyiratkan sesuatu," kata Qale lirih, meremat ponsel dalam genggamannya.Qale mengatakan soal ancaman Lea juga kebenciannya yang makin meruncing. Qale juga menyampaikan bahwa Lea tahu sisi lemahnya. Lea tahu benar bahwa Anak Lipat adalah tempat kebangkitan bagi Qale. To
Qale terbangun lebih dulu. Wafa masih tertidur di kursi, laptopnya dibiarkan menyala dengan lembar presentasi terbuka. Qale menatap layar itu—berisi strategi komunikasi untuk direksi, lengkap dengan analisis risiko yang ditulis rapi.Perlahan, Qale menutup laptop itu. Ia duduk maju, merapikan semua peralatan di atas meja lalu menyelimuti tubuh Wafa dengan selimut tipis.“Apa menikahiku menambah bebanmu, Kak,” gumamnya pelan.Wafa bergerak sedikit, lalu matanya terbuka. “Sya, belum tidur?” suaranya serak.“Udah bentar tadi. Cuma bangun lagi,” jawab Qale.Wafa bangun, lalu menariknya pindah duduk di sisi ranjang. “Jika semua ini selesai. Honeymoon sebulan ya, Sayang.”Qale tersenyum mengangguk, tapi dalam hatinya masih ada sesuatu yang mengganjal. Lea. Nama itu menempel seperti bayangan yang enggan pergi.Wafa menyibak selimut, keduanya lalu berbaring memeluk. "Kak," bisik Qalesya."Ehm.""Aku mau jenguk Kak Lea besok," pintanya pada Wafa.Kecupan kecil mendarat di pelipis kanan Qale.
"Nggak ada apa-apa. Bawain makan siang ya, Sya." Wafa mengusap lembut pipi Qale sebelum pergi.Dia mulai menampilkan diri tanpa kursi rodanya hari ini. Mungkin itulah yang ingin direksi ketahui sehingga meminta Wafa ke kantor.Hari ini, Qale hanya ada satu mata kuliah. jam 10 dia kembali ke toko, bersemangat menyiapkan menu makan siang untuk suaminya. Dewi menjemputnya dan dia langsung pergi ke kantor. Menggunakan lajur khusus, akhirnya Qale tiba di ruangan Wafa.Suaminya belum ada di sana ketika dia masuk. Qale melihat sekeliling, cat putih hitam menjadi penegas kewibawaan suaminya. Foto pernikahan terbaru bertengger cantik sudut kiri meja. Bahkan miniatur croissant ada di sana.Qale tersenyum. Aksesoris meja suaminya didominasi warna coklat keemasan croissant. Beberapa alat tulis malah berwarna ungu, kesukaannya. "Nggak malu apa ya?" gumam Qale, menahan senyum."Bangga dong, Sayang." Wafa membuka pintu, tersenyum ke arahnya. Dia gegas mendekati Qale, menggamit pinggang lalu menge
Malam berikutnya.Setelah makan malam, para penghuni lapas bersantai sejenak di lapangan.Danisha bertemu Lea lagi. Gadis itu duduk di rumput, melihat rekan-rekan selnya bermain voli.“Aku ada ide,” ucap Lea tiba-tiba. Matanya menyipit, penuh kebencian kala tahu Danisha sudah duduk di sampingnya. “Qalesya itu rapuh. Dia trauma keguguran. Dia punya mimpi dan kita bisa manfaatin itu.”Danisha menelan ludah. “Apa?”“Bayar dulu,” Lea menyeringai. “Kalau mau aku bantu, kamu harus kasih setengahnya, sekarang.”“Aku nggak bisa sembarangan minta uang. Kamu pikir gampang?” Danisha mencoba menolak, tapi suaranya terdengar ragu.Lea mencondongkan tubuh. “Kalau begitu, aku bisa cari jalanku sendiri. Dan percayalah, kalau aku bicara … semua orang akan tahu siapa Danisha sebenarnya,” ujarnya pelan masih menyeringai.Ancaman itu menggantung di udara. Danisha meremas jemari, menggigit bibirnya."Maksudmu?" Lea terdiam, hanya sudut bibirnya yang melengkung senyum tipis. "Jangan sampai mereka tau ka
"Aku ... Kalea." Dia menjabat tangan Danisha mantap.Senyum Danisha terbit. Dia lalu menyilakan dia duduk. Danisha meminta penjelasan soal Wafa dan Qale darinya."Hanya seseorang yang aku kenal baik. Nggak penting tapi aku seneng aja liat dia susah," kekeh Lea.Waktu besuk habis. Obrolan mereka belum tuntas. Tapi, Danisha bertanya soal sel Lea. Mereka sepakat bertemu lagi saat makan malam nanti.Lea melenggang keluar lebih dulu. Dengan ekspresi dingin tapi langkahnya tegap.Ibu Danisha memperingatkan soal wanita itu. Mewanti Danisha agar hati-hati. Dia sedang menunggu putusan banding. Jangan sampai kedekatan mereka membuat rencana bebas lebih awal terhalang."Tenang, Maa. Aku cuma mau manfaatin dia sebentar," ujarnya datar sambil berdiri.Pengacaranya mengatakan mungkin lusa keputusan banding diumumkan. Danisha diminta menjaga sikap selama kurun waktu tersebut.Beberapa menit setelahnya. Sudah tidak ada lagi penjenguk di ruangan itu.***Malam itu, rumah terasa begitu asing bagi Qales
Qalesya berdiri kaku. Album foto di meja masih tertutup rapat, tapi bayangan gambar-gambar di dalamnya terus menghantui.Di sisi lain, ibu Danisha masih tersenyum tipis. Seolah puas melihat retakan kecil yang mulai terbentuk.“Sudahlah, Qalesya. Kamu lihat sendiri siapa suamimu sebenarnya. Dia dulu milik Danisha.”“Omong kosong!” Suara Nadia lagi. Langkahnya cepat, wajahnya merah menahan amarah. Ia berdiri di samping Qale, menatap tajam ibu Danisha. “Anda hanya memelintir masa lalu untuk menutupi aib anakmu sendiri!”Qale menoleh cepat pada Nadia. “Tapi… fotonya?”Nadia menatapnya penuh empati. “Foto bisa menipu, Mbak. Itu hanya potongan momen,” bisiknya menguatkan Qale.Qale menggigit bibir, hatinya semakin gamang. Kata-kata Nadia masuk akal, tapi gambaran mesra di album itu tetap menorehkan luka.Wafa akhirnya membuka suara, nada suaranya berat. “Sya, dengar aku. Masa lalu itu sudah lama berlalu. Aku nggak akan membiarkan kebohongan mereka menghancurkan kita.”“Tapi kenapa dia bawa