Dalam perjalanan pulang, Qale terus mencuri pandang ke arah suaminya.Sampai akhirnya, saat mobil berhenti, fokusnya teralihkan. Dia membantu kursi roda Wafa turun lalu mendorongnya hingga ke depan pintu toko.Sebelum membuka kunci, Ia berjongkok di depan kursi roda Wafa, mengangkat tangan dan melambaikannya ke arah mata kiri Wafa."Kak, mata yang beneran buta tuh … begini, ya?"Seketika Wafa menunduk, meniup wajah Qale pelan—membuat poninya berkibar, dan pipinya memanas.“Eehh!” Qale menunduk, malu sendiri. "Maaf..."Wafa tersenyum kecil. “Kenapa tiba-tiba ngetes mataku?”Qale pun menceritakan semua keganjilan tadi.Tentang Deni. Soal sorotan matanya, juga gerak-geriknya.Wafa mendengarkan serius, sambil mengangguk perlahan.“Aku nggak tahu pasti ... tapi feeling kamu, bisa jadi benar. Kita harus cari tahu lebih lanjut, Sya.”Malam itu, Qale tak bisa tidur. Bukan hanya karena tubuh lelah—tapi karena ada yang mengganggu di benaknya.Bukan mengenai acara tunangan. Apalagi soal kue croi
Wafa pamit pagi itu dengan pesan sederhana tapi hangat, "Jualan yang bener, ya. Biar pelanggan makin banyak. Urusan yang lain, kita pikirkan berdua. Oke?"Qale mengangguk. Hatinya hangat oleh perhatian kecil itu. Bibirnya mencoba tersenyum, walau matanya menyimpan gelisah.Belum sempat Wafa masuk ke mobil, Qale tersadar satu hal—dia tidak punya nomor suaminya sendiri."Kak," panggilnya malu-malu sambil menyodorkan ponsel. "Boleh…?"Wafa menoleh dengan senyum menggoda. "Kirain nggak butuh," godanya, memiringkan kepala untuk melihat wajah manis Qale di bawah cahaya pagi.Pipi Qale langsung merona. "Iihh, ayo dong," rengeknya."Senyum dulu," Wafa mengulur tangan."Nggak mau!" Qale mencubit lengannya gemas."Aw! Iya iya, sini..." Wafa akhirnya menyerah, menerima ponsel bercasing pink itu.Qale mencuri pandang. Meski mata kirinya kosong, Wafa tetap tampan. Setelah menyimpan kontak, Wafa menyerahkan kembali ponsel itu.Begitu Qale melihat kontak barunya, matanya membesar. "Suamiku?" Qale me
"Non!"Lea masih berdiri di depan pintu kamar Mbak Mun. Namun karena ada ART lainnya, ia pun mengurungkan langkah dan menghampiri si ART. Dengan suara pelan, ia meminta dibawakan segelas air ke kamar.Dari balik pintu, Qale menutup mata, mengelus dadanya lega. Tapi sejurus kemudian, napasnya kembali tertahan. Langkah Lea berhenti lagi. Ia menoleh ke arah kamar, meraba panel pintu… dan menutupnya.Bruk."Fyuh," Qale menghela napas tanpa suara. Lututnya nyaris melorot ke lantai.Kalau pintunya dibuka satu senti lagi... selesai sudah.Ia belum bisa keluar. Suara langkah ART masih terdengar samar dari dapur. Tapi tak ada suara orang bicara. Seisi rumah hening.Qale memberanikan diri membuka pintu pelan, mengintip, lalu menyelinap keluar. Langkahnya cepat dan ringan menyusuri sisi rumah. Begitu melihat mobil Wafa di ujung jalan, ia langsung masuk.Tanpa banyak bicara, Wafa memberi isyarat pada sopir agar segera melajukan mobil."Pelan, Sya," ucap Wafa sambil menyodorkan botol air mineral.
Sepanjang malam, Qale tak bisa tidur. Kepalanya terus bekerja, menimbang-nimbang setiap pesan anonim yang pernah masuk. Ia mengambil buku kecil dan mulai mencatat satu per satu : waktu pengiriman, gaya bahasa, bahkan jeda antar pesan. Setelah Subuh, ia memutuskan keluar rumah. Tujuannya sederhana—membiarkan tubuh lelah, agar kantuk datang dengan sendirinya. Awalnya Qale hanya berolahraga ringan di halaman, tapi entah kenapa, matanya tertarik menyusuri lingkungan sekitar. Selama ini, setiap kali datang ke rumah Wafa, pikirannya terlalu semrawut untuk memperhatikan sekitar. Masih remang dengan cahaya fajar, Qale mulai berlari kecil. Jalan aspal yang sempit memanjang di depan membuatnya antusias. Di sisi-sisinya, pepohonan berdiri rimbun—Flamboyan berbunga oranye kecil, berbiji mirip petai yang menggantung lucu, dan Trembesi kokoh seperti pahlawan peneduh jalan. Di sela-sela rumah, tampak ladang singkong dan sayuran tumbuh subur. Rupanya mayoritas warga di sini berprofesi sebagai pet
Kepalanya penuh dengan ingatan, dan perasaan yang belum semuanya tertata.Wafa lalu menyerahkan sebuah map. Tulisan di depan map cukup membuat Qale menegang. Diam-diam, tangan Qale sedikit gemetar saat membukanya.Itu hasil visum almarhumah Rahayu.Dia membaca cepat. Baris-baris tulisan medis itu terasa lebih dingin dari AC yang menyala. Kata-kata seperti “paru-paru penuh cairan” dan “lumpur ditemukan di saluran cerna” membuat jantungnya mengerut.“Ibu…” bisik Qale nyaris tak terdengar. “Aku belum ingat sempurna malam itu.” Dia mendesah panjang.Wafa tak menjawab. Dia hanya mengamati istrinya yang menunduk, jari-jari menggenggam erat lembaran hasil visum itu. Seperti memeluk kenyataan yang belum siap diterima.“Kamu tau, Sya? Suara Wafa pelan, seperti gumaman, "apa untungnya bila aku pelaku DM itu?”Qale terdiam. Merenung.Dia menoleh, menatap Wafa yang masih duduk dengan santai, tetapi matanya jelas-jelas menyimpan sesuatu. Tenang, tapi dalam.Sementara itu, Wafa diam-diam memandangi
Qale tak tahu bagaimana caranya menghadapi fakta ini. Bukan hanya tatapan tuduhan oleh Lea, Mbak Mun, tapi hatinya tidak siap."K-ka-k?" ucapnya serak terbata, masih mencoba menolak fakta."Sya, aku jelasin," elak Wafa sambil menangkupkan telapak tangannya."Ternyata kamu!" ucap Hasan Sasmita. Dia bergerak cepat ingin menyerang Wafa tapi Mbak Mun buru-buru menangkup kaki majikannya itu.Dengan tangis meraung, Mbak Mun berujar, "Jangan, Pak. Jangan!" teriaknya panik. "Den lari, Den! Bawa Non Qale!" Wafa langsung menarik tangan Qale yang menggantung. Istrinya shock, tampak bingung tapi Qale tidak memberontak. Dia mengikuti Wafa keluar dari sana."Mun lepas, kurang ajar!" kata Hasan menggoyang-goyangkan kakinya yang masih dipeluk Mbak Mun. "Sialan!" Tubuh senja itu menerima tendangan Hasan sampai terjungkal. Tapi Mbak Mun tak menyerah, dia merangkak menahan satu kaki Hasan agar tak mengejar Qale."MUN!" sentak Hasan, kembali menendang Mbak Mun tapi susah karena goyah."Aawwhh!" jerit M