Kadang, rumah bukan sekadar tempat berlindung. Tapi jejak yang pelan-pelan menuntun seseorang pulang. Bahkan ketika dirinya sendiri tak yakin, ia layak pulang.
Malam itu, Qale berdiri di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Fasad model lama, pagar kayu mulai usang, tapi ada kursi bambu reyot di teras—dan anehnya, ia merasa pernah duduk di sana. "Masuklah," ucap Wafa pelan, dari kursi rodanya. Dia mendorong pelan menaiki tangga landai di sisi kiri teras. "Kamu boleh menyentuh apa saja." Qale melangkah perlahan. Dari luar, rumah ini tampak rapuh. Tapi begitu melewati ambang pintu, aroma kayu tua, bau kapur barus, dan cahaya lampu yang menyinari ruangan membuat Qale terdiam. Teduh. Bersih. Tertata rapi. Tak ada satu pun debu di lantai. Qale tanpa sadar berjongkok di sudut sofa. Tangannya mengusap lantai itu, pelan, seakan mencari sesuatu. Ada rasa akrab. Tapi pikirannya seketika kosong. Dia menatap sekeliling. Dinding hijau lembut. Jam tua. Taplak rajut melapisi meja kayu jati, dipercantik bantal sofa motif batik khas jaman dulu. “Kenapa hatiku merasa ini rumahku … tapi isi kepalaku tak mengenalnya?” Qale membatin. Wafa hanya menatap istrinya datar. Ada seberkas rasa menggigiti hatinya kini. Dia lalu mendorong perlahan kursi rodanya masuk ke kamar. Qale mengikuti geraknya. Tapi ketika Wafa membuka pintu kamar itu … tubuh Qale tiba-tiba menegang. Ada bayangan dalam ingatannya. Siluet seorang ibu. Tergesa menarik tangan kecilnya, menyeretnya keluar kamar. Dan meninggalkan crayon merah yang tergolek di dekat sofa. Qale jatuh berlutut. Ia menyusuri kolong sofa, menempelkan wajah ke lantai, mencarinya. “Di mana … di mana … Ibu…” bisiknya lirih dan gemetar. Namun, Qale tak menemukan apapun di sana. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia kembali duduk dan memeluk lututnya sendiri. "Kalau aku sudah lupa, mengapa Tuhan mengizinkan aku mengingat lagi hal yang aku lupakan?" "Apa yang ingin Tuhan sampaikan padaku? Apakah soal baktiku pada dia?" gumam Qale, membenamkan kepala di antara kedua lututnya. Matanya melirik pelan ke arah kamar Wafa yang tertutup. Tapi pria itu tak keluar lagi. Qale pun tenggelam dalam sedihnya sendiri. Apa maksudnya semua ini? Perlahan dari arah belakang, terdengar langkah halus menghampirinya. Suara seorang wanita paruh baya mendekat dan membungkuk lembut di dekatnya. Dia mengusap bahu Qale sambil berkata, "Non, istirahat, yuk. Di kamar tamu, ya?" ujarnya lembut, seolah berbisik pada putrinya sendiri. Qale tidak banyak bicara. Dia hanya mengangguk, meski pikirannya masih sibuk bertanya : rumah siapa ini? Dan kenapa kenangannya muncul seperti puzzle yang sengaja diacak Tuhan? *** Di tempat lain... Di sebuah rumah yang jauh lebih besar, Hasan Sasmita menerima paket gelap. Tidak ada nama. Hanya sebuah surat tipis di dalamnya. "Dosa masa lalu harus dibayar sekarang. Yang bersalah akan dihukum. Yang berhak akan menerima bagiannya." "Dan bukan hanya Tuhan yang tahu. Aku juga." Hasan mencibir. "Salah kirim kali," gumamnya, lalu melempar surat itu ke arah ART yang lewat. "Buang aja ke tempat sampah." Juragan pemilik usaha penggemukan sapi itu melenggang masuk. Tapi ART tadi tidak membuangnya, dia malah membacanya. Wajahnya lalu menegang. Matanya panik melihat ke kanan-kiri. Dan tangannya … menyimpan surat itu diam-diam di sakunya. Sementara itu... Di kamar lainnya, Lea sedang tersenyum-senyum sendiri. Jari-jarinya meraba cincin di tangan kiri. "Kalau saja nggak ngemis memelas ke Ayah, mungkin aku yang jadi istri si lumpuh itu hari ini." Ia terkekeh pelan. "Ganteng sih. Dingin-dingin gimana gitu. Waktu ngeraba wajahnya ... duh... tapi ya, lumpuh dan kere? Gimana aku hidup nanti?" Lea menggeliat di tempat tidurnya, lalu tertawa kecil. Sorot matanya tiba-tiba menggelap. "Dunia harus tahu, aku pantas dapat yang lebih baik ... Meski buta!" lirih Lea sinis. *** Keesokan paginya... Qale terbangun. Sunyi. Tak ada suara. Dia pun keluar kamar, melangkah pelan menyusuri setiap ruangan. Tapi tak ada suaminya. Tak ada wanita tua semalam. Rumah itu kosong. Ketika akan kembali ke kamar, Qale melihat sebuah cangkir teh di meja makan. Di bawahnya terlihat ada kertas bertuliskan sesuatu. "Tidurmu nyenyak? Nggak mimpi aneh, kan? Maklum, rumah lama." Qale terdiam. Kata-kata rumah lama, membuatnya kembali berkutat dengan "ada apa di rumah ini?" Bila alarm ponselnya tidak berbunyi, mungkin Qale memilih tinggal dan menunggu suaminya pulang. Banyak hal yang ingin dia tanyakan soal ruangan yang membuatnya menangis semalam. Qale gegas keluar rumah. Ingin setting lokasi dan memesan ojol. Tapi, di luar pagar, sudah ada seorang sopir ojol-car menunggu. Senyum pria tua itu semringah saat melihat Qale. Seolah dia sudah menunggu lama. "Antar balik ke toko, ya?" tanya sopir itu. Qale hanya mengangguk pelan, merasa tak enak hati bila benar si driver ini menunggunya sejak tadi. Dia tetap bungkam selama perjalanan hingga ojol-car yang membawanya tiba di toko. Toko "Anak Lipat" kembali hidup. Croissayang dan menu hype-nya kembali diproduksi. Karyawan baru membantu dengan sigap, tak banyak cakap, pendiam sepertinya. Tapi hati Qale belum kembali utuh. Dia meminta rehat sejenak, masuk ke kamar sempitnya di belakang. Dia membuka kotak kecil di bawah rak baju. Qale mengeluarkan amplop dari suaminya tempo hari. Masih ada dua ikat uang. Tapi kali ini, ada selembar kertas kecil yang ikut jatuh. Sebuah kartu. Hanya tertulis : "Wafa Ambrasta." Nama itu berdenting pelan di pikirannya. Entah kenapa, terasa akrab … dan hangat. Seperti nama yang dulu pernah dia sebut. Tangannya berhenti. Mulutnya bergumam, "Namamu unik. Tapi kok tenang banget ... lumpuh, tapi pede kayak pangeran." "Suami jelangkung, kudunya itu namamu. Bedanya nggak bau menyan doang." Dia tertawa kecil. Tapi tiba-tiba, sesuatu menyengat benaknya. “Itu rumah ibu, kah?” Kenapa aku mengingat sesuatu di sana? Belum menemukan jawaban, ponselnya kembali berbunyi. Notifikasi dari video viral, komentar baru yang membuatnya teringat sesuatu. [“Dia nggak dipenjara karena masih di bawah umur waktu itu.”] ["Kata orang, dia juga korban. Tapi tetap saja, kasus itu nyata.”] Qale membelalak. Jantungnya berdetak cepat. “Apa maksudnya … waktu itu?” Dia menggigit bibirnya, berpikir sekaligus takut. "Apakah-" . .Malam mulai menua. Tapi toko Anak Lipat belum sepenuhnya lengang. Wafa duduk di kursi panjang depan toko, memangku buku catatannya, sementara Qale duduk di sebelahnya, mendongakkan wajah menatap langit.“Aku pengen pastikan, Kak,” gumam Qale akhirnya.Wafa menoleh. “Soal Lea?”“Ya. Dan Deni. Semua ini terlalu rapi. Seperti disusun biar kita nggak sempat curiga.”Wafa mengangguk pelan. “Kamu harus masuk dengan cara luwes, Sya ... Ada ide?" katanya, masih melihat istrinya.Dia lalu membuka halaman buku catatannya. “Akhir-akhir ini aku sering nginep di sini, aku pikir kita harus beli sofa bed custom. Jangan tidur di lantai.”Qale tak menanggapi, baginya itu tak penting. Jika badan lelah pun akan terlelap dengan sendirinya. Lagipula ini bukan pertama kali dia tidur di lantai. Sudah sejak 4 tahun lalu, ketika memutuskan keluar dari rumah itu.Wafa menyodorkan gambar sederhana ke hadapan Qale. Namun, Qale hanya mengangguk, setuju dengan designnya."Dinding dilapis pakai MDF, ya. Biar nggak
Qale kembali ke toko dan langsung bertemu calon pemesan lainnya. Menjelang malam. Udara di dalam toko mulai dingin, tapi hati Qale belum juga tenang. Suaminya datang pun nyaris tak dia sadari sebab melamun."Kak," tegur karyawannya tepat saat akan pulang.Qale mengangkat wajah, mengangguk ke arahnya, "He em, hati-hati ya, Ria," katanya seperti biasa bila si karyawan akan pulang, lalu menunduk lagi.Ria menepuk pelan meja kasir, "Bukan," bisiknya sambil melirik ke arah kiri. Qale mengintip dari sisi tubuh Ria, lalu senyumnya muncul ketika melihat Wafa baru masuk ke tokonya.Di pangkuannya tampak tas laptop juga sebuah buku catatan. Senyum Qale disambut hangat olehnya. “Gimana tadi ngantar pesanan?” tanyanya.Qale mengernyit, dia tidak bilang soal pesanan. Darimana Wafa tahu, pikirnya. Dia melambai ke arah Ria yang pamit pulang lalu menghampiri Wafa dan duduk di hadapannya.“Tahu dari?" "Dari dia," balas Wafa menunjuk dengan jempolnya ke arah Ria yang sudah di parkiran. "Tadi aku k
Pagi belum benar-benar datang. Lampu gantung toko masih menyala, sinarnya hangat dan tenang.Tapi di dalam dada Qale, ada badai yang baru saja reda—dan meninggalkan serpihan-serpihan tajam.Dia masih duduk di kasur lantai, bersandar di kaki kursi roda Wafa yang setia menemani dari tadi. Napasnya mulai teratur, tapi matanya ... belum benar-benar bisa melepaskan bayangan semalam."Aku inget semuanya, Kak," ulangnya lirih.Wafa masih menggenggam tangannya. Tak menekan. Tak menyela. Hanya menunggu."Aku inget suara anak-anak itu. Aku inget... aku disuruh sembunyi, biar dapet permen dari 'Om'." Suara Qale serak, sedikit bergetar. "Dan ... aku inget Ibu nyari-nyari aku malam itu. Berkali-kali..."Wafa mengangguk pelan. Tatapannya dalam, teduh. “Teruskan, Sya. Aku di sini, jangan takut.”Qale menggigit bibir. “Ada yang narik aku dari belakang. Orang dewasa. Suaranya dingin. Katanya ... aku bakal mati kalau bersuara.”Tangan Wafa refleks mempererat genggaman. Qale menoleh sekilas, lalu melanj
Dalam perjalanan pulang, Qale terus mencuri pandang ke arah suaminya.Sampai akhirnya, saat mobil berhenti, fokusnya teralihkan. Dia membantu kursi roda Wafa turun lalu mendorongnya hingga ke depan pintu toko.Sebelum membuka kunci, Ia berjongkok di depan kursi roda Wafa, mengangkat tangan dan melambaikannya ke arah mata kiri Wafa."Kak, mata yang beneran buta tuh … begini, ya?"Seketika Wafa menunduk, meniup wajah Qale pelan—membuat poninya berkibar, dan pipinya memanas.“Eehh!” Qale menunduk, malu sendiri. "Maaf..."Wafa tersenyum kecil. “Kenapa tiba-tiba ngetes mataku?”Qale pun menceritakan semua keganjilan tadi.Tentang Deni. Soal sorotan matanya, juga gerak-geriknya.Wafa mendengarkan serius, sambil mengangguk perlahan.“Aku nggak tahu pasti ... tapi feeling kamu, bisa jadi benar. Kita harus cari tahu lebih lanjut, Sya.”Malam itu, Qale tak bisa tidur. Bukan hanya karena tubuh lelah—tapi karena ada yang mengganggu di benaknya.Bukan mengenai acara tunangan. Apalagi soal kue croi
Wafa pamit pagi itu dengan pesan sederhana tapi hangat, "Jualan yang bener, ya. Biar pelanggan makin banyak. Urusan yang lain, kita pikirkan berdua. Oke?"Qale mengangguk. Hatinya hangat oleh perhatian kecil itu. Bibirnya mencoba tersenyum, walau matanya menyimpan gelisah.Belum sempat Wafa masuk ke mobil, Qale tersadar satu hal—dia tidak punya nomor suaminya sendiri."Kak," panggilnya malu-malu sambil menyodorkan ponsel. "Boleh…?"Wafa menoleh dengan senyum menggoda. "Kirain nggak butuh," godanya, memiringkan kepala untuk melihat wajah manis Qale di bawah cahaya pagi.Pipi Qale langsung merona. "Iihh, ayo dong," rengeknya."Senyum dulu," Wafa mengulur tangan."Nggak mau!" Qale mencubit lengannya gemas."Aw! Iya iya, sini..." Wafa akhirnya menyerah, menerima ponsel bercasing pink itu.Qale mencuri pandang. Meski mata kirinya kosong, Wafa tetap tampan. Setelah menyimpan kontak, Wafa menyerahkan kembali ponsel itu.Begitu Qale melihat kontak barunya, matanya membesar. "Suamiku?" Qale me
"Non!"Lea masih berdiri di depan pintu kamar Mbak Mun. Namun karena ada ART lainnya, ia pun mengurungkan langkah dan menghampiri si ART. Dengan suara pelan, ia meminta dibawakan segelas air ke kamar.Dari balik pintu, Qale menutup mata, mengelus dadanya lega. Tapi sejurus kemudian, napasnya kembali tertahan. Langkah Lea berhenti lagi. Ia menoleh ke arah kamar, meraba panel pintu… dan menutupnya.Bruk."Fyuh," Qale menghela napas tanpa suara. Lututnya nyaris melorot ke lantai.Kalau pintunya dibuka satu senti lagi... selesai sudah.Ia belum bisa keluar. Suara langkah ART masih terdengar samar dari dapur. Tapi tak ada suara orang bicara. Seisi rumah hening.Qale memberanikan diri membuka pintu pelan, mengintip, lalu menyelinap keluar. Langkahnya cepat dan ringan menyusuri sisi rumah. Begitu melihat mobil Wafa di ujung jalan, ia langsung masuk.Tanpa banyak bicara, Wafa memberi isyarat pada sopir agar segera melajukan mobil."Pelan, Sya," ucap Wafa sambil menyodorkan botol air mineral.