Wafa belum pergi, menemani dalam diam. “Sya,” katanya perlahan, “istirahat dulu, ya?” Qale tak menjawab. Tapi pelukannya pada boneka itu mengendur sedikit. Wafa memanggil ARTnya agar membantu Qale masuk ke kamar. Wanita paruh baya itu datang tergopoh, siap memapah si nona muda untuk bangkit. “Aku takut tidur,” katanya pelan, nyaris tak terdengar. Wafa menghela napas. Dia mendorong kursi rodanya mendekat. Tangannya terulur mengusap pucuk kepala Qale, merapikan anak rambutnya yang basah kena air mata bercampur keringat. Ujung jari Wafa menyeka sisa air mata di pangkal mata Qale. Mengusap pipinya dengan punggung tangan, lembut sambil tersenyum hangat. Dia lalu menatap Qale dalam. “Kalau merasa ini mimpi, biar aku jadi orang pertama yang kamu temui saat bangun,” ucapnya lirih. Qale menoleh, matanya masih sembab. Tapi ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Sebuah pelindung yang pelan-pelan runtuh. “Aku nggak pengen sendiri lagi, Kak…” katanya, membalas pandangan Wafa akhirny
Qale menatap boneka itu. Tenggorokannya tercekat. Wajah boneka itu telah memudar, bajunya kusut dan lapuk, benang-benangnya terburai. Tapi bentuk tubuhnya—bulat di kepala, kaki pendek, dan tangan kaku—sama persis seperti dalam foto lama bersama ibunya.Satu matanya bolong. Cuma tersisa lubang bening.Dia mengangkat boneka itu perlahan dari dalam buffet. Jantungnya berdebar pelan—menekan, dalam dan dalam.“Aku ingat kamu…” bisiknya. Napas Qale pendek-pendek, menyelip di antara pangkal tenggorokan.Lalu, di bawah tempat boneka itu tergeletak tadi—selembar kertas, menggulung lembut di pinggirannya. Qale menyentuh permukaannya dengan jari gemetar. Sempat menahan napas saat membukanya perlahan.Lukisan itu menggambarkan kolam alami di tengah tanah lapang, pohon besar di sudut kanan, dan jejeran kandang kayu tua yang menghitam di sisi kiri, tempat sapi ayahnya dimandikan.Tatapannya melembut. “Aku ingat tempat ini,” suara Qale sangat lirih.Belum sempat mengatur napas, terdengar suara dari
Qale dipaksa masuk ke kamar oleh ART Wafa karena sudah jelang tengah malam.“Kalau Non masih bingung, coba ajak Den Wafa bicara pelan-pelan … tapi jangan bilang ini dari saya ya,” bisiknya, matanya bergerak gelisah ke arah kamar majikannya.Qale hanya mengangguk, meski rasa penasarannya masih tinggi.Esok pagi, aroma tanah dan dedaunan basah menyelinap masuk melalui celah jendela kamar. Membuat Qale menggeliat dan membuka mata. Bibirnya mengulas senyum tipis, rasanya nyaman sekali tidur di kamar ini. Dia masih bergelung ketika wangi yang dikenalnya tercium dari balik pintu.Qale gegas bangkit, membersihkan diri lalu keluar kamar. Ruangan terasa teduh meski jendela terbuka lebar. Sepi, membuatnya terasa damai.Qale melangkah ke pintu belakang yang terbuka dan menemukan Wafa sudah duduk di teras, ditemani teh hangat dan sepiring nasi putih lengkap dengan telur ceplok, tempe mendoan dan sambal kecap.Di sudut halaman, sopir Wafa tampak memanen kelengkeng dan sawo dari pohon. Suasana pag
Qale diseret Hasan Sasmita sampai masuk ke kamar."Ayah! Lepasin akuuuuuu!" teriak Qale, menggedor pintu kamarnya berulang kali malam itu.Dia tidak diizinkan keluar kamar sejak malam itu. Bahkan ponselnya disita. Pintu biliknya terkunci dari luar. Hanya ART lain yang sesekali mengantarkan makanan, tapi tanpa sepatah kata.Sejak kemarin Qale hanya diam. Malam ini, dia menangis, lalu diam lagi. Kepalanya nyeri, pikirannya riuh. Di luar, tak ada tanda-tanda keberadaan Lea atau sang ayah. Dia betul-betul ditinggalkan.Sementara di toko. Karyawannya bingung sebab Qale tidak muncul nyaris dua hari. Bahan baku toko menipis dan dia tak punya kuasa untuk restock meskipun ada uang penjualan.Tak lama, Wafa mendatangi toko setelah beberapa hari terakhir melihat Qale. Dia heran, etalase kosong, hanya ada karyawan baru di sana yang tampak kebingungan."Malam, Kak," sapanya ketika Wafa masuk."Qale mana?" tanya Wafa langsung.Dia ragu-ragu. Tapi mendengar nama Qale disebut, gadis itu yakin bahwa p
Satu jam setelah rekaman itu, Qale masih duduk diam di ruang terapi. Tangisnya telah reda, tapi tubuhnya terasa kosong. Bibirnya kering, matanya sembap. Seolah semua suara dan rasa sudah tumpah, menyisakan sunyi di dada.Konselor menyodorkan selembar kertas kosong dan sekotak pensil warna. "Coba gambar suasana hatimu," katanya pelan.Qale menatap kertas itu lama. Tangannya bergerak pelan, menggambar garis-garis tak tentu arah. Mirip bayangan. Mirip benang kusut. Dan di sudut kanan, tanpa sadar, dia menulis sesuatu — namanya.Dia berhenti. Jantungnya berdegup pelan tapi tajam."Kenapa aku mesti lupa, Dok?" Suaranya lirih. Tatapannya kosong, seperti menembus kabut.Konselor tidak langsung menjawab. Dia hanya membuka slide tablet di pangkuannya — menampilkan dokumentasi konseling lama. Ada foto-foto, coretan, bahkan catatan tulisan tangan Qale kecil. Semua terasa asing sekaligus familiar."Apa ... ibu yang nyuruh?" Qale bertanya lagi, kali ini nada suaranya meninggi. "Siapa yang minta ka
Mbak Mun—si ART, nyaris kabur. Tapi pergelangan tangannya dicekal Qale. Sorot matanya ketakutan, tubuh senja itu sedikit gemetar. "Mau kemana, Mbak!" Suaranya pelan tapi sinis. "Non Qale nggak nakal, kok. Nggak ngerti apa-apa. Buat saya, Non Qale nggak salah..." suaranya tercekat, takut oleh tatapan tajam Qale. "Saya cuma—" "Qale! Ngapain kamu di situ?!" Suara Hasan Sasmita meletup. Ia muncul dari balik pintu dapur setelah menutup teleponnya. Tatapannya menyapu mereka berdua dengan curiga. Mbak Mun makin terlonjak. Keringat dinginnya muncul. Hasan maju cepat, menyelip di antara mereka. "Lepasin. Dia mau bersihin kamar Lea. Kakakmu nanti sakit kalau banyak debu, dia mau nikah, Qale," sergah sang ayah, menepuk lengan putrinya beberapa kali. Dengan terpaksa, Qale melepaskan cekalannya. "Bereskan kamar Lea," perintah Hasan dingin, membuat Mbak Mun menunduk ketakutan. Dia pun gegas pergi. Qale menarik napas berat. Ikut melangkah masuk begtu saja, dia malas ribut dengan ayahnya.