Share

BAB 6.

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-06-25 14:15:19

Kadang, rumah bukan sekadar tempat berlindung. Tapi jejak yang pelan-pelan menuntun seseorang pulang. Bahkan ketika dirinya sendiri tak yakin, ia layak pulang.

Malam itu, Qale berdiri di depan sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Fasad model lama, pagar kayu mulai usang, tapi ada kursi bambu reyot di teras—dan anehnya, ia merasa pernah duduk di sana.

"Masuklah," ucap Wafa pelan, dari kursi rodanya. Dia mendorong pelan menaiki tangga landai di sisi kiri teras. "Kamu boleh menyentuh apa saja."

Qale melangkah perlahan. Dari luar, rumah ini tampak rapuh. Tapi begitu melewati ambang pintu, aroma kayu tua, bau kapur barus, dan cahaya lampu yang menyinari ruangan membuat Qale terdiam.

Teduh.

Bersih. Tertata rapi. Tak ada satu pun debu di lantai.

Qale tanpa sadar berjongkok di sudut sofa. Tangannya mengusap lantai itu, pelan, seakan mencari sesuatu. Ada rasa akrab. Tapi pikirannya seketika kosong.

Dia menatap sekeliling. Dinding hijau lembut. Jam tua. Taplak rajut melapisi meja kayu jati, dipercantik bantal sofa motif batik khas jaman dulu.

“Kenapa hatiku merasa ini rumahku … tapi isi kepalaku tak mengenalnya?” Qale membatin.

Wafa hanya menatap istrinya datar. Ada seberkas rasa menggigiti hatinya kini. Dia lalu mendorong perlahan kursi rodanya masuk ke kamar.

Qale mengikuti geraknya. Tapi ketika Wafa membuka pintu kamar itu … tubuh Qale tiba-tiba menegang.

Ada bayangan dalam ingatannya.

Siluet seorang ibu.

Tergesa menarik tangan kecilnya, menyeretnya keluar kamar.

Dan meninggalkan crayon merah yang tergolek di dekat sofa.

Qale jatuh berlutut. Ia menyusuri kolong sofa, menempelkan wajah ke lantai, mencarinya. “Di mana … di mana … Ibu…” bisiknya lirih dan gemetar.

Namun, Qale tak menemukan apapun di sana. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia kembali duduk dan memeluk lututnya sendiri.

"Kalau aku sudah lupa, mengapa Tuhan mengizinkan aku mengingat lagi hal yang aku lupakan?"

"Apa yang ingin Tuhan sampaikan padaku? Apakah soal baktiku pada dia?" gumam Qale, membenamkan kepala di antara kedua lututnya.

Matanya melirik pelan ke arah kamar Wafa yang tertutup. Tapi pria itu tak keluar lagi. Qale pun tenggelam dalam sedihnya sendiri. Apa maksudnya semua ini?

Perlahan dari arah belakang, terdengar langkah halus menghampirinya. Suara seorang wanita paruh baya mendekat dan membungkuk lembut di dekatnya.

Dia mengusap bahu Qale sambil berkata, "Non, istirahat, yuk. Di kamar tamu, ya?" ujarnya lembut, seolah berbisik pada putrinya sendiri.

Qale tidak banyak bicara. Dia hanya mengangguk, meski pikirannya masih sibuk bertanya : rumah siapa ini?

Dan kenapa kenangannya muncul seperti puzzle yang sengaja diacak Tuhan?

***

Di tempat lain...

Di sebuah rumah yang jauh lebih besar, Hasan Sasmita menerima paket gelap. Tidak ada nama. Hanya sebuah surat tipis di dalamnya.

"Dosa masa lalu harus dibayar sekarang. Yang bersalah akan dihukum. Yang berhak akan menerima bagiannya."

"Dan bukan hanya Tuhan yang tahu. Aku juga."

Hasan mencibir. "Salah kirim kali," gumamnya, lalu melempar surat itu ke arah ART yang lewat. "Buang aja ke tempat sampah."

Juragan pemilik usaha penggemukan sapi itu melenggang masuk. Tapi ART tadi tidak membuangnya, dia malah membacanya.

Wajahnya lalu menegang. Matanya panik melihat ke kanan-kiri. Dan tangannya … menyimpan surat itu diam-diam di sakunya.

Sementara itu...

Di kamar lainnya, Lea sedang tersenyum-senyum sendiri. Jari-jarinya meraba cincin di tangan kiri.

"Kalau saja nggak ngemis memelas ke Ayah, mungkin aku yang jadi istri si lumpuh itu hari ini." Ia terkekeh pelan.

"Ganteng sih. Dingin-dingin gimana gitu. Waktu ngeraba wajahnya ... duh... tapi ya, lumpuh dan kere? Gimana aku hidup nanti?"

Lea menggeliat di tempat tidurnya, lalu tertawa kecil.

Sorot matanya tiba-tiba menggelap. "Dunia harus tahu, aku pantas dapat yang lebih baik ... Meski buta!" lirih Lea sinis.

***

Keesokan paginya...

Qale terbangun. Sunyi. Tak ada suara. Dia pun keluar kamar, melangkah pelan menyusuri setiap ruangan. Tapi tak ada suaminya. Tak ada wanita tua semalam.

Rumah itu kosong.

Ketika akan kembali ke kamar, Qale melihat sebuah cangkir teh di meja makan. Di bawahnya terlihat ada kertas bertuliskan sesuatu.

"Tidurmu nyenyak? Nggak mimpi aneh, kan? Maklum, rumah lama."

Qale terdiam. Kata-kata rumah lama, membuatnya kembali berkutat dengan "ada apa di rumah ini?"

Bila alarm ponselnya tidak berbunyi, mungkin Qale memilih tinggal dan menunggu suaminya pulang. Banyak hal yang ingin dia tanyakan soal ruangan yang membuatnya menangis semalam.

Qale gegas keluar rumah. Ingin setting lokasi dan memesan ojol. Tapi, di luar pagar, sudah ada seorang sopir ojol-car menunggu.

Senyum pria tua itu semringah saat melihat Qale. Seolah dia sudah menunggu lama. "Antar balik ke toko, ya?" tanya sopir itu.

Qale hanya mengangguk pelan, merasa tak enak hati bila benar si driver ini menunggunya sejak tadi.

Dia tetap bungkam selama perjalanan hingga ojol-car yang membawanya tiba di toko.

Toko "Anak Lipat" kembali hidup. Croissayang dan menu hype-nya kembali diproduksi. Karyawan baru membantu dengan sigap, tak banyak cakap, pendiam sepertinya.

Tapi hati Qale belum kembali utuh. Dia meminta rehat sejenak, masuk ke kamar sempitnya di belakang.

Dia membuka kotak kecil di bawah rak baju. Qale mengeluarkan amplop dari suaminya tempo hari.

Masih ada dua ikat uang. Tapi kali ini, ada selembar kertas kecil yang ikut jatuh.

Sebuah kartu. Hanya tertulis :

"Wafa Ambrasta."

Nama itu berdenting pelan di pikirannya. Entah kenapa, terasa akrab … dan hangat. Seperti nama yang dulu pernah dia sebut.

Tangannya berhenti. Mulutnya bergumam, "Namamu unik. Tapi kok tenang banget ... lumpuh, tapi pede kayak pangeran."

"Suami jelangkung, kudunya itu namamu. Bedanya nggak bau menyan doang."

Dia tertawa kecil. Tapi tiba-tiba, sesuatu menyengat benaknya. “Itu rumah ibu, kah?”

Kenapa aku mengingat sesuatu di sana?

Belum menemukan jawaban, ponselnya kembali berbunyi. Notifikasi dari video viral, komentar baru yang membuatnya teringat sesuatu.

[“Dia nggak dipenjara karena masih di bawah umur waktu itu.”]

["Kata orang, dia juga korban. Tapi tetap saja, kasus itu nyata.”]

Qale membelalak. Jantungnya berdetak cepat.

“Apa maksudnya … waktu itu?” Dia menggigit bibirnya, berpikir sekaligus takut. "Apakah-"

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Mega Ahmad
"Wafa Ambrasta" Namanya tidak asing bagi saya, tp lupa² ingat beliau ... siapakah dia ?
goodnovel comment avatar
QIEV
Siapin minum jangan lupa yaaaaa
goodnovel comment avatar
ani nur meilan
masih menyimak ada apa dibalik meninggal nya Ibunya Qale..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 122.

    Malam turun perlahan di atas tembok tinggi lapas.Di dalam sel bernomor 27, Lea duduk di ranjang sempitnya. Angin dari jendela kecil meniup ujung rambut pendeknya, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi.Di pangkuannya, kertas putih terlipat rapi. Pena hitam di tangannya sempat ragu menari, tapi akhirnya bergerak pelan.Tulisan pertama muncul:“Untuk Deni, suamiku.”Lea menarik napas panjang. Setiap huruf yang ia tulis terasa berat, tapi juga menenangkan.“Aku sudah lihat lukisanmu. Dari ayah.Aku tahu kita merindu—karena tembok ini, tapi karena ingatanku terpaku padamu.""Aku baik-baik saja. Cukup mengingat kalau cintamu pernah menyelamatkanku sekali, waktu aku nyaris gak punya alasan buat bertahan.”Lea berhenti menulis. Air matanya jatuh di atas kertas, meninggalkan noda kecil. Ia tersenyum samar, menatap langit hitam di luar jeruji.“Aku pikir kebahagiaan itu tentang bebas.Tapi ternyata, bebas itu tentang hati yang tenang. Terima kasih sudah ngajarin aku mencintai lagi.”

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 121.

    Gerimis makin rapat saat mereka meninggalkan pemakaman.Bakar masih diam, menatap jalanan basah di depan. Ria di sebelahnya, memeluk tas kecil di pangkuan, matanya sesekali menatap jendela yang dipenuhi titik-titik hujan.Radio memutar sisa lagu ~So Far Away, tapi kini suaranya terdengar lebih tenang.“Bapak lebih tenang,” ucap Ria akhirnya, pelan.Bakar menoleh sekilas, bibirnya bergerak membentuk senyum tipis. “Kadang yang bikin berat,” katanya pelan, “rasa bersalah yang belum selesai.”Ria mengangguk pelan. “Kalau gitu … terima kasih udah ngajak aku ke sana, Pak. Aku jadi ngerti sesuatu.”“Ngerti apa?”“Bahwa kadang, luka yang gak disembuhin bisa bikin kita nyakitin orang yang gak salah.”Bakar terdiam. Matanya masih ke depan, tapi rahangnya sedikit mengeras.“Termasuk kamu?” tanyanya datar, nyaris seperti gumaman.Ria tak menjawab. Hanya senyum kecil di ujung bibirnya yang seolah berkata ya, tapi aku udah gak marah lagi.Mobil terus melaju, menyisakan keheningan yang aneh—bukan di

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 120.

    Lea mendengus kesal. “Aku hanya…”Ia menarik napas panjang, menahan sesuatu di dadanya. “Aku hanya ingin Ayah percaya … bahwa aku gak lagi jadi orang yang sama.”Suara itu pelan, tapi menggigit.“Aku tahu aku salah. Aku nyakitin banyak orang, termasuk Ayah … tapi bukan berarti aku gak bisa berubah.”Hasan menatap putrinya lama. Ada sorot ragu, tapi juga iba yang ditahannya sejak lama.“Ayah gak pernah berhenti pengin percaya, Lea,” ucapnya tenang. “Tapi percaya itu bukan sesuatu yang dikasih. Itu harus kamu buktiin.”Lea menunduk, mengusap wajahnya cepat-cepat. “Aku cuma takut gak sempat buktiin, Yah.”Hasan tersenyum tipis, tapi penuh getir. “Masih ada waktu, Nak. Selama kamu gak menyerah sama dirimu sendiri.”Sunyi.Suara jam dinding terdengar jelas, diikuti derit halus kursi yang bergeser.“Ayah…” panggil Lea pelan.Hasan menatapnya lagi.“Aku cuma pengin dianggap manusia lagi,” ucap Lea, kali ini hampir berbisik. “Bukan kesalahan yang selalu diingat.”Hasan memejamkan mata sejenak

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 119.

    Sore itu toko tutup lebih cepat. Ria membereskan loyang dan adonan yang belum sempat diolah.Rini sudah pulang, menyisakan aroma roti setengah matang yang tertinggal di udara.Telepon dari Nadia baru masuk menjelang magrib."Gimana Nad?" tanya Ria cemas. Nadia sempat ikut menyusul ke rumah sakit dengan motornya tadi.“Udah aman, kata dokter cuma kontraksi ringan. Tapi harus banyak istirahat,” ucapnya lega.Ria mengembuskan napas panjang, duduk di kursi dekat pintu.Syukurlah.Tapi di sela lega itu, ada rasa lain yang menghantui, apakah usulnya soal perekrutan tadi bikin Qalesya kepikiran?Suara langkah sepatu terdengar tepat kala pintu terbuka. Bakar baru datang, menenteng plastik berisi minuman.“Aku kira kamu udah pulang,” katanya datar sambil meletakkan satu botol di depan Ria.“Lagi nunggu kabar, Pak,” jawab Ria pelan.“Qale udah baikan. Aku barusan dari rumah sakit.”“Oh…” Ria menunduk. “Syukurlah.”Hening beberapa detik. Hanya bunyi kipas angin yang berputar lambat.“Kamu tadi p

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 118.

    Keesokan siang, udara toko terasa menggoda oleh aroma butter dan adonan croissant yang baru keluar oven.Ria sibuk di dapur dengan Rini. Nadia di depan berdua dengan Qalesya. Pemilik Anak Lipat itu menghindari memegang butter, mual katanya.Bakar baru datang dengan Wafa. Dia langsung ke belakang, matanya tak lepas dari gerak-gerik Ria.Terlebih setelah pria kemarin, datang lagi ke toko. Kebetulan Ria ke depan membawa baki croissant untuk dipajang di etalase.Pria itu menghampiri Ria. Bakar melihatnya tersenyum yang entah kenapa terasa menyebalkan di matanya.Ria berbicara seperlunya. Pelan dan tetap sopan. Namun bagi Bakar, caranya tersenyum tipis saja sudah cukup membuat dadanya terasa aneh.Begitu pria itu pamit, Bakar langsung melangkah mendekati Ria yang sedang beres-beres meja stainless.“Dia mantanmu?” tanyanya datar.Ria berhenti mengelap meja. “Kenapa, Pak?”“Ngajak balikan?” lanjutnya. Nada suaranya tenang, tapi matanya menyimpan bara kecil yang tak bisa disembunyikan.Ria me

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 117.

    Tiga hari sudah, Ria dan Bakar nyaris tak bertukar sapa.Suasana toko jadi canggung. Bakar tetap datang dengan Wafa seperti biasa, di jam makan siang. Tapi tanpa berani bersitatap dengan Ria langsung.Ria, di sisi lain, menenggelamkan diri dalam pekerjaan, berusaha seolah semuanya baik-baik saja.Namun, setiap kali mereka berpapasan di dapur yang sempit, jantungnya berdegup aneh karena bingung harus bersikap bagaimana.Qalesya memperhatikan keduanya sejak pagi.Ketika melihat Ria menghela napas kesekian kalinya di depan oven, ia langsung memutuskan sesuatu.“Kak Ria, nanti tolong antar pesanan buat Bu Widya ya. Sekalian bantu cek nota,” katanya santai. "Aku bisa antar, Nyah. Bos nggak ada jadwal siang ini," ujarnya menyambar ucapan Qale.“Oke." Qale mengangguk."Aku bisa sendiri, Kak,” potong Ria cepat.“Musim hujan. Daripada pake motor 3 roda atau ojol, sama aja kan diantar Pak Bakar,” jawab Qale lembut, tapi tegas.Bakar hanya mengangguk pelan.Ria tidak membantah lagi, meski ekspr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status