Share

BAB 7.

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-06-26 11:25:26

Setelah toko tutup, Qale kembali ke rumah. Langkahnya pelan, tapi pikirannya berisik. Ia membuka kamar dan mulai mengobrak-abrik laci meja, mencari sesuatu — entah catatan lama, foto, atau ... ingatannya yang hilang.

Tangannya berhenti saat menemukan beberapa lembar kertas dari tumpukan komik usangnya. Gambar. Bukan gambar yang indah, melainkan coretan berantakan — ruwet, penuh goresan gelap dan spiral tak jelas.

"Apa ini...? Aku yang menggambarnya?" bisiknya, heran sekaligus takut karena ada namanya di pojok kanan atas. Qalesya.

Dia menggenggam kertas itu, lalu berdiri. Tangannya menggantung di udara saat mengetuk kamar sang ayah. Qale menarik napas panjang.

Tok. Tok.

Hasan membuka pintu, wajahnya terheran melihat si bungsu. "Ada apa?"

"Ayah ... aku boleh lihat lemari Ibu, nggak?" Qale berkata pelan. "Mungkin ada buku, catatan, atau apapun..."

Hasan menatapnya dalam, masih berdiri di ambang pintu. "Ngapain? Buat apa, sih?"

"Aku juga nggak tahu buat apa. Rasanya kayak orang amnesia," lirih Qale. Matanya lalu mendelik seolah berpikir. "Apa aku pernah minum ramuan lupa ... atau memoriku dicabut pas tidur kek di film?” Senyum Qale miris, tapi matanya serius.

Hasan menegang. Suaranya tercekat. “Ka-kamu nyari apa, Qale? ... Mana suamimu?" Elak sang ayah. "Fokus jualan kue saja, lah."

Pertanyaan itu justru membuat Qale makin curiga. “Kenapa Ayah kayak ketakutan? Ada sesuatu yang disembunyiin dari aku?”

Hasan memalingkan wajah. “Sudahlah. Kamu terlalu halu. Pulang sana.” Lalu ia pergi, memilih duduk di teras belakang, menatap langit kosong.

Dia menyalakan rokok, tangannya gemetar, karena sudah bertahun-tahun berhenti. “Kalau dia ingat ... semuanya selesai.”

Di dalam kepalanya, Hasan mendengar lagi percakapan istrinya dahulu dengan seseorang. Tentang anak mereka. Tentang ketakutan yang tak pernah ia pahami. Dan soal seorang pria bernama Wafa — yang ternyata pernah dikenal oleh istrinya... sebelum semua ini terjadi.

Hasan mengepalkan tangan. “Apa hubungan kalian sebenarnya...”

Sudah satu jam Qale mencari tapi tak menemukan apapun di lemari ibunya.

"Apakah semua hal tentangku sengaja dihapus?”

“Atau ... emang aku harusnya nggak tahu siapa diriku?”

Dia bangkit dan saat berbalik, Lea berdiri di dekat pintu kamar sang ayah.

"Cari apa? ... Masa lalu?" katanya sambil nyanyi kecil. “Biarlah masa lalu ... jangan kau usik ... nanti kamu terluka~”

Qale menatapnya tajam. “Terluka apa, Kak?”

"Selain bawa sial, kamu juga kepoan." Lea melenggang pergi. Baru beberapa langkah, dia balik badan sambil menunjuk matanya. “Dan kamu belum minta maaf sama aku.”

Pemilik toko croissant ini terdiam tepat saat ART rumah mereka datang membawakan segelas teh. “Minum dulu, Neng.”

Qale menggeleng. “Makasih, Mbak. Aku mau balik ke toko," ujarnya sembari melangkah.

ART itu melirik kertas di tangan Qale. “Itu... boleh lihat?” tanyanya pelan. Qale menyodorkan lembaran gambarnya.

Mata senja itu mengamati, seolah ingat sesuatu. “Oh, ini sih gambar waktu Neng dibawa ... eehhmm, bekas—”

ART itu buru-buru menunduk. “Eeh, maaf, saya lupa harus nyapu dapur.”

Wanita itu gegas pergi, sementara Qale menatap punggungnya curiga. Kalimatnya menggantung. Dibawa? Kemana? Bekas, bekas apa?

Dia mendesah. Menepuk pelan kepalanya sendiri. “Kenapa sih aku nggak inget apa-apa...”

***

Jelang tengah malam, Qale sampai di depan toko.

Saat hendak membuka pintu, seseorang menghampirinya. Driver ojol. Tak bicara, ia menyerahkan sebuah kantong plastik bening lalu pergi tanpa kepastian bagai hubungan tanpa status.

Isinya, sebuah CD lengkap dengan pemutarnya.

Ada tulisan di bagian luar kemasan CD tadi. "Boleh lupa ... asal tak hilang rasa.” Qale mengernyit, mengendikkan bahu, belum paham maknanya.

Dia pun masuk. Duduk bersandar di dinding kamar belakang yang sempit. Qale mengusap keping CD itu sebelum memasukkan ke pemutar tuanya, dia mencium bau lembab seolah telah disimpan lama. Pinggirannya pun sudah banyak goresan.

Saat nada piano mengalun, Qale terkekeh, "Oldskul." Merasa seperti kolektor musik jadul.

Lalu, suara itu.

🎶 “Ooh Bunda ada dan tiada dirimu ... kan selalu....”

Suara pria — lembut dan tenang. Nyanyian lagu “Bunda” itu terasa seperti pelukan dari kejauhan.

“Wafa?” gumam Qale. Dia menutup mata, merasakan musiknya, membuat hati menghangat. Tapi, suara itu perlahan memberat.

Di akhir lagu, ada jeda.

Tiba-tiba, suara anak kecil menyusul — nyanyiannya pelan, tidak merdu, tapi penuh perasaan.

Qale membuka mata setengah, bergumam, “Suaraku...?” Dia tak yakin. Tapi rasa kantuk begitu gencar datang.

🎵 “... kan selalu...” suara anak kecil itu berkata pelan menahan isak, “ada di dalam ...”

Qale tersentak. Matanya terbuka lagi. Dia mematikan musiknya, seolah ada ketakutan menghantui.

“Aku ... i-ituu suara-ku?" Dia menggigit bibirnya cemas.

Malam itu, Qale tertidur ditemani suara dari masa lalu — yang membuatnya gelisah.

Pagi harinya. Qale bangun dan menatap CD itu. Dia terdiam lama.

Sebelum mandi, dia melihat lagi kertas yang dibawa pulang semalam. Tapi ingatannya kembali terbayang oleh kalimat ART tadi.

“Bekas...?”

Bekas apa?

Qale membuka laptop. Jari-jarinya mengetik pelan di G****e, tumpuan bertanya sejuta umat.

“Penyebab kehilangan ingatan pada remaja...”

“Apakah seseorang bisa digendam untuk melupakan sesuatu?”

Qale tertawa kecil dengan ketikannya. "Kek kriminal, gendam."

"Eehh ... bukan gendam tapi—" Dia mengetik cepat lalu muncul apa yang dicarinya.

“Hah...? Hypno—”

Pikirannya kabur, karena suara pintu toko terbuka. Karyawan barunya datang. Qale buru-buru keluar untuk mengeceknya.

Gadis itu menatap Qale yang berantakan belum mandi. Lama, lalu berkata pelan. “Yang kuat itu cuma semen, Kak. Bukan Kakak.”

Qale tertawa kecil, getir.

Belum sempat membalas, seseorang mengetuk pintu kaca toko Anak lipat. Dia melambaikan sebuah kertas.

Qale pun menghampirinya dan menerima kertas itu. Hanya ada satu kalimat di sana. "Pulanglah, bukan ke rumah, tapi dirimu."

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
QIEV
Aamiin, doain yaaa
goodnovel comment avatar
ani nur meilan
Banyak Rahasia..semoga Qale bisa ngetahui semuanya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 122.

    Malam turun perlahan di atas tembok tinggi lapas.Di dalam sel bernomor 27, Lea duduk di ranjang sempitnya. Angin dari jendela kecil meniup ujung rambut pendeknya, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.Di pangkuannya, kertas putih terlipat rapi. Pena hitam di tangannya sempat ragu menari, tapi akhirnya bergerak pelan.Tulisan pertama muncul:“Untuk Deni, suamiku.”Lea menarik napas panjang. Setiap huruf yang ia tulis terasa berat, tapi juga menenangkan.“Aku sudah lihat lukisanmu. Dari ayah.Aku tahu kita merindu—karena tembok ini, tapi karena ingatanku terpaku padamu.""Aku baik-baik saja. Cukup mengingat kalau cintamu pernah menyelamatkanku sekali, waktu aku nyaris gak punya alasan buat bertahan.”Lea berhenti menulis. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia tersenyum samar, menatap langit hitam di luar jeruji.“Aku pikir kebahagiaan itu tentang bebas.Tapi ternyata, bebas itu tentang hati yang tenang. Terima kasih sudah ngajarin aku mencintai lagi.”

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 121.

    Gerimis makin rapat saat mereka meninggalkan pemakaman.Bakar masih diam, menatap jalanan basah di depan. Ria di sebelahnya, memeluk tas kecil di pangkuan, matanya sesekali menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.Radio memutar sisa lagu ~So Far Away, tapi kini suaranya terdengar lebih tenang.“Bapak lebih tenang,” ucap Ria akhirnya, pelan.Bakar menoleh sekilas, bibirnya bergerak membentuk senyum tipis. “Kadang yang bikin berat,” katanya pelan, “rasa bersalah yang belum selesai.”Ria mengangguk pelan. “Kalau gitu … terima kasih udah ngajak aku ke sana, Pak. Aku jadi ngerti sesuatu.”“Ngerti apa?”“Bahwa kadang, luka yang gak disembuhin bisa bikin kita nyakitin orang yang gak salah.”Bakar terdiam. Matanya masih ke depan, tapi rahangnya sedikit mengeras.“Termasuk kamu?” tanyanya datar, nyaris seperti gumaman.Ria tak menjawab. Hanya senyum kecil di ujung bibirnya yang seolah berkata ya, tapi aku udah gak marah lagi.Mobil terus melaju, menyisakan keheningan yang aneh—bukan di

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 120.

    Lea mendengus kesal. “Aku hanya…”Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Aku hanya ingin Ayah percaya … bahwa aku gak lagi jadi orang yang sama.”Suara itu pelan, tapi menggigit.“Aku tahu aku salah. Aku nyakitin banyak orang, termasuk Ayah … tapi bukan berarti aku gak bisa berubah.”Hasan menatap putrinya lama. Ada sorot ragu, tapi juga iba yang ditahannya sejak lama.“Ayah gak pernah berhenti pengin percaya, Lea,” ucapnya tenang. “Tapi percaya itu bukan sesuatu yang dikasih. Itu harus kamu buktiin.”Lea menunduk, mengusap wajahnya cepat-cepat. “Aku cuma takut gak sempat buktiin, Yah.”Hasan tersenyum tipis, tapi penuh getir. “Masih ada waktu, Nak. Selama kamu gak menyerah sama dirimu sendiri.”Sunyi.Suara jam dinding terdengar jelas, diikuti derit halus kursi yang bergeser.“Ayah…” panggil Lea pelan.Hasan menatapnya lagi.“Aku cuma pengin dianggap manusia lagi,” ucap Lea, kali ini hampir berbisik. “Bukan kesalahan yang selalu diingat.”Hasan memejamkan mata sejenak

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 119.

    Sore itu toko tutup lebih cepat. Ria membereskan loyang dan adonan yang belum sempat diolah.Rini sudah pulang, menyisakan aroma roti setengah matang yang tertinggal di udara.Telepon dari Nadia baru masuk menjelang magrib."Gimana Nad?" tanya Ria cemas. Nadia sempat ikut menyusul ke rumah sakit dengan motornya tadi.“Udah aman, kata dokter cuma kontraksi ringan. Tapi harus banyak istirahat,” ucapnya lega.Ria mengembuskan napas panjang, duduk di kursi dekat pintu.Syukurlah.Tapi di sela lega itu, ada rasa lain yang menghantui, apakah usulnya soal perekrutan tadi bikin Qalesya kepikiran?Suara langkah sepatu terdengar tepat kala pintu terbuka. Bakar baru datang, menenteng plastik berisi minuman.“Aku kira kamu udah pulang,” katanya datar sambil meletakkan satu botol di depan Ria.“Lagi nunggu kabar, Pak,” jawab Ria pelan.“Qale udah baikan. Aku barusan dari rumah sakit.”“Oh…” Ria menunduk. “Syukurlah.”Hening beberapa detik. Hanya bunyi kipas angin yang berputar lambat.“Kamu tadi p

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 118.

    Keesokan siang, udara toko terasa menggoda oleh aroma butter dan adonan croissant yang baru keluar oven.Ria sibuk di dapur dengan Rini. Nadia di depan berdua dengan Qalesya. Pemilik Anak Lipat itu menghindari memegang butter, mual katanya.Bakar baru datang dengan Wafa. Dia langsung ke belakang, matanya tak lepas dari gerak-gerik Ria.Terlebih setelah pria kemarin, datang lagi ke toko. Kebetulan Ria ke depan membawa baki croissant untuk dipajang di etalase.Pria itu menghampiri Ria. Bakar melihatnya tersenyum yang entah kenapa terasa menyebalkan di matanya.Ria berbicara seperlunya. Pelan dan tetap sopan. Namun bagi Bakar, caranya tersenyum tipis saja sudah cukup membuat dadanya terasa aneh.Begitu pria itu pamit, Bakar langsung melangkah mendekati Ria yang sedang beres-beres meja stainless.“Dia mantanmu?” tanyanya datar.Ria berhenti mengelap meja. “Kenapa, Pak?”“Ngajak balikan?” lanjutnya. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bara kecil yang tak bisa disembunyikan.Ria me

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 117.

    Tiga hari sudah, Ria dan Bakar nyaris tak bertukar sapa.Suasana toko jadi canggung. Bakar tetap datang dengan Wafa seperti biasa, di jam makan siang. Tapi tanpa berani bersitatap dengan Ria langsung.Ria, di sisi lain, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha seolah semuanya baik-baik saja.Namun, setiap kali mereka berpapasan di dapur yang sempit, jantungnya berdegup aneh karena bingung harus bersikap bagaimana.Qalesya memperhatikan keduanya sejak pagi.Ketika melihat Ria menghela napas kesekian kalinya di depan oven, ia langsung memutuskan sesuatu.“Kak Ria, nanti tolong antar pesanan buat Bu Widya ya. Sekalian bantu cek nota,” katanya santai. "Aku bisa antar, Nyah. Bos nggak ada jadwal siang ini," ujarnya menyambar ucapan Qale.“Oke." Qale mengangguk."Aku bisa sendiri, Kak,” potong Ria cepat.“Musim hujan. Daripada pake motor 3 roda atau ojol, sama aja kan diantar Pak Bakar,” jawab Qale lembut, tapi tegas.Bakar hanya mengangguk pelan.Ria tidak membantah lagi, meski ekspr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status